roketmu

satu nusa, satu bangsal.

Jantung Isagi berdetak lebih kencang dari biasanya seiring ia berjalan masuk ke toilet. Walau memang sudah sepi dan sepertinya mereka tidak akan ketahuan, tetapi tetap saja justru yang paling membuat Isagi gugup adalah tentang apa yang akan ia lakukan bersama Rin malam ini.

Isagi menahan napas begitu melihat Rin sudah berdiri di depan pintu salah satu bilik toilet, menunggunya.

“Kenapa masih diem aja? Masuk.”

Menurut meski langkahnya kaku seperti robot, tiba-tiba saja Isagi sudah berada di dalam satu bilik dengan Rin yang juga langsung menguncinya.

Ya ampun, Isagi seperti ingin dibunuh.

“R-rin? Lo yakin beneran gak perlu tampon? Kaya-”

“Kita udah setuju untuk mempercepat proses ini, gua gak mau buang waktu lagi.” potong Rin cepat.

Ah, Isagi sepertinya tidak akan menang melawan pemuda yang sangat galak dan egois ini. Bagaimana bisa ia sangat amat tidak sopan padahal dia lebih muda darinya?!

Herannya juga Isagi malah takut dan tetap menurut, jadi sepertinya memang Isagi saja yang pertahanannya lebih lemah ketimbang si Itoshi bongsor ini.

“Oke, terserah lo. Tapi lo jangan nyesel karena a-apa yang kita lakuin ini gak masuk akal banget!”

Rin mendengus, “Gak peduli. Sekarang buka baju lo.”

HA?!

Wajah Isagi langsung memerah bahkan tangannya reflek menyilang di depan dada, melindungi diri seakan Rin adalah predator yang ingin menerkamnya saat itu juga.

“Lo gila?!”

Mengabaikan bentakan Isagi, Rin justru menghimpit yang lebih pendek ke tembok bilik sambil berusaha untuk membuat kedua tangannya turun.

“Gua mau ambil nutrisi lo, gak usah mikir aneh-aneh.” tangan Rin yang satu lagi pun menarik ke atas baju bagian bawah Isagi yang langsung memperlihatkan perut kencangnya, “kalo lo gak mau buka baju, lo bisa tahan ini ke atas atau lo gigit biar gak lepas.”

Rin berkata seolah-olah hal tersebut hanyalah hal kecil yang tidak perlu dipikirkan, sementara kepala Isagi rasanya ingin pecah karena terlalu malu untuk memikirkan apa yang terjadi selanjutnya.

Ahk!”

Tapi jika ia terus menahan nutrisi Rin terlalu lama di tubuhnya juga tidak baik, otot-ototnya akan bermasalah dan kemungkinan yang lebih buruk dapat menyebabkan ia tereleminasi.

Isagi lebih tidak ingin hal itu terjadi!

“Lo masih sakit?” tanya Rin.

“Dari tadi juga sakit,”

“Kalo gitu gua bisa tunggu sampai-”

“Lakuin sekarang, Rin.” potong Isagi lebih dulu dengan tangan yang gemetar mengangkat baju hingga memperlihatkan perut bahkan dadanya yang masih basah kepada pemuda itu, “karena s-semakin lama semakin sakit, dan itu akan buang-buang waktu lo juga, kan?”

Rin pun mau tak mau menyetujui, “Oke?”

Ketika Rin membungkuk untuk mensejajarkan wajahnya dengan dada Isagi, tanpa sadar dada Isagi membusung karena menahan napas akibat gugup, membuat Rin tersenyum miring yang tentunya tidak bisa Isagi lihat saat itu.

“Beneran basah,” ucap Rin yang masih memperhatikan kedua puting Isagi, “dan pink. Heh, lo cowok, kan?”

“Ya, gue cowok lah! Terus nga-ngapain malah lo liatin lagian?!”

Wajah Isagi kian memerah karena dari tadi Rin hanya diam untuk sekadar memandangi dua buah dadanya. Isagi sendiri juga aneh, melihat Rin yang seperti itu justru membangkitkan sesuatu perasaan yang ia pun tidak mengerti.

“Gua cuma mau mastiin,” ucap Rin menggantung.

“Mastiin ap-mmphh!”

Isagi reflek menutup seluruh wajah dengan kedua tangan begitu merasakan area panas dan semakin basah di dada terutama putingnya—yang disebabkan oleh isapan seorang Itoshi Rin upaya mengambil kembali nutrisi miliknya.

Perasaan malu dan sensasi geli bersatu ketika Isagi sendiri merasakan adanya sesuatu yang diserap keluar dalam tubuhnya, ternyata Rin benar-benar bisa meminum nutrisi dari dalam tubuh ini lewat kedua putingnya!

Rin tiba-tiba menyudahi isapannya untuk sesaat lalu mendongakkan kepala ke atas hanya untuk menatap remeh ke arah Isagi yang juga menatapnya.

“Mastiin kalo lewat tete rata lo ini beneran ada nutrisi gua.” jawabnya atas ucapan menggantung tadi.

SIALANNN!!!!

Isagi tidak tahu ia harus bereaksi apa atas fakta tersebut, tetapi ia dibuat heran oleh Rin yang justru kembali berdiri tegak. Apakah mereka selesai secepat itu?

“Gua capek bungkuk terus, lo terlalu pendek.”

Isagi lantas mendengus kesal, “Ya, maaf kalo gue pendek?! Salah sendiri lo juga ketinggian!”

Rin tidak menanggapi ucapan Isagi dan ia justru langsung duduk begitu saja di atas kloset yang tertutup. Belum sempat Isagi kembali mengomel, tangannya sudah ditarik oleh Rin hingga menyebabkan dirinya jatuh duduk beralaskan paha pemuda itu di bawahnya.

“R-Rin?!”

“Posisi ini lebih enak.”

Tanpa menunggu reaksi Isagi lagi, Rin sudah kembali melahap dada kanan Isagi dan juga mengulum putingnya. Mau tak mau Isagi kembali menutup mulut lagi, tapi kali ini dengan menggigit ujung baju seperti yang disarankan Rin karena kedua tangannya secara tanpa sadar sibuk memeluk kepala sang striker nomor satu itu.

Rin sendiri terlihat tidak masalah dengan hal itu. Ia sendiri pun selagi mengisap kedua puting Isagi bergantian, tangannya sudah ikut melingkar nyaman pada pinggul pemuda di pangkuannya ini.

Kepala Isagi sungguh pusing, mulut panas Rin benar-benar menguasai area dadanya, bahkan Isagi sampai tidak tahu sebenarnya Rin hanya mengisap putingnya atau ikut melumat buah dadanya.

Apakah Rin tidak sadar bahwa Isagi laki-laki? Hanya kebetulan saja ada nutrisi di tubuhnya yang menyebabkan kondisi aneh seperti ini, tidakkah Rin merasa enggan atau jijik dengan mengulum puting seorang laki-laki lain seperti ini?

Akhirnya di sela-sela kegiatan mereka ini Isagi memberanikan diri untuk menundukkan kepala, berniat untuk melihat Rin. Tetapi mata Isagi langsung membelalak begitu melihat pemandangan di depannya sangat berbeda dengan apa yang ia bayangkan.

Rin yang ia pikir sedang berwajah marah justru dari tadi tengah asyik mengisap dan meminum nutrisi dari kedua putingnya dengan mata yang terpejam—menikmati aktivitasnya dengan tenang.

Saat itu juga sensasi aneh kembali muncul dalam diri Isagi yang entah kenapa melihat Rin sebegitu menikmatinya membuat ia... senang.

Tunggu, senang?! Apa Isagi sudah gila?!

Jelas-jelas ia berada dalam posisi paling tidak menguntungkan yaitu seperti sedang menyusui bayi besar yang padahal dia adalah rival terhebatnya. Lebih parahnya lagi dia bukan sedang meminum susu! Melainkan nutrisi untuk membuatnya tubuhnya semakin kuat!

Bagaimana bisa Isagi merasa senang dalam kondisi seperti ini? Isagi rasa ia benar-benar kelelahan dan membuat dirinya jadi tidak bisa berpikir jernih.

“R-Rin? Masih banyak?” bisik Isagi parau.

Mmhh?” Rin pun melepaskan isapannya tiba-tiba hingga menghasilkan bunyi ‘pop!’ yang makin membuat Isagi malu, “Gatau, lo sendiri masih ngerasa sakit, kan?”

Isagi mengangguk, “Ya-yaudah gue cuma nanya,”

“Atau lo mau lebih cepet lagi?”

“Maksudnya? AHH~

Isagi yang belum sempat memeroses keadaan pun dibuat langsung mengeluarkan suara aneh begitu saja akibat isapan Rin yang menguat secara tiba-tiba.

Ahhn– Rin! Pelan-pe-nggh!

Rin tidak mendengarkan sama sekali dan Isagi hanya mampu kembali menggigit ujung bajunya, mengalah. Rasa sakit mulai berkurang digantikan oleh sensasi menggelikan yang tanpa Isagi sadari jari-jari kakinya ikut menegang.

Benar adanya bahwa isapan kuat Rin memang mempercepat proses penerimaan nutrisi, karena dalam beberapa saat kemudian Isagi tidak merasakan rasa sakit sama sekali di dadanya. Ya, bisa dikatakan bahwa nutrisi tersebut sudah diisap habis oleh sang pemilik asli.

Heh, ternyata si Mata empat bukan sembarang omong, gua merasa stamina gua seperti terisi penuh.” ucap Rin begitu ia selesai.

Menyadari bahwa tidak ada reaksi dari Isagi, akhirnya Rin kembali mendongak ke atas dan mendapati wajah Isagi masih semerah tomat dengan napas terengah-engah.

“Kenapa? Gua gak ikut ngambil nutrisi lo juga, kan?” tanya Rin dengan alis terangkat satu.

Isagi menggeleng cepat, “Ngga, ngga sama sekali.”

Kemudian Isagi buru-buru bangkit dari atas tubuh Rin sebelum pemuda itu berkomentar lebih jauh. Rin hanya mengangkat bahunya cuek, dengan berani ia ikut bangkit untuk langsung membuka kunci dan pintu bilik toilet mereka.

Isagi menepi di belakang pintu sementara Rin mengedarkan pandangannya untuk memeriksa keadaan di luar bilik.

“Gak ada siapa pun,” kemudian Rin menoleh pada Isagi yang sama sekali tidak berani menatapnya sejak selesai tadi, “kalo gitu gua keluar sekarang, lo belakangan.”

“O-oke.”

Rin dengan santai melangkah keluar dengan suasana hati yang jauh terlihat lebih baik ketimbang saat tadi sebelum mereka masuk ke bilik toilet.

Langkah kakinya yang mulai terdengar menjauh menandakan bahwa ia benar-benar sudah pergi dari sini dan Isagi bisa ikut keluar dengan tenang.

“Akhirnya selesai juga...”

Menghela napas lega, Isagi pun reflek mengelus dadanya dan dalam seketika ia sadar akan adanya perbedaan di sana.

Dengan cepat Isagi mengangkat bajunya hingga ke atas dan ia langsung bisa melihat kedua buah dadanya yang tadi masih rata kini sedikit lebih membengkak, dengan puting yang masih berdiri, semakin memerah, dan juga basah—yang semuanya disebabkan oleh seorang Itoshi Rin.

Tetapi wajah Isagi pun tak kalah merah, apa lagi ketika kilas balik kegiatan gila yang mereka lakukan di toilet malam ini sudah kembali berputar ulang di kepalanya.

Mulai dari Rin yang memandang ke dua buah dadanya, Rin yang memangkunya, mengisap putingnya, bahkan sampai wajah Rin... yang terlihat menikmati semuanya.

“Gue... GUE BENERAN ABIS NENENIN RINNN!!! AAAAAAA!!!” []

© 2023, roketmu.

Padahal Isagi hanya sedang bersiap untuk menerima nutrisi, tetapi entah mengapa ia bisa merasa setegang ini. Apa jangan-jangan Isagi takut untuk diinfus seperti yang Bachira katakan? Tapi tidak juga, ia tidak terlalu takut terhadap jarum suntik sejak kecil.

Apa karena ruangan yang digunakan untuk pemberian nutrisi ini dipenuhi alat-alat canggih yang ia tidak mengerti? Tapi sepertinya itu alasan yang tidak masuk akal juga karena Isagi sudah banyak melihat kecanggihan lainnya semenjak masuk di Blue Lock ini.

“Cepet selesain, Mata empat sialan. Jangan buang-buang waktu.”

Ah, atau mungkin orang inilah jawabannya.

Isagi melirik Rin yang selalu berwajah dingin seakan tidak memedulikan apa pun kecuali dirinya sendiri. Ya, Isagi yang datang dan dipasangkan bersamanyalah yang membuat Isagi merasa setegang ini.

Sudahnya tidak bisa diajak bicara, sekalinya berbicara juga selalu menghina. Isagi heran sekali dengan sifat anak yang penuh dendam satu ini. Untung dia memiliki wajah yang enak dilihat dan juga keahlian bermain sepak bola yang spektakuler. Kalau tidak pasti minimal satu orang akan berusaha untuk memukulinya sampai babak belur.

“Isagi Yoichi dan Itoshi Rin, ya? Kalian dua pemain terakhir yang menerima nutrisi untuk hari ini, silakan berbaring.” ucap Anri ramah, satu-satunya wanita yang pernah Isagi lihat di Blue Lock.

Tidak ingin berlama-lama merasakan hawa setegang ini, Isagi buru-buru melangkah untuk merebahkan diri di ranjang pasien yang telah disediakan. Dua ranjang yang tidak terlalu berjauhan dengan meja kecil sebagai pembatas yang juga digunakan untuk meletakkan peralatan seperti suntik, kapas, dan lainnya.

Isagi sudah tahu dari Bachira bahwa proses pemberian nutrisi mereka seperti ketika sedang diinfus, bedanya nutrisi tersebut bukan terdapat dalam kantung infus melainkan selang di tangannya hanya terhubung pada alat canggih seperti tabung oksigen besar yang hanya terdapat satu buah di sana.

Bisa Isagi lihat Ego dan Anri sedang mengotak-atik bagian monitor layar sentuh mereka, mungkin sedang mengatur untuk memberikan nutrisi sesuai dengan porsi kepada penerimanya.

“Kalian siap, ya?” tanya Anri.

Isagi dan Rin mengangguk, lalu dalam hitungan tiga detik pun sistem dijalankan dengan semestinya. Isagi juga tahu itu.

Ahh!”

Tetapi yang Isagi tidak tahu adalah rasa sakit ketika menerima nutrisi tersebut. Sakit seperti sesuatu cairan dipaksa masuk penuh ke dalam tubuhnya. Apakah memang proses sesungguhnya seperti ini?

“Gawat, Pak! Kayaknya ada yang salah!”

Tetapi Anri yang terlihat panik membuat Isagi ikut merasa cemas, apa lagi saat ia berusaha untuk kembali melakukan sesuatu yang tidak Isagi mengerti pada komputernya.

“Gimana bisa kayak begini, Anri? Kalo gitu coba dikembalikan seperti semula,” Ego yang biasanya terlihat malas menanggapi saja sampai ikut panik.

Isagi melirik Rin yang masih saja diam di posisinya seperti tadi, apa laki-laki itu tidak merasakan sakit sama sekali? Atau ia sedang menyembunyikannya?

“Gak bisa, Pak! Nutrisi yang harusnya diberikan ke Itoshi Rin udah masuk semua ke dalam tubuh Isagi Yoichi!”

Tunggu- apa tadi katanya?

“Kalo begitu coba masukkan nutrisi yang baru pada tubuh Itoshi Rin, minimal dia harus dapat juga.”

Anri terlihat kembali berusaha, tetapi sayang raut frustasi di wajahnya beserta jawaban yang ia berikan hanya bisa membuat Ego mendecih dan tidak dapat berkutik lagi.

“Gak bisa juga! Alat udah terprogram untuk memberikan jatah yang sesuai tiga kali dalam seminggu supaya gak munculin kecelakaan di masa depan!”

Ck. Masa depan yang dimaksud itu sekarang, tapi kecelakaan lain udah lebih dulu muncul!”

Isagi sungguh tidak mengerti dengan apa yang terjadi di sini. Nutrisi milik Rin masuk ke dalam tubuhnya? Tidak bisa dikembalikan? Kecelakaan? Apa maksudnya semua ini!?

“Pak Ego, Bu Anri, maksudnya gimana, ya? Kecelakaan? Nutrisi yang harusnya punya Rin itu masuk ke tubuh saya semua?”

Anri mengangguk dengan pandangan bersalah, “Benar, Isagi, ini murni kesalahan sistem.”

“Jadi saya kelebihan nutrisi, sementara Rin jadi gak bisa dapet sama sekali?”

Suara decihan di samping Isagi langsung terdengar yang berasal dari si pemilik nutrisi. Rin pun bangkit untuk duduk dan mencabut selang infusnya secara paksa.

“Gua gak peduli. Harusnya dari awal gua gak buang-buang waktu di sini dan lebih baik fokus untuk latihan.”

Pihak yang paling dirugikan di sini memang dirinya, wajar jika ia marah.

Rin ingin segera melangkah pergi tapi ucapan Ego lebih dulu menahannya, “Percuma, nutrisi yang saya kasih itu bukan alasan kesehatan belaka, ini demi stamina kalian, semua pemain sudah dapat dan kamu bakal jadi pemain terlemah tanpa nutrisi dari saya itu.”

“Ha!?”

Ego pun ikut melirik Isagi yang sudah dalam posisi duduk di ranjangnya, “Kelebihan nutrisi juga gak baik, Isagi Yoichi akan merasakan sakit terutama pada otot-otot tubuhnya.”

“Terus kita harus gimana, sialan?!”

Bentakan Rin membuat semuanya mendadak terdiam. Tidak ada yang mengetahui jawaban soal ini karena mereka sama sekali tidak terbayangkan akan terjadi kecelakaan yang seperti ini.

Namun, di saat mereka diselimuti suasana senyap penuh kefrustasian, saat itu juga Isagi merasakan sakit di daerah dadanya, terutama pada putingnya yang seperti ingin mengeluarkan sesuatu...

Ahh! Dada gue!”

Rintihan Isagi membuat mereka langsung memusatkan perhatian pada dirinya—hingga ketiga pasang mata itu membelalak bersamaan begitu melihat Isagi kini tengah memegang dadanya yang terlihat... basah?

“Isagi Yoichi! Kamu gapapa?”

Isagi menggeleng, “Gak tau! Rasanya sakit... dan kayak ada sesuatu yang terus keluar!”

Melihat itu Anri langsung kembali pada komputer dan monitornya, ia juga kembali melakukan sesuatu yang Isagi tidak mengerti, tapi wajahnya yang tiba-tiba sumringah membuat Isagi berharap adanya jawaban atas masalah ini.

“Ternyata nutrisi yang berlebihan itu dapat dikeluarkan lewat puting Isagi!”

SIAL! ITU BUKAN JAWABAN YANG IA HARAPKAN SAMA SEKALI!

“Hah?!”

“Jadi maksud kamu Itoshi Rin hanya bisa mengambil nutrisinya dari sana?” tanya Ego yang secepat kilat sudah mulai ikut tenang di saat Isagi masih terkejut bukan main.

“Benar, Pak! Nutrisi itu masih dalam takaran yang sempurna dan bisa diterima oleh tubuh Itoshi Rin! Sangat baik juga keluarnya di sana sehingga belum melewati proses pencernaan karena tubuh Isagi Yoichi tidak bisa mencerna bahkan mengolahnya menjadi stamina!”

Wajah Isagi mendadak pucat atas penjelasan panjang lebar Anri, “A-apa gak ada cara lain untuk mindahinnya? Mungkin kayak donor darah atau proses yang lain?”

“Untuk sekarang hanya itu satu-satunya cara terbaik.” final Anri.

Rin lagi-lagi mendecih kesal, ia sudah muak, “Konyol. Gua gak peduli, gak mungkin gua mau terima nutrisi dari tubuh orang lain!” ia benar-benar marah kali ini dan bersiap untuk menghajar siapa pun yang menghalanginya untuk keluar, “Buka pintunya! Kalian harus bayar kerugian yang udah gua alami dari waktu yang sia-sia ini!”

“Tunggu, Itoshi Rin!” cegah Ego yang langsung berdiri di depan pintu, “Nutrisi yang saya buat adalah yang terbaik untuk para pemain lemah di Blue Lock ini termasuk kamu! Isagi Yoichi juga akan dalam bahaya seperti yang saya katakan karena nutrisi tersebut harusnya hanya diterima oleh kamu!”

Anri mengangguk menyetujui, “Kami melakukan ini demi karir kalian dan juga masa depan sepak bola negara! Kami minta maaf atas kecelakaan yang terjadi dan kami berjanji akan segera mencari cara untuk mengatasinya!”

“Kalian berdua juga adalah pemain unggul di antara yang lain, apa karena masalah seperti ini saja kalian siap untuk menerima konsekuensi jadi pemain yang terlemah lalu tereleminasi?”

Tubuh Isagi dan Rin lantas tersentak secara bersamaan mendengar fakta tersebut. Mereka saling lirik untuk sesaat, kecanggungan dan kefrustasian jelas terlihat di wajah keduanya saat ini.

“Saya... gak mau dieleminasi! Saya yang bakal jadi striker nomor satu di dunia!” ucap Isagi akhirnya.

“Gua juga akan ngelakuin apa pun demi jadi striker nomor satu dunia.” begitu pula Rin yang bersikeras.

Mendapatkan reaksi yang lebih tenang dari dua pemain, Ego pun langsung menyeringai lebar, “Inilah salah satu sikap egois yang harus kalian tanamkan, meski harus melakukan hal senekat apa pun jika itu adalah peluang untuk meningkatkan kemampuan dalam menjadi striker nomor satu, kalian harus tetap mengambil dan menerimanya. Seperti inilah jiwa striker yang saya tunggu-tunggu!”

Kini Ego tertawa menyebalkan sementara Isagi menghela napas berat di sela bisikannya, “Ini bukan egois, kita cuma gak punya pilihan lain...”

Anri ikut tersenyum lega, kemudian ia kembali berkutik pada monitornya sebelum mendekat ke arah Isagi untuk mencabut selang di tangannya dengan perlahan dan kemudian memberinya perban.

“Kami akan mengatasi hal ini secepatnya pada pemberian nutrisi yang kedua. Untuk sekarang, gunakan cara apa pun untuk bisa mengeluarkan nutrisi itu, ya, Isagi Yoichi.”

Isagi mengangguk lemah, “Baik...”

Kemudian ia juga beralih ke tangan Rin yang tadi sedikit berdarah untuk ikut diperban lebih banyak karena cabutan paksa yang dilakukannya.

“Dan gunakan juga cara secepat apa pun agar dapat kembali menerima nutrisi punya kamu, ya, Itoshi Rin.”

Hn.

Anri dan Ego tersenyum pada keduanya sebelum mereka benar-benar keluar dari ruangan ini seraya berkata,

“Hal ini akan menjadi rahasia di antara kita berempat, jadi kalian bisa tenang tanpa perlu memikirkannya berlebihan. Selamat beristirahat.” []

© 2023, roketmu.

Isagi tahu ia bodoh, jadi tolong siapa pun jangan beritahu dirinya lagi soal fakta tersebut.

Isagi tahu ia memutuskan segala hal tanpa berpikir panjang, ia selalu mengikuti kata hatinya untuk melakukan sesuatu tindakan yang nantinya akan ia sesali. Contohnya seperti sore ini, ia memang berniat ingin menghibur Rin dan membuatnya bahagia, tetapi sekarang ia seperti mati kutu tidak tahu harus berbuat apa selain berpikir untuk melarikan diri.

Pergi ke pantai? Berdua saja dengan Rin? Apa lagi ini namanya jika bukan membangun suasana yang romantis di antara keduanya?

“Ayo, Sa. Kita masih bisa jalan-jalan dulu di pinggir laut sebelum sunset.”

Apa lagi senyum manis Rin belum juga luntur sejak mereka tiba di sini. Walau memang betul sih, membuat Rin bahagia adalah tujuan utamanya, tetapi tetap saja Isagi juga kesal melihat Rin bisa sebahagia itu oleh hal sepele seperti ini.

Hah, lebih tepatnya Isagi tahu bahwa Rin memang bahagia jika bersama dengan dirinya.

Beneran full nyengir ini orang, cibirnya dalam hati.

Rin yang biasanya hanya memberikan tatapan datar dan sinis ke orang lain, kini tidak bisa menurunkan senyumnya yang mengembang sehangat mentari, dan Isagi bersyukur bahwa ia lah orang yang paling sering melihat sisinya yang seperti ini, yang tanpa Isagi sadari pun senyum ikut terukir di wajah manisnya.

“Lo cuma mau jalan-jalan? Gak berenang gitu?” Isagi akhirnya ikut mengimbangi langkah pria yang lebih tinggi itu untuk bertanya, lebih tepatnya mengurangi kecanggungan di antara mereka.

Hm? Engga,” Rin terlihat berpikir dan detik kemudian menatapnya tajam, “kamu yang sebenernya mau berenang, ya? Gak boleh. Aku gak suka kamu telanjang terus dilihatin orang lain.”

“SIAPA JUGA YANG MAU?!” bentak Isagi kesal.

Hehe, maaf, maaf, yaudah kamu maunya apa?”

Isagi mendecih, “Yang mau ke pantai itu elo, jadi gue yang harusnya ngikutin lo maunya ngapain,”

”Mau ciuman sama kamu,”

“GUE PULANG!”

Isagi berniat untuk membalik badan tapi Rin lebih dulu menahan pergelangan tangannya, “Aku bercanda, aku udah seneng dateng ke sini berdua sama kamu, jadi gak perlu ngapa-ngapain pun gapapa.”

Mendengar penjelasan Rin dengan nada lembutnya, membuat Isagi tidak lagi berkutik dan dengan canggung langsung menepis pelan tangan Rin yang tadi memegangnya.

“Kalo gitu gue aja yang mutusin, g-gue, gue mau main pasir! Haha! Iya gue mau main pasir!”

Isagi yang masih salah tingkah pun langsung berjongkok untuk mengacak-acak pasir di hadapannya saat itu juga, sementara Rin justru melihatnya seperti anak anjing yang tengah mencari mainannya, sangat menggemaskan.

“Kamu mau bikin apa?” Rin ikut berjongkok di depan yang lebih kecil, bukan untuk melihat pasirnya, tetapi untuk memandangi wajah Isagi yang kini tengah memerah menahan malu sambil terus menggali.

“Bikin kuburan! Mending bantuin gue daripada cuma ngeliatin!”

“Oke, bikin dua saling sampingan, ya?”

“Ngapain? Capek tau,”

“Supaya nanti kalau aku dikubur, kamu bisa nemenin aku di sampingnya. Tapi jangan kamu yang mati duluan ya, Sa. Aku gak bisa hidup tanpa kamu.”

Tangan Isagi berhenti menggali untuk sesaat, “Apaan sih, siapa juga yang mau bikin kuburan buat lo atau gue? Cuma bikin doang, jangan ngomong aneh-aneh!”

Rin hanya tersenyum dan terus menggali bersama Isagi. Sementara Isagi sendiri tengah berusaha mengabaikan ucapan Rin yang entah mengapa membuat jantungnya berdebar lebih cepat dan juga hatinya sedih di saat yang bersamaan.

Beberapa menit mereka lalui dengan hanya saling menggali pasir ditemani dengan suara-suara menenangkan yang datang dari laut di samping mereka. Orang-orang yang tadi hadir mulai meninggalkan pantai dan membuat area semakin sepi, menghasilkan suasana yang lebih intim untuk keduanya saat ini.

“Aku kangen, Sa.”

Ucapan Rin yang tiba-tiba kembali memecah keheningan, tetapi tidak menghentikan tangan Isagi untuk terus menggali pasir dengan semangat.

Haha, sama, gue juga kangen main pasir, udah lama rasanya gak ke pan-”

“Aku kangen kita.”

Namun, akhirnya tangan itu berhenti bergerak begitu suara tersebut terdengar bersamaan dengan Rin yang menyentuh punggung tangannya lembut. Isagi mengangkat kepalanya, hingga manik zamrud dan safir itu kembali bertemu untuk kesekian kali.

“Aku kangen kita,” ulang Rin, “aku dan kamu, berdua kayak gini.”

“Gak jelas, haha,”

Isagi menarik tangannya dan tertawa canggung, ia bersiap untuk kembali menggali tapi kali ini Rin meraih tangannya untuk ia genggam—mau tak mau membuat Isagi memusatkan perhatiannya penuh pada Rin.

“Aku serius, Isagi Yoichi.”

Mengetahui bahwa kini ia memiliki waktu berdua dengan Isagi dengan suasana hati dan pikiran yang mendukung, membuat Rin berpikir bahwa saat ini adalah waktu yang tepat untuk Rin mengatakan semua rahasia yang ia sembunyikan pada Isagi selama ini.

Karena seperti yang dikatakan Reo, ia harus segera memberitahu Isagi semuanya sebelum terlambat, sebelum Isagi hanya akan semakin membencinya.

Terlepas dari apa pun jawabannya nanti, setidaknya Rin sudah jujur dan tidak ada lagi rahasia yang ia tutupi dari Isagi.

“Maaf, Sa, aku baru berani untuk ngomong ini sekarang, terserah kamu mau percaya atau engga, tapi kamu harus tahu semuanya,”

“Tahu apa?” Isagi menatapnya bingung.

“Aku minta maaf, walau aku tahu apa yang aku lakuin ini emang gak termaafkan, tapi seenggaknya aku mau jujur sama kamu, dan aku gak mau ada rahasia lagi yang aku tutupin ke kamu,”

“Rin, lo ngomong apa-”

“Malam itu aku gak selingkuh dari kamu, tapi aku pura-pura selingkuh, Sa.”

Ah, ia mengatakannya.

Mendengar itu Isagi tersentak, wajahnya mendadak kaku. Rin tahu itu tapi ia tetap tidak bisa menghentikan ucapannya.

“Kamu tahu? Dia itu Hiori, sepupu aku, malam itu aku sengaja minta tolong sama dia untuk bantu nemenin aku dan pura-pura untuk ciuman di depan kamu,” napas Rin tercekat, ia bahkan menundukkan kepalanya karena takut untuk melihat wajah kecewa Isagi, “aku sengaja ngelakuin itu, Sa. Saat itu aku kacau, aku gak mau kamu tahu masalah aku yang sebenarnya, aku gak mau kamu dituduh yang bukan-bukan, aku gak mau mereka jadiin kamu sebagai alasan hal buruk terjadi di hidup aku, aku gak mau kamu merasa bersalah sama sekali, Isagi,”

Isagi masih diam tak berkutik, membuat Rin mau tak mau terus melanjutkan ucapannya meski ia tahu mungkin Isagi ingin segera pergi dari hadapannya saat ini juga.

“Orang tua aku gak pernah setuju aku pacaran sama kamu, mereka selalu cari cara buat misahin kita bahkan sampai sekarang ini! Mereka mau ngadain pertunangan untuk aku secepatnya supaya aku bisa lepas dari kamu… tapi aku gak mau, Sa, aku cuma mau sama kamu.”

Rin kini meraih kedua tangan Isagi yang terkulai lemas di hadapannya, ia genggam erat upaya ikut menyalurkan bagaimana perasaannya terhadap Isagi yang tak pernah berubah dari dulu hingga saat ini.

“Tapi saat itu aku bodoh, Sa. Aku pikir dengan aku berpisah sama kamu maka itu yang terbaik untuk kita berdua, padahal ternyata engga sama sekali. Aku gak bisa mutusin kamu, sampai kapan pun gak akan, tapi aku juga gak boleh egois. Kamu bisa ketemu sama orang yang lebih baik dari aku, jadi dengan gegabah aku pakai cara pura-pura selingkuh itu, supaya kamu putusin aku, benci aku, karena tanpa cara ini aku pikir kamu gak akan putusin aku, aku tahu kamu sayang banget sama aku karena kamu orang yang sangat baik, Isagi.”

Ingatan tentang awal kisah mereka bermulai kembali berputar dalam otak Rin. Bagaimana seorang anak laki-laki dengan sifat yang sangat buruk hingga satu pun orang tidak ingin bergaul dengannya, bertemu dan jatuh cinta dengan anak manis pantang menyerah yang selalu hadir dan terus memaksakan diri untuk masuk ke dalam hidupnya.

Hadir untuk mengulurkan tangan dan menariknya keluar dari dunia yang penuh rasa kemuraman, hadir untuk memberikan pelukan yang seakan menghangatkan hari-harinya yang sedingin malam, dan hadir untuk memberikan cinta yang seketika mewarnai hidupnya yang tadinya dipenuhi kelam.

Kisah kasih yang seharusnya akan terus berjalan manis, jika hari itu tidak datang dan kebodohan menguasai si anak laki-laki bersifat buruk hingga melakukan keputusan paling buruk di hidupnya.

Rin tersenyum miris menyadari itu, “Ya, aku pikir itu yang terbaik untuk kita berdua, padahal aku hancur, Sa. Aku tanpa kamu gak bisa. Selama lima tahun ini aku gak diam, aku berusaha cari cara untuk ngeraih kamu lagi, tapi setelah tahu kalau kamu block semua akun sosial mediaku dan sempat hilang juga, aku takut aku gak bisa lihat kamu aktif lagi, jadi aku berhenti… untuk sementara,”

Isagi hadir bagai melengkapi kekurangan dalam hidup Rin. Isagi adalah kepingan inti yang tidak boleh hilang dalam puzzle hidup Rin. Isagi adalah seseorang yang paling berharga dalam hidup Rin. Isagi adalah orang yang harus selalu ada bersama Rin.

Setiap malam Rin berdoa agar Tuhan kembali mempersatukan dirinya dengan Isagi, dengan cara apa pun, memberinya kesempatan kedua dan terakhir untuk memperbaiki semuanya—kembali memulai apa yang sebenarnya belum selesai.

“Dan akhirnya hari itu tiba, hari ketika takdir berpihak sama aku, saat kamu melamar di perusahaan aku, saat itu juga aku tahu kalau aku gak boleh ngelewatin kesempatan ini sama sekali, aku harus kembali ngeraih kamu untuk kembali hadir di hidup aku, Sa…”

Rin kini memberanikan diri untuk menatap Isagi sebelum menyelesaikan ucapannya, “Aku gak bisa hidup tanpa kamu. Aku cinta, aku sayang kamu selamanya. Aku gak mau ngebiarin kamu pergi dari hidup aku lagi! Aku bahkan takut untuk berpikir gimana masa depan aku dengan kamu yang gak hadir di dalamnya.”

Napas Rin terengah-engah begitu ia sudah berhasil mengeluarkan apa yang selama ini ingin ia katakan pada Isagi.

Keheningan juga kembali menyelimuti, mereka terdiam sesaat dan hanya menikmati bagaimana angin laut sore membelai helai rambut keduanya.

Sampai akhirnya suara kekehan Isagi terdengar, membuat Rin bertanya-tanya dengan hati yang penuh rasa gelisah dan takut.

“Butuh waktu yang lama juga buat lo nyeritain ini, ya, Rin?”

Rin mengerutkan dahinya bingung, “Ma-maksud kamu, Sa?”

Isagi tersenyum tipis sambil menarik tangannya dari genggaman Rin yang sudah melonggar.

“Lo pikir gue gak tau? Hiori udah ngejelasin semuanya ke gue di hari yang sama ketika kita putus, Rin.” []

© 2023, roketmu.

Kelopak yang menutupi netra biru safir itu mengerjap beberapa kali selagi sang empu mencoba mengumpulkan semua kesadarannya. Terik matahari yang mengintip di balik tirai hotel memaksa ia untuk setidaknya bangkit dari tidur karena waktu sepertinya sudah menunjukkan siang hari.

Isagi Yoichi menatap ke arah sekeliling dengan seksama sebelum akhirnya ia tersenyum lega, “Yes, ternyata cuma mimpi!”

“Apanya yang mimpi?”

Jantung Isagi langsung berdetak lebih cepat begitu suara lain ikut muncul, ketika ia menoleh ke arah suara yang tepat berada di bawahnya, ia menemukan seseorang tengah memeluk pinggangnya sedari tadi tanpa ia sadari sama sekali.

DUAAAGHHH!!!

Satu tendangan sukses Rin terima hingga membuatnya jatuh dari ranjang saat itu juga. Rin meringis kesakitan, sementara Isagi segera meraih selimut untuk menutupi seluruh tubuhnya.

“Jadi bener... gue sama lo...?”

Rin yang masih berada di lantai mengangguk, “Ya. Karena lo semalem mungkin gak denger apa yang gua bilang, biar gua ulangin semuanya, dimulai dari perkenalan diri.” kemudian Rin mengulurkan tangannya pada Isagi, bersiap berjabat tangan, “Gua Itoshi Rin, kita satu angkatan, satu jurusan, tapi beda kelas, dan gua enigma.”

Isagi tertawa meremehkan, “Sejak kapan di kampus kita ada enigma? Lo jangan bercanda, Itoshi Rin. Lo emang berhasil nidurin gue dan jadiin gue bottom lo kemarin, tapi gue ini tetep alpha!”

“Lo udah gua ubah jadi omega,”

“Dibilang gue ini alpha!”

Isagi pun bangkit berniat untuk memukul Rin yang berada di lantai, tapi area belakangnya yang sakit dan kakinya yang lemas membuat ia akhirnya tak sengaja jatuh hingga menimpa tubuh Rin—dengan keduanya yang masih dalam keadaan tubuh polos tanpa benang.

“Lo udah jadi omega, Isagi. Gua yang ubah lo kemarin, bahkan kita juga udah jadi mate.” bisik Rin lembut, tepat di telinga Isagi.

Sementara Isagi menatap Rin dengan tidak percaya hingga wajahnya memerah total. Rin yang tidak mau membuat miliknya kembali berdiri pun buru-buru mengangkat Isagi kembali ke atas kasur dan segera menutupi tubuh yang lebih kecil dengan selimut.

“Gak mungkin gue jadi omega! Gak percaya! Mana ada lo enigma! Lo juga alpha, anjing!”

“Mau coba cari tau?”

“Hah?”

Isagi yang terus menyangkal justru membuat Rin kehilangan kesabarannya. Feromon mulai ia keluarkan dari tubuhnya dan seketika tubuh Isagi dibuat merinding.

“Apaan ini... gue kenapa?”

Perlahan tubuhnya juga memanas, napasnya terengah-engah, dan sesuatu cairan dari bawah sana ikut keluar perlahan yang membuat sekujur tubuh Isagi benar-benar memerah dan berkeringat tak nyaman.

Melihat itu hanya membuat Rin ikut berada dalam bahaya, akhirnya ia pun menghentikan aksinya. Dalam beberapa detik kemudian napas Isagi mulai kembali normal dan tubuhnya tak sepanas tadi.

Isagi pun menundukkan kepalanya, ia tidak percaya dengan fakta yang baru saja ia terima, atau lebih tepatnya fakta dari semalam yang tidak mau ia terima.

“Gue... beneran jadi omega?”

Tanpa bisa ditahan lagi, Isagi pun menangis. Rin yang melihat itu segera mendekat untuk kembali memeluk Isagi kesekian kali. Dan seperti mantra sihir, segala keresahan dalam diri Isagi ikut sirna perlahan digantikan oleh kenyamanan dari feromon menenangkan dan pelukan yang Rin berikan.

“Gue masih mau nangis... ini pasti gue tenang gara-gara gue udah jadi omega lo, ya?”

“Mungkin? Tapi yang penting lo berhenti nangis untuk sekarang.”

Tak dapat dipungkiri, Rin kini tengah menahan senyumannya yang seperti orang idiot hanya karena mendengar 'omega lo'—yang berarti Isagi benar-benar telah menjadi omeganya. Omega miliknya. Omeganya Rin.

“Lo juga gigit gue,” Isagi juga menyentuh tengkuknya yang terasa sedikit perih, “jadi kita beneran mate, nih? Lo kenapa gigit gue, anjing! Lo dendam sama gue karena gue cuma mau main-main sama lo, kan?” Isagi memukul-mukul dada Rin dengan kesal, tetapi jawaban Rin setelahnya membuat ia tertegun sejenak.

“Orang tolol mana yang mau jadi mate sama orang cuma karena dendam?”

Isagi mencibir, “Gue pikir lo emang tolol? Lagian aneh banget masa mate sama orang yang baru lo temuin, kecuali kalo emang lo suka sama orang itu dari lama!”

Tidak ada jawaban sama sekali dari Rin selama beberapa saat membuat Isagi segera mendongak dengan tatapan panik. Benar saja, Rin yang diam dengan wajah memerah seperti tertangkap basah sudah langsung bisa menjadi bukti nyata atas pernyataannya barusan.

“Rin, lo beneran suka sama gue?!”

Rin mengangguk dengan guratan merah tipis yang sudah menjalar di sekitar pipinya. Kini ia meraih jemari Isagi untuk ia kecup penuh kasih sayang, “Gua suka sama lo, Isagi. Dari awal gua udah tertarik sama lo. Gua pikir gak ada kesempatan gua sama sekali buat deket sama lo karena lo alpha, dan lo juga alpha yang dominan,” Rin kemudian tersenyum tipis, hampir tak terlihat, “Tapi gak taunya lo sendiri yang dateng ke gua dan gua tau kalo kesempatan besar kayak gini gak akan datang dua kali, jadi harus gua manfaatin itu sebaik mungkin,”

“Ya, kan, karena gue taunya lo itu alpha! Kenapa lo gak bilang dari awal kalo lo enigma?” protes Isagi.

“Karena lo pasti bakal kabur, apa lagi?”

“Terus berarti selama ini rumor lo yang emang masih virgin dan jomblo itu...” yang lebih pendek menggantung ucapannya untuk melirik Rin yang kini mengangguk mantap.

“Bener. Karena gua cuma mau sama lo.”

Isagi pun tersenyum kikuk, “Aw, ternyata gue yang tolol.”

Melihat itu justru membuat Rin tak lagi bisa menahan gemasnya, ia kembali mengeratkan pelukannya pada Isagi dan mengecup keningnya penuh sayang. “Maaf gua udah buat lo jadi omega, tapi gua udah gak bisa nunggu lebih lama lagi. Gua suka sama lo, Isagi. Gua bakal buktiin kalo gua bisa jadi mate yang baik buat lo, gua bakal tanggung jawab untuk semuanya,”

Isagi tidak tahu bahwa Rin yang awalnya ia pikir amat dingin dan cuek ternyata bisa jadi serewel ini untuk menjelaskan perasaannya pada Isagi. Pada orang yang ia sukai, katanya.

“Soal perasaan gua, terserah lo mau bales suka atau engga, yang penting gua selalu ada buat lo, ngelindungin lo, dan mencintai lo sepenuh hati. Jadi... jangan tinggalin gua, Isagi.”

Hati Isagi dibuat hangat mendengar rentetan kata yang Rin ucapkan dengan tulus hanya untuknya. Katakan Isagi bodoh, tapi siapa yang tidak terbawa perasaan jika ada yang secara terang-terangan mengungkapkan hal seperti itu pada dirinya? Apa lagi selama ini Isagi memang belum pernah merasakan bagaimana menjalin kasih yang sesungguhnya, karena yang selama ini ia lakukan hanya banyak bermain-main dengan orang yang berbeda untuk memenuhi kebutuhan seksnya saja.

Bahkan setelah dipikir-pikir pun, jadi di bagian 'bawah' tidak terlalu buruk. Lagi pula bukannya dari awal Isagi sebenarnya memang sudah tertarik dengan Rin pada pandangan pertama? Ia rasa, gender dan posisi bukan lagi masalah untuknya.

“Tapi-arrghhh! Malu banget! Tetep aja harusnya gue jadi alpha lo! Kenapa ini malah sebaliknya? Harga diri gue sebagai alpha paling keren yang suka gonta-ganti temen tidur bakal ilang,” Isagi mengerucutkan bibirnya kesal, “Gue bakal kangen di saat-saat gue di posisi atas nanti...”

“Kalo lo mau di posisi atas juga masih bisa kok, Sa.”

Isagi kembali menoleh dengan semangat, “Beneran?”

“Iya, cowboy position.”

Dan satu tinju kecil dihadiahkan pada dada bidang sang enigma yang kini terkekeh.

“Ngeselin juga, lo! Kirain cuma anak muka tembok sok dingin yang kalo nongkrong buat balapan doang dan sering nyakitin anak orang lain,”

“Tapi ternyata bisa jadi sebucin ini?”

“Iya!” Isagi mendengus sombong kemudian, “tapi wajar sih pesona Isagi Yoichi emang gak bisa ditolak,”

Rin kembali mencuri kecupan singkat dari bibir Isagi dan kemudian tersenyum tipis untuknya, “Betul, cuma ke Isagi aja aku begini.”

Merasa dicintai sebegitunya oleh Rin, mau tak mau Isagi dan sisi omega dalam dirinya ikut terbuai. Wajahnya memerah tanpa ia tahu, dan gerakan refleknya untuk ikut menyamankan posisi pelukan dengan Rin menjadi tanda persetujuan bahwa ia menerima pemuda di depannya, dan juga percaya untuk selalu bersama dengan enigmanya.

“Kalo gitu... Tolong jaga diri gue baik-baik, ya, Rin?”

Oh, tanpa dipinta sudah pasti Rin akan melakukannya. Ia pun mengangguk dan kembali mengecup kening Isagi untuk yang kesekian kalinya.

Always, my omega.” []

© 2023, roketmu.

Malam itu akhirnya benar-benar datang.

Malam ketika Isagi akhirnya akan ‘tidur’ bersama alpha cantik yang telah memikat hatinya pada pandangan pertama. Walau memang berawal dari taruhan dan sekadar pembuktian, tapi Isagi akui ia juga sangat bersemangat dan menantikan saat ini tiba.

Begitu pintu kamar hotelnya diketuk, saat itu juga feromon Isagi keluar tanpa bisa ia kontrol lagi. Ia berlari ke arah pintu untuk membukanya, dan sosok Itoshi Rin yang datang walau hanya dengan setelan kasual telah mampu menaikkan gairah seorang Isagi Yoichi.

“Hai, Rin.” sapa Isagi dengan senyuman tipis.

“Hai.”

Duh, semakin dingin sifatnya, semakin mau gue telanjangin sekarang juga. pikir Isagi cabul.

Rin masuk perlahan dan meletakkan tasnya di atas nakas. Ia sempat melihat-lihat ke sekeliling ruangan sebelum akhirnya mengeluarkan beberapa barang penting yang membuat darah Isagi berdesir hebat.

“Gue juga bawa pelumas dan pengaman kok, kan udah gue bilang semua persiapan ada di gue,”

Rin mengangkat bahunya singkat, “Jaga-jaga kalau kurang.”

Isagi menahan napas setiap kali mata mereka bertatapan. Bagaimana mata indah hijau toska itu melirik, bulu mata bawahnya yang begitu lentik, membuat ia ikut membayangkan bahwa sebentar lagi bulu mata tersebut akan basah kala ia membuat si cantik menangis akibat kenikmatan yang ia berikan untuknya.

Ah, Isagi sudah tidak tahan.

Ketika Rin berusaha untuk melepas hoodienya, pelukan Isagi dari belakang membuat sang empu terdiam sejenak. Belum sempat Rin bertanya, tapi sesuatu yang keras sudah menekan paha belakangnya dan membuat ia langsung mengerti.

“Rin, gue udah gak bisa nunggu lagi.”

Isagi menarik tubuh Rin dan menyebabkan alpha tinggi itu berbaring lebih dulu di atas ranjang. Dengan feromon yang sudah keluar tidak karuan, Isagi merangkak mendekati Rin dan langsung mencium bibirnya.

Tidak ada tanda perlawanan sama sekali dari Rin yang berarti ia pun menyetujui permainan mereka untuk dimulai. Awalnya hanya ciuman biasa, tapi ketika Rin membuka mulutnya, ciuman yang diberikan Isagi lebih menuntut dan tergesa-gesa.

Bahkan tangan Isagi tidak tinggal diam untuk meraba-raba apa yang ada di balik kaus tipis yang dikenakan oleh Rin. Diam-diam Isagi merasa sedikit kesal begitu merasakan bentuk tubuh Rin yang memang lebih besar darinya ini ternyata juga lebih bagus darinya.

Olah raga jenis apa yang lo lakuin buat dapet tubuh sebagus ini, sih? pikir Isagi bertanya-tanya.

Karena Rin tetap diam dan membiarkan Isagi melakukan semuanya, ciuman yang tadi terlepas sesaat pun berganti menjadi hisapan dan kecupan singkat yang Isagi berikan di sekitar leher Rin.

“Feromon lo boleh juga buat alpha secantik lo ini,” ujar Isagi di sela-sela ia mencium dan menjilati leher si Itoshi bungsu.

Rin mendengus tipis, “Thanks, gua cuma ngeluarin sedikit.”

Lagi, ketika Rin bersuara dengan nada rendahnya yang menggoda, semakin pula Isagi tak bisa membendung nafsunya. Area bawahnya yang begitu sesak dan keras meminta untuk dikeluarkan dari sangkarnya detik ini juga.

Shit. Wait a second.”

Isagi bangkit sebentar untuk merampas pengaman yang tadi Rin letakkan di atas nakas mereka, dan dengan tergesa-gesa ia membuka lalu memakaikannya pada miliknya.

Isagi sungguh tidak sabar, harusnya masih ada beberapa foreplay lagi untuk peregangan, tapi ia harap Rin sudah melakukan persiapan terlebih dahulu sebelum ia datang ke hotel ini.

Namun, begitu Isagi bersiap untuk kembali menyerang Rin, ia tertegun melihat alpha cantik itu kini juga melakukan hal yang sama dengannya—memakai pengaman yang padahal sama sekali tidak diperlukan.

“Rin? Lo gak perlu pake juga kok, gue bersedia kotor bahkan sampai lo pi-“

Belum sempat ucapan itu terselesaikan, tubuh Isagi yang sedang linglung langsung direbahkan oleh Rin dalam satu kedipan mata. Isagi makin dibuat bingung begitu Rin kini melepas pengaman milik Isagi yang membuat sang empu meringis akibat gesekannya.

“Oh? Lo ternyata sukanya kalo gue yang gak pake pengaman? Heh, lo agresif juga, Rin.” Isagi berucap rendah disusul oleh seringai tipisnya.

Rin tidak menjawab sama sekali tetapi tangannya tetap sibuk bergerak membawa kedua tangan Isagi untuk ia letakkan tepat di atas kepala sang alpha bermata safir itu.

Eh? Tunggu.

Isagi bergelut dengan pertanyaan dalam pikirannya sendiri, sementara Rin sudah ikut naik ke atas ranjang dan kini mengukung Isagi yang tepat berada di bawahnya—dengan kedua tangan Isagi yang masih ia tahan di atas kepala sang alpha kecil.

Hingga ketika jeans dan celana dalamnya yang masih menggantung di paha Isagi mulai ditarik oleh Rin, saat itu juga Isagi merasa bahwa ada yang salah dari ini semua.

Wait, Rin, kayaknya lo salah paham, gue udah bilang sama lo kalo gue alpha top, kan? Gue dominan!”

Isagi berusaha melepaskan diri, tapi sialnya satu tangan Rin yang tiba-tiba menjadi kuat ini masih menahan kedua tangannya hingga tak mampu berkutik sama sekali. Bahkan ketika bagian bawah Isagi sukses polos pun ia masih belum bisa melawan tenaga yang sekuat iblis ini.

“Rin! Bentar, ini salah! Gue-”

“Gue yang harusnya di atas,” potong Rin cepat, “itu yang mau lo bilang, kan?”

Isagi mulai panik karena ia masih belum bisa juga melawan kekuatan satu tangan Rin di atas kepalanya. Apa lagi ditambah dengan atmosfer yang entah mengapa langsung berubah dalam sekejap, membuat Isagi merasa sangat kecil, terintimidasi, dan terkurung oleh Rin dan juga besarnya feromon yang keluar dari tubuhnya—menelan habis feromon Isagi yang seperti tidak ada apa-apanya.

“Lepas, Rin! Lo yang di bawah! Gue yang di atas!”

“Di atas?” Rin kini tersenyum sarkas, “Lo yakin?”

Sekujur tubuh Isagi lantas dibuat merinding begitu ucapan tersebut keluar bersamaan dengan Rin yang mulai menciumi leher Isagi dengan tangan besarnya yang juga ikut mengelus area pinggul telanjang Isagi perlahan.

“Maksud lo?” Napas Isagi bahkan ikut tertahan akibat sensasi menggelitik yang diberikan oleh usapan tangan Rin yang kini merembet ke arah paha miliknya, “Rin! Lepas! Ini salah! Gue alpha, bangsat! Gue alpha dominan!”

“Gua tau, gua juga bisa lihat,” Rin kembali melirik ke mata Isagi yang kini menatapnya nyalang, “tapi karena lo berniat tidur sama gua, lo harus ikut aturan main gua juga.”

Isagi menggeleng cepat, “Gak! Gak! Gak bisa! Gue gak mau! Lepasin gue, Rin!”

Isagi kembali memberontak walau semua hanya sia-sia, membuat Rin mau tak mau menangkup wajah sang alpha yang lebih kecil dengan satu tangan agar mereka kembali bertatapan.

“Lo pikir gua gak tau niat lo tidur sama gua karena tantangan itu? Karena gua alpha cantik yang masih jomblo?”

Berontakan Isagi langsung terhenti begitu mendengarnya. Sial, ternyata Rin sudah tahu niat busuknya dari awal. Apakah hal ini yang tadi ingin Chigiri dan Bachira katakan padanya? Kalau memang iya, Isagi tahu pasti hal buruk akan terjadi jika ia tidak segera minta maaf dan kabur dari sini.

Tetapi belum sempat Isagi mengeluarkan satu patah kata pun untuk membantah, Rin sudah lebih dulu melanjutkan ucapannya.

“Padahal asal lo tau,” tangan yang Rin gunakan untuk menangkup wajah Isagi kini ia gunakan untuk mengusap pipi sang alpha kecil, “lo yang paling cantik, Isagi.”

Saat itu juga wajah Isagi berubah menjadi merah padam dalam seketika. Usapan telapak tangan Rin yang dingin di atas pipinya yang hangat menimbulkan gemericik sensasi menyenangkan yang tidak disangka-sangka.

Bahkan senyuman yang juga ikut muncul di wajah Rin ikut menghangatkan hati Isagi, seakan menjadi remot kontrol tubuhnya untuk berhenti memberontak dan hanya ikut terbuai oleh tiap sentuhan yang diberikan oleh pemuda di atasnya.

“Lo paling cantik di antara para alpha, di antara para beta, juga di antara para omega. Lo paling cantik di antara semua manusia. Isagi Yoichi, lo yang paling cantik, Sa.”

Dan untuk pertama kali dalam hidupnya, seorang Isagi Yoichi benar-benar telah hilang kendali atas dirinya sendiri.


Entah bagaimana bisa seperti ini, Isagi juga tidak tahu. Semua berlalu begitu cepat. Rin sudah berhasil menguasai penuh dirinya, mendominasi dirinya yang sudah kalah telak dan hanya bisa pasrah melebarkan kaki untuk menerima setiap hentakannya.

Tetapi ciuman Rin yang memabukkan, sentuhan Rin yang memanjakan, dan bisikan kata-kata manis Rin yang menghangatkan hati, membuat Isagi juga tidak bisa mengelak—bahwa apa yang Rin lakukan telah membawanya pada kenikmatan yang belum pernah selama ini Isagi rasakan.

“Isagi...”

Ditambah dengan suara rendah Rin ketika memanggil nama Isagi di sela-sela erangannya, peluhnya yang kadang menetes kala ia bergerak menghentakkan pinggulnya, dan bagaimana helaian poni yang selalu berusaha ia singkirkan ke atas hanya agar dapat bertatapan kembali dengan Isagi di bawahnya.

Semua yang dilakukan Rin hanya membuat Isagi dimabuk kepayang dan tidak lagi dapat berpikir tentang hal lain kecuali fakta bahwa ia sedang bercinta dengan seseorang yang sangat seksi dan tampan bernama Itoshi Rin.

Isagi benar-benar ditelan habis oleh Rin dan juga feromon kuat yang menyelimuti mereka berdua. Entah Isagi juga sudah tidak tahu berapa kali ia mendesah dan meraung-raung menyebut nama Rin kala ia mencapai klimaksnya.

Tetapi kali ini ketika Rin ingin mencapai puncak kenikmatannya, dengan sempat ia mencabut pengaman yang membungkus miliknya terlebih dahulu dan menyebabkan ia keluar di dalam diri Isagi. Menembakkan begitu banyak benih dan mengisi penuh sang alpha kecil yang hanya kembali pasrah menerima semuanya.

Sampai di saat-saat kesadaran Isagi mulai hilang, dan di sela-sela Rin berusaha memastikan benihnya tidak ada yang terbuang, Rin menggunakan kesempatan itu untuk kembali berbisik rendah tepat di telinga si tersayang.

“Dan satu lagi yang perlu lo tau, lo salah.”

“Hah...?” Isagi bergumam lemah, tapi tetap menunggu Rin untuk menjawab rasa penasarannya.

“Gua bukan alpha,” Rin mengecup singkat bibir Isagi sebelum menunjukkan seringai tipisnya, “tapi enigma.”

Saat mendengar itu Isagi mendesah kuat, bukan hanya karena tubuhnya yang mengejang ketika ia kembali mencapai puncaknya, melainkan juga karena gigitan kuat Rin di tengkuknya yang meninggalkan bekas tak akan pernah hilang sebagai tanda bukti bahwa ia menjadi pasangan sang Itoshi bungsu—selamanya.

Akhirnya Rin mencabut miliknya dari Isagi dan ambruk tepat di samping pemuda bermata safir tersebut. Belum sempat Isagi bereaksi apa pun, kini ia sudah kembali merasakan sentuhan lembut dari Rin ketika memeluknya dari belakang sambil mengusap-usap perutnya perlahan.

“Gua bakal tanggung jawab penuh sama apa yang akan terjadi nanti,” Rin kini mengecup kening Isagi dengan sayang sebelum kembali mengeratkan pelukannya, “Sleep well, my omega.”

Sebelum kesadarannya benar-benar hilang oleh rasa penat dan juga kantuk, Isagi masih bisa menyadari akan satu hal soal ucapan Rin tentang dirinya sejak tadi.

Isagi salah karena telah mencoba mempermainkan Rin. Isagi salah karena telah menganggap Rin sebagai alpha biasa. Isagi salah karena telah terperangkap dalam jebakan yang ia buat sendiri dengan Rin sebagai pemenangnya.

Hingga semua hal itu membawa Isagi akhirnya bertemu pada satu kesimpulan bahwa ia tidak hanya salah, tetapi sialnya ia juga telah bermain-main dengan orang yang salah.

Dan orang itu ialah Itoshi Rin—sang enigma. []

© 2023, roketmu.

Tolong jangan katakan bahwa Isagi datang ke ruangan Rin karena ia peduli dan khawatir terhadap bosnya yang kurang ajar itu. Isagi datang semata-mata hanya untuk memberitahu kabar terkait jadwal si bos untuk sore ini.

Ya, lagi pula ini juga salah Rin karena tidak membalas pesannya. Jadi, sekali lagi, ini bukan kemauan Isagi melainkan hanya keterpaksaan dari bagian pekerjaan.

Atau itu lah yang ada di pikiran laki-laki penyuka lobster itu sebelum ia masuk ke dalam ruangan dengan pintu yang sejak tadi sudah terbuka, menampilkan sosok pria dewasa yang tengah terbaring di sofa dengan satu lengan menutupi mata.

“Rin?”

Isagi mengutuk mulutnya sendiri yang tidak sengaja mengeluarkan suara dan memanggil nama Rin. Karena hal itu telah membuat sang bos langsung tersadar hingga dengan cepat mengubah posisi baringnya menjadi duduk hanya agar terlihat normal di depan sang sekretaris.

“Isagi? Kenapa? Tumben kamu mau dateng ke ruangan aku tanpa dipanggil?”

Rin menyerbunya dengan banyak pertanyaan, membuat Isagi langsung mencari-cari ponsel milik Rin yang ternyata terletak di meja kantor yang cukup jauh dari sofa di mana si bos berbaring.

Handphone lo mati?”

“Engga? Oh, kamu ada butuh sesuatu? Maaf aku lagi pasang mode don’t disturb sementara, maaf ya, Isagi,”

Isagi menatap tidak suka setelah mendengar nada kecanggungan dalam ucapan Rin, “Banyak jadwal hari ini yang diubah, jadi lo bisa pulang sekarang dan istirahat di tempat yang lebih nyaman, bukan tiduran di sofa kayak tadi.”

“Oke, oke, kalo gitu kamu juga udah bisa pulang. Makasih banyak ya, Isagi. Pulang sama supirku lagi, ya? Jangan sama yang lain,”

Rin menunjukkan senyum tipisnya, walau Isagi tahu bahwa itu bukan senyuman yang seperti biasanya.

“Terus lo pulang kapan?”

Yang lebih muda sedikit tersentak, “Aku? Oh, aku masih mau ada di kantor, mungkin nanti pulang, atau kamu mau pulang bareng aku, Sa?” kemudian ia terkekeh singkat sebelum kembali melanjutkan ucapannya, “bercanda.”

Isagi kembali menunjukkan tatapan tidak sukanya kepada Rin yang kini terdiam.

Karena dengan melihat Rin yang berbaring di sofa dengan penuh beban, senyumnya yang tak memancarkan ketulusan, hingga gurauannya yang juga tak mencairkan kecanggungan—hanya membuat Isagi bertemu pada satu kesimpulan bahwa pria di depannya ini terlihat menyedihkan.

Dan pemandangan Itoshi Rin yang menyedihkan hanya sukses membuat Isagi kembali teringat pada awal di saat hubungan mereka mencapai pada tahap keputusasaan.

Isagi yang selalu tidak tahu apa-apa dan Rin yang selalu bertindak seolah tidak apa-apa.

Beda dengan Isagi, Rin sendiri selalu tidak ingin terlihat begitu lemah di hadapan Isagi. Dulu, bahkan sampai sekarang. Tapi lebih dari itu, Rin tidak ingin Isagi tahu masalah apa yang sedang ia hadapi.

Rin ingin Isagi tidak lagi terlibat dalam masalahnya yang tak kunjung usai. Masalah yang dulu pernah membuat mereka berpisah. Masalah yang juga membuat Rin bersumpah untuk tak lagi membawanya ke pilihan yang salah.

Rin hanya mampu menundukkan wajahnya, menunggu Isagi untuk pamit pulang lebih dulu dan meninggalkannya yang masih penuh dilema. Tetapi suara lembut yang tercipta dari sofa di sebelahnya membuat ia mau tak mau menoleh dengan pandangan bertanya-tanya.

“Lo gapapa?”

Dan belum sempat ia mengeluarkan suara, nyatanya suara yang lebih lembut sudah lebih cepat mendahuluinya.

Rin yang masih terkesiap pun berusaha menyusun jawaban klisenya, “Aku gapapa. Kenapa, Sa? Kamu gak jadi pulang?”

Rin menahan napas untuk menunggu jawaban dari Isagi yang entah mengapa memberinya secercah harapan bahwa ia tidak jadi pergi.

“Siapa bilang gue mau pulang?” Isagi menoleh dan membuat pandangan mereka kembali bertemu, “gue mau nemenin lo.”

Lalu bak cangkang yang baru terbuka untuk menunjukkan mutiara indahnya, netra toska Rin berbinar tak kalah indah ketika mendengar jawaban yang diberikan Isagi untuknya.

“Lo bisa cerita ke gue kalo emang ada masalah, apa lagi kalo ada hubungannya soal kerjaan, gue mau bantu ngeringanin karena gue ini sekretaris lo.”

Isagi sekuat tenaga terlihat tenang walau akhirnya sia-sia karena semburat merah sudah terpampang jelas di pipi gembilnya.

“Ngeringanin?” ulang Rin memastikan jika mungkin Isagi di depannya hanyalah khayalan.

“Iya, apa pun bebannya, kali aja ada yang bisa gue bantu,”

“Kalo gitu boleh aku tidur dengan paha kamu jadi bantalnya lagi?”

“Gue langsung siram lo pake kopi yang mendidih.”

Isagi mencibir sementara Rin terkekeh pelan. Ah, itu benar-benar Isaginya yang asli.

“Bercanda,”

Sejujurnya Rin hanya ingin mencairkan suasana agar Isagi tidak terlalu memikirkan masalahnya, padahal Isagi tahu setiap gerak-gerik Rin saat ini sangat menandakan bahwa ia memang terlibat masalah yang kembali tidak ingin diketahui olehnya.

“Kenapa? Ini masalah kerja?”

Rin menggeleng, “Bukan, aku gapapa, Sa,”

“Apa karena ada masalah lagi sama kak Sae?”

Begitu nama sang kakak disebut, Rin mematung. Ia tidak menjawab dan memilih untuk kembali menundukkan kepalanya, mengundang tatapan pasrah dari Isagi yang sejak tadi memperhatikan.

“Lo tuh kebiasaan, selalu aja ga pernah mau cerita kalo lagi ada masalah.”

“Maaf, Isagi.”

“Kalo emang bukan masalah kerjaan, jangan sampe itu ngeganggu kerjaan lo,”

“Iya, Isagi.”

Helaan napas kecewa keluar dari yang lebih tua begitu mendengarnya, “Ya, udah, kalo gitu.”

Isagi kembali melirik Rin yang tetap bergeming di tempat. Rin tidak lagi bisa dikatakan angkuh jika sekarang Isagi hanya bisa melihat dirinya yang rapuh.

Membuat Isagi lagi-lagi teringat akan kebiasaan pada masa ketika mereka ada dalam hubungan yang sangat dekat.

Rin yang lebih muda dan manja kepada dirinya akan selalu datang pada Isagi. Tanpa sepatah kata pun, ia hanya memeluk Isagi, membenamkan wajahnya pada dada yang lebih tua, meminta diberikan kasih sayang untuk mengobati hatinya yang terluka.

Isagi juga tidak akan bertanya dua kali jika memang Rin tidak memberinya jawaban atas masalah yang ia alami, tetapi Isagi akan selalu memberinya pelukan hangat berkali-kali upaya untuk memberinya rasa nyaman dan ketenangan yang tulus dari hati.

Isagi selalu ingin menjadi kekuatan Rin di kala ia merasa lemah, Isagi selalu ingin menjadi sandaran Rin di kala ia merasa lelah, dan Isagi selalu ingin menjadi rumah untuk Rin di kala ia merasa tak lagi punya tempat untuk singgah.

Benci mengakuinya, tetapi bolehkah Isagi jujur untuk sekali saja dan menuruti kata hatinya dengan kembali menjadi sosok yang ada ketika Rin memang membutuhkannya?

Karena sepertinya bukan hanya Rin di sini yang mempunyai kebiasaan yang sulit untuk diubah, tetapi Isagi juga punya—yaitu tidak suka melihat Rin yang diselimuti gundah gulana.

Isagi tersenyum tipis, ia tidak menyangka kata ini akan keluar dari mulutnya sendiri hanya untuk ditujukan kepada orang yang telah melukai hatinya, tetapi sialnya juga orang yang selalu disayangi olehnya.

“Mau peluk?”

Jantung Rin seakan berhenti berdetak untuk sesaat. Ia langsung mengangkat kepalanya dan dengan cepat menatap ke arah sumber suara di mana Isagi kini telah merentangkan kedua tangan untuk menyambut dirinya.

“Sa, ka-, kamu gak bercanda? Kamu gak lagi mabuk lagi, kan?”

Rin masih membeku di tempat. Begitu banyak pertanyaan terlintas di benak Rin mulai dari apakah Rin memiliki gejala skizofrenia? Apakah sekarang adalah hari kiamat? Atau apakah ini kilas balik sebelum kematiannya?

Sementara Isagi yang menanggapi hal itu langsung merotasikan bola matanya malas, pasti sudah banyak pikiran mendramatisir yang ada di kepala bos tololnya itu.

“Mau apa ngga? Sebelum gue berubah pikiran dalam hitungan satu, dua, ti-”

Tetapi belum sempat ucapannya selesai, Isagi menggantinya dengan senyuman lega ketika Rin membalas rentangan tangannya dengan langsung berhambur pada pelukan hangat yang Isagi hanya berikan untuknya.

Rin bahkan tak segan untuk membenamkan wajahnya pada bahu kecil Isagi sebagai tempat sandaran yang sangat ia butuhkan, sekaligus menghirup aroma khas menenangkan yang selalu ia rindukan. Rasanya hangat dan nyaman seperti rumah sesungguhnya tempat ia pulang

“Capek banget, ya, Rin?” tanya Isagi lembut sambil sesekali mengusap rambut dan juga punggungnya, “Semoga capek lo cepet hilang,”

Rin mengangguk di sela-sela menyamankan posisi untuk memeluk Isagi lebih erat seakan esok adalah hari terakhir mereka hidup di dunia ini.

“Gue gak tau masalah lo apa, tapi gue... seperti dulu, tetep selalu jadi orang yang paling gak suka ngeliat lo sedih,”

“Dan kamu juga selalu jadi orang yang paling bisa nenangin aku di saat sedih,”

Isagi mendecih, “Tapi lo jangan mikir aneh-aneh, gue ngelakuin ini demi diri gue yang gak pengen ngeliat hal yang gak gue suka, bukan karena gue peduli lo ngerasa sedih atau ngga. Paham, kan?”

“Iya...”

Rin terkekeh diam-diam untuk menanggapi hal itu. Bagaimana pun alasan Isagi barusan hanya semakin memperkuat fakta bahwa Isagi hanya tidak suka ketika melihat Rin sedih.

“Kamu masih kecil aja, Sa,” usil Rin ketika ia merasakan pinggang ramping Isagi masih persis seperti dalam ingatannya.

“Gue lepas, nih?”

“Jangan, aku mau isi baterai aku dulu sampai penuh.”

“Gak jelas.”

Akhirnya Rin memilih untuk memejamkan matanya, begitu pula Isagi yang juga ikut bersandar pada bahu lebarnya. Tidak ada lagi kata atau kalimat yang keluar dari bibir, hanya indra peraba saja yang bekerja untuk saling menyalurkan rasa kasih sayang terhadap satu sama lain.

Walau Isagi tahu ia lagi-lagi tak mendapatkan jawaban, walau Rin juga tahu Isagi tidak akan mempermasalahkan—keduanya tetap saling berpelukan dan menjadi kekuatan untuk jiwa yang membutuhkan.

Sementara di balik pintu yang sejak tadi terbuka, sosok pria bersurai ungu sudah ikut memperhatikan keduanya dari pertama Isagi duduk di sofa untuk menanyakan keadaan Rin.

Beruntung Reo belum sempat masuk. Karena kalau tidak, ia akan menyesal dan mengutuk dirinya seumur hidup akibat telah mengganggu waktu berharga yang tercipta di antara dua insan yang tengah menjalin cinta.

Reo sendiri tidak tahu bagaimana takdir membawa hubungan Rin dan Isagi pergi, tetapi dengan hanya melihat ini, siapa pun ia rasa juga langsung bisa menyadari.

Kalo kalian itu masih saling menginginkan, tapi kenapa sesulit itu untuk balikan? []

© 2023, roketmu.

Kalau tahu ia akan merasa sejengkel ini, Isagi lebih baik menolak ikut sedari awal.

Tetapi semua sudah terlambat, di sini ia hadir bersama yang lain untuk ikut traktiran besar makan dan minum oleh Reo sang manajer perusahaan.

Di restauran yang cukup mewah ini disediakan banyak makanan berbagai macam mulai dari steak sampai ke makanan pencuci mulut yang sebenarnya tidak bisa Isagi tolak, tak lupa dengan minuman dari soda hingga bir untuk melengkapinya.

“Sa, bengong aja, ayo makan.” bisik Chigiri di sampingnya.

Isagi merespon si cantik dengan anggukan singkat. Sejujurnya lsagi juga tidak mengerti mengapa ia merasa sejengkel ini. Mungkin karena tadi lebih baik ia langsung pulang saja ke rumahnya, mungkin karena ia sedang tidak ingin berada di tengah keramaian, mungkin karena ia tiba-tiba merasa tidak nafsu, atau mungkin karena sang bos belum mengiriminya pesan sama sekali sampai detik ini juga.

Oh, sial, yang terakhir adalah yang paling menjengkelkan karena mengapa juga ia bisa jengkel dengan hal yang tidak berguna seperti itu?

“Pak Rin jarang deh ikut makan besar gini, sering-sering lah Pak kumpul sama kita,” ujar Kira yang sepertinya sudah mulai sedikit mabuk.

Rin mengangkat bahunya, “Kalau saya tidak malas, saya pasti ikut,”

“Gak males dia kalo gua yang ajak,” Reo di samping Rin langsung merangkul akrab si bos, “dia maunya makan sama gua doang, nanti gua paksa lagi dah biar sering-sering kita kumpul,”

“Gapapa gak sering kumpul, yang penting sering-sering traktir aja, Pak~” celetuk Bachira di samping Isagi yang disusul oleh gelak tawa dari semuanya.

“Gampang, hahaha!”

Semua orang terlihat menikmati waktunya sementara Isagi tetap diam. Benci mengakuinya tapi Isagi berharap setidaknya Rin menoleh atau sekadar berbicara dengannya. Tetapi sepertinya laki-laki sialan itu asyik menyantap makanannya dan seolah tidak memedulikan Isagi sama sekali.

BANGSAT!

Isagi menancapkan pisaunya pada daging dengan cukup kuat ketika ia kembali membayangkan hal yang menjadi penyebab utama dari kemungkinan perasaan jengkelnya ini—yaitu tweetan terakhir Reo beberapa saat yang lalu.

Jujur saja sekarang Isagi bingung, sebenarnya apa hubungan Rin dan Reo? Benarkah hanya sebatas teman dan rekan kerja? Tetapi mengapa mereka terlihat sangat dekat dan mesra?

Mengapa juga Rin tidak menjelaskan sama sekali maksud dari pesan yang ia kirim untuk Reo? Mengapa ia membiarkan karyawan lain mulai berpikiran mereka ada hubungan rahasia? Mengapa juga keduanya terlihat biasa-biasa saja sementara ia kesal seorang diri?

Terlalu banyak pertanyaan di benaknya saat ini, tetapi yang paling ingin Isagi tanyakan adalah—jika Rin memang punya hubungan spesial dengan Reo, lantas mengapa ia masih berusaha agar mereka bisa kembali bersama?

Sebenarnya Rin menganggap Isagi ini siapa?

Bachira yang asyik menyantap daging dengan senyuman lebar di wajah, tiba-tiba mengerutkan dahinya begitu melihat gelas berisikan bir yang cukup besar diambil begitu saja oleh Isagi yang langsung meminumnya dengan cepat sampai habis.

“Sa! Lo gila? Lo kan gampang mabok!” Bachira berbisik dengan panik, ia bahkan memberikan isyarat pada Chigiri untuk menyingkirkan gelas bir yang dipegang Isagi.

“Gapapa, pengen aja, hehe,”

Chigiri meringis begitu melihat wajah Isagi langsung berubah merah padam secepat kilat.

“Sa, lo masih oke?”

“Masih... mungkin? Chi... haus, mau bir lagi,”

Isagi mulai meraih-raih sesuatu tapi yang ia ambil justru botol kecap. Kalau sudah begini tidak ada yang bisa diharapkan.

Isagi sudah mabuk total.

“Duh, mulai dah, mana dia kalo mabok suka ngomong yang aneh-aneh pula,” Bachira akhirnya melahap daging terakhir sebelum ia menjadikan bahunya untuk Isagi bersandar, “Chi, kita pulang duluan aja.”

Chigiri kini menatap Isagi yang matanya sudah setengah terpejam, mau tak mau mereka memang harus membawa temannya ini pergi sebelum benar-benar hilang kesadaran.

“Iya deh, lo temenin dia di mobil, gue ngikutin dari belakang.”

“Sip, sip.” Bachira mengalungkan lengan Isagi ke bahunya, dan karena hal itu pula langsung menarik perhatian para karyawan lain terutama Reo.

“Lho, ada apa?” tanya sang manajer.

“Ah, anu, kita bertiga izin pulang duluan, Pak Reo, Bos, dan yang lain,”

Ucapan kikuk Bachira akhirnya terdengar oleh Rin yang mau tak mau menoleh ke arahnya. Begitu ia melihat Isagi hampir tidak sadarkan diri, saat itu juga Rin tahu apa yang harus ia lakukan.

“Isagi mabok?” tanya Kunigami, “pantes dia diem aja dari tadi,”

Chigiri tertawa canggung, “Iya, kita izin pulang duluan, ya, makasih banget Pak Reo traktiran-”

“Biar saya aja yang antar.”

Tiba-tiba Rin sudah berdiri dari tempatnya ketika ia memotong ucapan Chigiri barusan. Semua mata tertuju pada Rin yang tanpa aba-aba juga langsung mendekat ke arah Isagi yang sudah tidak bisa merespon ucapan siapapun.

“Gak usah, Bos, kita-”

“Biar saya aja yang antar.” ulang Rin kali ini penuh penekanan yang membuat Bachira dan Chigiri takut untuk berkutik.

Reo yang mengerti situasi segera menepuk kedua tangan agar perhatian tertuju padanya lagi, “Ah, betul! Udah sini, Bachira, Chigiri, lanjut makan aja, Rin gak minum dari tadi jadi Isagi bakal aman kok, tenang!”

“Yakin aman?”

Stop mikir cabul.” bisik Chigiri yang langsung mencubit Bachira karena tadi si setan kuning ini tersenyum mencurigakan.

“Isagi ini sekretaris saya, dia saya antar pakai mobil pribadi saya seperti biasa, gak perlu khawatir, lagi pula kalian berdua juga jadi gak harus bolak-balik, kan?”

Rin sudah mode memaksa, tidak mungkin Bachira dan Chigiri bisa membantah.

“Ah, oke, Pak Bos. Kalo gitu saya titip temen saya sama Pak Bos, ya?”

“Ya.”

Bachira akhirnya mengalah, kini ia menyerahkan Isagi pada Rin yang langsung sigap meraih pinggang Isagi dan membuat pemuda yang hampir tidak sadar itu bersandar pada dadanya yang bidang.

“Kalau begitu kami yang pamit duluan, selamat malam semuanya.”

Rin pun pergi dengan membawa Isagi dalam gendongannya, meninggalkan cemas pada wajah Bachira dan Chigiri, sekaligus memberikan harapan pada wajah Reo yang sedari tadi telah menunggu momen ini terjadi.

Semangat, Rin!


Selama di perjalanan menuju rumah Isagi, lelaki mungil itu terlelap di samping Rin yang ikut duduk di jok belakang mobil. Tidak ada yang aneh, Isagi hanya terlelap dengan lengan atas Rin sebagai sandarannya, sementara Rin sendiri hanya diam sambil sesekali memperhatikan wajah damai Isagi lewat kaca mobil yang kadang tersorot cahaya lampu jalanan.

Begitu sampai di rumahnya pun ia tetap diam, kembali menggendong Isagi dengan hati-hati dengan kedua tangannya, Rin disambut oleh kedua orang tua Isagi yang juga langsung memberikan mereka tatapan khawatir dan bertanya-tanya.

“Rin?”

Rin menundukkan kepalanya untuk memberi salam, “Ma, Isa-, Yoichi tadi mabuk, jadi nanti kalo Yoichi bangun, tolong jangan bilang Rin yang antar, ya?”

Hubungan Rin dengan kedua orang tua Isagi tentu saja tidak menjadi buruk walau ia pernah mengecewakan sang anak. Mungkin karena Isagi tidak mengatakan keburukan Rin dan mengaku bahwa mereka putus secara baik-baik. Terbukti dengan orang tuanya yang sudah tahu bahwa Rin adalah bos di kantornya.

Mama Isagi lantas mengangguk mengerti, “Terima kasih, Rin, langsung bawa Yoichi ke kamar aja, Mama gak akan bilang.”

Setelah diberikan izin oleh sang ibunda, Rin membawa Isagi ke lantai atas dengan lebih hati-hati karena kamar Isagi ada di lantai dua.

Begitu masuk ke kamar, Rin langsung meletakkan Isagi di atas kasur sepelan mungkin agar tidak menghasilkan suara yang akan mengganggunya. Tak lupa juga ia segera melepas sepatu yang dikenakan Isagi dan menyelimuti tubuh sang terkasih agar tidak kedinginan.

“Tidur yang nyenyak, Sa.”

Rin memilih duduk di tepi ranjang dan terpaku cukup lama hanya untuk melihat wajah Isagi yang begitu tenang, rasanya sudah lama sekali ia tidak melihat pemandangan seperti ini, dan fakta bahwa kini ia sudah berada di kamar Isagi lagi malah hanya membuat perasaan bersalah Rin semakin menguat.

Kamar yang dulu pernah jadi tempat mereka sering menghabiskan waktu bersama. Mulai dari bermain, belajar, bahkan bermesraan kecil. Betapa Rin merindukan hal itu semua yang mungkin tidak akan pernah terjadi lagi di masa depan.

Melihat wajah Isagi yang masih memerah karena mabuk juga menambah satu rasa bersalah Rin yang baru. Karena semua kejadian pada malam ini sebenarnya sudah masuk rencana miliknya dan Reo.

Ya, mengadakan traktir kecil-kecilan lalu membiarkan Isagi minum sampai mabuk karena itu adalah kelemahannya. Ketika Isagi mabuk, ia akan berkata jujur soal apa pun termasuk perasaannya terhadap Rin.

Rin dari awal sengaja memanfaatkan momen ini. Tetapi melihat Isagi yang benar-benar tertidur pulas, datang ke rumahnya dan teringat akan masa bahagia mereka waktu itu, Rin langsung mengurungkan semua niatnya.

Rin tersenyun miris, “Maaf, ya, Isagi. Aku pulang dulu kalo gitu.”

Ya, mungkin Rin memang tidak akan pernah mendapat jawaban sama sekali sampai kapan pun. Rin beranjak dari tepi ranjang Isagi untuk segera keluar kamar, sebelum akhirnya kembali berhenti begitu ujung mantel panjang yang ia kenakan ditarik oleh sosok yang baru saja ingin ia tinggalkan.

“Mau ke mana?”

Rin panik, ternyata si mungil sudah bangun. Ia menoleh dengan takut-takut karena Isagi mungkin akan segera mengamuk ketika melihat dirinya yang membawa laki-laki itu ke kamar.

“Aku-”

“Lo juga siapa, deh?”

Tetapi begitu mendengar pertanyaan tersebut, Rin memberanikan diri untuk menatap wajah Isagi yang kini memandangnya sayu dengan wajah makin memerah.

Apa dia masih mabuk dan ingatannya jadi buram?

“Kamu nanya aku?” tanya Rin memastikan.

Isagi mengangguk lemah, “Iya, ganteng.”

Mendengar itu kaki Rin rasanya langsung melemas. Rin tahu Isagi sedang mabuk, tapi bukankah sudah ia katakan juga bahwa ketika Isagi mabuk itu adalah momen ia akan berkata jujur?

Isagi bangun dari baringnya untuk duduk, tatapannya mulai mengarah ke sekeliling, bertanya-tanya.

“Ini kita juga di mana?”

“Ka- kamar kamu,”

Isagi menatap Rin terkejut, “Kamar gue? Terus lo ngapain di sini?!”

“Tadi kamu mabuk, jadi aku antar sampai sini.” Rin berkata jujur.

“Oh... makasih kalo gitu, ya, Mas ganteng.”

Isagi mengakhiri ucapannya dengan senyuman manis—yang saat itu juga membuat Rin mencapai batasnya hingga tak sengaja jatuh bersimpuh ke lantai begitu saja, menahan teriakan frustasi akan rasa gemas dan bahagia tiada tara.

“Kenapa? Kenapa? Lo sakit? Sini duduk,”

Isagi justru langsung beranjak untuk membantu Rin duduk di tepi ranjang kembali—yang padahal perbuatannya itu hanya semakin membuat Rin ingin meledak hingga menembus langit ke-7.

Rin benar-benar dibuat tidak berkutik oleh tingkah manis Isagi, nyatanya ia belum punya persiapan sama sekali untuk menghadapi hal ini. Oh, ayolah, Rin ini bukan manusia terkuat di bumi. Jika kelemahan Isagi adalah mabuk, maka kelemahan Rin adalah Isagi yang mabuk.

Jadi, sejak detik ini pula Rin sadar bahwa yang dikatakan Reo kepadanya selama ini adalah benar—Rin memang tolol.

“Lo pasti udah punya pacar, ya? Makanya malu ada di kamar orang lain kayak gue?”

Isagi membuka suaranya lagi yang mau tak mau harus Rin jawab meski ia masih dilanda kegugupan, atau mungkin rencana awal Rin untuk mendapatkan jawaban Isagi masih belum sepenuhnya gagal?

“Ngga punya.”

Isagi mengerutkan dahinya tidak suka, “Ih, masa ganteng gini gak punya?”

“Kamu sendiri punya?”

“Nggaaa,”

“Kenapa?”

Wajah Isagi yang tadi bingung langsung berubah lesu, “Jangan diketawain, ya? Hehe, gue... belum move on.”

Napas Rin reflek tertahan begitu mendengarnya. Tetapi jawaban seperti ini belum bisa ia terima bulat-bulat, bagaimana jika Isagi selama ini mempunyai mantan pacar selain dirinya?

“Punya mantan?”

Isagi terkekeh lagi, “Iya,”

“Mantan yang mana?”

Karena sejak dulu Rin selalu bertanya-tanya, apakah dirinya yang kelewat penyendiri dan tidak menyenangkan ini akan mendapatkan seseorang yang benar-benar bisa menerimanya? Yang hanya akan menyukainya? Tidak berpaling sama sekali darinya? Bahkan bertahan setia demi dirinya?

“Cuma satu dan dia aja.”

Dan ternyata seseorang itu adalah Isagi, dan akan selalu seorang Isagi Yoichi.

Meski Rin pernah menyakiti Isagi, meski Rin pernah membuat Isagi menangis, meski Rin pernah meninggalkan Isagi dan membuatnya kecewa. Tapi kini Isagi tetap mengungkapkan perasaan tulusnya tentang Rin dengan senyuman paling hangat sedunia.

“Namanya Itoshi Rin.”

Walau memang itu hanyalah satu kalimat singkat, tapi sudah mampu membuat seluruh beban Rin serasa terangkat.

Oh, tolong jangan sembuhkan Rin jika ini hanya khayalan ketika ia sakit. Tolong jangan sadarkan Rin jika ini hanya tipuan hipnotis. Tolong jangan bangunkan Rin jika ini hanya sekadar mimpi.

“Kayaknya dia mirip lo juga, cuma kalo dulu pas pacaran lebih kurusan dikit,” Isagi menusuk pelan pipi Rin dengan telunjuk kecilnya, “tapi sama-sama ganteng kok, hehe.”

Tuhan, jika Rin meninggal, tolong mainkan rekaman suara lembut Isagi ketika mengatakan hal ini di pemakamannya nanti.

“Gantengan siapa?”

Tetapi entah pergi ke mana juga rasa gugup Rin setelah dipuji habis-habisan oleh Isagi, bahkan ia kini dengan berani meraih pergelangan tangan si manis agar membuat kedua netra sayu itu fokus pada miliknya seorang.

“Hmm, gantengan gue aja! Hehehe!”

Isagi yang malu memalingkan wajahnya, tapi begitu mendengar suara Rin lagi, ia kembali menoleh dengan wajah penasaran yang lucu.

“Aku juga dulu punya pacar,”

“Mantan juga berarti?”

“Iya, lucu, mirip kamu juga.”

Isagi terperangah, “Ehhh? Terus kenapa putus? Sayang banget!”

Rin tersenyum miris, “Diputusin.”

“TOLOL BANGET YANG MUTUSIN!”

Wajah Isagi kembali memerah lucu ketika ia tiba-tiba emosi. Senyum Rin tertahan begitu melihatnya, karena mungkin ucapan ia selanjutnya akan membuat reaksi si manis berubah.

“Aku yang minta diputusin.”

Benar saja, wajah yang tadinya dipenuhi emosi kini berubah drastis menjadi penuh kekecewaan.

“Oh, sama kayak mantan gue itu, dia juga minta diputusin abis itu ilang deh, poof!” Isagi menundukkan kepalanya, tersenyum kecut, “Padahal gue masih sayang banget sama dia...”

Lalu tanpa bisa Rin duga, air mata sudah mengalir di kedua pipi Isagi yang memerah. Isagi menangis dan itu karena Rin. Lagi.

Lantas Rin langsung meraih tubuh yang lebih kecil itu untuk masuk ke dalam pelukannya, menyalurkan kehangatan, sekaligus permintaan maaf atas rasa bersalahnya hingga membuat Isagi sampai jadi seperti ini.

“Maaf, Isagi, maaf,”

Isagi yang bingung hanya bisa bergumam kecil, “Kok malah lo yang minta maaf...”

Rin terus mendekap Isagi di dadanya, sesekali juga ia menghujaninya dengan kecupan ringan di kepala sambil tetap mengucapkan seribu kata maaf yang sama sekali belum bisa menghapus kesalahannya pada sang terkasih.

“Maaf udah bikin kamu sedih, maaf, Sa... maaf Rin udah jahat sama kamu,”

Diperlakukan seperti itu ketika ia sedang mabuk, tentu saja akan sangat membuatnya luluh. Akhirnya detik itu juga tangisan Isagi pecah, pelukan Rin ia balas sama eratnya.

Huaaa!!! Rin jahat! Dia jahat banget, anjing! Gue benci diaaa~”

Isagi juga menguburkan wajahnya di dada bidang Rin sambil sesekali memukulinya.

“Maaf, Isagi, maaf...”

“Setelah dia hilang lama, sekarang dia muncul lagi dan tiba-tiba malah ditakdirin jadi bos gue? Huuaa~ Rin nyebelin banget!”

“Maafin aku, maafin Rin, Isagi,”

Isagi menggeleng lemah, “Dia bilang dia mau kita balikan, katanya masih suka sama gue, tapi apa? Ternyata dia punya hubungan juga sama manajernya! HUAA!!! RIN BERENGSEK!!!”

Tunggu.

Rin menghentikan ucapan maafnya begitu mendengar ucapan Isagi barusan. Apa tadi katanya? Manajer?

Maksudnya Reo? Isagi cemburu sama Reo? batin Rin tidak percaya.

“Kamu cemburu, Sa?”

Dengan kejujuran penuh, Isagi mengangguk di sela-sela tangisnya, “Iyalah! Gue ini cemburuan! Ih! Kesel~”

Kini Rin tidak dapat lagi menahan senyumannya. Mungkin juga sekarang wajahnya sudah tersenyum layaknya orang idiot. Ini bukan langit ke-7 lagi, Rin bisa terbang dan meledak bebas hingga langit ke-100 walau seluruh dunia mengatakan itu tidak mungkin.

“Pake muji Reo ganteng segala, apa sih maksudnya? Terus dia juga gak jelasin kalo itu cuma bercanda ke siapa pun! HUAAAA!!! RIN JELEKKKK!!!”

Isagi memukuli dada Rin karena kesal, sementara Rin berusaha sekuat mungkin untuk tidak tertawa, “Maaf, Isagi, maaf Rin udah buat kamu cemburu, Rin janji gak akan ngulangin, ya?”

Isagi tidak menjawab, tapi ia tetap menangis di pelukan Rin sambil sesekali memainkan kancing mantel yang dikenakan olehnya.

Isaginya yang mabuk. Isaginya yang lucu. Isaginya yang paling ia sayangi.

Kejujurannya selama mabuk ini juga memberanikan Rin untuk bertanya lebih, mungkin dengan pertanyaan terakhir ini, semua jawaban yang ingin Rin ketahui akan segera ia dapatkan.

“Isagi... kalau misal Rin minta kesempatan buat hadir di kehidupan kamu lagi, apa kamu mau?”

“Untuk nyakitin lagi?” tanya Isagi dengan suaranya yang melemah.

Rin menggeleng meski Isagi tidak dapat melihatnya, “Untuk bahagiain kamu dan gak akan ngulangin kesalahan yang sama, apa kamu bakal kasih kesempatan terakhir itu buat aku, Sa?”

Setelah menanyakan hal itu, tangisan Isagi berhenti dan ruangan kembali sunyi. Mungkin yang bisa ia dengar hanyalah debaran kencang jantungnya selagi menunggu jawaban apa yang akan diberikan Isagi.

Siap tidak siap ia harus mengetahuinya, bagaimana pun jawaban ini adalah yang paling Rin tunggu.

Tetapi bukannya suara lemah itu yang keluar, melainkan dengkuran teratur yang justru terdengar. Rin melirik ke bawah dan menemukan Isagi sudah kembali terlelap dalam pelukannya.

“Sekarang gantian kamu yang tidur, tapi kayaknya kalo kamu tidur beneran.” Rin mendengus menahan tawa mengingat lucunya Isagi yang semudah itu ditipu.

Mengalah, dengan hati-hati tubuh kecil yang ringan itu kembali ia baringkan di atas kasur. Wajah manisnya yang masih basah juga Rin usap perlahan dengan ibu jarinya.

Nyatanya biarlah jawaban itu menjadi misteri untuknya. Rin tidak akan pernah tahu apakah Isagi masih ingin memberinya kesempatan terakhir atau tidak. Harusnya Rin sadar diri, bahwa mungkin jawaban seperti itu pun tidak akan keluar dari mulut Isagi mau ia dalam keadaan mabuk atau tidak sekalipun.

Jadi, aku nyerah aja gitu, Sa?

“Rin...”

Tetapi gerakan tangan itu lantas terhenti seketika begitu Isagi menyebut nama Rin dalam tidurnya. Rin terpaku selama beberapa saat dengan perasaan yang tidak lagi bisa dimengerti orang lain kecuali dirinya.

Bodoh.

Bagaimana bisa Rin mengatakan pada dunia bahwa ia akan menyerah begitu saja untuk mendapatkan Isagi kembali ke hidupnya?

Kini Rin tahu, ia sudah tidak perlu mencari jawaban lagi atas setiap pertanyaan tentang Isagi dalam benaknya, jika sedari awal jawaban itu sendiri adalah cukup dengan seorang Isagi.

Kehadiran Isagi dalam hidupnya sudah cukup untuk membuat Rin bertahan untuk tetap mencintai dan memperjuangkannya.

Oleh karena itu, Rin bersumpah ia tidak akan menyerah. Rin akan terus mengejar Isagi meski harus berlari ribuan kilometer lagi. Rin akan terus berenang menemui Isagi meski harus menyelam sampai ke dasar terdalam. Rin akan terus terbang meski Isagi adalah sosok yang sangat sulit digapai.

Rin akan terus berusaha melakukan apa pun demi Isagi.

Isaginya yang kecil. Isaginya yang ia sayangi. Isaginya yang tidak akan pernah lagi akan ia sakiti. Isaginya yang hanya akan ia cintai.

Isaginya Rin. []

© 2023, roketmu.

Rin mengerjapkan matanya berkali-kali untuk memastikan bahwa ia tidak sedang bermimpi atau ini efek dari demamnya yang sangat tinggi.

Di depannya kini berdiri sosok mungil yang selalu ia rindukan, menatapnya penuh kekhawatiran terpancar dari bola mata sebiru lautan yang juga ia dambakan.

“Ah, syukur deh, lo gak mati.”

Ya, tidak salah lagi, suara dan rupa itu memanglah milik Isagi Yoichi.

“Isagi?”

Rin berusaha bangkit dari posisi tidurnya tetapi langsung ditahan oleh Isagi, menciptakan jarak yang begitu dekat di antara mereka setelah sekian lamanya.

Entah Isagi sadar atau tidak, tapi sentuhan tangannya di kedua pundak Rin hanya membuat wajah merah demam sang bos semakin jelas.

“Reo harus di kantor, sementara gue ini sekretaris lo, jadi jangan geer.” ujar Isagi lebih dulu sebelum Rin berpikir aneh-aneh.

“Engga, tapi aku boleh seneng, kan, karena kamu yang justru dateng untuk aku?”

“Lagi sakit tetep aja gak jelas.”

Isagi langsung terlihat gugup atas kejujuran Rin, bahkan ia segera memalingkan wajah agar semburat merah di pipinya juga tidak terlihat.

Lucunya, kalo gak lagi sakit udah gua terkam nih anak, batin Rin liar.

“Cepet banget juga kamu ke sini, kamu lari, ya?”

Tetapi tentu saja Rin harus menepis pikiran buruk itu dan mencoba mengajak Isagi berbicara lagi sebelum dia benar-benar kabur dari hadapannya.

“Apa sih, karena apartemen lo ini yang gak berubah makanya gue tau, tempatnya, bahkan passwordnya,”

Rin mengangguk, “Tanggal lahir kamu.”

“Ganti.”

“Iya, sama tanggal pernikahan kita nanti.”

“Gue pulang, nih?” ancam Isagi.

“Jangan. Aku masih sakit.”

Isagi hanya mendecih, sementara Rin tentu saja tidak bisa menahan senyumnya begitu Isagi dengan malas-malasan meletakkan barang bawaan yang ia bawa sejak tadi. Lelaki mungil itu terlihat menahan untuk berbicara lebih, tetapi melalui tindakannya Rin bisa tahu bahwa ia peduli.

“Itu berkas yang dikasih Reo,”

“Iya, makasih,”

“Lo udah makan belom?”

“Belum.”

“Gue bakal bikinin bubur, enak gak enak lo harus makan biar bisa minum obat.”

Lagi, nadanya memang terkesan dingin tetapi Rin sangat tahu bahwa ia melakukannya karena ingin. Tak memerlukan waktu lama bagi Rin menunggu Isagi membuat bubur, si manis kembali datang dengan raut wajah yang dibuat jengkel sedemikian rupa tetapi tetap paling menggemaskan tiada dua.

“Makan.” perintahnya.

“Lemes, suapin.”

“Ish! Manja banget!”

Dan lagi, Isagi pun tidak menolak untuk hal itu. Isagi duduk di samping Rin yang kini bersandar pada kepala ranjang. Suap demi suap masuk ke dalam mulut Rin yang penuh akan rasa pahit, terlihat dari ekspresi terpaksa Rin di sela-sela menelan semua bubur buatan Isagi.

“Udah,” rengek Rin sesekali sambil menggeleng pelan.

“Gak, abisin.” tapi Isagi juga tetap memaksanya untuk menelan habis semua.

Selama menyuapi Rin dalam hening, Isagi diam-diam tersenyum tipis melihat Rin yang sekarang jadi lebih penurut, padahal biasanya Isagi yang lebih banyak mengalah ketika mereka menjalin kasih waktu itu.

Apakah pemuda ini benar-benar seserius itu ingin hubungan mereka kembali seperti dulu?

Sementara Rin meski dengan keadaan kepala yang masih berdenyut nyeri dan indra perasa dipenuhi pahit, tidak dapat menutupi rasa bahagianya melihat Isagi benar-benar ada di depan mata. Berada di dalam kamarnya. Hanya berdua dengannya.

Kalau begini, Rin rela untuk jatuh sakit lagi jika memang Isagi adalah penyembuhnya.

“Rin,”

Isagi kembali membuka suara untuk memecah keheningan yang tercipta ketika mereka asyik tenggelam dalam pikiran masing-masing.

“Lo... sakit gara-gara nungguin gue keluar, kan?”

Rin menggeleng, “Engga-”

“Engga apanya? Lo ujan-ujanan nungguin gue! Tolol banget,” potong Isagi yang mulai mengomel, “gue bahkan gak baca chat lo dari terakhir gue bilang gak mau bales kalo bukan urusan kerja.”

Rin yang mendengar itu tidak bisa mengelak lagi, “Maaf, aku lagi berusaha minta maaf sama kamu,” ia kini menatap Isagi dengan raut wajah bersalahnya, “kamu masih marah banget sama aku, Sa?”

Setelah suapan terakhir, Isagi meletakkan mangkok bubur di atas meja dan kini ia meraih gelas berisikan air putih, tak lupa dengan obatnya juga.

“Dikit. Udah nih, minum obatnya, lo harus sembuh cepet, karyawan lo kalo izin sakit juga gak boleh lama-lama, kan?”

“Maaf, aku lagi-lagi ceroboh.” ujar Rin dan menuruti perintah Isagi untuk segera meminum obatnya saat itu juga.

Selagi Rin meminum obatnya, Isagi kini mulai berpikir bagaimana caranya agar pemuda ini cepat sembuh. Karena semakin lama Rin sakit, semakin Isagi juga yang akan repot. Entah karena urusan pekerjaan, atau urusan hati Rin yang pasti akan melakukan hal nekat lain demi dirinya.

Oleh karena itu, imunitas tubuh Rin harus ditingkatkan, dan satu-satunya cara cepat yang terpikirkan oleh Isagi adalah dengan memberitahu Rin soal keputusan yang membuat mantan kekasihnya yang bodoh ini sudah pasti akan bahagia.

Isagi menghela napasnya pasrah, nyatanya Rin memang menjadi lebih penurut, tetapi sayangnya Isagi juga tetap jadi pihak yang masih mengalah.

“Iya, engga lagi.” ucap Isagi akhirnya.

Rin yang baru selesai meminum obatnya terpaku bingung dengan ucapan tiba-tiba sang mantan kekasih.

“Engga lagi, apa?”

“Gak pulang bareng Nagi lagi.”

Kini Isagi dengan berani menatap wajah Rin, tetapi laki-laki itu justru menatapnya dengan panik, membuat Isagi buru-buru menghapus pikiran buruk itu dengan penjelasan setelahnya.

“Iya, engga lo paksa, ini keputusan gue sendiri, lagian kasihan supir lo nanyain gue mulu tiap hari,”

Rin mengerjap tidak percaya, “Isagi... beneran?”

Isagi mengangguk mantap, “Iya, jadi jangan lo pikirin lagi, apalagi sampe bikin sakit kayak gini, awas lo.”

Dan benar saja, ketika mendengar itu mata indah Rin yang sayu karena sakit seperti langsung kembali menemukan cahaya hidupnya.

“Bener bukan dipaksa aku, kan?”

“Iya,”

“Kamu pulang bareng supirku lagi selamanya?”

“Iyaa,”

“Dan gak akan nebengin siapa pun lagi?”

“Iyaaa,”

“Akhirnya... Makasih Isa...”

Plukk!

Belum sempat ucapan itu selesai, tubuh Rin tiba-tiba jatuh ke depan dengan kepala yang tepat bersandar pada paha Isagi. Membuat sang empu paha sontak panik dengan wajah merah bukan kepalang.

“HEH! GUE CUMA BILANG GA PULANG BARENG NAGI! BUKAN GUE JADI PACAR LO LAGI! JADI JANGAN NGELUN- Rin?!”

Isagi menatap heran Rin yang tidak berkutik sama sekali ketika ia memukul-mukul tubuhnya. Hingga akhirnya ketika suara dengkuran pelan itu terdengar, tangan Isagi ikut terhenti untuk bergerak dan menatap Rin yang kini sudah kembali terpejam.

Isagi mendengus kasar, “Malah tidur,”

Isagi tidak menyangka efek obatnya akan secepat itu, atau mungkin memang demamnya saja yang terlalu tinggi. Untuk mengecek hal itu, Isagi menggunakan satu punggung tangannya untuk ia letakkan di kening Rin.

“Panas.”

Kemudian tangan tersebut ia gunakan juga untuk menangkup kedua pipinya sendiri.

“Di sini... juga.”

Ya, wajah Isagi ikut memerah dan itu bukan karena demam. Lagi pula jujur saja, siapa yang tidak akan berdebar jika berada di posisi Isagi saat ini?

GUE HARUS GIMANA, ANJING!!! batin Isagi frustasi.

Ia berpikir untuk melarikan diri dengan segera tetapi sepertinya itu tidak mungkin. Lagi pula memang ia sendiri yang menyarankan untuk bertemu Rin dari awal, tidak perlu mengkhawatirkan soal tugasnya dalam bekerja, bosnya saja sedang sakit seperti ini.

Jadi, mungkin Isagi tidak punya pilihan lain. Ia putuskan dirinya untuk menetap dan membiarkan posisi mereka tetap seperti ini sebelum ia beranjak pergi.

Isagi mendecih begitu melihat Rin dalam tidurnya bergerak untuk menyamankan posisi dengan paha Isagi tetap jadi bantalannya.

“Ini, kan, yang lo mau? Dasar.”

Tetapi kemudian Isagi juga terkekeh pelan melihat kelakuan Rin sekarang yang mengingatkannya bahwa kini tepat dua minggu lebih ia bekerja di perusahaan yang sama dengan Rin, dan tidak menyangka sudah begitu banyak kejadian beragam penuh drama yang hadir sejauh ini.

Membuat Isagi mau tak mau tersenyum geli akibat semua kebodohan yang telah mereka lalui, hingga tanpa sadar juga tangannya sudah terangkat untuk mengusap-usap kepala Rin yang masih juga terlelap dengan wajah paling damai yang hanya bisa dilihat oleh dirinya seorang.

“Ya, lupain bentar deh kita emang mantanan, anggep aja ini balas budi gue sama orang yang dulu pernah bikin gue merasa paling bahagia di bumi ini, Rin,”

Isagi tersenyum tipis, kemudian membungkuk sedikit untuk membisikkan kalimat singkat dengan suara paling manis tepat pada telinga Rin—yang sebenarnya hanya pura-pura terlelap dan menikmati semua perlakuan tak kalah manis Isagi untuknya sejak tadi.

“Cepet sembuh, Pak bosku.” []

© 2023, roketmu.

Tidak semua rahasia akan selalu menjadi rahasia. Sepandai-pandainya kau merahasiakan suatu kebohongan, pada akhirnya suatu saat akan terbongkar. Seperti pepatah yang mengatakan, meskipun bangkai sudah susah payah ditutupi, tetapi baunya tetap masih tercium juga.

Hubungan yang dijalani Kageyama dan Hinata sejak duduk di bangku SMA nyatanya dirahasiakan hingga mereka sudah menjadi atlet voli hebat kelas internasional.

Mereka merahasiakannya juga bukan tanpa alasan, melainkan karena hubungan cinta yang terjalin di antara keduanya ialah hubungan yang masih tabu dalam masyarakat.


“Kau melamun?”

Suara nyaring itu membuat Kageyama menoleh lalu menurunkan maskernya, “Tidak, kau saja yang terlalu lama membeli bakpau ini.”

“Hehe, maaf. Mengantri seperti biasa.”

Kageyama hanya langsung menggenggam tangan Hinata. Laki-laki berambut jingga itu juga tidak keberatan, mereka lanjut berjalan beriringan sambil melahap bakpau masing-masing.

“Kau ingin aku mengajakmu ke mana lagi?” tanya Hinata di sela-sela makannya.

“Ke mana saja asal bersamamu, Boke.”

Benar. Kali ini Hinata yang tiba-tiba mengajak Kageyama untuk jalan-jalan keluar. Hinata beralasan karena merindukannya saja, padahal Kageyama tahu jalan-jalan ini untuk menghilangkan sedikit stress yang ada pada mereka berdua sejak dua hari yang lalu, ketika hubungan keduanya mulai diketahui publik.

Video dan foto tentang mereka yang berciuman di jalan pulang rumah Hinata tersebar. Televisi dan sosial media ikut meramaikan, menjadikan skandal mereka berdua sebagai skandal terparah di kalangan atlet voli.

Walau skandal tersebut sudah dikonfirmasi sebagai kesalahpahaman, nyatanya warga tetap tidak percaya. Kageyama dan Hinata pun terpaksa cuti selama sebulan untuk menghindari media, walau yang dilakukan mereka justru kebalikannya seperti saat ini.

“Aku masih tidak percaya ternyata ikan pari memiliki wajah yang seperti itu, tapi aku suka ikan badut, karena membayangkan film Nemo, kau tahu itu?”

Kageyama mengangguk, “Dia berwarna oren sepertimu.”

“Dan kau berwarna biru seperti Dory. Sebuah kebetulan yang menarik.”

Kageyama tersenyum tipis dibuatnya. Seharian ini mereka mengunjungi berbagai tempat, sudah saatnya untuk pulang karena waktu mulai mendekati pukul 9 malam. Hanya tersisa beberapa jam lagi mereka boleh menetap di stasiun. Oleh karena itu Kageyama harus bergegas mengatakan sesuatu pada Hinata sebelum pergi dari sini. 

“Nyawa, nyawa, nyawa.”

Tetapi suara parau dari seorang Kakek yang duduk di bangku dekat rel kereta api membuat Kageyama dan Hinata menoleh. Pasalnya sang Kakek juga asal menyeletuk sambil menunjuk ke arah Hinata, membuat keduanya memasang wajah bingung.

Kageyama pun menegurnya, “Maaf?”

“Kucing, kucing, kucing.”

Tapi ia tidak dipedulikan karena kali ini Kakek menunjuk ke arah gadis kecil yang sedang dituntun oleh ibunya. Ketika Kageyama kembali melihat mata sang Kakek, ada pancaran yang berbeda di sana, ia pun langsung mengerti.

“Dompet, dompet, dompet.”

Kini Kakek juga menunjuk pria lain, ia sedang duduk di samping seseorang yang tertidur dengan topi menutupi wajahnya. Kageyama menghela napas lelah, ia pun mengajak Hinata beranjak dari sana dan menganggap sang Kakek sebagai angin lalu saja.

“Kageyama, kau ingin minum sesuatu dulu?”

Mengingat tujuan utamanya, Kageyama menggeleng dan menepi bersama Hinata pada bangku kosong. Ia meraih tangan pemuda itu, mengusapnya perlahan yang membuat pemiliknya bertanya-tanya.

“Sebenarnya ada yang ingin kau bicarakan padaku, kan?”

Hinata tidak terlihat terkejut, Kageyama tahu bahwa dia juga menunggunya untuk bertanya. Atmosfer yang mengelilingi mereka dari awal sudah berbeda dari biasanya. Ada yang aneh dan janggal, sebab itu Kageyama harus segera meluruskan masalah tersebut.

Pemuda beraroma jeruk itu sekarang membawa tangan Kageyama ke pipinya, “Aku hanya ingin menghabiskan waktu bersamamu agar kau tidak terlalu memikirkan skandal itu,”

“Aku tidak memikirkannya, jangan khawatir.”

“Tapi kau khawatir denganku dan aku tidak suka itu.” Hinata mencium pelan punggung tangan Kageyama, “aku minta maaf karena tidak hati-hati, ini semua salahku.”

Kageyama menarik tangannya, “Jangan bercanda. Ini bukan salah siapa-siapa. Tenanglah, warga akan melupakannya sebentar lagi.”

“Tapi tidak dengan dampak yang menimpa kita berdua, Kageyama. Kita berdua bisa kehilangan pekerjaan, karir kita akan hancur. Apa kau masih belum sadar, hm?”

Hinata mulai terdengar serius, Kageyama pun meraih kedua tangan yang dulu mungil itu dengan lembut, “Lalu? Bagaimana jika kita mengasingkan diri mulai sekarang?”

Tubuh Hinata merinding seketika, matanya bahkan mulai berair, “Kage-”

Kageyama tahu masa ini akan datang, ia sudah memikirkannya sejak lama walau waktunya tidak tepat dan terkesan mendesak, “Kita bisa ke luar negeri, memulai kehidupan baru di sana.”

“Aku-”

Kageyama tersenyum, semakin menggenggam tangan kekasihnya itu, “Kau mau kan, Hinata?” kini Hinata benar-benar menangis, “karena aku tidak bisa memikirkan voli dan kau sebagai hal yang harus dipisahkan. Aku mencintaimu, sangat.”

Hinata menundukkan kepalanya seraya menyembunyikan isakan. Tetapi perlahan setelah itu ia melepaskan genggaman mereka, membuat senyuman Kageyama meluntur, begitu pula dengan ucapan gemetar yang keluar dari mulutnya.

“Tidak bisa …”

“Kenapa?”

Hinata terisak, semakin membuat Kageyama lemas, “Karena semenjak kejadian itu, sebentar lagi aku akan dijodohkan oleh gadis pilihan orang tuaku.”

Wajah Kageyama memucat, napasnya seakan tercekik. Apa yang didengarnya barusan mendadak membuatnya pusing dan mual secara bersamaan. Sementara Hinata sedang berusaha mati-matian untuk menahan air matanya yang turun semakin deras.

“Tapi aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi.” Hinata tersenyum tipis, “Maafkan aku juga bila aku mengatakannya tiba-tiba, karena sebenarnya hari ini … adalah hari terakhir aku menghabiskan waktu bersamamu.”

Kageyama menggeleng lemas, “Tidak, Hinata …”

“Karena jalan keluar yang bisa kupilih untuk menyelamatkan karirmu adalah dengan perpisahan.”

“Tidak bisa! Aku juga membutuhkanmu, Boke!”

Kageyama meraih kedua bahu Hinata dengan tangannya yang gemetar, “Atau kau sekarang tidak mau bersamaku lagi? Kau ... kau tidak mencintaiku lagi?”

Hinata menggeleng, ia meraih wajah Kageyama dan mencium bibirnya lembut, “Aku sangat mencintaimu dan kau tahu itu.”

“Hinata …”

“Aku harap kau selalu bahagia. Ayolah, ke mana perginya Kageyama yang selalu menyebutku lemah?”   Kageyama menggeleng, “Kebahagiaanku adalah dirimu dan kau masih bisa berharap aku bahagia setelah kau pergi?”

Tidak mempedulikan Kageyama, Hinata terus mengusap dan merapikan helaian rambut kekasihnya, walau keduanya sadar bahwa tangannya gemetar tertahan.   “Setelah ini, aku harap kau juga selalu mendapat cinta dari banyak orang di sekelilingmu. Jangan sering melakukan kebiasaan burukmu, aku tahu kau sudah banyak berubah. Aku bangga menjadi partner sekaligus kekasihmu. Aku … aku sangat bersyukur Tuhan menghadirkanmu dalam hidupku,” Hinata tertawa pelan, “terima kasih telah menjadi orang yang kucintai dan mencintaiku.”

“Hinata, cukup, kau-” Ucapan Kageyama terpotong ketika Hinata mengecup keningnya cukup lama.

“Kita akhiri di sini. Jaga dirimu baik-baik, Kageyama Tobio.” Hinata bangkit berdiri tanpa menoleh lagi.

Ia berjalan meninggalkan Kageyama yang tidak bisa menerima keputusan sepihak kekasihnya itu. Kageyama harus kembali membujuk Hinata, laki-laki jeruk itu memang bodoh dan hanya selalu memikirkan keadaannya, ini semua tidak bisa dibiarkan.

Sedetik kemudian Kageyama ikut bangkit untuk mengejar Hinata, tetapi seseorang yang baru saja berlari berhasil menabraknya hingga tersungkur tiba-tiba.

Seorang pria dewasa pun segera membantu Kageyama untuk bangkit, “Kau baik-baik saja?”

“Pencuri! Siapa pun tangkap pencuri itu!” teriak pria di belakangnya yang juga sedang berlari tergesa-gesa.

Kageyama tertegun sesaat, pria tersebut adalah pria yang beberapa saat lalu sedang duduk di samping pria yang tidur dengan topi di wajahnya. Lantas Kageyama tiba-tiba teringat dengan apa yang dikatakan Kakek buta di sebelah sana.

“Apa pria itu baru saja kehilangan dompetnya?”

Pria yang menolong Kageyama mengangguk, “Bagaimana kau tahu?”

“Aku mendengar ucapan yang dilontarkan Kakek tua itu saat menunjuknya. Apa Kakek itu peramal?” Mendadak Kageyama penasaran, sepertinya pria dewasa ini terlihat bisa menghilangkan penasarannya.

“Ah, Kakek itu. Daripada dikatakan peramal, ia bisa dikatakan memiliki keahlian unik yang orang tidak dapat percaya,” pria itu menatap Kageyama intens, “walau ia buta, ia bisa mengetahui apa yang akan hilang dari orang yang ia tunjuk secara acak.”

“Jadi benar, dompet adalah kata yang dilontarkan Kakek itu- tunggu,”

Jantung Kageyama berdetak lebih cepat saat itu juga. Tanpa mengatakan apa pun pada pria tadi, Kageyama kembali bangkit untuk berlari mengejar Hinata di kerumunan, sebelum teriakan histeris tiba-tiba terdengar di sekelilingnya.

“Seseorang berambut jingga baru saja melompat ke rel kereta!”

Semua bagaikan mimpi buruk di mana Kageyama ingin segera bangun dan mengakhirinya. Teriakan-teriakan histeris masih mengelilinginya sementara Kageyama masih mematung.

Orang-orang juga mulai berlarian tidak teratur, menggiring Kageyama yang sudah lemas kembali ambruk tak berdaya di pinggir rel kereta.

“Hina ... Hinata-”

Nyatanya perpisahan yang dimaksud adalah ini. Hinata, dengan senyum bodoh yang selalu secerah matahari itu, memilih untuk mengakhiri hidupnya demi Kageyama.

Ia memilih menghilangkan matahari untuk melindungi bayangan yang sudah jelas tidak bisa muncul di bumi tanpa kehadirannya. 

Kageyama tak kuasa menahan tangis. Ia ingin bangkit dan berteriak pada orang yang mengelilingi Hinata untuk segera menjauh, tapi langkahnya tiba-tiba terhenti ketika melihat sang Kakek duduk tak jauh darinya.

Dengan perasaan yang sudah hampa, Kageyama berjalan mendekat, berusaha mengeluarkan suaranya yang menyedihkan.

“Kakek … se- sejak tadi aku bersamanya, kau pasti juga tahu apa yang akan hilang dariku, kan?”

Sang Kakek mengangguk seraya menunjuk Kageyama yang langsung berteriak histeris ketika mendengar jawabannya.

“Kekasih, kekasih, kekasih.” []

© haikyuusou, 2020.

Semua sadar tentang apa yang sedang terjadi dengan Kageyama dan Hinata. Mereka adalah dua laki-laki yang mempunyai hubungan dekat soal olahraga voli mau pun soal percintaan. Mereka saling mencintai, oleh karena itu mereka berpacaran. Satu sekolah hampir mengetahui rahasia itu. 

Awalnya memang tidak aneh, sebelum berita yang tersebar adalah bagaimana Kageyama Tobio selalu diskors akibat kekerasan yang dilakukan olehnya. Tak segan-segan Kageyama memukuli siswa mau pun siswi hingga harus dilarikan ke rumah sakit hanya karena seorang Hinata Shouyou, kekasihnya. 

Yamaguchi Tadashi adalah salah satu siswa yang menyadari dan juga sering memerhatikan perkembangan mereka berdua. Kini ia melihat bagaimana Hinata dengan riangnya datang ke kelas untuk menghampiri Kageyama, untuk apa lagi kalau bukan berpacaran di atap atau di depan kelas.

Ia menghela napasnya, “Aku kasihan pada Hinata, ia pantas mendapatkan yang jauh lebih baik daripada Kageyama.”

“Kau contohnya?” selidik Tsukishima yang baru muncul dengan minuman kaleng di tangannya.

“B-bukan! Tentu saja bukan!” Yamaguchi menggeleng, “Aku tidak tertarik pada Hinata, tetapi yang lain.”

Tsukishima mengikuti arah pandang Yamaguchi pada gadis berambut pirang diketahui bernama Yachi Hitoka, anak baru dari kelas sebelah. Ia menyeringai tipis, tetapi sekarang bukan saat yang tepat untuk menjahilinya, topik tentang Kageyama dan Hinata lebih menarik untuk dibahas.

“Memang apa yang membuatmu berpikir si Pendek itu pantas mendapatkan yang lebih baik?” 

“Aku takut jika Kageyama akan melukai Hinata pada akhirnya. Aku sudah memantau hubungan mereka sejak awal, terhitung lebih dari tiga kali Kageyama diskors dan lima orang terluka karenanya. Entah harus masuk rumah sakit atau absen di kelas selama beberapa hari. Itu semua dia lakukan karena cemburu pada seseorang yang mendekati Hinata!” Yamaguchi merinding ketika mengingat segala kekerasan yang dilakukan Kageyama selama ini, “Kalau bukan karena anak orang kaya, ia pasti sudah dikeluarkan sejak lama!”

Tsukishima mengangguk, lalu melirik Yamaguchi, “Menurutmu, apa yang membuat Kageyama melakukan hal itu?”

Pertanyaan Tsukishima membuat Yamaguchi terdiam sejenak. Satu kata yang terlintas di benaknya hanyalah obsesi. Bukan cinta namanya jika terlalu posesif dan juga kasar hanya karena cemburu. Pasti selama ini Hinata merasa terkekang. Atau sebenarnya Hinata memang ingin melepaskan diri tetapi terlalu takut dengan apa yang akan Kageyama lakukan padanya?

“Karena Kageyama seperti psikopat. Pokoknya tidak pantas.” akhirnya jawaban inilah yang keluar dari mulut Yamaguchi.

Tetapi Tsukishima justru tertawa meremehkan, “Jika si Raja itu psikopat, bagaimana bisa Hinata tetap terlihat baik-baik saja sampai sekarang?”

“Mungkin Hinata sedang meminta pertolongan! Aku yakin Hinata sangat tertekan selama ini!”

“Kau yakin? Lalu apa yang sedang mereka lakukan sekarang?”

Kini Yamaguchi yang mengikuti arah pandang Tsukishima. Di dekat jendela koridor sekolah, Kageyama dan Hinata berdiri dengan senyum malu-malu di wajah keduanya. Terlihat Hinata yang lebih aktif untuk menggoda Kageyama, karena laki-laki itu kini mencubit pipi kekasihnya gemas. Benar-benar terlihat seperti pasangan normal pada umumnya.

“Mereka bermesraan.”

“Mereka selalu bersama. Di aula voli, koridor, kantin, bahkan jalan pulang ke rumah, keduanya memasang wajah yang sama setiap harinya.” Tsukishima kini memandang serius, “Aku juga sama sepertimu, sering memerhatikan mereka untuk melihat adanya sinyal aneh yang ditunjukkan, tetapi yang kudapatkan hanya kemesraan memuakkan ini.”

Yamaguchi menggigit kukunya ragu, “Jadi mereka benar-benar saling mencintai? Tetapi bagaimana dengan orang yang mau mendekati Hinata? Mereka pasti akan menjadi calon korban Kageyama selanjutnya.”

“Mungkin kau benar, seperti gadis itu contohnya.”

Yamaguchi menatap gadis yang dimaksud Tsukishima. Gadis yang sekarang tengah malu-malu mengajak Hinata berbicara di depan kelas. Gadis dengan rambut pirang pendek nan lugu yang selama ini telah menarik perhatiannya. Gadis bernama Yachi Hitoka.

“Tidak.” Yamaguchi menatap Tsukishima panik, “Aku harus menyelamatkannya.”


Harusnya malam ini Yamaguchi sudah pulang bersama Tsukishima setelah selesai latihan. Tetapi ada hal yang harus diprioritaskan, yaitu keselamatan Yachi si anak baru yang tentu belum banyak mengetahui tentang mereka berdua. Rencana pertama Yamaguchi adalah menyelidiki keadaan keduanya terlebih dahulu.

“Kau menungguku?” suara Kageyama terdengar di parkiran sepeda sekolah, sementara Yamaguchi bersembunyi di balik pepohonan tak jauh dari sana.

Hinata mengangguk lalu berjinjit untuk mencium bibir Kageyama, “Kau lambat.”

“Maaf. Mau pulang sekarang? Atau ke rumahku?”

Kageyama membawa Hinata ke pelukannya, sesekali mencium pucuk kepala jingga itu. Hinata juga terlihat mengeratkan pelukannya, saling menyalurkan kehangatan. Bahkan Yamaguchi yang melihat itu semua ikut terbawa suasana. Mereka memang sangat manis jika melupakan fakta bahwa Kageyama seperti psikopat.

“Apa yang akan kau lakukan padaku ketika di rumah?” Hinata bertanya dengan suara menggoda. 

Sementara Kageyama menggigit pelan helaian rambut Hinata, “Seperti yang ada di bayanganmu sekarang ini, Boke.”

“Apa itu maksudnya?” bisik Yamaguchi tidak mengerti.

Hinata terkekeh sebentar, tetapi kemudian ia mengangkat kepalanya untuk menatap Kageyama lebih lekat. “Kageyama ... apa kau kenal Yachi Hitoka?”

Ketika nama itu disebut, bulu kuduk Yamaguchi seketika berdiri. Ia segera menajamkan pendengarannya pada topik penting kali ini.

“Siapa?” Kageyama mengerutkan dahinya, “Kenapa menanyakan hal itu tiba-tiba?”

Terlihat wajah Hinata melunak, “Tidak apa, sepertinya dia belum berani. Haha.” ia kembali memeluk Kageyama erat, “Ia mengatakan padaku rencananya yang ingin menjadi manajer baru. Besok aku akan bicara lebih banyak bersamanya.”

“Oh, tidak …”

Yamaguchi menutup mulutnya. Hinata mungkin tidak menyadari perubahan wajah Kageyama sekarang. Benar juga faktanya bahwa Hinata adalah laki-laki polos, mungkin Yachi memang ingin menjadi manajer klub voli sungguhan, tetapi ia tidak menyadari bahwa Yachi juga ingin mendekatinya.

“Ah, begitu.” Kageyama mencubit pelan hidung mungil Hinata, “Perlu kutemani?”

Hinata menggeleng, “Tidak perlu, ada hal yang harus aku urus sendiri. Ayo, pulang!” 

“Ayo. Tapi tunggu, aku mendengar ada sesuatu yang aneh di sekitar sini.”

“Berasal dari mana?” 

“Pohon.”

Tubuh Yamaguchi lantas membeku. Sebisa mungkin ia mengusahakan untuk tidak kembali menghasilkan suara, karena sekarang Kageyama seakan tahu keberadaannya.

“Jangan menakutiku! Ayo!” 

Beruntung Hinata sudah lebih dulu menarik sepedanya menjauh. Mau tak mau pandangan Kageyama juga mengikuti ke mana Hinata pergi. Yamaguchi bisa menghela napasnya dengan tenang setelahnya. Selain karena ia berhasil menyelidiki mereka dengan selamat, ia juga tahu rencana selanjutnya yang akan ia lakukan besok.


“Pagi ini aku melihat Yachi membawa surat dan juga cokelat.”

Ucapan Tsukishima tadi pagi membuat tekad Yamaguchi semakin bulat. Sudah pasti hal yang ingin dibicarakan Yachi bersama Hinata tentang pernyataan cintanya. Maka dari itu rencana selanjutnya adalah menjauhi Kageyama dari mereka berdua sebisa mungkin.

“Siapa pun yang bersedia pergi membeli keperluan kelas yang rusak hari ini akan menambahkan nilai tambahan beserta siapa yang ia ajak. Kalian yang bersedia pun juga mendapatkan hak untuk memilih siapa pun untuk diajak.”

Mungkin Tuhan juga berpihak pada Yamaguchi saat ini. Salah satu hal yang ia syukuri sekarang adalah fakta bahwa Kageyama satu kelas dengannya. Tanpa pikir panjang lagi Yamaguchi mengacungkan tangan, ia tidak boleh melewatkan kesempatan ini. 

“Saya bersedia, Pak!”

Tsukishima menatapnya dengan sedikit terkejut. Pak guru di depan sana juga begitu, karena Yamaguchi yang tiba-tiba memilih untuk aktif adalah hal yang sangat jarang terjadi. 

“Baik, lalu siapa orang yang ingin kau ajak?”

Yamaguchi menatap Kageyama yang terlihat tidak tertarik dengan hal ini, “Kageyama Tobio, Pak.”

Kini bukan Tsukishima saja yang terkejut, melainkan satu kelas memandangnya khawatir. Bagaimana tidak? Kageyama adalah pilihan terakhir yang pasti ada di benak mereka. Bahkan Kageyama yang biasa berekspresi datar juga sedikit mengerutkan dahinya tidak terima.

“Baik. Sudah diputuskan dan tidak boleh ada penolakan. Sekarang kembali fokus pada buku kalian halaman 27.”

Ketika Yamaguchi menurunkan tangannya, bisa ia rasakan hawa menyeramkan di belakang sana tengah mengintimidasinya. Tsukishima yang mengerti pun hanya bisa memandangnya dengan pandangan yang sulit dimengerti. 

Waktu bahkan terasa sangat cepat berlalu, kini bel pulang sekolah telah berbunyi. Setelah membereskan isi tas, Yamaguchi dengan sedikit gemetar membalik tubuhnya untuk menghampiri laki-laki itu di sana.

“Kenapa kau memilihku?”

Tapi Kageyama sudah lebih awal mendahuluinya. Yamaguchi menelan salivanya gugup, ia tidak pernah membayangkan akan bersama dengan Kageyama sungguhan. Dengan segenap keberanian yang ia kumpulkan, Yamaguchi menatap netra biru laut itu tegas.

“Hanya ingin berinteraksi denganmu, apakah tidak boleh?”

Kageyama mendecih, “Bukannya kau takut padaku? Aku sering mendapati dirimu memerhatikan kami.”

“T-tidak, aku hanya bingung bagaimana cara mengajakmu berbicara, kau terlihat sangat tertutup.” Yamaguchi ingin mati saja rasanya, “Bisa kita pergi sekarang? Aku takut tokonya sudah tutup.”

Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Kageyama menurutinya. Sepanjang perjalanan Yamaguchi berusaha menenangkan dirinya dengan fakta bahwa Yachi sekarang bisa baik-baik saja walau mungkin hatinya tidak karena sudah pasti Hinata menolaknya. 

Mereka tidak banyak bicara di toko, tetapi tidak seperti yang ia bayangkan, nyatanya Kageyama cukup menurut untuk diminta pertolongan. Melupakan kekerasan yang dilakukan olehnya, sekali lagi Yamaguchi dapat melihat ia seperti anak remaja polos pada umumnya.

“Yamaguchi, apa kau menyukai Hinata?”   Tetapi tiba-tiba ia bertanya seperti itu yang membuat tubuh Yamaguchi mendadak tegap, “Tentu saja tidak, kenapa kau berpikir seperti itu?”

“Mungkin saja kau menghampiriku karena kau ingin tahu lebih banyak tentangnya.” 

Ah, Yamaguchi sadar, Kageyama Tobio memang bukan tipe yang berpikir panjang untuk mengatakan dan melakukan sesuatu.

“Kau ini mudah cemburu, ya?” Entahlah, tiba-tiba rasa takut Yamaguchi meluap begitu saja karena ia pikir Kageyama tidak terlalu menakutkan untuknya. “Hanya karena orang itu mendekati Hinata, bukan berarti ia ingin memilikinya.”

“Tapi aku merasa sangat terganggu, kau tahu Hinata adalah tipe yang bisa berteman pada semua orang. Bukanlah hal aneh jika dia bisa jatuh hati juga pada orang lain.”

“Tapi kau juga tidak bisa menyalahkan orang lain yang membuat Hinata-”

“Hinata milikku.” klaim Kageyama tegas, penuh penekanan.

Yamaguchi mengerti, ia pun menepuk pundak Kageyama pelan, “Baiklah. Aku tidak mengerti bagaimana perasaanmu padanya, tetapi jika kau ingin Hinata juga merasa aman dan nyaman berada dekatmu, kau bisa mengurangi kekerasan itu. Cemburu boleh, tapi jangan sampai merugikan orang lain, Kageyama.”

Kageyama menyeringai, “Memangnya kau tahu apa yang bisa membuat Hinata lebih nyaman?”

“Aku? Tidak juga.”

Karena ketika Kageyama bertanya seperti itu, Yamaguchi sudah kalah telak. Ia benar-benar tidak tahu ingin membalas apa. Akhirnya ia memilih untuk tak mengungkit topik tersebut. Mereka berbelanja dengan tenang, tetapi sebelum berpisah di depan toko, Kageyama kembali membuka suaranya.

“Hinata itu sama sepertiku. Kalian yang sering memerhatikan tidak perlu khawatir,” pemuda itu menunjukkan ponselnya yang berisikan puluhan pesan dari kontak bernama 'Boke' dengan emoji hati, “dia bahkan melebihiku, kau tahu?” 

“Baiklah. Kalau begitu kalian pantas.” finalnya.

Yamaguchi berpisah dengan Kageyama di persimpangan jalan. Ketika ia rasa lelaki beraroma splash marine itu telah menjauh, Yamaguchi baru bisa menghela napasnya lega. Tubuhnya tidak lelah, melainkan batinnya. 

Tapi lelahnya tidak akan menjadi sia-sia karena pasti akan membuahkan hasil. Pulang sampai ke rumah, Yamaguchi langsung merebahkan dirinya di kasur tanpa membuka ponsel lagi. Ia memilih menuruti kantuknya untuk memejamkan mata, menuju alam bawah sadarnya.


Kalau bukan karena kesiangan, Yamaguchi pasti tidak akan terlambat. Dengan tergesa-gesa ia menggapai pintu kelas, yang sialnya guru sudah hadir lebih cepat di sana. Tapi kini keberuntungan kembali berpihak pada Yamaguchi, ia diperbolehkan duduk begitu ia masuk.

Yamaguchi duduk lalu berbisik pada Tsukishima di sampingnya, “Sial sekali hari ini aku kesiangan, tetapi kenapa pelajaran dimulai lebih cepat dari biasanya?”

“Karena ada pengumuman.” jawab Tsukishima.

Yamaguchi menjeda napas terengah-engahnya sebentar untuk menatap ke seluruh siswa di kelas, di mana wajah mereka terlihat takut dan juga terkejut.

“Oleh karena itu, besok pihak sekolah akan mengadakan penggalangan dana untuk kesembuhan Yachi Hitoka. Saat ini keadaannya masih kritis, jika kalian mau menjenguknya mungkin kalian tidak bisa bertemu langsung dan-”

Yamaguchi memucat. Tangannya menjadi dingin. Suara-suara di sekitarnya mendadak tidak jelas dan ikut memusingkan. Tetapi matanya menatap tajam ke arah Kageyama Tobio di belakang sana, seakan ingin mengulitinya hidup-hidup.

Yamaguchi bersiap mengangkat tangannya untuk melapor sebelum Tsukishima menahannya. Ia menatap lelaki bersurai pirang yang sekarang menggeleng tegas. 

“Apa yang kau lakukan, Tsuki!?” 

“Kau tidak membaca pesanku!”

Bahkan sekarang ia juga lupa untuk membawa ponselnya, “Dia pasti pelakunya, padahal kemarin aku sudah-”

“Yamaguchi.” Tsukishima menggenggam tangannya lebih erat, “aku akan membicarakannya pulang sekolah setelah kau bisa meredakan emosimu.”

Kini waktu pulang terasa sangat lambat. Selama kelas berlangsung Yamaguchi tidak fokus sama sekali. Di dalam kepalanya ia selalu bertanya-tanya, di mana letak kesalahan dari rencana yang sudah matang-matang ia persiapkan? Tsukishima menceritakannya sedikit bahwa kemarin sore Yachi ditemukan tergeletak di lapangan sekolah dengan posisi kaki dan tangan patah mengenaskan. Bukankah sore itu Kageyama bersama dengannya?

Menunggu kelas mulai sepi hingga Kageyama benar-benar keluar dari kelas, saat itulah Tsukishima dan Yamaguchi memulai pembicaraan sensitif mereka. Bahkan tak segan-segan Yamaguchi memulainya dengan membanting tas ke lantai, meluapkan amarahnya yang sudah tak dapat ditahan lagi.

“Aku sangat bodoh! Aku meremehkan Kageyama yang pasti mempunyai seribu cara untuk melukai siapa pun yang mendekati Hinata!”

“Yama-”

“Benar, Tsuki! Dia anak orang kaya, tidak heran dia tidak dikeluarkan dari sekolah ini karena pasti dia membungkam mulut pemilik sekolah dengan uangnya! Bahkan aku yakin dia juga menyuruh orang lain saat dia tidak bisa melukai Yachi secara langsung! Apalagi penggalangan dana-”

“Yamaguchi! Diamlah!”

Yamaguchi menatap Tsukishima marah, “Bagaimana bisa aku diam, Tsuki?! Sudah banyak korban yang berjatuhan dan aku hanya perlu diam? Aku harus memberitahu Hinata untuk segera menjauh dari-”

“TADASHI!”

Bentakan Tsukishima yang memakai nama panggilannya membuat Yamaguchi bungkam detik itu juga. Tatapan sahabat sejak kecilnya ini juga terlihat sangat serius, kalau sudah seperti ini ia tidak bisa melawan, Yamaguchi pun memberikan bagian Tsukishima untuk berbicara.

“Kau tahu? Kau tidak akan bisa memisahkan mereka berdua sama sekali. Mereka gila. Pantas saja mereka sangat mencintai satu sama lain dengan cara masing-masing.”

Yamaguchi mendelik, “Dengan kekerasan? Posesif? Gila? Apa itu pantas disebut cinta?”

“Tentu tidak bagi kita, tetapi iya bagi keduanya.”

“Aku tidak percaya. Aku harus segera melaporkannya kepada polisi, ini sudah keter-”

“Kau tahu alasan sebenarnya Yachi bisa masuk ke rumah sakit?” potong Tsukishima cepat.

Yamaguchi mendelik, “Seperti yang sudah kukatakan, pasti Kageyama-”

“Kemarin siang aku melihat Yachi memberikan surat dan cokelat itu pada Kageyama.” 

“Apa?”

“Ia mendekati Hinata untuk mengetahui lebih jauh tentang Kageyama. Ia menyukai si Raja bodoh itu.”

Mungkin saja kau menghampiriku karena kau ingin tahu lebih banyak tentangnya.

Tsukishima tersenyum miris, sementara Yamaguchi mendadak lemas. Bahkan tubuhnya tidak sanggup untuk diajak berdiri, perutnya ikut mual hanya karena mendengar fakta tersebut bersama dengan ingatannya tentang apa yang dikatakan Kageyama kemarin.

“Hinata yang mendorong Yachi. Bukan Kageyama.”

“Tidak mungkin …”

Yamaguchi memegang kepalanya yang sangat pusing, sementara Tsukishima terus melanjutkan ucapannya. 

“Sore itu, beruntung aku melihat dan segera melaporkannya pada pihak sekolah. Hinata Shouyou yang selama ini kau ikut khawatiri, ia mendorong Yachi dari lantai dua dengan senyuman puas di wajahnya.” Tsukishima menyeringai, “Jadi, sudah jelas mengapa mereka pantas menjadi pasangan, bukan?”

Jika dilanjutkan mungkin Yamaguchi akan benar-benar mengeluarkan isi perutnya sekarang juga. Tenaganya seperti habis dikuras hanya karena mendengar fakta mengerikan barusan. Ia bahkan menyuruh Tsukishima untuk pulang lebih awal, meninggalkan dirinya yang nanti akan datang untuk menjenguk Yachi di rumah sakit.

Mengistirahatkan tubuh dan pikirannya selama beberapa menit, Yamaguchi pun kini membalik badannya untuk mengambil tas. Ucapan Kageyama kembali terngiang-ngiang bersamaan dengan pengakuan Tsukishima tadi.

Memangnya kau tahu apa yang bisa membuat Hinata lebih nyaman?

Yamaguchi sudah memantapkan hati ketika menemukan rencana terakhir yang akan ia lakukan kali ini. Karena setelah menjenguk Yachi, Yamaguchi akan segera melapor seluruh perbuatan Hinata ke kantor polisi.

“Maafkan aku, Tsuki. Aku akan menerima resikonya untuk ini semua.”

“Resiko apa, Yamaguchi?”

Aku? Tidak juga.

Jantung Yamaguchi terasa berhenti berdetak saat itu juga. Langkah sepatu yang mendekat dan pintu yang dikunci membuat Yamaguchi reflek menatap ke arah suara, di mana Hinata Shouyou berdiri di sana dengan senyuman ceria yang sekarang terlihat mengerikan di matanya.

“Hinata …”

Hinata itu sama sepertiku. Kalian yang sering memerhatikan tidak perlu khawatir.

“Apa kau sedang tergesa-gesa? Aku ingin membicarakan hal penting denganmu.”

Dia bahkan melebihiku, kau tahu?

“Te-tentang?”

Kini Hinata berdiri di depannya, sambil menunjukkan sebuah benda berlumuran darah yang ia kenali sebagai kacamata milik Tsukishima, sahabat sekaligus saksi penting dalam perbuatan gila yang dilakukan oleh lelaki jingga di hadapannya. 

“Apa sekarang kau yang sedang mendekati Kageyama?”

Baiklah. Kalau begitu kalian pantas.

Dunia Yamaguchi seakan terjungkal saat itu juga. []

© haikyuusou, 2020.