[🌸] Salam Perpisahan
Hari itu adalah hari Isagi berada di titik paling rendah dalam hidupnya. Hari yang menghancurkan hatinya, mimpinya, bahkan rasa percayanya.
Setelah menjelaskan semuanya sambil menangis tersedu-sedu via panggilan ponsel kepada Bachira dan Chigiri, kini Isagi melipir ke dekat jalan raya agar mereka dapat menemukannya dengan mudah.
Ya. Isagi mau pulang sesegera mungkin. Niat dan rencana yang sudah ia siapkan matang-matang untuk kebaikan Rin, semuanya sirna akibat perbuatan mantan kekasihnya itu sendiri.
Karena di saat ia bersusah payah untuk mencari cara agar hubungan mereka tetap bertahan utuh, Rin sendiri yang dengan sengaja mempermudah apa yang sudah retak dalam hubungan mereka hancur dalam seketika.
Rin begitu egois, sangat egois. Ia pikir dengan ia melakukan hal itu yang akan hancur hanya hubungan mereka saja?
Isagi juga hancur, Rin. Hancur sekali.
“ISAGI!”
Panggilan tiba-tiba itu datang dari arah yang berlawanan darinya, begitu Isagi menoleh, kecemasan dalam dirinya meningkat begitu tinggi dan ia harap Bachira atau Chigiri segera sampai untuk membawanya lari.
“Sialan, kenapa selingkuhannya malah nyamperin gue, sih?”
Selamat kepada Itoshi Rin yang tadi telah mencampakkannya dan membuatnya terlihat menyedihkan, akibat dia pun sekarang Isagi ikut terlihat seperti orang bodoh yang tak ada hentinya untuk menangis di mata kekasih gelapnya itu.
“Isagi, tunggu! Jangan lari!”
Tapi belum sempat Isagi berlari, tangan kanannya yang menggantung lebih dulu ditangkap sehingga mau tak mau ia harus berhadapan dengan orang tersebut.
“Lepasin. Lo gak ada masalah sama gue.” pinta Isagi dengan nada dingin.
Lelaki bermata lentik itu menggeleng kuat, “Tentu ada! Nama aku Hiori, aku-”
“Gue tau lo selingku-”
“Aku bukan selingkuhannya Rin!”
Isagi menghempas tangan Hiori yang kini masih mengatur napasnya pasca berlari, “Oke, terus lo mau bilang kalau lo pacarnya juga dan lo gak tau kalau Rin ternyata pacaran sama orang lain?”
“Aku sepupunya dia, dari kecil kita udah temenan mana mungkin aku jadi selingkuhannya! Rin bohong sama kamu, Isagi!” Hiori tetap bersikeras bahkan ia meraih tangan Isagi lagi agar yang lebih pendek tidak melarikan diri.
“Terus gue emangnya juga bisa percaya sama lo, gitu?” Lelaki bersurai biru gelap itu terkekeh naas, “Udah, ambil aja si Rin, gue gak mau lagi sama dia.”
“Gak boleh!” kini Hiori meninggikan suaranya yang membuat Isagi terheran, “Justru ini yang Rin mau! Dia emang sengaja mau buat Isagi kecewa supaya dia diputusin dan dibenci Isagi!”
“Dibenci... gue?”
Isagi bisa saja menjawab tidak peduli, tapi sepertinya ia juga perlu tahu hal ini, setidaknya untuk membuat semuanya jelas tentang akhir dari hubungan mereka berdua.
Diamnya Isagi pertanda baik untuk Hiori, maka saat itu juga ia mengeluarkan semua bukti bahwa ucapannya barusan adalah benar. Ia menunjukkan isi chat-chat dirinya dengan Rin terkait rencana bodoh milik mantan kekasih Isagi itu beserta alasan-alasannya. Semuanya. Tak terlewatkan sedikitpun.
Setelah mengetahui itu semua, kecemasan dalam diri Isagi berkurang, walau hanya sedikit tapi setidaknya membuat Isagi kini dapat meredakan emosinya selama beberapa saat.
“Kenapa lo mau ngasih tau gue soal ini?” tanya Isagi dengan suara yang jauh lebih tenang.
“Karena aku pun gak tau kalau ternyata harus pura-pura jadi penjahat sama sepupuku yang tolol banget itu,” Hiori menerima ponsel itu kembali dari Isagi setelah si manis melihat semua buktinya, “jadi, aku pun mau kamu untuk tau, kalau Rin di sini gak selingkuh sama sekali, karena dia sayang banget sama kamu.”
“Kalau sayang kenapa dia harus rela nyakitin gue dengan pura-pura selingkuh?” cibir Isagi tidak terima.
“Kamu pasti gak dikasih tau, kan? Masalah Rin akhir-akhir ini? Aku aja tau dari Kak Sae, tentang masalah kuliahnya, bertengkar sama papanya, bahkan kehidupan percintaannya yang udah diatur itu.”
“Tunggu, Rin punya masalah sebanyak itu? Bukannya hanya soal dia yang mau keluar negeri dan karena itu dia mau kita putus?”
Hiori menggeleng lemah, “Justru itu pelarian Rin. Dia bahkan kalau mau nekat udah ajak kamu ke luar negeri, tapi dia gak mau egois, daripada kamu yang disalahin dan terbebani, lebih baik kamu putusin Rin, karena dia gak akan sanggup untuk putusin kamu, Isagi...”
Hening selama beberapa saat sebelum akhirnya kekehan terdengar dari arah Isagi yang turut membuat Hiori bingung akan reaksi pemuda beriris safir itu.
“Sesusah ini, ya, gue pacaran sama Rin? Berarti selama ini dia nahan juga, kan?”
Ah, sial. Mata Isagi kembali memanas.
Tak jauh di belakang Isagi, terlihat dua orang yang tengah berlari mendekatinya dengan tergesa-gesa. Hiori yang tak tahu menahu merasa begitu terkejut ketika salah satu di antaranya menarik paksa kerah kemeja yang ia kenakan begitu saja.
“Lo ini selingkuhannya si Bajingan itu, kan?” Bachira mendecih, “pegangin Isagi, Chi. Biar gue urus si rambut telor asin satu ini.”
Bachira sudah siap melayangkan tamparannya sebelum Isagi lebih dulu menahan tangan si kuning dengan cepat.
“NANTI DULU, RA!”
“Apanya nanti dulu?! Biar gue aja yang gampar karena gue tau lu gak mau!”
Hiori memejamkan matanya bersiap menerima tamparan Bachira, tapi Isagi lebih dulu memeluk sahabatnya itu dengan erat untuk membatasi pergerakannya.
“Isagi...”
Isagi menggangguk, “Biar gue yang jelasin semuanya.”
Sama seperti Isagi, bahkan Bachira dan Chigiri ikut sangat terkejut mendengar fakta penjelasan yang diberikan Hiori terkait alasan Rin melakukan itu semua. Mereka sudah berniat untuk menghajar Rin saat itu juga, tapi sayang Isagi melarang keras, ia juga tak lupa menyuruh Hiori untuk berjanji tak mengatakan apapun pada Rin soal dirinya yang sudah tahu masalah ini. Karena ia merasa, semuanya sudah ia relakan untuk selesai.
Pertemuan mereka akhirnya ditutup dengan Hiori yang hanya bisa menatap iba ke arah Isagi yang kembali menangis tersedu-sedu di dalam pelukan kedua temannya.
“Kamu selama ini udah tau... tapi kenapa kamu gak bilang sama sekali ke aku, Sa!?”
Tubuh Rin sudah lemas sejadi-jadinya selepas mendengar cerita dari sudut pandang Isagi pada hari itu. Sosok yang biasanya terlihat angkuh nan gagah, kini tak berdaya dengan binar mata yang memancarkan begitu banyak emosi dalam satu warna.
“Karena gue pengen semuanya terlihat selesai,” Isagi menggantungkan ucapannya sejenak untuk tersenyum tipis, “jadi, kita damai aja, yuk, Rin?”
Rin masih tetap diam seribu kata, pikirannya yang sudah kacau tambah kacau. Isagi bisa mengerti hal tersebut, maka dari itu ia saja yang mengambil alih dalam percakapan kali ini.
“Gue pengen lo hidup tanpa beban, cinta-cintaan dalam hidup gak sepenting itu. Kalau emang kita gak direstuin gapapa, kalau lo bahkan mau dijodohin juga gapapa.”
Rin kembali meraih tangan Isagi untuk ia genggam, bisa si manis itu rasakan tangannya yang sudah panas dingin menahan gemetar dengan susah payah seakan mengatakan tidak setuju atas ucapan Isagi barusan.
“Orang tua gak boleh dilawan, Rin. Kita selesai aja, lo emang gak capek apa sama perasaan ini?”
Rin akhirnya menggeleng tak terima, “Aku gak mau, Sa. Aku maunya kita balikan...”
Isagi menghela napas gusar, “Lo tau gak kenapa gue bisa semarah itu sama lo walaupun gue udah tau semuanya?” kemudian ia terkekeh miris dalam jeda ucapannya, “karena lo pengecut. Bahkan sampai sekarang pun lo pengecut, lo belom mau cerita soal kedatangan Kak Sae dan papa lo yang nyuruh lo buat ngejauhin gue lagi, kan?”
Kilat mata Rin kembali memancarkan ketakutan, habis sudah rencananya gagal untuk tidak ingin Isagi terlibat lagi tapi sang terkasih sudah lebih dulu mengetahuinya.
“Haha, bahkan karena tau lo lagi gak baik-baik aja ini, gue sampe ngajak lo keluar, seenggaknya untuk bikin lo tenang, tapi justru lo sendiri yang bikin semuanya kembali rumit karena bahas hal ini tiba-tiba.”
“Aku ngambil keputusan bodoh itu karena aku gak mau kamu terlibat, Sa. Bahkan sampi saat ini! Aku gak mau kamu terbebani karena kamu gak ada salah sama sekali...” bela Rin atas alasannya.
“Gak salah sama sekali?” Isagi menatap Rin tidak percaya, “Lo jahat, Rin. Gue emang gak ada salah tapi lo malah pengen gue benci lo, padahal jelas-jelas itu tindakan yang fatal baik untuk lo maupun untuk diri gue!”
Isagi mengusap wajahnya kasar, ingin rasanya ia berteriak saat ini juga untuk meredakan rasa stress dan pusing dalam dirinya. Apalagi Rin terlihat semakin tidak berkutik, kefrustrasian Isagi melipat ganda hanya dengan menatap ekspresi sedih yang sangat ia benci itu. Ekspresi yang seberusaha mungkin Isagi usahakan tidak akan terlihat di wajah Rin.
“Lo sengaja bikin gue yang lagi sayang-sayangnya sama lo malah disuruh benci gitu aja. Lo sepengen itu dibenci oleh orang yang sesayang itu sama lo?”
Rin membelalakan matanya begitu ia melihat kembali ke arah Isagi, air mata yang sejak tadi berusaha ditahan pemuda beriris safir itu akhirnya mengalir pedih di pipi gembilnya.
“Isagi...”
Isagi menangis, tak kuat menahan emosinya yang sudah susah untuk dibendung, “Gimana kalau ternyata gue belum tau sama sekali tentang lo yang pura-pura? Gimana kalau gue akhirnya beneran benci sama lo, Rin?”
“Isagi, maaf, aku...”
Ingin rasanya Rin merengkuh Isagi ke dalam pelukannya tapi ia juga tahu bahwa ia tidak pantas untuk melakukan itu.
“Lo bahkan bertindak seolah baik-baik aja ketika setelah beberapa tahun kita gak ketemu, seakan lo lupa kesalahan lo, dan berusaha bikin gue jatuh cinta lagi sama lo. Jujur, gue gak ngerti, bangsat...”
“Aku bodoh, Sa. Apa yang kamu harapkan dari orang bodoh kayak aku? Aku taunya saat itu kamu udah benci aku, aku berencana untuk bertingkah nyebelin agar dapat perhatian kamu, dekat sama kamu lagi, sampai akhirnya aku bisa jelasin semua kesalahpahaman soal kepura-puraan aku sama kamu yang udah jatuh cinta sama aku lagi.”
Isagi mendecih di sela isakannya, “Oh, let’s be real, orang tolol mana yang bakal jatuh cinta ke orang yang sama padahal udah pernah diselingkuhin? Kenapa lo bisa seyakin ini untuk bikin gue bakal cinta lagi sama lo?”
“Karena itu kamu, Sa.”
Isagi tertegun sesaat mendengar jawaban cepat Rin yang tidak masuk akal. Apalagi ketika ibu jari pria itu turut ikut mengusap air mata di pipinya.
“Gue?”
Rin mengangguk, “Rasa yakin itu bukan dari aku atau usahaku, tapi cukup dengan kehadiran kamu.” ia juga kembali meraih telapak tangan kecil Isagi untuk ia genggam selagi ia meneruskan ucapannya, “Gak akan ada orang yang bisa mencintai aku lebih dari cinta kamu untuk aku, juga gak akan ada orang yang bisa kamu cintai, melebihi rasa cinta kamu untuk aku, Isagi Yoichi.”
Keheningan langsung tercipta begitu Rin menyelesaikan ucapannya. Hanya ada suara angin dan desiran ombak yang mengisi bungkamnya dua insan tersebut.
Isagi masih menundukkan kepalanya, sementara Rin merasa cemas karena menanti jawabannya. Ada begitu banyak yang ingin Isagi utarakan, tetapi begitu sedikit juga yang mampu ia suarakan.
Mau tak mau Isagi kembali mengangkat kepalanya, menatap ke arah Rin dengan berani sambil menunjukkan wajah yang kali ini tak ada lagi air mata tersisa.
“Oke, dengan itu gue juga semakin tau kalau kita beneran udah gak bisa sama-sama lagi, Rin.” ucap Isagi pada akhirnya.
Rin terkesiap, “Maksud kamu, Sa?”
“Kita damai seperti yang gue bilang, oke? Lo berhenti kejar gue, dan gue berhenti juga muncul di depan lo.”
Isagi pun melepas genggaman tangan Rin lalu bangkit untuk berdiri seraya membersihkan sisa-sisa pasir di tubuhnya. Sementara Rin yang tidak terima ikut bangkit dan untuk kesekian kalinya meraih pergelangan tangan Isagi agar yang lebih tua kembali menatapnya.
“Isagi, kamu jangan lari lagi. Aku tau kamu masih sayang sama aku dan itu gak akan pernah hilang, kan?”
Rin menatap Isagi frustasi, tetapi jawaban Isagi selanjutnya justru akan kembali melipatgandakan kefrustasian lelaki itu.
“Engga, Rin. Gue emang gak benci sama lo, tapi semua rasa itu udah gue tinggal di hari ketika lo minta untuk gue putusin.”
Maaf, Rin, gue bohong. Karena betul apa kata Kak Sae, kalau harapan atas hubungan kita bisa dilanjut itu datang dari perasaan gue terhadap lo, maka lo akan selalu punya harapan itu.
“Isagi!”
Dan gue gak mau hal buruk seperti dulu terulang, saat kita yang harusnya bisa menjalani hubungan dengan tenang, harus berusaha untuk kembali melawan segala sesuatu yang menghadang.
“Lo gak perlu antar gue, gue udah dijemput Bachira. Maaf ya, harusnya gue bikin lo seneng-seneng di pantai, bukan malah sebaliknya.”
Isagi tersenyum miris di sela ia berusaha mengatur napas akan suaranya yang gemetar untuk kembali menahan tangis.
“Kalau kamu benar mau kita selesai dari sejak itu, berarti selama ini cuma aku yang berjuang sendiri untuk berusaha agar kita sama-sama lagi, Sa?”
Hati Rin mencelos begitu suara ombak laut menjadi perwakilan jawaban Isagi yang memilih untuk diam. Akhirnya dengan sangat berat hati, Rin melepaskan genggaman tangannya pada pergelangan tangan Isagi. Merelakannya.
“Oke, kalau itu emang keputusan kamu. Maaf, Sa, aku gagal dan terlambat.”
Isagi hanya bergumam samar sambil menolehkan kepalanya ke arah lain asal bukan Rin, karena ia sangat tahu ekspresi seperti apa yang dibuat Rin pada wajahnya saat ini.
“Oh,” sebelum benar-benar melangkah pergi, pemilik surai biru gelap itu teringat akan satu hal penting lagi yang perlu ia luruskan, “lo tenang aja, gue bakal tepatin kontrak gue seperti waktu yang sesuai. Makasih pengalaman kerja sebulannya.”
Menunduk singkat sebagai rasa hormat terhadap atasan, Isagi pun mengakhiri pertemuan mereka dengan berlari menjauh secepat mungkin yang bahkan tidak memberikan kesempatan untuk Rin membalas ucapannya.
“Makasih juga pengalaman mencintai dan dicintai orang baik kayak kamu walau gak sampai selamanya, Sa.”
Ucapan yang lebih terdengar seperti salam perpisahan untuk keduanya. []
© 2024, roketmu.