[🌸] Jujur
Isagi tahu ia bodoh, jadi tolong siapa pun jangan beritahu dirinya lagi soal fakta tersebut.
Isagi tahu ia memutuskan segala hal tanpa berpikir panjang, ia selalu mengikuti kata hatinya untuk melakukan sesuatu tindakan yang nantinya akan ia sesali. Contohnya seperti sore ini, ia memang berniat ingin menghibur Rin dan membuatnya bahagia, tetapi sekarang ia seperti mati kutu tidak tahu harus berbuat apa selain berpikir untuk melarikan diri.
Pergi ke pantai? Berdua saja dengan Rin? Apa lagi ini namanya jika bukan membangun suasana yang romantis di antara keduanya?
“Ayo, Sa. Kita masih bisa jalan-jalan dulu di pinggir laut sebelum sunset.”
Apa lagi senyum manis Rin belum juga luntur sejak mereka tiba di sini. Walau memang betul sih, membuat Rin bahagia adalah tujuan utamanya, tetapi tetap saja Isagi juga kesal melihat Rin bisa sebahagia itu oleh hal sepele seperti ini.
Hah, lebih tepatnya Isagi tahu bahwa Rin memang bahagia jika bersama dengan dirinya.
Beneran full nyengir ini orang, cibirnya dalam hati.
Rin yang biasanya hanya memberikan tatapan datar dan sinis ke orang lain, kini tidak bisa menurunkan senyumnya yang mengembang sehangat mentari, dan Isagi bersyukur bahwa ia lah orang yang paling sering melihat sisinya yang seperti ini, yang tanpa Isagi sadari pun senyum ikut terukir di wajah manisnya.
“Lo cuma mau jalan-jalan? Gak berenang gitu?” Isagi akhirnya ikut mengimbangi langkah pria yang lebih tinggi itu untuk bertanya, lebih tepatnya mengurangi kecanggungan di antara mereka.
“Hm? Engga,” Rin terlihat berpikir dan detik kemudian menatapnya tajam, “kamu yang sebenernya mau berenang, ya? Gak boleh. Aku gak suka kamu telanjang terus dilihatin orang lain.”
“SIAPA JUGA YANG MAU?!” bentak Isagi kesal.
“Hehe, maaf, maaf, yaudah kamu maunya apa?”
Isagi mendecih, “Yang mau ke pantai itu elo, jadi gue yang harusnya ngikutin lo maunya ngapain,”
”Mau ciuman sama kamu,”
“GUE PULANG!”
Isagi berniat untuk membalik badan tapi Rin lebih dulu menahan pergelangan tangannya, “Aku bercanda, aku udah seneng dateng ke sini berdua sama kamu, jadi gak perlu ngapa-ngapain pun gapapa.”
Mendengar penjelasan Rin dengan nada lembutnya, membuat Isagi tidak lagi berkutik dan dengan canggung langsung menepis pelan tangan Rin yang tadi memegangnya.
“Kalo gitu gue aja yang mutusin, g-gue, gue mau main pasir! Haha! Iya gue mau main pasir!”
Isagi yang masih salah tingkah pun langsung berjongkok untuk mengacak-acak pasir di hadapannya saat itu juga, sementara Rin justru melihatnya seperti anak anjing yang tengah mencari mainannya, sangat menggemaskan.
“Kamu mau bikin apa?” Rin ikut berjongkok di depan yang lebih kecil, bukan untuk melihat pasirnya, tetapi untuk memandangi wajah Isagi yang kini tengah memerah menahan malu sambil terus menggali.
“Bikin kuburan! Mending bantuin gue daripada cuma ngeliatin!”
“Oke, bikin dua saling sampingan, ya?”
“Ngapain? Capek tau,”
“Supaya nanti kalau aku dikubur, kamu bisa nemenin aku di sampingnya. Tapi jangan kamu yang mati duluan ya, Sa. Aku gak bisa hidup tanpa kamu.”
Tangan Isagi berhenti menggali untuk sesaat, “Apaan sih, siapa juga yang mau bikin kuburan buat lo atau gue? Cuma bikin doang, jangan ngomong aneh-aneh!”
Rin hanya tersenyum dan terus menggali bersama Isagi. Sementara Isagi sendiri tengah berusaha mengabaikan ucapan Rin yang entah mengapa membuat jantungnya berdebar lebih cepat dan juga hatinya sedih di saat yang bersamaan.
Beberapa menit mereka lalui dengan hanya saling menggali pasir ditemani dengan suara-suara menenangkan yang datang dari laut di samping mereka. Orang-orang yang tadi hadir mulai meninggalkan pantai dan membuat area semakin sepi, menghasilkan suasana yang lebih intim untuk keduanya saat ini.
“Aku kangen, Sa.”
Ucapan Rin yang tiba-tiba kembali memecah keheningan, tetapi tidak menghentikan tangan Isagi untuk terus menggali pasir dengan semangat.
“Haha, sama, gue juga kangen main pasir, udah lama rasanya gak ke pan-”
“Aku kangen kita.”
Namun, akhirnya tangan itu berhenti bergerak begitu suara tersebut terdengar bersamaan dengan Rin yang menyentuh punggung tangannya lembut. Isagi mengangkat kepalanya, hingga manik zamrud dan safir itu kembali bertemu untuk kesekian kali.
“Aku kangen kita,” ulang Rin, “aku dan kamu, berdua kayak gini.”
“Gak jelas, haha,”
Isagi menarik tangannya dan tertawa canggung, ia bersiap untuk kembali menggali tapi kali ini Rin meraih tangannya untuk ia genggam—mau tak mau membuat Isagi memusatkan perhatiannya penuh pada Rin.
“Aku serius, Isagi Yoichi.”
Mengetahui bahwa kini ia memiliki waktu berdua dengan Isagi dengan suasana hati dan pikiran yang mendukung, membuat Rin berpikir bahwa saat ini adalah waktu yang tepat untuk Rin mengatakan semua rahasia yang ia sembunyikan pada Isagi selama ini.
Karena seperti yang dikatakan Reo, ia harus segera memberitahu Isagi semuanya sebelum terlambat, sebelum Isagi hanya akan semakin membencinya.
Terlepas dari apa pun jawabannya nanti, setidaknya Rin sudah jujur dan tidak ada lagi rahasia yang ia tutupi dari Isagi.
“Maaf, Sa, aku baru berani untuk ngomong ini sekarang, terserah kamu mau percaya atau engga, tapi kamu harus tahu semuanya,”
“Tahu apa?” Isagi menatapnya bingung.
“Aku minta maaf, walau aku tahu apa yang aku lakuin ini emang gak termaafkan, tapi seenggaknya aku mau jujur sama kamu, dan aku gak mau ada rahasia lagi yang aku tutupin ke kamu,”
“Rin, lo ngomong apa-”
“Malam itu aku gak selingkuh dari kamu, tapi aku pura-pura selingkuh, Sa.”
Ah, ia mengatakannya.
Mendengar itu Isagi tersentak, wajahnya mendadak kaku. Rin tahu itu tapi ia tetap tidak bisa menghentikan ucapannya.
“Kamu tahu? Dia itu Hiori, sepupu aku, malam itu aku sengaja minta tolong sama dia untuk bantu nemenin aku dan pura-pura untuk ciuman di depan kamu,” napas Rin tercekat, ia bahkan menundukkan kepalanya karena takut untuk melihat wajah kecewa Isagi, “aku sengaja ngelakuin itu, Sa. Saat itu aku kacau, aku gak mau kamu tahu masalah aku yang sebenarnya, aku gak mau kamu dituduh yang bukan-bukan, aku gak mau mereka jadiin kamu sebagai alasan hal buruk terjadi di hidup aku, aku gak mau kamu merasa bersalah sama sekali, Isagi,”
Isagi masih diam tak berkutik, membuat Rin mau tak mau terus melanjutkan ucapannya meski ia tahu mungkin Isagi ingin segera pergi dari hadapannya saat ini juga.
“Orang tua aku gak pernah setuju aku pacaran sama kamu, mereka selalu cari cara buat misahin kita bahkan sampai sekarang ini! Mereka mau ngadain pertunangan untuk aku secepatnya supaya aku bisa lepas dari kamu… tapi aku gak mau, Sa, aku cuma mau sama kamu.”
Rin kini meraih kedua tangan Isagi yang terkulai lemas di hadapannya, ia genggam erat upaya ikut menyalurkan bagaimana perasaannya terhadap Isagi yang tak pernah berubah dari dulu hingga saat ini.
“Tapi saat itu aku bodoh, Sa. Aku pikir dengan aku berpisah sama kamu maka itu yang terbaik untuk kita berdua, padahal ternyata engga sama sekali. Aku gak bisa mutusin kamu, sampai kapan pun gak akan, tapi aku juga gak boleh egois. Kamu bisa ketemu sama orang yang lebih baik dari aku, jadi dengan gegabah aku pakai cara pura-pura selingkuh itu, supaya kamu putusin aku, benci aku, karena tanpa cara ini aku pikir kamu gak akan putusin aku, aku tahu kamu sayang banget sama aku karena kamu orang yang sangat baik, Isagi.”
Ingatan tentang awal kisah mereka bermulai kembali berputar dalam otak Rin. Bagaimana seorang anak laki-laki dengan sifat yang sangat buruk hingga satu pun orang tidak ingin bergaul dengannya, bertemu dan jatuh cinta dengan anak manis pantang menyerah yang selalu hadir dan terus memaksakan diri untuk masuk ke dalam hidupnya.
Hadir untuk mengulurkan tangan dan menariknya keluar dari dunia yang penuh rasa kemuraman, hadir untuk memberikan pelukan yang seakan menghangatkan hari-harinya yang sedingin malam, dan hadir untuk memberikan cinta yang seketika mewarnai hidupnya yang tadinya dipenuhi kelam.
Kisah kasih yang seharusnya akan terus berjalan manis, jika hari itu tidak datang dan kebodohan menguasai si anak laki-laki bersifat buruk hingga melakukan keputusan paling buruk di hidupnya.
Rin tersenyum miris menyadari itu, “Ya, aku pikir itu yang terbaik untuk kita berdua, padahal aku hancur, Sa. Aku tanpa kamu gak bisa. Selama lima tahun ini aku gak diam, aku berusaha cari cara untuk ngeraih kamu lagi, tapi setelah tahu kalau kamu block semua akun sosial mediaku dan sempat hilang juga, aku takut aku gak bisa lihat kamu aktif lagi, jadi aku berhenti… untuk sementara,”
Isagi hadir bagai melengkapi kekurangan dalam hidup Rin. Isagi adalah kepingan inti yang tidak boleh hilang dalam puzzle hidup Rin. Isagi adalah seseorang yang paling berharga dalam hidup Rin. Isagi adalah orang yang harus selalu ada bersama Rin.
Setiap malam Rin berdoa agar Tuhan kembali mempersatukan dirinya dengan Isagi, dengan cara apa pun, memberinya kesempatan kedua dan terakhir untuk memperbaiki semuanya—kembali memulai apa yang sebenarnya belum selesai.
“Dan akhirnya hari itu tiba, hari ketika takdir berpihak sama aku, saat kamu melamar di perusahaan aku, saat itu juga aku tahu kalau aku gak boleh ngelewatin kesempatan ini sama sekali, aku harus kembali ngeraih kamu untuk kembali hadir di hidup aku, Sa…”
Rin kini memberanikan diri untuk menatap Isagi sebelum menyelesaikan ucapannya, “Aku gak bisa hidup tanpa kamu. Aku cinta, aku sayang kamu selamanya. Aku gak mau ngebiarin kamu pergi dari hidup aku lagi! Aku bahkan takut untuk berpikir gimana masa depan aku dengan kamu yang gak hadir di dalamnya.”
Napas Rin terengah-engah begitu ia sudah berhasil mengeluarkan apa yang selama ini ingin ia katakan pada Isagi.
Keheningan juga kembali menyelimuti, mereka terdiam sesaat dan hanya menikmati bagaimana angin laut sore membelai helai rambut keduanya.
Sampai akhirnya suara kekehan Isagi terdengar, membuat Rin bertanya-tanya dengan hati yang penuh rasa gelisah dan takut.
“Butuh waktu yang lama juga buat lo nyeritain ini, ya, Rin?”
Rin mengerutkan dahinya bingung, “Ma-maksud kamu, Sa?”
Isagi tersenyum tipis sambil menarik tangannya dari genggaman Rin yang sudah melonggar.
“Lo pikir gue gak tau? Hiori udah ngejelasin semuanya ke gue di hari yang sama ketika kita putus, Rin.” []
© 2023, roketmu.