roketmu

satu nusa, satu bangsal.

Hari itu adalah hari Isagi berada di titik paling rendah dalam hidupnya. Hari yang menghancurkan hatinya, mimpinya, bahkan rasa percayanya.

Setelah menjelaskan semuanya sambil menangis tersedu-sedu via panggilan ponsel kepada Bachira dan Chigiri, kini Isagi melipir ke dekat jalan raya agar mereka dapat menemukannya dengan mudah.

Ya. Isagi mau pulang sesegera mungkin. Niat dan rencana yang sudah ia siapkan matang-matang untuk kebaikan Rin, semuanya sirna akibat perbuatan mantan kekasihnya itu sendiri.

Karena di saat ia bersusah payah untuk mencari cara agar hubungan mereka tetap bertahan utuh, Rin sendiri yang dengan sengaja mempermudah apa yang sudah retak dalam hubungan mereka hancur dalam seketika.

Rin begitu egois, sangat egois. Ia pikir dengan ia melakukan hal itu yang akan hancur hanya hubungan mereka saja?

Isagi juga hancur, Rin. Hancur sekali.

“ISAGI!”

Panggilan tiba-tiba itu datang dari arah yang berlawanan darinya, begitu Isagi menoleh, kecemasan dalam dirinya meningkat begitu tinggi dan ia harap Bachira atau Chigiri segera sampai untuk membawanya lari.

“Sialan, kenapa selingkuhannya malah nyamperin gue, sih?”

Selamat kepada Itoshi Rin yang tadi telah mencampakkannya dan membuatnya terlihat menyedihkan, akibat dia pun sekarang Isagi ikut terlihat seperti orang bodoh yang tak ada hentinya untuk menangis di mata kekasih gelapnya itu.

“Isagi, tunggu! Jangan lari!”

Tapi belum sempat Isagi berlari, tangan kanannya yang menggantung lebih dulu ditangkap sehingga mau tak mau ia harus berhadapan dengan orang tersebut.

“Lepasin. Lo gak ada masalah sama gue.” pinta Isagi dengan nada dingin.

Lelaki bermata lentik itu menggeleng kuat, “Tentu ada! Nama aku Hiori, aku-”

“Gue tau lo selingku-”

“Aku bukan selingkuhannya Rin!”

Isagi menghempas tangan Hiori yang kini masih mengatur napasnya pasca berlari, “Oke, terus lo mau bilang kalau lo pacarnya juga dan lo gak tau kalau Rin ternyata pacaran sama orang lain?”

“Aku sepupunya dia, dari kecil kita udah temenan mana mungkin aku jadi selingkuhannya! Rin bohong sama kamu, Isagi!” Hiori tetap bersikeras bahkan ia meraih tangan Isagi lagi agar yang lebih pendek tidak melarikan diri.

“Terus gue emangnya juga bisa percaya sama lo, gitu?” Lelaki bersurai biru gelap itu terkekeh naas, “Udah, ambil aja si Rin, gue gak mau lagi sama dia.”

“Gak boleh!” kini Hiori meninggikan suaranya yang membuat Isagi terheran, “Justru ini yang Rin mau! Dia emang sengaja mau buat Isagi kecewa supaya dia diputusin dan dibenci Isagi!”

“Dibenci... gue?”

Isagi bisa saja menjawab tidak peduli, tapi sepertinya ia juga perlu tahu hal ini, setidaknya untuk membuat semuanya jelas tentang akhir dari hubungan mereka berdua.

Diamnya Isagi pertanda baik untuk Hiori, maka saat itu juga ia mengeluarkan semua bukti bahwa ucapannya barusan adalah benar. Ia menunjukkan isi chat-chat dirinya dengan Rin terkait rencana bodoh milik mantan kekasih Isagi itu beserta alasan-alasannya. Semuanya. Tak terlewatkan sedikitpun.

Setelah mengetahui itu semua, kecemasan dalam diri Isagi berkurang, walau hanya sedikit tapi setidaknya membuat Isagi kini dapat meredakan emosinya selama beberapa saat.

“Kenapa lo mau ngasih tau gue soal ini?” tanya Isagi dengan suara yang jauh lebih tenang.

“Karena aku pun gak tau kalau ternyata harus pura-pura jadi penjahat sama sepupuku yang tolol banget itu,” Hiori menerima ponsel itu kembali dari Isagi setelah si manis melihat semua buktinya, “jadi, aku pun mau kamu untuk tau, kalau Rin di sini gak selingkuh sama sekali, karena dia sayang banget sama kamu.”

“Kalau sayang kenapa dia harus rela nyakitin gue dengan pura-pura selingkuh?” cibir Isagi tidak terima.

“Kamu pasti gak dikasih tau, kan? Masalah Rin akhir-akhir ini? Aku aja tau dari Kak Sae, tentang masalah kuliahnya, bertengkar sama papanya, bahkan kehidupan percintaannya yang udah diatur itu.”

“Tunggu, Rin punya masalah sebanyak itu? Bukannya hanya soal dia yang mau keluar negeri dan karena itu dia mau kita putus?”

Hiori menggeleng lemah, “Justru itu pelarian Rin. Dia bahkan kalau mau nekat udah ajak kamu ke luar negeri, tapi dia gak mau egois, daripada kamu yang disalahin dan terbebani, lebih baik kamu putusin Rin, karena dia gak akan sanggup untuk putusin kamu, Isagi...”

Hening selama beberapa saat sebelum akhirnya kekehan terdengar dari arah Isagi yang turut membuat Hiori bingung akan reaksi pemuda beriris safir itu.

“Sesusah ini, ya, gue pacaran sama Rin? Berarti selama ini dia nahan juga, kan?”

Ah, sial. Mata Isagi kembali memanas.

Tak jauh di belakang Isagi, terlihat dua orang yang tengah berlari mendekatinya dengan tergesa-gesa. Hiori yang tak tahu menahu merasa begitu terkejut ketika salah satu di antaranya menarik paksa kerah kemeja yang ia kenakan begitu saja.

“Lo ini selingkuhannya si Bajingan itu, kan?” Bachira mendecih, “pegangin Isagi, Chi. Biar gue urus si rambut telor asin satu ini.”

Bachira sudah siap melayangkan tamparannya sebelum Isagi lebih dulu menahan tangan si kuning dengan cepat.

“NANTI DULU, RA!”

“Apanya nanti dulu?! Biar gue aja yang gampar karena gue tau lu gak mau!”

Hiori memejamkan matanya bersiap menerima tamparan Bachira, tapi Isagi lebih dulu memeluk sahabatnya itu dengan erat untuk membatasi pergerakannya.

“Isagi...”

Isagi menggangguk, “Biar gue yang jelasin semuanya.”

Sama seperti Isagi, bahkan Bachira dan Chigiri ikut sangat terkejut mendengar fakta penjelasan yang diberikan Hiori terkait alasan Rin melakukan itu semua. Mereka sudah berniat untuk menghajar Rin saat itu juga, tapi sayang Isagi melarang keras, ia juga tak lupa menyuruh Hiori untuk berjanji tak mengatakan apapun pada Rin soal dirinya yang sudah tahu masalah ini. Karena ia merasa, semuanya sudah ia relakan untuk selesai.

Pertemuan mereka akhirnya ditutup dengan Hiori yang hanya bisa menatap iba ke arah Isagi yang kembali menangis tersedu-sedu di dalam pelukan kedua temannya.


“Kamu selama ini udah tau... tapi kenapa kamu gak bilang sama sekali ke aku, Sa!?”

Tubuh Rin sudah lemas sejadi-jadinya selepas mendengar cerita dari sudut pandang Isagi pada hari itu. Sosok yang biasanya terlihat angkuh nan gagah, kini tak berdaya dengan binar mata yang memancarkan begitu banyak emosi dalam satu warna.

“Karena gue pengen semuanya terlihat selesai,” Isagi menggantungkan ucapannya sejenak untuk tersenyum tipis, “jadi, kita damai aja, yuk, Rin?”

Rin masih tetap diam seribu kata, pikirannya yang sudah kacau tambah kacau. Isagi bisa mengerti hal tersebut, maka dari itu ia saja yang mengambil alih dalam percakapan kali ini.

“Gue pengen lo hidup tanpa beban, cinta-cintaan dalam hidup gak sepenting itu. Kalau emang kita gak direstuin gapapa, kalau lo bahkan mau dijodohin juga gapapa.”

Rin kembali meraih tangan Isagi untuk ia genggam, bisa si manis itu rasakan tangannya yang sudah panas dingin menahan gemetar dengan susah payah seakan mengatakan tidak setuju atas ucapan Isagi barusan.

“Orang tua gak boleh dilawan, Rin. Kita selesai aja, lo emang gak capek apa sama perasaan ini?”

Rin akhirnya menggeleng tak terima, “Aku gak mau, Sa. Aku maunya kita balikan...”

Isagi menghela napas gusar, “Lo tau gak kenapa gue bisa semarah itu sama lo walaupun gue udah tau semuanya?” kemudian ia terkekeh miris dalam jeda ucapannya, “karena lo pengecut. Bahkan sampai sekarang pun lo pengecut, lo belom mau cerita soal kedatangan Kak Sae dan papa lo yang nyuruh lo buat ngejauhin gue lagi, kan?”

Kilat mata Rin kembali memancarkan ketakutan, habis sudah rencananya gagal untuk tidak ingin Isagi terlibat lagi tapi sang terkasih sudah lebih dulu mengetahuinya.

“Haha, bahkan karena tau lo lagi gak baik-baik aja ini, gue sampe ngajak lo keluar, seenggaknya untuk bikin lo tenang, tapi justru lo sendiri yang bikin semuanya kembali rumit karena bahas hal ini tiba-tiba.”

“Aku ngambil keputusan bodoh itu karena aku gak mau kamu terlibat, Sa. Bahkan sampi saat ini! Aku gak mau kamu terbebani karena kamu gak ada salah sama sekali...” bela Rin atas alasannya.

“Gak salah sama sekali?” Isagi menatap Rin tidak percaya, “Lo jahat, Rin. Gue emang gak ada salah tapi lo malah pengen gue benci lo, padahal jelas-jelas itu tindakan yang fatal baik untuk lo maupun untuk diri gue!”

Isagi mengusap wajahnya kasar, ingin rasanya ia berteriak saat ini juga untuk meredakan rasa stress dan pusing dalam dirinya. Apalagi Rin terlihat semakin tidak berkutik, kefrustrasian Isagi melipat ganda hanya dengan menatap ekspresi sedih yang sangat ia benci itu. Ekspresi yang seberusaha mungkin Isagi usahakan tidak akan terlihat di wajah Rin.

“Lo sengaja bikin gue yang lagi sayang-sayangnya sama lo malah disuruh benci gitu aja. Lo sepengen itu dibenci oleh orang yang sesayang itu sama lo?”

Rin membelalakan matanya begitu ia melihat kembali ke arah Isagi, air mata yang sejak tadi berusaha ditahan pemuda beriris safir itu akhirnya mengalir pedih di pipi gembilnya.

“Isagi...”

Isagi menangis, tak kuat menahan emosinya yang sudah susah untuk dibendung, “Gimana kalau ternyata gue belum tau sama sekali tentang lo yang pura-pura? Gimana kalau gue akhirnya beneran benci sama lo, Rin?”

“Isagi, maaf, aku...”

Ingin rasanya Rin merengkuh Isagi ke dalam pelukannya tapi ia juga tahu bahwa ia tidak pantas untuk melakukan itu.

“Lo bahkan bertindak seolah baik-baik aja ketika setelah beberapa tahun kita gak ketemu, seakan lo lupa kesalahan lo, dan berusaha bikin gue jatuh cinta lagi sama lo. Jujur, gue gak ngerti, bangsat...”

“Aku bodoh, Sa. Apa yang kamu harapkan dari orang bodoh kayak aku? Aku taunya saat itu kamu udah benci aku, aku berencana untuk bertingkah nyebelin agar dapat perhatian kamu, dekat sama kamu lagi, sampai akhirnya aku bisa jelasin semua kesalahpahaman soal kepura-puraan aku sama kamu yang udah jatuh cinta sama aku lagi.”

Isagi mendecih di sela isakannya, “Oh, let’s be real, orang tolol mana yang bakal jatuh cinta ke orang yang sama padahal udah pernah diselingkuhin? Kenapa lo bisa seyakin ini untuk bikin gue bakal cinta lagi sama lo?”

“Karena itu kamu, Sa.”

Isagi tertegun sesaat mendengar jawaban cepat Rin yang tidak masuk akal. Apalagi ketika ibu jari pria itu turut ikut mengusap air mata di pipinya.

“Gue?”

Rin mengangguk, “Rasa yakin itu bukan dari aku atau usahaku, tapi cukup dengan kehadiran kamu.” ia juga kembali meraih telapak tangan kecil Isagi untuk ia genggam selagi ia meneruskan ucapannya, “Gak akan ada orang yang bisa mencintai aku lebih dari cinta kamu untuk aku, juga gak akan ada orang yang bisa kamu cintai, melebihi rasa cinta kamu untuk aku, Isagi Yoichi.”

Keheningan langsung tercipta begitu Rin menyelesaikan ucapannya. Hanya ada suara angin dan desiran ombak yang mengisi bungkamnya dua insan tersebut.

Isagi masih menundukkan kepalanya, sementara Rin merasa cemas karena menanti jawabannya. Ada begitu banyak yang ingin Isagi utarakan, tetapi begitu sedikit juga yang mampu ia suarakan.

Mau tak mau Isagi kembali mengangkat kepalanya, menatap ke arah Rin dengan berani sambil menunjukkan wajah yang kali ini tak ada lagi air mata tersisa.

“Oke, dengan itu gue juga semakin tau kalau kita beneran udah gak bisa sama-sama lagi, Rin.” ucap Isagi pada akhirnya.

Rin terkesiap, “Maksud kamu, Sa?”

“Kita damai seperti yang gue bilang, oke? Lo berhenti kejar gue, dan gue berhenti juga muncul di depan lo.”

Isagi pun melepas genggaman tangan Rin lalu bangkit untuk berdiri seraya membersihkan sisa-sisa pasir di tubuhnya. Sementara Rin yang tidak terima ikut bangkit dan untuk kesekian kalinya meraih pergelangan tangan Isagi agar yang lebih tua kembali menatapnya.

“Isagi, kamu jangan lari lagi. Aku tau kamu masih sayang sama aku dan itu gak akan pernah hilang, kan?”

Rin menatap Isagi frustasi, tetapi jawaban Isagi selanjutnya justru akan kembali melipatgandakan kefrustasian lelaki itu.

“Engga, Rin. Gue emang gak benci sama lo, tapi semua rasa itu udah gue tinggal di hari ketika lo minta untuk gue putusin.”

Maaf, Rin, gue bohong. Karena betul apa kata Kak Sae, kalau harapan atas hubungan kita bisa dilanjut itu datang dari perasaan gue terhadap lo, maka lo akan selalu punya harapan itu.

“Isagi!”

Dan gue gak mau hal buruk seperti dulu terulang, saat kita yang harusnya bisa menjalani hubungan dengan tenang, harus berusaha untuk kembali melawan segala sesuatu yang menghadang.

“Lo gak perlu antar gue, gue udah dijemput Bachira. Maaf ya, harusnya gue bikin lo seneng-seneng di pantai, bukan malah sebaliknya.”

Isagi tersenyum miris di sela ia berusaha mengatur napas akan suaranya yang gemetar untuk kembali menahan tangis.

“Kalau kamu benar mau kita selesai dari sejak itu, berarti selama ini cuma aku yang berjuang sendiri untuk berusaha agar kita sama-sama lagi, Sa?”

Hati Rin mencelos begitu suara ombak laut menjadi perwakilan jawaban Isagi yang memilih untuk diam. Akhirnya dengan sangat berat hati, Rin melepaskan genggaman tangannya pada pergelangan tangan Isagi. Merelakannya.

“Oke, kalau itu emang keputusan kamu. Maaf, Sa, aku gagal dan terlambat.”

Isagi hanya bergumam samar sambil menolehkan kepalanya ke arah lain asal bukan Rin, karena ia sangat tahu ekspresi seperti apa yang dibuat Rin pada wajahnya saat ini.

“Oh,” sebelum benar-benar melangkah pergi, pemilik surai biru gelap itu teringat akan satu hal penting lagi yang perlu ia luruskan, “lo tenang aja, gue bakal tepatin kontrak gue seperti waktu yang sesuai. Makasih pengalaman kerja sebulannya.”

Menunduk singkat sebagai rasa hormat terhadap atasan, Isagi pun mengakhiri pertemuan mereka dengan berlari menjauh secepat mungkin yang bahkan tidak memberikan kesempatan untuk Rin membalas ucapannya.

“Makasih juga pengalaman mencintai dan dicintai orang baik kayak kamu walau gak sampai selamanya, Sa.”

Ucapan yang lebih terdengar seperti salam perpisahan untuk keduanya. []

© 2024, roketmu.

Isagi, gua udah di depan rumah.

Begitu notifikasi pesan itu muncul di layar ponsel, Isagi lantas bangun dari duduknya di sofa untuk segera bergegas ke depan pintu masuk, menyambut kedatangan Rin yang sudah ditunggu-tunggu oleh si kecil Gakuto.

“Cepet juga,” ujar Isagi canggung begitu ia membuka pintu dan mendapati bahwa Rin ternyata sudah siap sedia memakai piyama dari rumah, “semangat banget kayaknya.”

Rin mengangkat bahu cuek atas ejekan usil tersebut, “Demi anak,” lalu ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling rumah Isagi sebelum melanjutkan ucapannya, “papa dan mama lu mana?”

“Ah, kebetulan papa ada tugas di luar kota dan mama ikut nemenin.”

“Oh, makanya juga tadi lu beres-beres sendirian demi gua, ya?” lalu inilah balasan Rin atas ejekan Isagi di awal.

“Rese! Lo udah makan, belum?” Isagi yang malu berusaha mengalihkan pembicaraan.

“Udah tadi, gua dateng ini buat langsung tidur.”

“Oke, kalau gitu-”

“PAPAAAAA!!!”

Tiba-tiba terdengar suara teriak menggemaskan yang menginterupsi ucapan Isagi, tidak lain dan tidak bukan adalah Gakuto si bungsu yang muncul untuk langsung lompat memeluk Rin.

“Papa... terima kasih sudah datang...” wajah Gakuto benar-benar berseri saat mengucapkannya.

“Papa udah janji, kan?”

Gakuto mengangguk penuh semangat. Sementara Isagi ikut tersenyum diam-diam saat memperhatikan keakraban tak terduga dari mereka berdua. Apalagi melihat bagaimana Rin yang kini tengah menggendong tubuh kecil Gakuto dengan satu tangannya.

Sungguh papa yang atraktif.

EH? MIKIR APA SIH, GILAAAA!!!

Isagi buru-buru menggelengkan kepalanya, “Yaudah, yuk? Kamar gu- kamar Yayah di atas.”

“Yuk!!!”

Rin tersenyum tipis merasakan antusias Gakuto melalui pelukannya yang mengerat. Tetapi, belum sempat Isagi mengajak keduanya untuk ke lantai dua, suara bel rumah sudah kembali terdengar yang menimbulkan kebingungan di antara mereka bertiga.

“Paket?” tanya Rin.

“Ngga kayaknya, coba lo buka aja.”

Dengan Gakuto yang masih berada dalam gendongannya, Rin pun kembali membuka pintu tersebut yang kali ini justru membuatnya sedikit terkejut ketika melihat siapa sosok yang hadir untuk menyapa mereka.

“Abang?”

“Abang!!!”

Yap, yang satu untuk kebingungan Rin karena melihat Sae di sana, satu lagi untuk seruan Gakuto yang tambah antusias melihat Mikoto dan Minato.

“Keponakan Abang yang dua ini juga minta ikut untuk menginap, mereka juga kangen kalian. Minato bahkan sampai gak berhenti nangis karena ditinggal Rin.”

Rin menatap kedua anak itu bergantian, Minato benar-benar masih menangis sampai detik ini juga, sementara Mikoto walau ia tidak menangis, tapi dari raut wajahnya ikut menunjukkan kesedihan bahwa ia juga ingin menginap bersama mereka.

“Mikoto dan Minato janji gak akan nakal,” ucap Mikoto sambil menatap Rin dan Isagi dengan matanya yang membulat lucu, “Boleh, ya? Papa? Yayah?”

Mendengar hal itu tentu saja Isagi tidak ada alasan untuk menolak. Ia justru langsung mendekat untuk memeluk dua anaknya yang tak kalah menggemaskan itu dengan erat.

“Boleh! Siapa bilang gak boleh? Maaf, ya, harusnya Yayah pun ajak kalian juga dari tadi,” Isagi pun menatap Sae dengan senyuman lega, “makasih, ya, Kak Sae. Maaf udah repot-repot nganter mereka juga.”

Sae ikut tersenyum tipis, “Santai, ini udah kewajiban seorang uncle dan kakak ipar.”

Rin mendecak sebal begitu Sae mulai lagi dalam mendalami perannya. Sejujurnya Rin tidak ingin Isagi menganggap bahwa dengan sikap Sae yang seperti ini seakan menandakan bahwa mereka berdua menikmati situasi dan peran tersebut, yang nantinya akan menimbulkan dugaan atau pikiran yang tidak-tidak juga dari pihak Isagi.

Tetapi begitu Rin melirik ke ke arah yang lebih pendek untuk memastikan, ternyata tidak terlihat sama sekali raut wajah jijik atau pun canggung seperti yang Rin bayangkan, melainkan senyum bodoh itu lagi yang dengan bangga ia tunjukkan.

Hehe, Kak Sae mau ikut nginep juga, gak?”

Sae menggeleng, “Engga,” kemudian menatap Rin yang kembali memandangnya dengan tatapan seakan menyuruhnya untuk segera pergi, “Iya, Abang pulang dan gak akan ganggu Rin sama Isagi dan anak-anak kalian.”

Ck, udah sana.”

Sae pun tertawa sebelum akhirnya berpamitan kepada mereka berlima. Pintu rumah Isagi juga kembali ditutup dan kini mereka bisa fokus untuk melalukan ritual- ehm, maksudnya tidur bersama-sama seperti kemauan Gakuto.

“Mikoto, Minato, kalian juga udah makan?” tanya Isagi selagi mereka berjalan di tangga untuk menuju kamar.

“Udah, Yayah. Dua jam sebelum tidur kami sudah harus makan.”

Lalu mendengar itu Isagi langsung teringat sesuatu, “Oh, iya! Karena aku- ehm, karena Yayah belum tau, gimana kalau kalian juga jelasin gimana rutinitas kalian biasanya sebelum tidur?”

“Rutinitas?” ulang Rin.

“Iya! Ini masuknya pendekatan juga, kan?” Isagi menatap ketiga anaknya dengan senyuman lebar, “Gimana? Apa yang mau atau biasa kalian lakuin sama Papa dan Yayah sebelum tidur?”

Mikoto dan Minato tertegun beberapa saat sebelum akhirnya saling tatap dengan wajah tak kalah berseri seperti Gakuto yang melihat kedatangan Rin tadi. Dengan semangat pun mereka menjawabnya dengan kompak.

“Kita gosok gigi dan cuci muka sama-sama!!!”


Rin dan Isagi tidak pernah menyangka bahwa menggosok gigi bersama-sama bisa membuat anak kecil—tepatnya anak-anak mereka menjadi sebahagia ini.

Di pojok kanan ada Mikoto yang berdiri di samping Minato untuk selalu mengawasi adik tersayang agar tidak menggosok giginya terlalu cepat yang bisa membuat gusinya sakit.

Lalu di tengah ada Gakuto yang duduk di atas wastafel dengan Isagi yang menggosokkan giginya, sejak hari pertama si bungsu ada di sini hal itu sudah menjadi hal yang biasa untuk Isagi.

Terakhir di pojok kiri, ada Rin yang menggosok giginya dengan tenang sambil sesekali mencuri-curi pandang ke arah Isagi di sampingnya.

“Cebol, kalau lu kapan gosok giginya?” tanya Rin iseng.

“Setelah gosokkin Adek, kenapa? Mau bantuin?” Isagi tersenyum menantang.

“Gosokkin gigi lu?”

ISH! Adeklah!” sewot Isagi.

Rin hanya mendengus geli, sementara Isagi malah jadi tidak fokus untuk menggosok gigi Gakuto hingga membuatnya tak sengaja terciprat oleh busa dari odol tersebut.

Aw!”

“Kenapa, Yayah?” tanya Mikoto yang sedang mengeringkan wajah Minato dengan handuk.

Isagi meringis, “Gapapa, Yayah cuma kemasukan busa!” lalu ia menyenggol Rin dan berbisik di sampingnya, “kasih gue air, nanti si Adek khawatir liat gue keperihan!”

“Oh, oke.”

“Iya, tolong-”

Tetapi Belum sempat Isagi menolehkan wajahnya, Rin lebih dulu bergerak untuk menjilat mata Isagi dan membuat yang lebih pendek itu terkejut hingga reflek menjauhkan dirinya.

“Lo!?”

“Cara itu lebih cepet ketimbang air,” ujar Rin tak merasa bersalah sebelum menoleh ke arah Gakuto, “iya, kan, Dek?

Gakuto tentu saja mengangguk dan tertawa girang disusul dengan senyuman jahil dua abangnya yang lain.

“AWAS LO, RIN!!!”

Lalu ritual menggososok gigi dan cuci muka Itoshi Family ini diakhiri dengan Yayah yang mengamuk sambil menciprati air sebanyak-banyaknya ke arah si Papa.


Selepas menggosok gigi dan cuci muka, anak-anak sudah harus tidur pukul 9 malam. Berbicara tentang tidur, Isagi bersyukur mereka di sini jadi tidur berlima dengan menggunakan kasur lipat, karena jika hanya ada ia, Gakuto, dan Rin, sudah pasti akan tidur di satu ranjang yang sama.

Atau itulah yang ada di pikiran Isagi, sebelum pada akhirnya tetap sama saja. Walau sudah di kasur lipat pun ia dan Rin harus berdekatan karena permintaan Gakuto. Jika posisinya diurutkan dari pojok kiri, maka posisinya adalah Mikoto, Rin, Gakuto, Isagi, dan Minato.

Sebelum merebahkan diri, Minato berkata bahwa biasanya Papa alias Rin akan membacakan dongeng untuk mereka, terutama Gakuto yang sangat senang mendengarkan cerita.

Lalu apakah Rin bisa menolak permintaan itu? Oh, tentu saja tidak demi sang anak tersayang.

“Kalau mau ketawa, ketawa aja.” tapi itulah yang juga diucapkan Rin pada Isagi sepanjang ia bercerita dengan wajah dan nada yang datar.

Tetapi anehnya, tak lama setelah itu mereka bertiga benar-benar tertidur. Mungkin karena memang sudah waktunya tidur, atau karena mendengar betapa membosankannya si Papa dalam bercerita.

Walaupun begitu, dapat dikatakan juga misi mereka menuruti kemauan Gakuto berhasil, Isagi bisa menghela napas lega selama beberapa saat sebelum akhirnya tersadar akan situasinya sekarang. Lantas ia melirik sekilas ke arah Rin yang ternyata masih ikut terjaga seperti dirinya.

Sialan, bakal jadi canggung banget!

Sepertinya malam ini akan menjadi malam yang panjang untuk mereka berdua.

Berkali-kali Isagi berganti posisi tidur dan berusaha agar segera terlelap walau semua usahanya sia-sia. Sampai di tahap akhirnya ia pun menyerah dan memilih untuk membuka mata, disusul dengan Rin yang tiba-tiba bersuara di sebelahnya.

“Kalau dari penjelasan Shou waktu itu, dia lahir setelah umur kita sekitar 20-an.”

Isagi mengerutkan dahinya bingung, “Terus?”

“Itu artinya lu gak usah takut kalau malam ini gua bakal ngapa-ngapain lu.”

Rin berucap seraya menolehkan kepala ke arah Isagi hingga membuat kedua mata bertemu dengan jarak yang sangat dekat.

Ih! Apaan, sih? Siapa juga yang mikir begitu!?” Isagi reflek menoleh ke arah langit-langit kamar untuk menghindari tatapan Rin.

“Lagian gua juga gak bakal mau ngehamilin orang, apalagi orang yang gua suka sebelum gua menikah sah dengan dia,”

Tapi ketika mendengar hal itu, Isagi tertegun selama beberapa saat, sampai akhirnya Rin mendengus geli dan melanjutkan ucapannya.

“Lu langsung ngebayangin orangnya itu elu, kan?”

Wajah Isagi sukses memerah detik itu juga.

“NYEBELIN BANGET, SIH!”

Sst, sst, ini anak-anak udah tidur.” ujar Rin yang kini berusaha semaksimal mungkin untuk tidak tertawa karena berhasil menjahili Isagi yang kesekian kalinya.

Isagi menghentikan cubitannya pada Rin, lalu kembali membetulkan posisi tidurnya agar menghadap ke langit-langit kamar lagi.

“Gue tuh emang lagi mikir sesuatu yaitu kalau gue gak nyangka aja bakal tidur bareng kayak gini sama orang yang gua sebelin! Kayak ngapain coba? Makin dipikirin, makin gila!” bela Isagi dengan wajah masih semerah kepiting rebus.

Rin yang mendengar itu ikut mengangguk setuju, “Gua juga gak nyangka,”

“Iya, kan?!”

“Gak nyangka kalau nanti di masa depan lu bakal hamil anak gua,” kemudian ia menunjuk ke arah perut Isagi, “di sini.”

“Apaan lagi, sih, lo!” Isagi menepis cepat tangan Rin.

“Kita berarti bakal beneran ngelakuin hal ‘itu’ ya, Sa?” dan semakin Isagi kesal, semakin Rin juga semangat untuk menggodanya.

Stop, anjing. Ini ada anak kecil!”

Rin tersenyum miring, “Anak kecil yang kita hasilin dari ngelakuin ‘itu’.”

“LO-”

Oh. Gimana kalau kita latihan buat ngelakuin hal ‘itu’ malam ini, Sa?”

“GUE TENDANG LO!!!”

Kini Isagi benar-benar mengangkat kakinya untuk menendang-nendang Rin yang justru tidak lagi bisa menahan tawanya akibat respon Isagi yang begitu mudah untuk marah.

“Bercanda, dasar lebay.”

Ih! Udah sana tidur sebelum lo gue usir dari sini!”

Isagi untuk kesekian kalinya membetulkan posisi tidur. Tetapi kini ia berani untuk memiringkan tubuhnya ke arah Gakuto, karena nyatanya melihat wajah tidur si bungsu bisa membuat ia lebih tenang.

Rin yang ikut memperhatikan gelagatnya pun menghela napas lega, “Gua cuma gak mau suasana setegang tadi. Kayak lu beneran takut gua bakal ngapa-ngapain lu atau pikiran aneh lainnya, maaf.”

Isagi mendongak ke atas untuk kembali bertatapan dengan Rin yang kini ikut memiringkan tubuhnya, membuat mereka saling berhadapan dengan Gakuto yang menjadi pembatasnya.

“Iya, gue udah gak tegang karena gue maunya ngamuk untuk sekarang,”

“Yaudah, gua pindah ke sofa-”

“Tapi gue tetep mau bilang makasih ke lo karena udah mau nurutin kemauan Gakuto, walau gue tau lo sebenernya gak mau.” sela Isagi cepat dengan senyum tulusnya.

“Makasih ke diri lu juga kalau gitu.”

“Gue?” bingung yang lebih tua.

“Anak-anak kelihatan lebih nyaman sama lu karena lu emang baik sama anak kecil, jadi lu di sini beneran kayak sosok yayah untuk mereka.”

Isagi mengerjapkan matanya berkali-kali, “Masa?” entah itu pujian atau bukan tetapi Isagi tetap merasa senang dan bangga mendengarnya.

“Iya, sayang.”

“Oh, please. Jangan mulai lagi,” Isagi merotasikan bola matanya jengkel.

“Bercanda. Besok lu gak lupa kalau kita masuk sekolah, kan?”

Isagi mengangguk, “Iya, jadi lo mau Mikoto dan Minato tetep di sini aja sampai kita pulang atau gimana?”

“Gua antar pulang dulu sebelum gua berangkat ke sekolah.” lalu kemudian Rin teringat sesuatu, “Wait, kalau lu sekolah juga, Gakuto bakal sendirian. Papa dan mama lu masih di luar kota, kan?”

“Betul, tapi tenang aja,” Isagi terkekeh bangga, “kemarin gue udah mutusin untuk masukin Gakuto ke TK dekat rumah gue, dia masuk mulai hari ini supaya dia gak terlalu kesepian karena gue yang sibuk sekolah. Kebetulan guru TK itu juga sepupu gue, dia bakal jagain Gakuto sampai gue pulang.”

Penjelasan Isagi barusan membuat Rin terkesima diam-diam karena itu justru semakin membuktikan bahwa Isagi benar-benar menjadi sosok yayah yang serius dan bertanggung jawab kepada seorang anak yang identitas bahkan keberadaannya masih belum jelas.

“Gua yang bakal antar Gakuto ke TK juga kalau gitu.”

“Gak perlu, nanti pagi gue juga bakal masak sarapan buat kalian supaya lo gak perlu repot-repot lagi saat siap-siap di rumah dan jadi terlambat.”

Rin menyeringai samar, ia benar-benar akan kewalahan jika Isagi terus bersikap seperti ini, “Lu kayak beneran siap untuk jadi bagian keluarga Itoshi, Sa.” dan jalan terakhir untuk mengatasi hal itu adalah dengan kembali menggodanya.

“Diem, sebelum gue berubah pikiran jadi pengen gosongin sarapan khusus untuk lo.” ancam Isagi dengan tatapan bak kucing kecil yang sedang marah.

Ya, lebih baik respon galak Isagi yang seperti biasanya ini demi mempertahankan kewarasan Rin agar ia tetap menang dari perasaan aneh yang mulai mengusik dirinya.

“Kalau gitu selamat tidur, Yayah Yoichi.”

Rin sudah bersiap untuk kembali menangkis serangan tiba-tiba dari Isagi, sebelum akhirnya kalimat itu lebih dulu terdengar yang membuat ia seketika tersadar,

“Selamat tidur juga, Pa- Papa Rin!”

bahwa sejak pertama kali Rin berpikir untuk berusaha tetap menang dalam mempertahankan kewarasannya, di saat itu pula ia sudah tahu akan masa kekalahannya.

Tanpa sepatah kata lagi, Isagi akhirnya membalik badannya, diikuti Rin di detik kemudian hingga membuat keduanya tidur dengan posisi saling membelakangi.

Entah karena tidak lagi ingin saling berhadapan untuk melanjutkan obrolan, entah untuk menyembunyikan semburat merah yang muncul di kedua pipi masing-masing secara bersamaan.

Hah, nyatanya malam ini akan menjadi malam yang panjang bukan hanya karena mereka berada di bawah selimut yang sama saja—melainkan juga dengan perasaan asing nan menyenangkan yang ikut menyelimuti keduanya. []

© 2023, roketmu.

Setelah mendapat segala kabar buruk mulai dari para pemain di Bluelock sampai Ego sekalipun, sungguh membuat Isagi ingin marah kepada Rin saat ini juga.

Lemas karena tidak mau makan? Posisi kapten akan diganti karena performa buruk? Konyol! Yang benar saja?!

Isagi tidak bisa menerima hal tersebut karena ia sudah mendeklarasikan bahwa Rin adalah rivalnya! Ia mau bersaing dengan Rin si posisi nomor satu terhebat di Bluelock! Bukan Rin yang tiba-tiba melemah tanpa alasan tidak masuk akal seperti sekarang!

“Awas lo kalo ketemu gue langsung gue gampar-gampar biar sadar!”

Ya, niatnya begitu. Tetapi ketika ia membuka pintu kamar dan melihat sosok yang ia cari-cari ini sedang meringkuk di atas kasur dengan posisi membelakanginya, amarah Isagi langsung meredam secepat kilat.

“Rin?”

Mendengar namanya dipanggil, tubuh Rin bereaksi kecil tetapi dirinya sendiri tidak menyahut. Isagi terpaksa berjalan mendekat dan menghampiri Rin yang baginya kini terlihat seperti kucing besar yang sedang merajuk.

“Gue udah ambil nutrisinya, Rin.” ucap Isagi begitu ia duduk di tepi ranjang.

“Gak bilang gua?”

“Lo aja susah dihubungi dari kemarin, dan sebelum lo boleh ambil nutrisinya, gue mau lo makan dulu supaya-”

“Gak, gua udah kenyang.”

Penolakan Rin membuat Isagi kesal, “Lo nih apa, sih? Badan lo aja lemes banget kata pemain lain gara-gara lo cuma mau minum susu!”

“Ya, karena gua kenyang.”

BATU BANGET! batin Isagi kesal.

Amarah Isagi mulai bangkit lagi, tapi untuk menghadapi orang seperti Rin ia harus menjadi lebih tenang, apalagi umur Isagi lebih tua sedikit dari Rin. Ya, Isagi harus menyikapinya lebih dewasa.

Isagi kini makin mendekatkan dirinya kepada Rin, “Tapi, Rin, kata Pak Ego pun performa lo semakin buruk dalam dua hari ini, bisa bahaya kalau sampai setelah lo terima nutrisi, lo masih juga buruk, posisi kapten lo bisa terancam diganti, lo gak mau, kan?” bahkan nada suaranya ia lembutkan upaya meluluhkan yang lebih muda.

Entah berhasil atau tidak, tapi respon Rin yang langsung membalik tubuhnya membuat harapan kecil di hati Isagi muncul.

“Isagi bukannya gak mau Rin nenen lagi? Padahal Isagi tau Rin suka nenen.”

Terkejut, wajah Isagi sontak memerah mendengarnya. Apalagi kini Rin berbicara dengan menggunakan nama mereka, semakin membuat Isagi mengalah untuk ikut bersikap tambah lembut kepada si Itoshi bungsu ini.

“Ya- iya, sih, makanya gue pakai tampon sekarang, tapi lo harus tetep mau makan dulu, Rin,”

“Pakai tampon percuma, gak akan keluar semua, Rin udah cari tau juga soal itu.” ucapnya kali ini dengan wajah yang ikut murung.

Isagi terdiam selama beberapa saat untuk memeroses keadaan yang membuatnya tidak tahu harus berbuat apa.

Ia bertanya-tanya pada dirinya sendiri, apakah yang ada di depannya ini benar-benar seorang Itoshi Rin yang sangat ketus dan tidak sopan itu? Mengapa kini ia terlihat seperti anak kecil yang merajuk karena permintaannya tidak dituruti?

“Seenggaknya masuk nutrisi dulu, kalau nanti Rin jadi pemain yang terlemah gimana?” Sial, bahkan Isagi akhirnya ikut mengimbangi cara bicara Rin seperti saat ini.

Rin mengangkat bahunya pelan, “Mungkin Rin bakal dileminasi juga.”

Tapi begitu mendengar ucapan yang lebih tidak masuk akal, detik itu juga Isagi membelakakan matanya, apa ia tidak salah dengar? Seorang Itoshi Rin mampu mengucapkan kalimat seperti itu?!

Wah, ini sudah kelewatan.

“Rin! Rin gila?! Katanya Rin mau Isagi jadi orang terdekat yang bisa ngeliat Rin jadi nomor satu di dunia!” Isagi mengguncang pelan tubuh Rin yang masih juga meringkuk bodoh di kasur ini, “Bahkan Rin mau ngalahin abang Rin juga, kan? Masa gitu aja Rin nyerah!”

Rin menundukkan kepalanya, ia tetap menggeleng yang membuat Isagi kecewa, “Isagi aja, karena kalau Rin percuma. Untuk bisa jadi nomor satu aja Rin harus dapat nutrisi yang kurang itu dari perasan tampon,” ia juga mendengus pelan di sela ucapannya, “karena sebenernya Rin udah coba dengan latihan lebih sampai gak makan, kekuatan Rin tetap aja kurang kalau tanpa nutrisi, jadi mungkin udah saatnya Rin harus berhenti dan tereleminasi.”

Rin melirik sekali lagi pada Isagi sebelum akhirnya ia kembali membalik badannya untuk memunggungi Isagi dengan keadaan yang lebih menyedihkan.

Berhenti dan tereleminasi katanya?

Isagi tersenyum miring, kepalanya yang tadi ia tundukkan kini terangkat untuk mengucapkan kalimat final yang akan ia gunakan untuk membujuk Rin terakhir kalinya.

“Oke, kalo gitu Rin boleh ambil nutrisi ini tanpa tampon lagi.”

Karena Isagi sudah tidak mau pusing lagi untuk mengeluarkan 1001 cara membujuk Rin agar kembali seperti semula. Isagi langsung memakai cara ke-1002 ketika ia akan kembali menjadi pihak yang mengalah agar semua masalah bisa terselesaikan dengan cepat.

“Gak perlu. Isagi tau kalau Rin suka nenen, bahkan dari kecil sampai dikasih empeng, Rin gak mau maksa Isagi lagi.”

Tetapi Rin masih keras kepala dan membuat Isagi tidak segan-segan untuk menarik tubuh Rin agar kembali berhadapan dengannya. Bisa ia lihat wajah si bungsu itu tersentak begitu melihat Isagi terlihat tidak main-main dengan ucapannya.

“Kalau Isagi bilang boleh, ya berarti boleh!”

Rin menggeleng, “Tapi nanti Isagi juga merasa bersalah di masa-”

“ARRRGHHH!!! GUE LEBIH MERASA BERSALAH KALO LO MALAH TERELEMINASI, ANJINGGG!!! BAHKAN GUE GAK SUKA BANGET KALO GUE MENANG DARI LO, RIVAL GUE, TAPI KARENA LO GAK MINUM NUTRISI PADAHAL KEMAMPUAN LO TETAP AJA JAUH DI ATAS GUEEE!!!”

Isagi akhirnya berteriak karena sudah kehilangan kesabaran yang sejak awal ia tahan, membuat Rin ikut terkejut hingga ia diam tanpa mampu untuk mengucapkan satu patah katapun.

Isagi mengatur napasnya untuk kembali normal dengan wajah yang makin memerah, entah karena marah atau malu, sebab ucapan selanjutnya yang akan ia ucapkan akan terdengar lebih mengejutkan untuk dirinya dan juga Rin.

“Jadi sekarang buruan Rin ambil nutrisi Rin dan ne-” Isagi menggantung ucapannya hanya untuk menyingkap bajunya ke atas, memperlihatkan kembali kedua dadanya kepada Rin seperti yang biasa ia lakukan, “-nenen di Isagi lagi.”

Isagi mengucapkan kalimat itu sambil menyembunyikan wajahnya di balik baju yang ia angkat, karena apa yang ia lakukan sangat membuatnya malu, ia merasa saat ini seperti mangsa yang sedang menyerahkan diri kepada predator buas yang memang mengincarnya.

Karena benar saja, jika Isagi melihat raut wajah Rin saat ini, pemuda itu tengah menyeringai tipis dengan wajah berseri seperti energi kehidupannya kembali lagi.

Tanpa berucap sepatah kata lagi, tangan besar Rin langsung membawa tubuh Isagi yang lebih kecil untuk ia baringkan di kasur bersama dengannya. Perlahan tetapi pasti, satu tangan Rin digerakkan untuk melepas plester yang menutupi kedua puting memerah Isagi.

Shh...

Rasa sakit dan nyeri yang kembali terasa membuat Isagi tanpa sadar meringis kesakitan. Rin yang mendengar hal tersebut tanpa segan langsung memberi kecupan-kecupan lembut pada area sekitar dada upaya membantu meredakan.

“Rin mulai lagi ya, Sa?”

Bahkan nada ucapan Rin tak kalah lembut dari perlakuannya saat ini membuat Isagi terbuai, “Ya, Rin.” dan tanpa pikir panjang ia pun ikut mempersilakan.

Isagi memejamkan matanya begitu mulut basah dan panas Rin kembali melahap satu putingnya. Bahkan tak terasa tubuh Isagi sudah dibuat menyamping untuk mempermudah Rin yang ingin memeluknya selagi sang Itoshi bungsu itu mengisap nutrisi miliknya.

Tangan Isagi pun tak tinggal diam untuk ikut menyamankan posisi dengan memeluk kepala Rin sambil mengusap-usap helai rambut kehijauannya.

Suasana kembali hening, dan di sela-sela Rin asik menikmati aktivitasnya, Isagi mendengus tipis. Kini ia tahu jawaban dari pertanyaan yang sejak dua hari lalu selalu mengusik kepalanya.

Dasar manja. Gak makan lah, takut kurang kalau pakai tampon, bilang aja lo cuma mau nenen!

Tetapi entah mengapa Isagi tidak terlalu masalah lagi untuk hal tersebut. Karena hari ini ia benar-benar dibuat tidak menyangka karena ia bisa melihat sisi Rin yang seperti ini. Sisi baru yang sepertinya hanya Isagi yang tahu dan ia merasa spesial untuk itu.

Lagi pula kalau boleh jujur, jika menunggu dengan tampon prosesnya memang akan lebih lama, rasa sakit justru akan cepat hilang berkat isapan Rin. Jadi sepertinya yang mau bukan hanya Rin, melainkan Isagi sendiri sukarela untuk memberikan nutrisinya dengan cara seperti ini kepada Rin.

“Isagi,” panggil Rin yang tiba-tiba melepaskan isapannya sambil mendangak untuk menatap Isagi langsung.

Hm? Udah, Rin?” Isagi juga ikut menunduk dan membuat kedua mata mereka kembali bertemu.

Tetapi Rin menggeleng, membuat Isagi bingung sampai akhirnya Rin kembali mengeluarkan suaranya.

“Kalau lo emang gak mau bersalah dengan pacar gua di masa depan, gimana kalau lo aja yang ambil peran itu dari sekarang?”

“Hah?” Isagi mengerjapkan kelopak matanya berkali-kali karena tidak mengerti.

“Iya, kalau lo juga mau jadi orang terdekat yang menyaksikan gua jadi nomor satu di dunia, mungkin bisa dengan jadi pacar gua dulu?”

Begitu mengerti, Isagi lantas tersentak dan langsung melepaskan pelukannya pada kepala Rin, “Heh! Gue yang justru bakal jadi nomor satu di dunia!”

“Yakin?”

Rin mendengus meremehkan yang kini membuat Isagi kembali sadar bahwa Rin yang menyebalkan dan tidak sopan sudah kembali seperti semula.

“Ish! Lagian lo kali yang sebenernya mau jadi pacar gue, kan?”

Sialan, wajah Isagi makin memanas karena malu. Padahal Rin yang menggemaskan dan lucu tadi sudah mampu meluluhkan hatinya! Dasar perusak suasana!

Rin terlihat berpikir sejenak sebelum menjawab, “Jadi pacar lo? Gak masalah.” Kemudian ia kembali menarik tubuh Isagi untuk mengeratkan pelukan mereka.

“DIBILANG LO YANG JUSTRU MASALAHNYA-MMPPHH!”

Isagi dengan sigap menutup mulutnya untuk menahan suara aneh yang akan keluar ketika Rin kembali memulai aksinya. Sementara Rin di bawah sana tengah asyik mengisap dengan senyuman tipis yang tentu saja tidak bisa dilihat oleh Isagi lagi.

Wajah bahkan seluruh tubuh Isagi rasanya seperti terbakar ketika memikirkan kembali ucapan Rin barusan. Bukankah laki-laki itu baru saja mengajaknya untuk berpacaran? Apa itu artinya Rin menyukai Isagi? Tetapi bukannya mereka berdua ini laki-laki? Mereka juga rival, kan? Sial!

Ah, ada begitu banyak lagi pertanyaan yang harus Isagi cari tahu jawabannya setelah ini. Tetapi yang paling terpenting adalah Rin harus lebih dulu selesai mengisap habis nutrisi miliknya ini—nutrisi yang juga menjadi alasan atas terjadinya semua hal aneh kepada mereka berdua sampai detik ini! []

© 2023, roketmu.

Sudah jelas Isagi berbohong dan sampai kapan pun ia tidak akan memberitahu siapa pun tentang kebenaran akan hal itu. Kebenaran di balik plester pada dua putingnya.

Karena semua itu terjadi pada beberapa hari yang lalu, di malam ketika pemberian nutrisi sudah memasuki yang ke dua Minggu.


“Gua mau nutrisinya sekarang.”

Isagi yang sedang merebahkan diri di atas ranjang lantas terkejut dengan kehadiran Rin secara tiba-tiba di sampingnya. Posisi kamar mereka memang gelap karena pemberian nutrisi dilakukan sebelum waktu mereka beristirahat.

“Lo ngagetin gue! Kan lo bisa ngechat dulu, kalo ada yang lihat gimana?”

Isagi sedikit bersyukur karena teman sekamar mereka yang lain masih berkeliaran di luar dan hanya ada dia dan laki-laki tinggi ini saja.

Mendengar protes Isagi, Rin tetap diam, Isagi tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas karena minimnya cahaya, tapi Isagi bisa tahu bahwa laki-laki itu sedang memasang wajah kesal tak ingin dibantah.

Isagi mendecih sebal, “Iya, iya, gue ke toilet duluan, lo bisa nyusul-”

“Gua maunya di sini.”

Hah?”

Lalu tanpa bisa Isagi cegah, Rin langsung masuk begitu saja dan ikut merebahkan diri di bawah satu selimut yang sama dengan dirinya.

“Rin! Lo gila?!” Isagi menahan napasnya akibat jarak mereka yang sangat dekat.

Lagi-lagi Rin tidak menghiraukan protes Isagi, tangannya tak tinggal diam untuk bergerak mengangkat baju Isagi hingga kembali memperlihatkan dadanya yang masih merah membengkak itu.

“Rin! Ini di kamar! Nanti kalo yang lain mau masuk gimana, gila?” Isagi menatap khawatir ke arah pintu dan Rin bergantian.

“Gak peduli.”

“Rin! Ahk!”

Laki-laki bongsor itu benar-benar tak mendengarkan, ia tetap mengisap puting Isagi kembali seperti yang biasa ia lakukan akhir-akhir ini.

Tetapi entah kenapa Isagi bisa merasakan adanya perbedaan dari biasanya.

Isapan Rin kali ini lebih tergesa-gesa, bahkan lidahnya tidak tinggal diam untuk ikut membuat dada Isagi semakin panas seakan Rin tengah melampiaskan seluruh emosinya.

Apa Rin sedang marah?

Ngh-Rin? Lo lagi marah? Gue ada salah sama lo atau gimana?”

Rin tidak menjawab dan terus mengisap puting Isagi selagi yang lebih tua berpikir keras soal kesalahannya, dan ia pun kembali memutar ulang kegiatan yang mereka lakukan hari ini.

Ketika memulai latihan bersama para pemain tadi, sepertinya kelakuan Rin masih normal. Mereka makan di kantin pun sepertinya biasa saja walau duduk mereka memang selalu berjauhan. Saat mandi bersama pun Rin tidak ikut karena Isagi tahu meski diajak pun ia tidak akan mau.

Lalu ketika mereka tak sengaja mengganti pakaian di ruangan yang sama, di sana tidak hanya ada dirinya dan Rin melainkan pemain lainnya. Isagi banyak berbicara dengan yang lain terutama dengan Bachira, dan ketika Isagi mencuri-curi pandang ke arah Rin... ternyata laki-laki itu sempat ikut memperhatikan mereka berdua dari jauh dengan raut wajah yang tidak enak dilihat.

Isagi akhirnya menemukan kesimpulan asalnya.

“Oh! Lo lagi ada masalah sama Bachira, ya?”

Mendengar itu tubuh Rin tersentak, tetapi setelahnya justru ia makin memperkuat isapan pada puting Isagi yang membuat sang empu kesakitan hingga tak sengaja memukul kepala Rin cukup kencang.

PLETAK!

Tch, kenapa lo mukul gua?!”

“LO YANG TERLALU KUAT NGISEPNYA!”

Rin mendecih kesal kesekian kali, mulutnya kembali terbuka untuk siap mengisap puting Isagi lagi, tetapi lelaki mungil itu lebih dulu membekap mulutnya dengan satu tangan.

“Lo gak boleh ambil nutrisinya kalo lo masih dalam keadaan marah gini!” Isagi juga menekuk wajahnya marah, “Kenapa? Apa yang bikin lo marah?”

Melihat Isagi yang sepertinya kali ini tidak mau mengalah membuat Rin tidak punya pilihan lain. Ia pun mendengus kesal dan segera bangkit untuk duduk, memunculkan tanda tanya semakin besar di kepala Isagi.

“Tadi tete lo dilihatin Bachira.” ucapnya pelan, hampir tidak terdengar.

“Terus?”

“Ya, tete lo dilihatin! Gua gak suka,”

Isagi mengerjapkan matanya beberapa saat untuk mencerna alasan Rin mengapa ia marah, dan setelah dipikir-pikir Isagi sama sekali tidak menemukan satu pun titik masuk akalnya dalam alasan lelaki tersebut.

Isagi tersenyum kaku, “Oke? Gue gak ngerti tapi kayaknya lo ngantuk,”

“Gua gak ngantuk, sialan.” umpat Rin.

“Ya, abisnya lo gak jelas? Masa tete gue dilihatin orang doang kok lo gak suka? Emangnya-”

Ucapan Isagi sengaja dihentikan akibat suara pintu kamar yang tiba-tiba terbuka. Isagi seketika menahan napasnya, tanpa pikir panjang bukannya mengusir Rin untuk pindah dari ranjang, Isagi justru kembali menarik Rin untuk tidur di sampingnya, lebih tepatnya untuk ia sembunyikan di bawah selimutnya.

“Lho, Isagi lo udah ada di kamar dari tadi ternyata?”

Dari suaranya Isagi sudah tahu itu Bachira dan ia datang hanya seorang diri, Isagi bisa tenang sesaat.

Ah! Iya, Ra, gue abis nerima nutrisi jadi-JANGAN DINYALAIN LAMPUNYA!”

Bachira yang sudah siap menekan saklar lantas terkejut oleh teriakan tersebut, sementara detak jantung Isagi rasanya bertambah cepat di setiap detiknya.

“Oke?”

Akibat terlalu tegang, Isagi sampai tidak sadar bahwa napasnya jadi tidak beraturan dan menyebabkan dadanya naik-turun di depan wajah Rin—yang masih juga ia sembunyikan di bawah selimutnya.

“Lo udah mau tidur juga, Bachira?” basa-basi Isagi.

“Belum, sih. Oh, gue sebenernya mau cerita sesuatu sama lo!”

“Oh? Cerita- diem!”

“Diem?” Bachira menaikkan satu alisnya.

Bukan. Itu bukan untuk Bachira.

Kini Isagi tengah berusaha menghentikan tangan Rin yang tadi baru saja berusaha untuk kembali menaikkan bajunya ke atas, walau itu semua percuma karena tenaga si bongsor ini jauh lebih besar dari dirinya.

Setan, gue harus kabur dari sini!

Isagi tertawa canggung, “Maksud gue diem dulu! Ya! Diem dulu, kayaknya ceritanya jangan di sini? Kita keluar aja gimana?”

“Ohh, ayo aja gue mah, di ruang monitor gimana?”

“B-boleh! Ayo!”

Begitu Isagi ingin bangun, sepasang tangan kekar langsung mengelilingi pinggang rampingnya di bawah sana. Siapa lagi kalau bukan Itoshi Rin pelakunya? Ia seolah-olah berkata bahwa Isagi tidak akan bisa pergi ke mana-mana dan harus tetap bersamanya.

Bachira kembali menatap heran pada Isagi yang justru diam seperti batu, “Kenapa, Sa?”

Hehe, tiba-tiba gue mager kalo keluar sekarang, besok aja deh sekalian sama ceritanya,”

“Yah, tapi gue takut lupa kalo besok, dan gak bakal seru kalo gak diceritain sekarang,” Isagi tahu dari nada suaranya pasti Bachira kini tengah mengerucutkan bibirnya, merajuk.

Isagi sedang berada di pilihan yang sulit saat ini. Ia tidak bisa menuruti Bachira karena Rin sudah mengunci dirinya di bawah sana, tetapi jika ia tidak menuruti Bachira, kemungkinan anak itu pasti akan menarik tubuhnya keluar dan dengan cepat Rin akan ketahuan.

Sial, mengapa nasib buruk selalu berpihak padanya akhir-akhir ini?!

“Yaudah, yaudah, lo cerita di sini aja.” final Isagi yang langsung membuat wajah Bachira kembali berseri saat itu juga.

“Oke, oke, jadi tadi ceritanya gue abis sengaja gangguin Barou yang lagi makan sendirian...”

Saat Bachira memulai ceritanya, di saat itu juga Rin memulai kembali aksinya. Dengan baju Isagi yang sudah terangkat sejak tadi membuat Rin dengan mudah langsung mengisap putingnya.

Isagi mengutuk Rin dengan segala apa yang ia lakukan padanya saat ini. Tetapi ia tidak boleh kalah, Rin sedang berusaha mengacaukannya dan Isagi akan berusaha untuk tetap fokus pada apa yang di depannya.

“Kenapa lo gangguin? Te-terus dia marah?”

Bachira tersenyum menyebalkan, “Marah lah, dia kan orangnya suka banget kebersihan, jadi gue iseng aja nyeletuk ‘ternyata kutang lu ga bau keteknya kuproy’ eh dia langsung narik kerah baju gue anjrit, HAHAHA!”

“Anjir, lo jangan gitu lah, Barou emang super bersih parah, jadi gak-nghh!”

Isagi mengatup bibirnya tiba-tiba karena di bawah sana, Rin kali ini tidak hanya mengisap putingnya melainkan menggigit-gigitnya pelan.

LO NGAPAIN, GILAAAA?!!!

“Kenapa, Sa?” panik Bachira.

“Gapapa, kayak ada yang gigit,”

Bachira memicingkan matanya curiga, tapi ia tetap melanjutkan ceritanya, “Abis itu gue lari dan dia ngejar gue, minta tolonglah gue sama-”

AHK!

“Sa! Lo kenapa lagi, anjrit?”

Bachira semakin heran, tetapi Isagi kembali bertingkah seolah tidak apa-apa—padahal sebenarnya Rin baru saja kembali mengisap kuat putingnya. Isagi berjanji akan membalas perbuatan si Itoshi bungsu itu sebentar lagi!

“Gapapa, gapapa, udah lanjutin aja,”

“Ya gitu deh, terus pas Barou ngejar gue, langsung lah gue ngumpet di balik Chigiri dan gak sengaja si Barou malah ngejambak rambutnya si merah, HAHAHA! Jadinya mereka yang malah asyik berantem sementara gue lari masuk ke sini!”

Harusnya Isagi tertawa, tetapi kondisinya saat ini sangat tidak memungkinkan untuk menertawakan penderitaan seseorang di saat ia sendiri juga sedang menderita!

“Lo gak boleh gitu, Ra! Mending lo pisahin mereka sekarang, sayang nutrisinya masa dipake buat berantem gajelas,”

Bachira manyun tidak setuju, “Yang ada malah gue yang diamuk, eh? Itu kayaknya mereka mau ke sini! Gue kabur lagi, deh! Lo jangan kasih tau gue kalo gue ngumpet di ruang monitor ya, Sa!”

Isagi bisa merasa sedikit tenang begitu Bachira mengatakan bahwa ia ingin pergi dari sini. Dengan cepat ia mengangguk setuju.

“Iya, yaudah lo pergi sana, nanti gue bilang lo ada di kantin!”

Bachira mengangguk, “Oke! Lo lanjutin juga istirahatnya, gue kabur dulu! Bye!”

Isagi tersenyum menanti kepergian teman pertamanya itu. Tetapi sebelum Bachira membalik badannya, ia sempat menoleh dan memperhatikan proporsi tubuh Isagi yang sepertinya terlihat berbeda dalam balutan selimut.

“Kenapa, Ra?”

Bachira mengangkat bahunya cuek, “Gatau karena gelap apa gimana, tapi kaki lo kok jadi kayak panjang banget?”

“Ha...?”

Haha, mungkin bayangan aja, gue cabut beneran!”

Setelah itu Bachira benar-benar keluar dengan pintu yang kembali tertutup rapat, meninggalkan Isagi yang masih membeku takut akibat ucapan laki-laki berambut bob itu barusan.

Apakah Bachira mencurigai ada yang aneh pada dirinya sejak tadi? Apakah Bachira sudah tahu tetapi ia tetap berlagak tidak peduli? Apakah Bachira sadar bahwa ada yang bersembunyi di bawah selimutnya? DAN APAKAH Bachira sadar bahwa Rin dari tadi sedang bersamanya?

“Si rambut bob itu gak bakal tahu,” ucap Rin tiba-tiba seakan tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Isagi.

Isagi sendiri yang sempat termenung selama beberapa saat langsung dibuat sadar ketika melihat Rin, satu jitakan cukup kencang pun kembali ia berikan pada anak nakal itu.

PLETAK!

“Lo cari mati sama-”

“Lo yang cari mata sama gue!” Isagi mendengus kesal dengan wajah memerah, “Dasar tolol!”

Rin tersentak mendengar makian pertama kali dari yang lebih tua, Isagi sendiri sudah sangat kesal karena dari tadi ia berusaha mati-matian untuk menyembunyikannya tapi anak bongsor ini sendiri berusaha membuat mereka ketahuan.

“Kalo udah tahu lagi di kondisi kayak gitu harusnya lo diem aja! Bukan malah berulah yang mancing kita buat ketahuan! Emangnya lo mau tanggung jawab? Emangnya lo juga gak bakal malu?”

Isagi tersenyum meremehkan, “Main bola aja lo fokusin selalu jadi nomor satu, tapi sisanya malah nol! Bego! Itoshi Rin bego!”

Kemudian suasana menjadi hening sesaat setelah Isagi mengomelinya habis-habisan. Yang lebih tua berharap Rin segera sadar akan kesalahannya, walau sepertinya percuma karena justru omelan barusan malah mengundang hal yang sebaliknya.

“Tolol? Bego?”

Suara Rin tiba-tiba menjadi lebih rendah, Isagi yang tadinya sangat tersulut emosi seketika ikut meredam karena aura yang dikeluarkan lelaki di depannya saat ini lebih mengerikan dari apa pun.

Waduh, sepertinya Isagi benar-benar menggali lubang untuk kuburannya sendiri.

“R-Rin, maaf tadi gue-UWAHH!”

Belum sempat ucapannya selesai, Isagi sudah kembali berbaring tetapi kali ini dengan Rin yang sudah mengukungnya dari atas.

“Pembicaraan kita di awal belum selesai,”

Haha, yang mana, ya? Lo yang mau nutrisi? O-oke silakan diambil, b-belum selesai, kah?” wajah Rin yang begitu dekat dengannya membuat Isagi mau tak mau memalingkan wajah ke samping untuk menghindari pandangan menusuk si Itoshi bungsu.

“Tentang gua yang gak suka, kalo tete lo dilihatin orang lain.”

Rin kini mengangkat kembali baju yang dikenakan Isagi untuk memperlihatkan dua buah dada yang akhir-akhir ini menjadi santapan hariannya.

“K-kenapa lo gak suka? Ini kan-”

“Karena ini punya gua.”

Kemudian Rin kembali mengisap puting Isagi yang masih merah merekah, membuat sang empu dengan reflek menjambak rambut yang lebih muda sambil menahan erangannya.

“Di dalamnya ada nutrisi punya gua, yang satu pun orang gak akan bisa untuk ikut ambil,”

“Tapi-Ahk!”

Isagi memejamkan matanya begitu merasakan nyeri bercampur nikmat aneh pada dadanya yang kini baru saja digigit dengan sengaja oleh seorang Itoshi Rin. Gigitan yang Isagi tahu akan membekas jelas.

“Rin! Stop-mmhh!”

Ucapan Isagi seolah memintanya untuk berhenti, tetapi tangan yang ikut menjambat rambut Rin dan menarik kepalanya untuk memperkuat isapan justru mengatakan sebaliknya.

Oleh karenanya, Rin tidak berhenti di situ saja. Dengan lebih semangat, area sekitar dada Isagi juga ikut ia isap kuat hingga meninggalkan banyak bercak merah keunguan yang pasti juga akan lama hilangnya.

Stop, idiot...”

Rin mendengus pelan ketika bertemu mata Isagi yang menatapnya sendu dengan gairah tertahan, “Dengan ini lo jadi bisa inget kalo ini semua punya gua,” dan satu kecupan lembut terakhir ia berikan pada dada si manis sebelum menyelesaikan ucapannya, “punya Itoshi Rin.”

Setelah mengatakan itu Rin bangkit perlahan, senyum bangga terlihat tipis di wajahnya begitu melihat Isagi yang tidak berdaya dengan tubuh setengah terbuka penuh tanda, menampilkan mahakarya paling indah dengan dia sendiri sebagai pembuatnya.

Rin pun keluar dari kamar, meninggalkan Isagi dengan wajah paling merah sedunia dikarenakan perbuatannya yang amat kurang ajar, walau Isagi akui ia pun tidak dapat berkutik dan tidak sanggup melawannya.

Kini Isagi hanya bisa pasrah begitu ia bercermin dan melihat banyaknya bercak merah dan gigitan di sekitar puting dadanya, yang juga masih basah dengan saliva milik Rin yang menghiasinya.

“Itoshi goblok Rin... gimana cara gue nyembunyiin cupangan lo yang sebanyak ini? Tolol!!!!”


Jadi... seperti itu alasannya. Sudah jelas bukan mengapa Isagi memilih untuk berbohong?

Karena kebenaran di balik plester yang Isagi kenakan—adalah ulah dari Itoshi Rin yang sudah memberinya tanda kepemilikan. []

© 2023, roketmu.

Jantung Isagi berdetak lebih kencang dari biasanya seiring ia berjalan masuk ke toilet. Walau memang sudah sepi dan sepertinya mereka tidak akan ketahuan, tetapi tetap saja justru yang paling membuat Isagi gugup adalah tentang apa yang akan ia lakukan bersama Rin malam ini.

Isagi menahan napas begitu melihat Rin sudah berdiri di depan pintu salah satu bilik toilet, menunggunya.

“Kenapa masih diem aja? Masuk.”

Menurut meski langkahnya kaku seperti robot, tiba-tiba saja Isagi sudah berada di dalam satu bilik dengan Rin yang juga langsung menguncinya.

Ya ampun, Isagi seperti ingin dibunuh.

“R-rin? Lo yakin beneran gak perlu tampon? Kaya-”

“Kita udah setuju untuk mempercepat proses ini, gua gak mau buang waktu lagi.” potong Rin cepat.

Ah, Isagi sepertinya tidak akan menang melawan pemuda yang sangat galak dan egois ini. Bagaimana bisa ia sangat amat tidak sopan padahal dia lebih muda darinya?!

Herannya juga Isagi malah takut dan tetap menurut, jadi sepertinya memang Isagi saja yang pertahanannya lebih lemah ketimbang si Itoshi bongsor ini.

“Oke, terserah lo. Tapi lo jangan nyesel karena a-apa yang kita lakuin ini gak masuk akal banget!”

Rin mendengus, “Gak peduli. Sekarang buka baju lo.”

HA?!

Wajah Isagi langsung memerah bahkan tangannya reflek menyilang di depan dada, melindungi diri seakan Rin adalah predator yang ingin menerkamnya saat itu juga.

“Lo gila?!”

Mengabaikan bentakan Isagi, Rin justru menghimpit yang lebih pendek ke tembok bilik sambil berusaha untuk membuat kedua tangannya turun.

“Gua mau ambil nutrisi lo, gak usah mikir aneh-aneh.” tangan Rin yang satu lagi pun menarik ke atas baju bagian bawah Isagi yang langsung memperlihatkan perut kencangnya, “kalo lo gak mau buka baju, lo bisa tahan ini ke atas atau lo gigit biar gak lepas.”

Rin berkata seolah-olah hal tersebut hanyalah hal kecil yang tidak perlu dipikirkan, sementara kepala Isagi rasanya ingin pecah karena terlalu malu untuk memikirkan apa yang terjadi selanjutnya.

Ahk!”

Tapi jika ia terus menahan nutrisi Rin terlalu lama di tubuhnya juga tidak baik, otot-ototnya akan bermasalah dan kemungkinan yang lebih buruk dapat menyebabkan ia tereleminasi.

Isagi lebih tidak ingin hal itu terjadi!

“Lo masih sakit?” tanya Rin.

“Dari tadi juga sakit,”

“Kalo gitu gua bisa tunggu sampai-”

“Lakuin sekarang, Rin.” potong Isagi lebih dulu dengan tangan yang gemetar mengangkat baju hingga memperlihatkan perut bahkan dadanya yang masih basah kepada pemuda itu, “karena s-semakin lama semakin sakit, dan itu akan buang-buang waktu lo juga, kan?”

Rin pun mau tak mau menyetujui, “Oke?”

Ketika Rin membungkuk untuk mensejajarkan wajahnya dengan dada Isagi, tanpa sadar dada Isagi membusung karena menahan napas akibat gugup, membuat Rin tersenyum miring yang tentunya tidak bisa Isagi lihat saat itu.

“Beneran basah,” ucap Rin yang masih memperhatikan kedua puting Isagi, “dan pink. Heh, lo cowok, kan?”

“Ya, gue cowok lah! Terus nga-ngapain malah lo liatin lagian?!”

Wajah Isagi kian memerah karena dari tadi Rin hanya diam untuk sekadar memandangi dua buah dadanya. Isagi sendiri juga aneh, melihat Rin yang seperti itu justru membangkitkan sesuatu perasaan yang ia pun tidak mengerti.

“Gua cuma mau mastiin,” ucap Rin menggantung.

“Mastiin ap-mmphh!”

Isagi reflek menutup seluruh wajah dengan kedua tangan begitu merasakan area panas dan semakin basah di dada terutama putingnya—yang disebabkan oleh isapan seorang Itoshi Rin upaya mengambil kembali nutrisi miliknya.

Perasaan malu dan sensasi geli bersatu ketika Isagi sendiri merasakan adanya sesuatu yang diserap keluar dalam tubuhnya, ternyata Rin benar-benar bisa meminum nutrisi dari dalam tubuh ini lewat kedua putingnya!

Rin tiba-tiba menyudahi isapannya untuk sesaat lalu mendongakkan kepala ke atas hanya untuk menatap remeh ke arah Isagi yang juga menatapnya.

“Mastiin kalo lewat tete rata lo ini beneran ada nutrisi gua.” jawabnya atas ucapan menggantung tadi.

SIALANNN!!!!

Isagi tidak tahu ia harus bereaksi apa atas fakta tersebut, tetapi ia dibuat heran oleh Rin yang justru kembali berdiri tegak. Apakah mereka selesai secepat itu?

“Gua capek bungkuk terus, lo terlalu pendek.”

Isagi lantas mendengus kesal, “Ya, maaf kalo gue pendek?! Salah sendiri lo juga ketinggian!”

Rin tidak menanggapi ucapan Isagi dan ia justru langsung duduk begitu saja di atas kloset yang tertutup. Belum sempat Isagi kembali mengomel, tangannya sudah ditarik oleh Rin hingga menyebabkan dirinya jatuh duduk beralaskan paha pemuda itu di bawahnya.

“R-Rin?!”

“Posisi ini lebih enak.”

Tanpa menunggu reaksi Isagi lagi, Rin sudah kembali melahap dada kanan Isagi dan juga mengulum putingnya. Mau tak mau Isagi kembali menutup mulut lagi, tapi kali ini dengan menggigit ujung baju seperti yang disarankan Rin karena kedua tangannya secara tanpa sadar sibuk memeluk kepala sang striker nomor satu itu.

Rin sendiri terlihat tidak masalah dengan hal itu. Ia sendiri pun selagi mengisap kedua puting Isagi bergantian, tangannya sudah ikut melingkar nyaman pada pinggul pemuda di pangkuannya ini.

Kepala Isagi sungguh pusing, mulut panas Rin benar-benar menguasai area dadanya, bahkan Isagi sampai tidak tahu sebenarnya Rin hanya mengisap putingnya atau ikut melumat buah dadanya.

Apakah Rin tidak sadar bahwa Isagi laki-laki? Hanya kebetulan saja ada nutrisi di tubuhnya yang menyebabkan kondisi aneh seperti ini, tidakkah Rin merasa enggan atau jijik dengan mengulum puting seorang laki-laki lain seperti ini?

Akhirnya di sela-sela kegiatan mereka ini Isagi memberanikan diri untuk menundukkan kepala, berniat untuk melihat Rin. Tetapi mata Isagi langsung membelalak begitu melihat pemandangan di depannya sangat berbeda dengan apa yang ia bayangkan.

Rin yang ia pikir sedang berwajah marah justru dari tadi tengah asyik mengisap dan meminum nutrisi dari kedua putingnya dengan mata yang terpejam—menikmati aktivitasnya dengan tenang.

Saat itu juga sensasi aneh kembali muncul dalam diri Isagi yang entah kenapa melihat Rin sebegitu menikmatinya membuat ia... senang.

Tunggu, senang?! Apa Isagi sudah gila?!

Jelas-jelas ia berada dalam posisi paling tidak menguntungkan yaitu seperti sedang menyusui bayi besar yang padahal dia adalah rival terhebatnya. Lebih parahnya lagi dia bukan sedang meminum susu! Melainkan nutrisi untuk membuatnya tubuhnya semakin kuat!

Bagaimana bisa Isagi merasa senang dalam kondisi seperti ini? Isagi rasa ia benar-benar kelelahan dan membuat dirinya jadi tidak bisa berpikir jernih.

“R-Rin? Masih banyak?” bisik Isagi parau.

Mmhh?” Rin pun melepaskan isapannya tiba-tiba hingga menghasilkan bunyi ‘pop!’ yang makin membuat Isagi malu, “Gatau, lo sendiri masih ngerasa sakit, kan?”

Isagi mengangguk, “Ya-yaudah gue cuma nanya,”

“Atau lo mau lebih cepet lagi?”

“Maksudnya? AHH~

Isagi yang belum sempat memeroses keadaan pun dibuat langsung mengeluarkan suara aneh begitu saja akibat isapan Rin yang menguat secara tiba-tiba.

Ahhn– Rin! Pelan-pe-nggh!

Rin tidak mendengarkan sama sekali dan Isagi hanya mampu kembali menggigit ujung bajunya, mengalah. Rasa sakit mulai berkurang digantikan oleh sensasi menggelikan yang tanpa Isagi sadari jari-jari kakinya ikut menegang.

Benar adanya bahwa isapan kuat Rin memang mempercepat proses penerimaan nutrisi, karena dalam beberapa saat kemudian Isagi tidak merasakan rasa sakit sama sekali di dadanya. Ya, bisa dikatakan bahwa nutrisi tersebut sudah diisap habis oleh sang pemilik asli.

Heh, ternyata si Mata empat bukan sembarang omong, gua merasa stamina gua seperti terisi penuh.” ucap Rin begitu ia selesai.

Menyadari bahwa tidak ada reaksi dari Isagi, akhirnya Rin kembali mendongak ke atas dan mendapati wajah Isagi masih semerah tomat dengan napas terengah-engah.

“Kenapa? Gua gak ikut ngambil nutrisi lo juga, kan?” tanya Rin dengan alis terangkat satu.

Isagi menggeleng cepat, “Ngga, ngga sama sekali.”

Kemudian Isagi buru-buru bangkit dari atas tubuh Rin sebelum pemuda itu berkomentar lebih jauh. Rin hanya mengangkat bahunya cuek, dengan berani ia ikut bangkit untuk langsung membuka kunci dan pintu bilik toilet mereka.

Isagi menepi di belakang pintu sementara Rin mengedarkan pandangannya untuk memeriksa keadaan di luar bilik.

“Gak ada siapa pun,” kemudian Rin menoleh pada Isagi yang sama sekali tidak berani menatapnya sejak selesai tadi, “kalo gitu gua keluar sekarang, lo belakangan.”

“O-oke.”

Rin dengan santai melangkah keluar dengan suasana hati yang jauh terlihat lebih baik ketimbang saat tadi sebelum mereka masuk ke bilik toilet.

Langkah kakinya yang mulai terdengar menjauh menandakan bahwa ia benar-benar sudah pergi dari sini dan Isagi bisa ikut keluar dengan tenang.

“Akhirnya selesai juga...”

Menghela napas lega, Isagi pun reflek mengelus dadanya dan dalam seketika ia sadar akan adanya perbedaan di sana.

Dengan cepat Isagi mengangkat bajunya hingga ke atas dan ia langsung bisa melihat kedua buah dadanya yang tadi masih rata kini sedikit lebih membengkak, dengan puting yang masih berdiri, semakin memerah, dan juga basah—yang semuanya disebabkan oleh seorang Itoshi Rin.

Tetapi wajah Isagi pun tak kalah merah, apa lagi ketika kilas balik kegiatan gila yang mereka lakukan di toilet malam ini sudah kembali berputar ulang di kepalanya.

Mulai dari Rin yang memandang ke dua buah dadanya, Rin yang memangkunya, mengisap putingnya, bahkan sampai wajah Rin... yang terlihat menikmati semuanya.

“Gue... GUE BENERAN ABIS NENENIN RINNN!!! AAAAAAA!!!” []

© 2023, roketmu.

Padahal Isagi hanya sedang bersiap untuk menerima nutrisi, tetapi entah mengapa ia bisa merasa setegang ini. Apa jangan-jangan Isagi takut untuk diinfus seperti yang Bachira katakan? Tapi tidak juga, ia tidak terlalu takut terhadap jarum suntik sejak kecil.

Apa karena ruangan yang digunakan untuk pemberian nutrisi ini dipenuhi alat-alat canggih yang ia tidak mengerti? Tapi sepertinya itu alasan yang tidak masuk akal juga karena Isagi sudah banyak melihat kecanggihan lainnya semenjak masuk di Blue Lock ini.

“Cepet selesain, Mata empat sialan. Jangan buang-buang waktu.”

Ah, atau mungkin orang inilah jawabannya.

Isagi melirik Rin yang selalu berwajah dingin seakan tidak memedulikan apa pun kecuali dirinya sendiri. Ya, Isagi yang datang dan dipasangkan bersamanyalah yang membuat Isagi merasa setegang ini.

Sudahnya tidak bisa diajak bicara, sekalinya berbicara juga selalu menghina. Isagi heran sekali dengan sifat anak yang penuh dendam satu ini. Untung dia memiliki wajah yang enak dilihat dan juga keahlian bermain sepak bola yang spektakuler. Kalau tidak pasti minimal satu orang akan berusaha untuk memukulinya sampai babak belur.

“Isagi Yoichi dan Itoshi Rin, ya? Kalian dua pemain terakhir yang menerima nutrisi untuk hari ini, silakan berbaring.” ucap Anri ramah, satu-satunya wanita yang pernah Isagi lihat di Blue Lock.

Tidak ingin berlama-lama merasakan hawa setegang ini, Isagi buru-buru melangkah untuk merebahkan diri di ranjang pasien yang telah disediakan. Dua ranjang yang tidak terlalu berjauhan dengan meja kecil sebagai pembatas yang juga digunakan untuk meletakkan peralatan seperti suntik, kapas, dan lainnya.

Isagi sudah tahu dari Bachira bahwa proses pemberian nutrisi mereka seperti ketika sedang diinfus, bedanya nutrisi tersebut bukan terdapat dalam kantung infus melainkan selang di tangannya hanya terhubung pada alat canggih seperti tabung oksigen besar yang hanya terdapat satu buah di sana.

Bisa Isagi lihat Ego dan Anri sedang mengotak-atik bagian monitor layar sentuh mereka, mungkin sedang mengatur untuk memberikan nutrisi sesuai dengan porsi kepada penerimanya.

“Kalian siap, ya?” tanya Anri.

Isagi dan Rin mengangguk, lalu dalam hitungan tiga detik pun sistem dijalankan dengan semestinya. Isagi juga tahu itu.

Ahh!”

Tetapi yang Isagi tidak tahu adalah rasa sakit ketika menerima nutrisi tersebut. Sakit seperti sesuatu cairan dipaksa masuk penuh ke dalam tubuhnya. Apakah memang proses sesungguhnya seperti ini?

“Gawat, Pak! Kayaknya ada yang salah!”

Tetapi Anri yang terlihat panik membuat Isagi ikut merasa cemas, apa lagi saat ia berusaha untuk kembali melakukan sesuatu yang tidak Isagi mengerti pada komputernya.

“Gimana bisa kayak begini, Anri? Kalo gitu coba dikembalikan seperti semula,” Ego yang biasanya terlihat malas menanggapi saja sampai ikut panik.

Isagi melirik Rin yang masih saja diam di posisinya seperti tadi, apa laki-laki itu tidak merasakan sakit sama sekali? Atau ia sedang menyembunyikannya?

“Gak bisa, Pak! Nutrisi yang harusnya diberikan ke Itoshi Rin udah masuk semua ke dalam tubuh Isagi Yoichi!”

Tunggu- apa tadi katanya?

“Kalo begitu coba masukkan nutrisi yang baru pada tubuh Itoshi Rin, minimal dia harus dapat juga.”

Anri terlihat kembali berusaha, tetapi sayang raut frustasi di wajahnya beserta jawaban yang ia berikan hanya bisa membuat Ego mendecih dan tidak dapat berkutik lagi.

“Gak bisa juga! Alat udah terprogram untuk memberikan jatah yang sesuai tiga kali dalam seminggu supaya gak munculin kecelakaan di masa depan!”

Ck. Masa depan yang dimaksud itu sekarang, tapi kecelakaan lain udah lebih dulu muncul!”

Isagi sungguh tidak mengerti dengan apa yang terjadi di sini. Nutrisi milik Rin masuk ke dalam tubuhnya? Tidak bisa dikembalikan? Kecelakaan? Apa maksudnya semua ini!?

“Pak Ego, Bu Anri, maksudnya gimana, ya? Kecelakaan? Nutrisi yang harusnya punya Rin itu masuk ke tubuh saya semua?”

Anri mengangguk dengan pandangan bersalah, “Benar, Isagi, ini murni kesalahan sistem.”

“Jadi saya kelebihan nutrisi, sementara Rin jadi gak bisa dapet sama sekali?”

Suara decihan di samping Isagi langsung terdengar yang berasal dari si pemilik nutrisi. Rin pun bangkit untuk duduk dan mencabut selang infusnya secara paksa.

“Gua gak peduli. Harusnya dari awal gua gak buang-buang waktu di sini dan lebih baik fokus untuk latihan.”

Pihak yang paling dirugikan di sini memang dirinya, wajar jika ia marah.

Rin ingin segera melangkah pergi tapi ucapan Ego lebih dulu menahannya, “Percuma, nutrisi yang saya kasih itu bukan alasan kesehatan belaka, ini demi stamina kalian, semua pemain sudah dapat dan kamu bakal jadi pemain terlemah tanpa nutrisi dari saya itu.”

“Ha!?”

Ego pun ikut melirik Isagi yang sudah dalam posisi duduk di ranjangnya, “Kelebihan nutrisi juga gak baik, Isagi Yoichi akan merasakan sakit terutama pada otot-otot tubuhnya.”

“Terus kita harus gimana, sialan?!”

Bentakan Rin membuat semuanya mendadak terdiam. Tidak ada yang mengetahui jawaban soal ini karena mereka sama sekali tidak terbayangkan akan terjadi kecelakaan yang seperti ini.

Namun, di saat mereka diselimuti suasana senyap penuh kefrustasian, saat itu juga Isagi merasakan sakit di daerah dadanya, terutama pada putingnya yang seperti ingin mengeluarkan sesuatu...

Ahh! Dada gue!”

Rintihan Isagi membuat mereka langsung memusatkan perhatian pada dirinya—hingga ketiga pasang mata itu membelalak bersamaan begitu melihat Isagi kini tengah memegang dadanya yang terlihat... basah?

“Isagi Yoichi! Kamu gapapa?”

Isagi menggeleng, “Gak tau! Rasanya sakit... dan kayak ada sesuatu yang terus keluar!”

Melihat itu Anri langsung kembali pada komputer dan monitornya, ia juga kembali melakukan sesuatu yang Isagi tidak mengerti, tapi wajahnya yang tiba-tiba sumringah membuat Isagi berharap adanya jawaban atas masalah ini.

“Ternyata nutrisi yang berlebihan itu dapat dikeluarkan lewat puting Isagi!”

SIAL! ITU BUKAN JAWABAN YANG IA HARAPKAN SAMA SEKALI!

“Hah?!”

“Jadi maksud kamu Itoshi Rin hanya bisa mengambil nutrisinya dari sana?” tanya Ego yang secepat kilat sudah mulai ikut tenang di saat Isagi masih terkejut bukan main.

“Benar, Pak! Nutrisi itu masih dalam takaran yang sempurna dan bisa diterima oleh tubuh Itoshi Rin! Sangat baik juga keluarnya di sana sehingga belum melewati proses pencernaan karena tubuh Isagi Yoichi tidak bisa mencerna bahkan mengolahnya menjadi stamina!”

Wajah Isagi mendadak pucat atas penjelasan panjang lebar Anri, “A-apa gak ada cara lain untuk mindahinnya? Mungkin kayak donor darah atau proses yang lain?”

“Untuk sekarang hanya itu satu-satunya cara terbaik.” final Anri.

Rin lagi-lagi mendecih kesal, ia sudah muak, “Konyol. Gua gak peduli, gak mungkin gua mau terima nutrisi dari tubuh orang lain!” ia benar-benar marah kali ini dan bersiap untuk menghajar siapa pun yang menghalanginya untuk keluar, “Buka pintunya! Kalian harus bayar kerugian yang udah gua alami dari waktu yang sia-sia ini!”

“Tunggu, Itoshi Rin!” cegah Ego yang langsung berdiri di depan pintu, “Nutrisi yang saya buat adalah yang terbaik untuk para pemain lemah di Blue Lock ini termasuk kamu! Isagi Yoichi juga akan dalam bahaya seperti yang saya katakan karena nutrisi tersebut harusnya hanya diterima oleh kamu!”

Anri mengangguk menyetujui, “Kami melakukan ini demi karir kalian dan juga masa depan sepak bola negara! Kami minta maaf atas kecelakaan yang terjadi dan kami berjanji akan segera mencari cara untuk mengatasinya!”

“Kalian berdua juga adalah pemain unggul di antara yang lain, apa karena masalah seperti ini saja kalian siap untuk menerima konsekuensi jadi pemain yang terlemah lalu tereleminasi?”

Tubuh Isagi dan Rin lantas tersentak secara bersamaan mendengar fakta tersebut. Mereka saling lirik untuk sesaat, kecanggungan dan kefrustasian jelas terlihat di wajah keduanya saat ini.

“Saya... gak mau dieleminasi! Saya yang bakal jadi striker nomor satu di dunia!” ucap Isagi akhirnya.

“Gua juga akan ngelakuin apa pun demi jadi striker nomor satu dunia.” begitu pula Rin yang bersikeras.

Mendapatkan reaksi yang lebih tenang dari dua pemain, Ego pun langsung menyeringai lebar, “Inilah salah satu sikap egois yang harus kalian tanamkan, meski harus melakukan hal senekat apa pun jika itu adalah peluang untuk meningkatkan kemampuan dalam menjadi striker nomor satu, kalian harus tetap mengambil dan menerimanya. Seperti inilah jiwa striker yang saya tunggu-tunggu!”

Kini Ego tertawa menyebalkan sementara Isagi menghela napas berat di sela bisikannya, “Ini bukan egois, kita cuma gak punya pilihan lain...”

Anri ikut tersenyum lega, kemudian ia kembali berkutik pada monitornya sebelum mendekat ke arah Isagi untuk mencabut selang di tangannya dengan perlahan dan kemudian memberinya perban.

“Kami akan mengatasi hal ini secepatnya pada pemberian nutrisi yang kedua. Untuk sekarang, gunakan cara apa pun untuk bisa mengeluarkan nutrisi itu, ya, Isagi Yoichi.”

Isagi mengangguk lemah, “Baik...”

Kemudian ia juga beralih ke tangan Rin yang tadi sedikit berdarah untuk ikut diperban lebih banyak karena cabutan paksa yang dilakukannya.

“Dan gunakan juga cara secepat apa pun agar dapat kembali menerima nutrisi punya kamu, ya, Itoshi Rin.”

Hn.

Anri dan Ego tersenyum pada keduanya sebelum mereka benar-benar keluar dari ruangan ini seraya berkata,

“Hal ini akan menjadi rahasia di antara kita berempat, jadi kalian bisa tenang tanpa perlu memikirkannya berlebihan. Selamat beristirahat.” []

© 2023, roketmu.

Isagi tahu ia bodoh, jadi tolong siapa pun jangan beritahu dirinya lagi soal fakta tersebut.

Isagi tahu ia memutuskan segala hal tanpa berpikir panjang, ia selalu mengikuti kata hatinya untuk melakukan sesuatu tindakan yang nantinya akan ia sesali. Contohnya seperti sore ini, ia memang berniat ingin menghibur Rin dan membuatnya bahagia, tetapi sekarang ia seperti mati kutu tidak tahu harus berbuat apa selain berpikir untuk melarikan diri.

Pergi ke pantai? Berdua saja dengan Rin? Apa lagi ini namanya jika bukan membangun suasana yang romantis di antara keduanya?

“Ayo, Sa. Kita masih bisa jalan-jalan dulu di pinggir laut sebelum sunset.”

Apa lagi senyum manis Rin belum juga luntur sejak mereka tiba di sini. Walau memang betul sih, membuat Rin bahagia adalah tujuan utamanya, tetapi tetap saja Isagi juga kesal melihat Rin bisa sebahagia itu oleh hal sepele seperti ini.

Hah, lebih tepatnya Isagi tahu bahwa Rin memang bahagia jika bersama dengan dirinya.

Beneran full nyengir ini orang, cibirnya dalam hati.

Rin yang biasanya hanya memberikan tatapan datar dan sinis ke orang lain, kini tidak bisa menurunkan senyumnya yang mengembang sehangat mentari, dan Isagi bersyukur bahwa ia lah orang yang paling sering melihat sisinya yang seperti ini, yang tanpa Isagi sadari pun senyum ikut terukir di wajah manisnya.

“Lo cuma mau jalan-jalan? Gak berenang gitu?” Isagi akhirnya ikut mengimbangi langkah pria yang lebih tinggi itu untuk bertanya, lebih tepatnya mengurangi kecanggungan di antara mereka.

Hm? Engga,” Rin terlihat berpikir dan detik kemudian menatapnya tajam, “kamu yang sebenernya mau berenang, ya? Gak boleh. Aku gak suka kamu telanjang terus dilihatin orang lain.”

“SIAPA JUGA YANG MAU?!” bentak Isagi kesal.

Hehe, maaf, maaf, yaudah kamu maunya apa?”

Isagi mendecih, “Yang mau ke pantai itu elo, jadi gue yang harusnya ngikutin lo maunya ngapain,”

”Mau ciuman sama kamu,”

“GUE PULANG!”

Isagi berniat untuk membalik badan tapi Rin lebih dulu menahan pergelangan tangannya, “Aku bercanda, aku udah seneng dateng ke sini berdua sama kamu, jadi gak perlu ngapa-ngapain pun gapapa.”

Mendengar penjelasan Rin dengan nada lembutnya, membuat Isagi tidak lagi berkutik dan dengan canggung langsung menepis pelan tangan Rin yang tadi memegangnya.

“Kalo gitu gue aja yang mutusin, g-gue, gue mau main pasir! Haha! Iya gue mau main pasir!”

Isagi yang masih salah tingkah pun langsung berjongkok untuk mengacak-acak pasir di hadapannya saat itu juga, sementara Rin justru melihatnya seperti anak anjing yang tengah mencari mainannya, sangat menggemaskan.

“Kamu mau bikin apa?” Rin ikut berjongkok di depan yang lebih kecil, bukan untuk melihat pasirnya, tetapi untuk memandangi wajah Isagi yang kini tengah memerah menahan malu sambil terus menggali.

“Bikin kuburan! Mending bantuin gue daripada cuma ngeliatin!”

“Oke, bikin dua saling sampingan, ya?”

“Ngapain? Capek tau,”

“Supaya nanti kalau aku dikubur, kamu bisa nemenin aku di sampingnya. Tapi jangan kamu yang mati duluan ya, Sa. Aku gak bisa hidup tanpa kamu.”

Tangan Isagi berhenti menggali untuk sesaat, “Apaan sih, siapa juga yang mau bikin kuburan buat lo atau gue? Cuma bikin doang, jangan ngomong aneh-aneh!”

Rin hanya tersenyum dan terus menggali bersama Isagi. Sementara Isagi sendiri tengah berusaha mengabaikan ucapan Rin yang entah mengapa membuat jantungnya berdebar lebih cepat dan juga hatinya sedih di saat yang bersamaan.

Beberapa menit mereka lalui dengan hanya saling menggali pasir ditemani dengan suara-suara menenangkan yang datang dari laut di samping mereka. Orang-orang yang tadi hadir mulai meninggalkan pantai dan membuat area semakin sepi, menghasilkan suasana yang lebih intim untuk keduanya saat ini.

“Aku kangen, Sa.”

Ucapan Rin yang tiba-tiba kembali memecah keheningan, tetapi tidak menghentikan tangan Isagi untuk terus menggali pasir dengan semangat.

Haha, sama, gue juga kangen main pasir, udah lama rasanya gak ke pan-”

“Aku kangen kita.”

Namun, akhirnya tangan itu berhenti bergerak begitu suara tersebut terdengar bersamaan dengan Rin yang menyentuh punggung tangannya lembut. Isagi mengangkat kepalanya, hingga manik zamrud dan safir itu kembali bertemu untuk kesekian kali.

“Aku kangen kita,” ulang Rin, “aku dan kamu, berdua kayak gini.”

“Gak jelas, haha,”

Isagi menarik tangannya dan tertawa canggung, ia bersiap untuk kembali menggali tapi kali ini Rin meraih tangannya untuk ia genggam—mau tak mau membuat Isagi memusatkan perhatiannya penuh pada Rin.

“Aku serius, Isagi Yoichi.”

Mengetahui bahwa kini ia memiliki waktu berdua dengan Isagi dengan suasana hati dan pikiran yang mendukung, membuat Rin berpikir bahwa saat ini adalah waktu yang tepat untuk Rin mengatakan semua rahasia yang ia sembunyikan pada Isagi selama ini.

Karena seperti yang dikatakan Reo, ia harus segera memberitahu Isagi semuanya sebelum terlambat, sebelum Isagi hanya akan semakin membencinya.

Terlepas dari apa pun jawabannya nanti, setidaknya Rin sudah jujur dan tidak ada lagi rahasia yang ia tutupi dari Isagi.

“Maaf, Sa, aku baru berani untuk ngomong ini sekarang, terserah kamu mau percaya atau engga, tapi kamu harus tahu semuanya,”

“Tahu apa?” Isagi menatapnya bingung.

“Aku minta maaf, walau aku tahu apa yang aku lakuin ini emang gak termaafkan, tapi seenggaknya aku mau jujur sama kamu, dan aku gak mau ada rahasia lagi yang aku tutupin ke kamu,”

“Rin, lo ngomong apa-”

“Malam itu aku gak selingkuh dari kamu, tapi aku pura-pura selingkuh, Sa.”

Ah, ia mengatakannya.

Mendengar itu Isagi tersentak, wajahnya mendadak kaku. Rin tahu itu tapi ia tetap tidak bisa menghentikan ucapannya.

“Kamu tahu? Dia itu Hiori, sepupu aku, malam itu aku sengaja minta tolong sama dia untuk bantu nemenin aku dan pura-pura untuk ciuman di depan kamu,” napas Rin tercekat, ia bahkan menundukkan kepalanya karena takut untuk melihat wajah kecewa Isagi, “aku sengaja ngelakuin itu, Sa. Saat itu aku kacau, aku gak mau kamu tahu masalah aku yang sebenarnya, aku gak mau kamu dituduh yang bukan-bukan, aku gak mau mereka jadiin kamu sebagai alasan hal buruk terjadi di hidup aku, aku gak mau kamu merasa bersalah sama sekali, Isagi,”

Isagi masih diam tak berkutik, membuat Rin mau tak mau terus melanjutkan ucapannya meski ia tahu mungkin Isagi ingin segera pergi dari hadapannya saat ini juga.

“Orang tua aku gak pernah setuju aku pacaran sama kamu, mereka selalu cari cara buat misahin kita bahkan sampai sekarang ini! Mereka mau ngadain pertunangan untuk aku secepatnya supaya aku bisa lepas dari kamu… tapi aku gak mau, Sa, aku cuma mau sama kamu.”

Rin kini meraih kedua tangan Isagi yang terkulai lemas di hadapannya, ia genggam erat upaya ikut menyalurkan bagaimana perasaannya terhadap Isagi yang tak pernah berubah dari dulu hingga saat ini.

“Tapi saat itu aku bodoh, Sa. Aku pikir dengan aku berpisah sama kamu maka itu yang terbaik untuk kita berdua, padahal ternyata engga sama sekali. Aku gak bisa mutusin kamu, sampai kapan pun gak akan, tapi aku juga gak boleh egois. Kamu bisa ketemu sama orang yang lebih baik dari aku, jadi dengan gegabah aku pakai cara pura-pura selingkuh itu, supaya kamu putusin aku, benci aku, karena tanpa cara ini aku pikir kamu gak akan putusin aku, aku tahu kamu sayang banget sama aku karena kamu orang yang sangat baik, Isagi.”

Ingatan tentang awal kisah mereka bermulai kembali berputar dalam otak Rin. Bagaimana seorang anak laki-laki dengan sifat yang sangat buruk hingga satu pun orang tidak ingin bergaul dengannya, bertemu dan jatuh cinta dengan anak manis pantang menyerah yang selalu hadir dan terus memaksakan diri untuk masuk ke dalam hidupnya.

Hadir untuk mengulurkan tangan dan menariknya keluar dari dunia yang penuh rasa kemuraman, hadir untuk memberikan pelukan yang seakan menghangatkan hari-harinya yang sedingin malam, dan hadir untuk memberikan cinta yang seketika mewarnai hidupnya yang tadinya dipenuhi kelam.

Kisah kasih yang seharusnya akan terus berjalan manis, jika hari itu tidak datang dan kebodohan menguasai si anak laki-laki bersifat buruk hingga melakukan keputusan paling buruk di hidupnya.

Rin tersenyum miris menyadari itu, “Ya, aku pikir itu yang terbaik untuk kita berdua, padahal aku hancur, Sa. Aku tanpa kamu gak bisa. Selama lima tahun ini aku gak diam, aku berusaha cari cara untuk ngeraih kamu lagi, tapi setelah tahu kalau kamu block semua akun sosial mediaku dan sempat hilang juga, aku takut aku gak bisa lihat kamu aktif lagi, jadi aku berhenti… untuk sementara,”

Isagi hadir bagai melengkapi kekurangan dalam hidup Rin. Isagi adalah kepingan inti yang tidak boleh hilang dalam puzzle hidup Rin. Isagi adalah seseorang yang paling berharga dalam hidup Rin. Isagi adalah orang yang harus selalu ada bersama Rin.

Setiap malam Rin berdoa agar Tuhan kembali mempersatukan dirinya dengan Isagi, dengan cara apa pun, memberinya kesempatan kedua dan terakhir untuk memperbaiki semuanya—kembali memulai apa yang sebenarnya belum selesai.

“Dan akhirnya hari itu tiba, hari ketika takdir berpihak sama aku, saat kamu melamar di perusahaan aku, saat itu juga aku tahu kalau aku gak boleh ngelewatin kesempatan ini sama sekali, aku harus kembali ngeraih kamu untuk kembali hadir di hidup aku, Sa…”

Rin kini memberanikan diri untuk menatap Isagi sebelum menyelesaikan ucapannya, “Aku gak bisa hidup tanpa kamu. Aku cinta, aku sayang kamu selamanya. Aku gak mau ngebiarin kamu pergi dari hidup aku lagi! Aku bahkan takut untuk berpikir gimana masa depan aku dengan kamu yang gak hadir di dalamnya.”

Napas Rin terengah-engah begitu ia sudah berhasil mengeluarkan apa yang selama ini ingin ia katakan pada Isagi.

Keheningan juga kembali menyelimuti, mereka terdiam sesaat dan hanya menikmati bagaimana angin laut sore membelai helai rambut keduanya.

Sampai akhirnya suara kekehan Isagi terdengar, membuat Rin bertanya-tanya dengan hati yang penuh rasa gelisah dan takut.

“Butuh waktu yang lama juga buat lo nyeritain ini, ya, Rin?”

Rin mengerutkan dahinya bingung, “Ma-maksud kamu, Sa?”

Isagi tersenyum tipis sambil menarik tangannya dari genggaman Rin yang sudah melonggar.

“Lo pikir gue gak tau? Hiori udah ngejelasin semuanya ke gue di hari yang sama ketika kita putus, Rin.” []

© 2023, roketmu.

Kelopak yang menutupi netra biru safir itu mengerjap beberapa kali selagi sang empu mencoba mengumpulkan semua kesadarannya. Terik matahari yang mengintip di balik tirai hotel memaksa ia untuk setidaknya bangkit dari tidur karena waktu sepertinya sudah menunjukkan siang hari.

Isagi Yoichi menatap ke arah sekeliling dengan seksama sebelum akhirnya ia tersenyum lega, “Yes, ternyata cuma mimpi!”

“Apanya yang mimpi?”

Jantung Isagi langsung berdetak lebih cepat begitu suara lain ikut muncul, ketika ia menoleh ke arah suara yang tepat berada di bawahnya, ia menemukan seseorang tengah memeluk pinggangnya sedari tadi tanpa ia sadari sama sekali.

DUAAAGHHH!!!

Satu tendangan sukses Rin terima hingga membuatnya jatuh dari ranjang saat itu juga. Rin meringis kesakitan, sementara Isagi segera meraih selimut untuk menutupi seluruh tubuhnya.

“Jadi bener... gue sama lo...?”

Rin yang masih berada di lantai mengangguk, “Ya. Karena lo semalem mungkin gak denger apa yang gua bilang, biar gua ulangin semuanya, dimulai dari perkenalan diri.” kemudian Rin mengulurkan tangannya pada Isagi, bersiap berjabat tangan, “Gua Itoshi Rin, kita satu angkatan, satu jurusan, tapi beda kelas, dan gua enigma.”

Isagi tertawa meremehkan, “Sejak kapan di kampus kita ada enigma? Lo jangan bercanda, Itoshi Rin. Lo emang berhasil nidurin gue dan jadiin gue bottom lo kemarin, tapi gue ini tetep alpha!”

“Lo udah gua ubah jadi omega,”

“Dibilang gue ini alpha!”

Isagi pun bangkit berniat untuk memukul Rin yang berada di lantai, tapi area belakangnya yang sakit dan kakinya yang lemas membuat ia akhirnya tak sengaja jatuh hingga menimpa tubuh Rin—dengan keduanya yang masih dalam keadaan tubuh polos tanpa benang.

“Lo udah jadi omega, Isagi. Gua yang ubah lo kemarin, bahkan kita juga udah jadi mate.” bisik Rin lembut, tepat di telinga Isagi.

Sementara Isagi menatap Rin dengan tidak percaya hingga wajahnya memerah total. Rin yang tidak mau membuat miliknya kembali berdiri pun buru-buru mengangkat Isagi kembali ke atas kasur dan segera menutupi tubuh yang lebih kecil dengan selimut.

“Gak mungkin gue jadi omega! Gak percaya! Mana ada lo enigma! Lo juga alpha, anjing!”

“Mau coba cari tau?”

“Hah?”

Isagi yang terus menyangkal justru membuat Rin kehilangan kesabarannya. Feromon mulai ia keluarkan dari tubuhnya dan seketika tubuh Isagi dibuat merinding.

“Apaan ini... gue kenapa?”

Perlahan tubuhnya juga memanas, napasnya terengah-engah, dan sesuatu cairan dari bawah sana ikut keluar perlahan yang membuat sekujur tubuh Isagi benar-benar memerah dan berkeringat tak nyaman.

Melihat itu hanya membuat Rin ikut berada dalam bahaya, akhirnya ia pun menghentikan aksinya. Dalam beberapa detik kemudian napas Isagi mulai kembali normal dan tubuhnya tak sepanas tadi.

Isagi pun menundukkan kepalanya, ia tidak percaya dengan fakta yang baru saja ia terima, atau lebih tepatnya fakta dari semalam yang tidak mau ia terima.

“Gue... beneran jadi omega?”

Tanpa bisa ditahan lagi, Isagi pun menangis. Rin yang melihat itu segera mendekat untuk kembali memeluk Isagi kesekian kali. Dan seperti mantra sihir, segala keresahan dalam diri Isagi ikut sirna perlahan digantikan oleh kenyamanan dari feromon menenangkan dan pelukan yang Rin berikan.

“Gue masih mau nangis... ini pasti gue tenang gara-gara gue udah jadi omega lo, ya?”

“Mungkin? Tapi yang penting lo berhenti nangis untuk sekarang.”

Tak dapat dipungkiri, Rin kini tengah menahan senyumannya yang seperti orang idiot hanya karena mendengar 'omega lo'—yang berarti Isagi benar-benar telah menjadi omeganya. Omega miliknya. Omeganya Rin.

“Lo juga gigit gue,” Isagi juga menyentuh tengkuknya yang terasa sedikit perih, “jadi kita beneran mate, nih? Lo kenapa gigit gue, anjing! Lo dendam sama gue karena gue cuma mau main-main sama lo, kan?” Isagi memukul-mukul dada Rin dengan kesal, tetapi jawaban Rin setelahnya membuat ia tertegun sejenak.

“Orang tolol mana yang mau jadi mate sama orang cuma karena dendam?”

Isagi mencibir, “Gue pikir lo emang tolol? Lagian aneh banget masa mate sama orang yang baru lo temuin, kecuali kalo emang lo suka sama orang itu dari lama!”

Tidak ada jawaban sama sekali dari Rin selama beberapa saat membuat Isagi segera mendongak dengan tatapan panik. Benar saja, Rin yang diam dengan wajah memerah seperti tertangkap basah sudah langsung bisa menjadi bukti nyata atas pernyataannya barusan.

“Rin, lo beneran suka sama gue?!”

Rin mengangguk dengan guratan merah tipis yang sudah menjalar di sekitar pipinya. Kini ia meraih jemari Isagi untuk ia kecup penuh kasih sayang, “Gua suka sama lo, Isagi. Dari awal gua udah tertarik sama lo. Gua pikir gak ada kesempatan gua sama sekali buat deket sama lo karena lo alpha, dan lo juga alpha yang dominan,” Rin kemudian tersenyum tipis, hampir tak terlihat, “Tapi gak taunya lo sendiri yang dateng ke gua dan gua tau kalo kesempatan besar kayak gini gak akan datang dua kali, jadi harus gua manfaatin itu sebaik mungkin,”

“Ya, kan, karena gue taunya lo itu alpha! Kenapa lo gak bilang dari awal kalo lo enigma?” protes Isagi.

“Karena lo pasti bakal kabur, apa lagi?”

“Terus berarti selama ini rumor lo yang emang masih virgin dan jomblo itu...” yang lebih pendek menggantung ucapannya untuk melirik Rin yang kini mengangguk mantap.

“Bener. Karena gua cuma mau sama lo.”

Isagi pun tersenyum kikuk, “Aw, ternyata gue yang tolol.”

Melihat itu justru membuat Rin tak lagi bisa menahan gemasnya, ia kembali mengeratkan pelukannya pada Isagi dan mengecup keningnya penuh sayang. “Maaf gua udah buat lo jadi omega, tapi gua udah gak bisa nunggu lebih lama lagi. Gua suka sama lo, Isagi. Gua bakal buktiin kalo gua bisa jadi mate yang baik buat lo, gua bakal tanggung jawab untuk semuanya,”

Isagi tidak tahu bahwa Rin yang awalnya ia pikir amat dingin dan cuek ternyata bisa jadi serewel ini untuk menjelaskan perasaannya pada Isagi. Pada orang yang ia sukai, katanya.

“Soal perasaan gua, terserah lo mau bales suka atau engga, yang penting gua selalu ada buat lo, ngelindungin lo, dan mencintai lo sepenuh hati. Jadi... jangan tinggalin gua, Isagi.”

Hati Isagi dibuat hangat mendengar rentetan kata yang Rin ucapkan dengan tulus hanya untuknya. Katakan Isagi bodoh, tapi siapa yang tidak terbawa perasaan jika ada yang secara terang-terangan mengungkapkan hal seperti itu pada dirinya? Apa lagi selama ini Isagi memang belum pernah merasakan bagaimana menjalin kasih yang sesungguhnya, karena yang selama ini ia lakukan hanya banyak bermain-main dengan orang yang berbeda untuk memenuhi kebutuhan seksnya saja.

Bahkan setelah dipikir-pikir pun, jadi di bagian 'bawah' tidak terlalu buruk. Lagi pula bukannya dari awal Isagi sebenarnya memang sudah tertarik dengan Rin pada pandangan pertama? Ia rasa, gender dan posisi bukan lagi masalah untuknya.

“Tapi-arrghhh! Malu banget! Tetep aja harusnya gue jadi alpha lo! Kenapa ini malah sebaliknya? Harga diri gue sebagai alpha paling keren yang suka gonta-ganti temen tidur bakal ilang,” Isagi mengerucutkan bibirnya kesal, “Gue bakal kangen di saat-saat gue di posisi atas nanti...”

“Kalo lo mau di posisi atas juga masih bisa kok, Sa.”

Isagi kembali menoleh dengan semangat, “Beneran?”

“Iya, cowboy position.”

Dan satu tinju kecil dihadiahkan pada dada bidang sang enigma yang kini terkekeh.

“Ngeselin juga, lo! Kirain cuma anak muka tembok sok dingin yang kalo nongkrong buat balapan doang dan sering nyakitin anak orang lain,”

“Tapi ternyata bisa jadi sebucin ini?”

“Iya!” Isagi mendengus sombong kemudian, “tapi wajar sih pesona Isagi Yoichi emang gak bisa ditolak,”

Rin kembali mencuri kecupan singkat dari bibir Isagi dan kemudian tersenyum tipis untuknya, “Betul, cuma ke Isagi aja aku begini.”

Merasa dicintai sebegitunya oleh Rin, mau tak mau Isagi dan sisi omega dalam dirinya ikut terbuai. Wajahnya memerah tanpa ia tahu, dan gerakan refleknya untuk ikut menyamankan posisi pelukan dengan Rin menjadi tanda persetujuan bahwa ia menerima pemuda di depannya, dan juga percaya untuk selalu bersama dengan enigmanya.

“Kalo gitu... Tolong jaga diri gue baik-baik, ya, Rin?”

Oh, tanpa dipinta sudah pasti Rin akan melakukannya. Ia pun mengangguk dan kembali mengecup kening Isagi untuk yang kesekian kalinya.

Always, my omega.” []

© 2023, roketmu.

Malam itu akhirnya benar-benar datang.

Malam ketika Isagi akhirnya akan ‘tidur’ bersama alpha cantik yang telah memikat hatinya pada pandangan pertama. Walau memang berawal dari taruhan dan sekadar pembuktian, tapi Isagi akui ia juga sangat bersemangat dan menantikan saat ini tiba.

Begitu pintu kamar hotelnya diketuk, saat itu juga feromon Isagi keluar tanpa bisa ia kontrol lagi. Ia berlari ke arah pintu untuk membukanya, dan sosok Itoshi Rin yang datang walau hanya dengan setelan kasual telah mampu menaikkan gairah seorang Isagi Yoichi.

“Hai, Rin.” sapa Isagi dengan senyuman tipis.

“Hai.”

Duh, semakin dingin sifatnya, semakin mau gue telanjangin sekarang juga. pikir Isagi cabul.

Rin masuk perlahan dan meletakkan tasnya di atas nakas. Ia sempat melihat-lihat ke sekeliling ruangan sebelum akhirnya mengeluarkan beberapa barang penting yang membuat darah Isagi berdesir hebat.

“Gue juga bawa pelumas dan pengaman kok, kan udah gue bilang semua persiapan ada di gue,”

Rin mengangkat bahunya singkat, “Jaga-jaga kalau kurang.”

Isagi menahan napas setiap kali mata mereka bertatapan. Bagaimana mata indah hijau toska itu melirik, bulu mata bawahnya yang begitu lentik, membuat ia ikut membayangkan bahwa sebentar lagi bulu mata tersebut akan basah kala ia membuat si cantik menangis akibat kenikmatan yang ia berikan untuknya.

Ah, Isagi sudah tidak tahan.

Ketika Rin berusaha untuk melepas hoodienya, pelukan Isagi dari belakang membuat sang empu terdiam sejenak. Belum sempat Rin bertanya, tapi sesuatu yang keras sudah menekan paha belakangnya dan membuat ia langsung mengerti.

“Rin, gue udah gak bisa nunggu lagi.”

Isagi menarik tubuh Rin dan menyebabkan alpha tinggi itu berbaring lebih dulu di atas ranjang. Dengan feromon yang sudah keluar tidak karuan, Isagi merangkak mendekati Rin dan langsung mencium bibirnya.

Tidak ada tanda perlawanan sama sekali dari Rin yang berarti ia pun menyetujui permainan mereka untuk dimulai. Awalnya hanya ciuman biasa, tapi ketika Rin membuka mulutnya, ciuman yang diberikan Isagi lebih menuntut dan tergesa-gesa.

Bahkan tangan Isagi tidak tinggal diam untuk meraba-raba apa yang ada di balik kaus tipis yang dikenakan oleh Rin. Diam-diam Isagi merasa sedikit kesal begitu merasakan bentuk tubuh Rin yang memang lebih besar darinya ini ternyata juga lebih bagus darinya.

Olah raga jenis apa yang lo lakuin buat dapet tubuh sebagus ini, sih? pikir Isagi bertanya-tanya.

Karena Rin tetap diam dan membiarkan Isagi melakukan semuanya, ciuman yang tadi terlepas sesaat pun berganti menjadi hisapan dan kecupan singkat yang Isagi berikan di sekitar leher Rin.

“Feromon lo boleh juga buat alpha secantik lo ini,” ujar Isagi di sela-sela ia mencium dan menjilati leher si Itoshi bungsu.

Rin mendengus tipis, “Thanks, gua cuma ngeluarin sedikit.”

Lagi, ketika Rin bersuara dengan nada rendahnya yang menggoda, semakin pula Isagi tak bisa membendung nafsunya. Area bawahnya yang begitu sesak dan keras meminta untuk dikeluarkan dari sangkarnya detik ini juga.

Shit. Wait a second.”

Isagi bangkit sebentar untuk merampas pengaman yang tadi Rin letakkan di atas nakas mereka, dan dengan tergesa-gesa ia membuka lalu memakaikannya pada miliknya.

Isagi sungguh tidak sabar, harusnya masih ada beberapa foreplay lagi untuk peregangan, tapi ia harap Rin sudah melakukan persiapan terlebih dahulu sebelum ia datang ke hotel ini.

Namun, begitu Isagi bersiap untuk kembali menyerang Rin, ia tertegun melihat alpha cantik itu kini juga melakukan hal yang sama dengannya—memakai pengaman yang padahal sama sekali tidak diperlukan.

“Rin? Lo gak perlu pake juga kok, gue bersedia kotor bahkan sampai lo pi-“

Belum sempat ucapan itu terselesaikan, tubuh Isagi yang sedang linglung langsung direbahkan oleh Rin dalam satu kedipan mata. Isagi makin dibuat bingung begitu Rin kini melepas pengaman milik Isagi yang membuat sang empu meringis akibat gesekannya.

“Oh? Lo ternyata sukanya kalo gue yang gak pake pengaman? Heh, lo agresif juga, Rin.” Isagi berucap rendah disusul oleh seringai tipisnya.

Rin tidak menjawab sama sekali tetapi tangannya tetap sibuk bergerak membawa kedua tangan Isagi untuk ia letakkan tepat di atas kepala sang alpha bermata safir itu.

Eh? Tunggu.

Isagi bergelut dengan pertanyaan dalam pikirannya sendiri, sementara Rin sudah ikut naik ke atas ranjang dan kini mengukung Isagi yang tepat berada di bawahnya—dengan kedua tangan Isagi yang masih ia tahan di atas kepala sang alpha kecil.

Hingga ketika jeans dan celana dalamnya yang masih menggantung di paha Isagi mulai ditarik oleh Rin, saat itu juga Isagi merasa bahwa ada yang salah dari ini semua.

Wait, Rin, kayaknya lo salah paham, gue udah bilang sama lo kalo gue alpha top, kan? Gue dominan!”

Isagi berusaha melepaskan diri, tapi sialnya satu tangan Rin yang tiba-tiba menjadi kuat ini masih menahan kedua tangannya hingga tak mampu berkutik sama sekali. Bahkan ketika bagian bawah Isagi sukses polos pun ia masih belum bisa melawan tenaga yang sekuat iblis ini.

“Rin! Bentar, ini salah! Gue-”

“Gue yang harusnya di atas,” potong Rin cepat, “itu yang mau lo bilang, kan?”

Isagi mulai panik karena ia masih belum bisa juga melawan kekuatan satu tangan Rin di atas kepalanya. Apa lagi ditambah dengan atmosfer yang entah mengapa langsung berubah dalam sekejap, membuat Isagi merasa sangat kecil, terintimidasi, dan terkurung oleh Rin dan juga besarnya feromon yang keluar dari tubuhnya—menelan habis feromon Isagi yang seperti tidak ada apa-apanya.

“Lepas, Rin! Lo yang di bawah! Gue yang di atas!”

“Di atas?” Rin kini tersenyum sarkas, “Lo yakin?”

Sekujur tubuh Isagi lantas dibuat merinding begitu ucapan tersebut keluar bersamaan dengan Rin yang mulai menciumi leher Isagi dengan tangan besarnya yang juga ikut mengelus area pinggul telanjang Isagi perlahan.

“Maksud lo?” Napas Isagi bahkan ikut tertahan akibat sensasi menggelitik yang diberikan oleh usapan tangan Rin yang kini merembet ke arah paha miliknya, “Rin! Lepas! Ini salah! Gue alpha, bangsat! Gue alpha dominan!”

“Gua tau, gua juga bisa lihat,” Rin kembali melirik ke mata Isagi yang kini menatapnya nyalang, “tapi karena lo berniat tidur sama gua, lo harus ikut aturan main gua juga.”

Isagi menggeleng cepat, “Gak! Gak! Gak bisa! Gue gak mau! Lepasin gue, Rin!”

Isagi kembali memberontak walau semua hanya sia-sia, membuat Rin mau tak mau menangkup wajah sang alpha yang lebih kecil dengan satu tangan agar mereka kembali bertatapan.

“Lo pikir gua gak tau niat lo tidur sama gua karena tantangan itu? Karena gua alpha cantik yang masih jomblo?”

Berontakan Isagi langsung terhenti begitu mendengarnya. Sial, ternyata Rin sudah tahu niat busuknya dari awal. Apakah hal ini yang tadi ingin Chigiri dan Bachira katakan padanya? Kalau memang iya, Isagi tahu pasti hal buruk akan terjadi jika ia tidak segera minta maaf dan kabur dari sini.

Tetapi belum sempat Isagi mengeluarkan satu patah kata pun untuk membantah, Rin sudah lebih dulu melanjutkan ucapannya.

“Padahal asal lo tau,” tangan yang Rin gunakan untuk menangkup wajah Isagi kini ia gunakan untuk mengusap pipi sang alpha kecil, “lo yang paling cantik, Isagi.”

Saat itu juga wajah Isagi berubah menjadi merah padam dalam seketika. Usapan telapak tangan Rin yang dingin di atas pipinya yang hangat menimbulkan gemericik sensasi menyenangkan yang tidak disangka-sangka.

Bahkan senyuman yang juga ikut muncul di wajah Rin ikut menghangatkan hati Isagi, seakan menjadi remot kontrol tubuhnya untuk berhenti memberontak dan hanya ikut terbuai oleh tiap sentuhan yang diberikan oleh pemuda di atasnya.

“Lo paling cantik di antara para alpha, di antara para beta, juga di antara para omega. Lo paling cantik di antara semua manusia. Isagi Yoichi, lo yang paling cantik, Sa.”

Dan untuk pertama kali dalam hidupnya, seorang Isagi Yoichi benar-benar telah hilang kendali atas dirinya sendiri.


Entah bagaimana bisa seperti ini, Isagi juga tidak tahu. Semua berlalu begitu cepat. Rin sudah berhasil menguasai penuh dirinya, mendominasi dirinya yang sudah kalah telak dan hanya bisa pasrah melebarkan kaki untuk menerima setiap hentakannya.

Tetapi ciuman Rin yang memabukkan, sentuhan Rin yang memanjakan, dan bisikan kata-kata manis Rin yang menghangatkan hati, membuat Isagi juga tidak bisa mengelak—bahwa apa yang Rin lakukan telah membawanya pada kenikmatan yang belum pernah selama ini Isagi rasakan.

“Isagi...”

Ditambah dengan suara rendah Rin ketika memanggil nama Isagi di sela-sela erangannya, peluhnya yang kadang menetes kala ia bergerak menghentakkan pinggulnya, dan bagaimana helaian poni yang selalu berusaha ia singkirkan ke atas hanya agar dapat bertatapan kembali dengan Isagi di bawahnya.

Semua yang dilakukan Rin hanya membuat Isagi dimabuk kepayang dan tidak lagi dapat berpikir tentang hal lain kecuali fakta bahwa ia sedang bercinta dengan seseorang yang sangat seksi dan tampan bernama Itoshi Rin.

Isagi benar-benar ditelan habis oleh Rin dan juga feromon kuat yang menyelimuti mereka berdua. Entah Isagi juga sudah tidak tahu berapa kali ia mendesah dan meraung-raung menyebut nama Rin kala ia mencapai klimaksnya.

Tetapi kali ini ketika Rin ingin mencapai puncak kenikmatannya, dengan sempat ia mencabut pengaman yang membungkus miliknya terlebih dahulu dan menyebabkan ia keluar di dalam diri Isagi. Menembakkan begitu banyak benih dan mengisi penuh sang alpha kecil yang hanya kembali pasrah menerima semuanya.

Sampai di saat-saat kesadaran Isagi mulai hilang, dan di sela-sela Rin berusaha memastikan benihnya tidak ada yang terbuang, Rin menggunakan kesempatan itu untuk kembali berbisik rendah tepat di telinga si tersayang.

“Dan satu lagi yang perlu lo tau, lo salah.”

“Hah...?” Isagi bergumam lemah, tapi tetap menunggu Rin untuk menjawab rasa penasarannya.

“Gua bukan alpha,” Rin mengecup singkat bibir Isagi sebelum menunjukkan seringai tipisnya, “tapi enigma.”

Saat mendengar itu Isagi mendesah kuat, bukan hanya karena tubuhnya yang mengejang ketika ia kembali mencapai puncaknya, melainkan juga karena gigitan kuat Rin di tengkuknya yang meninggalkan bekas tak akan pernah hilang sebagai tanda bukti bahwa ia menjadi pasangan sang Itoshi bungsu—selamanya.

Akhirnya Rin mencabut miliknya dari Isagi dan ambruk tepat di samping pemuda bermata safir tersebut. Belum sempat Isagi bereaksi apa pun, kini ia sudah kembali merasakan sentuhan lembut dari Rin ketika memeluknya dari belakang sambil mengusap-usap perutnya perlahan.

“Gua bakal tanggung jawab penuh sama apa yang akan terjadi nanti,” Rin kini mengecup kening Isagi dengan sayang sebelum kembali mengeratkan pelukannya, “Sleep well, my omega.”

Sebelum kesadarannya benar-benar hilang oleh rasa penat dan juga kantuk, Isagi masih bisa menyadari akan satu hal soal ucapan Rin tentang dirinya sejak tadi.

Isagi salah karena telah mencoba mempermainkan Rin. Isagi salah karena telah menganggap Rin sebagai alpha biasa. Isagi salah karena telah terperangkap dalam jebakan yang ia buat sendiri dengan Rin sebagai pemenangnya.

Hingga semua hal itu membawa Isagi akhirnya bertemu pada satu kesimpulan bahwa ia tidak hanya salah, tetapi sialnya ia juga telah bermain-main dengan orang yang salah.

Dan orang itu ialah Itoshi Rin—sang enigma. []

© 2023, roketmu.

Tolong jangan katakan bahwa Isagi datang ke ruangan Rin karena ia peduli dan khawatir terhadap bosnya yang kurang ajar itu. Isagi datang semata-mata hanya untuk memberitahu kabar terkait jadwal si bos untuk sore ini.

Ya, lagi pula ini juga salah Rin karena tidak membalas pesannya. Jadi, sekali lagi, ini bukan kemauan Isagi melainkan hanya keterpaksaan dari bagian pekerjaan.

Atau itu lah yang ada di pikiran laki-laki penyuka lobster itu sebelum ia masuk ke dalam ruangan dengan pintu yang sejak tadi sudah terbuka, menampilkan sosok pria dewasa yang tengah terbaring di sofa dengan satu lengan menutupi mata.

“Rin?”

Isagi mengutuk mulutnya sendiri yang tidak sengaja mengeluarkan suara dan memanggil nama Rin. Karena hal itu telah membuat sang bos langsung tersadar hingga dengan cepat mengubah posisi baringnya menjadi duduk hanya agar terlihat normal di depan sang sekretaris.

“Isagi? Kenapa? Tumben kamu mau dateng ke ruangan aku tanpa dipanggil?”

Rin menyerbunya dengan banyak pertanyaan, membuat Isagi langsung mencari-cari ponsel milik Rin yang ternyata terletak di meja kantor yang cukup jauh dari sofa di mana si bos berbaring.

Handphone lo mati?”

“Engga? Oh, kamu ada butuh sesuatu? Maaf aku lagi pasang mode don’t disturb sementara, maaf ya, Isagi,”

Isagi menatap tidak suka setelah mendengar nada kecanggungan dalam ucapan Rin, “Banyak jadwal hari ini yang diubah, jadi lo bisa pulang sekarang dan istirahat di tempat yang lebih nyaman, bukan tiduran di sofa kayak tadi.”

“Oke, oke, kalo gitu kamu juga udah bisa pulang. Makasih banyak ya, Isagi. Pulang sama supirku lagi, ya? Jangan sama yang lain,”

Rin menunjukkan senyum tipisnya, walau Isagi tahu bahwa itu bukan senyuman yang seperti biasanya.

“Terus lo pulang kapan?”

Yang lebih muda sedikit tersentak, “Aku? Oh, aku masih mau ada di kantor, mungkin nanti pulang, atau kamu mau pulang bareng aku, Sa?” kemudian ia terkekeh singkat sebelum kembali melanjutkan ucapannya, “bercanda.”

Isagi kembali menunjukkan tatapan tidak sukanya kepada Rin yang kini terdiam.

Karena dengan melihat Rin yang berbaring di sofa dengan penuh beban, senyumnya yang tak memancarkan ketulusan, hingga gurauannya yang juga tak mencairkan kecanggungan—hanya membuat Isagi bertemu pada satu kesimpulan bahwa pria di depannya ini terlihat menyedihkan.

Dan pemandangan Itoshi Rin yang menyedihkan hanya sukses membuat Isagi kembali teringat pada awal di saat hubungan mereka mencapai pada tahap keputusasaan.

Isagi yang selalu tidak tahu apa-apa dan Rin yang selalu bertindak seolah tidak apa-apa.

Beda dengan Isagi, Rin sendiri selalu tidak ingin terlihat begitu lemah di hadapan Isagi. Dulu, bahkan sampai sekarang. Tapi lebih dari itu, Rin tidak ingin Isagi tahu masalah apa yang sedang ia hadapi.

Rin ingin Isagi tidak lagi terlibat dalam masalahnya yang tak kunjung usai. Masalah yang dulu pernah membuat mereka berpisah. Masalah yang juga membuat Rin bersumpah untuk tak lagi membawanya ke pilihan yang salah.

Rin hanya mampu menundukkan wajahnya, menunggu Isagi untuk pamit pulang lebih dulu dan meninggalkannya yang masih penuh dilema. Tetapi suara lembut yang tercipta dari sofa di sebelahnya membuat ia mau tak mau menoleh dengan pandangan bertanya-tanya.

“Lo gapapa?”

Dan belum sempat ia mengeluarkan suara, nyatanya suara yang lebih lembut sudah lebih cepat mendahuluinya.

Rin yang masih terkesiap pun berusaha menyusun jawaban klisenya, “Aku gapapa. Kenapa, Sa? Kamu gak jadi pulang?”

Rin menahan napas untuk menunggu jawaban dari Isagi yang entah mengapa memberinya secercah harapan bahwa ia tidak jadi pergi.

“Siapa bilang gue mau pulang?” Isagi menoleh dan membuat pandangan mereka kembali bertemu, “gue mau nemenin lo.”

Lalu bak cangkang yang baru terbuka untuk menunjukkan mutiara indahnya, netra toska Rin berbinar tak kalah indah ketika mendengar jawaban yang diberikan Isagi untuknya.

“Lo bisa cerita ke gue kalo emang ada masalah, apa lagi kalo ada hubungannya soal kerjaan, gue mau bantu ngeringanin karena gue ini sekretaris lo.”

Isagi sekuat tenaga terlihat tenang walau akhirnya sia-sia karena semburat merah sudah terpampang jelas di pipi gembilnya.

“Ngeringanin?” ulang Rin memastikan jika mungkin Isagi di depannya hanyalah khayalan.

“Iya, apa pun bebannya, kali aja ada yang bisa gue bantu,”

“Kalo gitu boleh aku tidur dengan paha kamu jadi bantalnya lagi?”

“Gue langsung siram lo pake kopi yang mendidih.”

Isagi mencibir sementara Rin terkekeh pelan. Ah, itu benar-benar Isaginya yang asli.

“Bercanda,”

Sejujurnya Rin hanya ingin mencairkan suasana agar Isagi tidak terlalu memikirkan masalahnya, padahal Isagi tahu setiap gerak-gerik Rin saat ini sangat menandakan bahwa ia memang terlibat masalah yang kembali tidak ingin diketahui olehnya.

“Kenapa? Ini masalah kerja?”

Rin menggeleng, “Bukan, aku gapapa, Sa,”

“Apa karena ada masalah lagi sama kak Sae?”

Begitu nama sang kakak disebut, Rin mematung. Ia tidak menjawab dan memilih untuk kembali menundukkan kepalanya, mengundang tatapan pasrah dari Isagi yang sejak tadi memperhatikan.

“Lo tuh kebiasaan, selalu aja ga pernah mau cerita kalo lagi ada masalah.”

“Maaf, Isagi.”

“Kalo emang bukan masalah kerjaan, jangan sampe itu ngeganggu kerjaan lo,”

“Iya, Isagi.”

Helaan napas kecewa keluar dari yang lebih tua begitu mendengarnya, “Ya, udah, kalo gitu.”

Isagi kembali melirik Rin yang tetap bergeming di tempat. Rin tidak lagi bisa dikatakan angkuh jika sekarang Isagi hanya bisa melihat dirinya yang rapuh.

Membuat Isagi lagi-lagi teringat akan kebiasaan pada masa ketika mereka ada dalam hubungan yang sangat dekat.

Rin yang lebih muda dan manja kepada dirinya akan selalu datang pada Isagi. Tanpa sepatah kata pun, ia hanya memeluk Isagi, membenamkan wajahnya pada dada yang lebih tua, meminta diberikan kasih sayang untuk mengobati hatinya yang terluka.

Isagi juga tidak akan bertanya dua kali jika memang Rin tidak memberinya jawaban atas masalah yang ia alami, tetapi Isagi akan selalu memberinya pelukan hangat berkali-kali upaya untuk memberinya rasa nyaman dan ketenangan yang tulus dari hati.

Isagi selalu ingin menjadi kekuatan Rin di kala ia merasa lemah, Isagi selalu ingin menjadi sandaran Rin di kala ia merasa lelah, dan Isagi selalu ingin menjadi rumah untuk Rin di kala ia merasa tak lagi punya tempat untuk singgah.

Benci mengakuinya, tetapi bolehkah Isagi jujur untuk sekali saja dan menuruti kata hatinya dengan kembali menjadi sosok yang ada ketika Rin memang membutuhkannya?

Karena sepertinya bukan hanya Rin di sini yang mempunyai kebiasaan yang sulit untuk diubah, tetapi Isagi juga punya—yaitu tidak suka melihat Rin yang diselimuti gundah gulana.

Isagi tersenyum tipis, ia tidak menyangka kata ini akan keluar dari mulutnya sendiri hanya untuk ditujukan kepada orang yang telah melukai hatinya, tetapi sialnya juga orang yang selalu disayangi olehnya.

“Mau peluk?”

Jantung Rin seakan berhenti berdetak untuk sesaat. Ia langsung mengangkat kepalanya dan dengan cepat menatap ke arah sumber suara di mana Isagi kini telah merentangkan kedua tangan untuk menyambut dirinya.

“Sa, ka-, kamu gak bercanda? Kamu gak lagi mabuk lagi, kan?”

Rin masih membeku di tempat. Begitu banyak pertanyaan terlintas di benak Rin mulai dari apakah Rin memiliki gejala skizofrenia? Apakah sekarang adalah hari kiamat? Atau apakah ini kilas balik sebelum kematiannya?

Sementara Isagi yang menanggapi hal itu langsung merotasikan bola matanya malas, pasti sudah banyak pikiran mendramatisir yang ada di kepala bos tololnya itu.

“Mau apa ngga? Sebelum gue berubah pikiran dalam hitungan satu, dua, ti-”

Tetapi belum sempat ucapannya selesai, Isagi menggantinya dengan senyuman lega ketika Rin membalas rentangan tangannya dengan langsung berhambur pada pelukan hangat yang Isagi hanya berikan untuknya.

Rin bahkan tak segan untuk membenamkan wajahnya pada bahu kecil Isagi sebagai tempat sandaran yang sangat ia butuhkan, sekaligus menghirup aroma khas menenangkan yang selalu ia rindukan. Rasanya hangat dan nyaman seperti rumah sesungguhnya tempat ia pulang

“Capek banget, ya, Rin?” tanya Isagi lembut sambil sesekali mengusap rambut dan juga punggungnya, “Semoga capek lo cepet hilang,”

Rin mengangguk di sela-sela menyamankan posisi untuk memeluk Isagi lebih erat seakan esok adalah hari terakhir mereka hidup di dunia ini.

“Gue gak tau masalah lo apa, tapi gue... seperti dulu, tetep selalu jadi orang yang paling gak suka ngeliat lo sedih,”

“Dan kamu juga selalu jadi orang yang paling bisa nenangin aku di saat sedih,”

Isagi mendecih, “Tapi lo jangan mikir aneh-aneh, gue ngelakuin ini demi diri gue yang gak pengen ngeliat hal yang gak gue suka, bukan karena gue peduli lo ngerasa sedih atau ngga. Paham, kan?”

“Iya...”

Rin terkekeh diam-diam untuk menanggapi hal itu. Bagaimana pun alasan Isagi barusan hanya semakin memperkuat fakta bahwa Isagi hanya tidak suka ketika melihat Rin sedih.

“Kamu masih kecil aja, Sa,” usil Rin ketika ia merasakan pinggang ramping Isagi masih persis seperti dalam ingatannya.

“Gue lepas, nih?”

“Jangan, aku mau isi baterai aku dulu sampai penuh.”

“Gak jelas.”

Akhirnya Rin memilih untuk memejamkan matanya, begitu pula Isagi yang juga ikut bersandar pada bahu lebarnya. Tidak ada lagi kata atau kalimat yang keluar dari bibir, hanya indra peraba saja yang bekerja untuk saling menyalurkan rasa kasih sayang terhadap satu sama lain.

Walau Isagi tahu ia lagi-lagi tak mendapatkan jawaban, walau Rin juga tahu Isagi tidak akan mempermasalahkan—keduanya tetap saling berpelukan dan menjadi kekuatan untuk jiwa yang membutuhkan.

Sementara di balik pintu yang sejak tadi terbuka, sosok pria bersurai ungu sudah ikut memperhatikan keduanya dari pertama Isagi duduk di sofa untuk menanyakan keadaan Rin.

Beruntung Reo belum sempat masuk. Karena kalau tidak, ia akan menyesal dan mengutuk dirinya seumur hidup akibat telah mengganggu waktu berharga yang tercipta di antara dua insan yang tengah menjalin cinta.

Reo sendiri tidak tahu bagaimana takdir membawa hubungan Rin dan Isagi pergi, tetapi dengan hanya melihat ini, siapa pun ia rasa juga langsung bisa menyadari.

Kalo kalian itu masih saling menginginkan, tapi kenapa sesulit itu untuk balikan? []

© 2023, roketmu.