roketmu

satu nusa, satu bangsal.

Kalau tahu ia akan merasa sejengkel ini, Isagi lebih baik menolak ikut sedari awal.

Tetapi semua sudah terlambat, di sini ia hadir bersama yang lain untuk ikut traktiran besar makan dan minum oleh Reo sang manajer perusahaan.

Di restauran yang cukup mewah ini disediakan banyak makanan berbagai macam mulai dari steak sampai ke makanan pencuci mulut yang sebenarnya tidak bisa Isagi tolak, tak lupa dengan minuman dari soda hingga bir untuk melengkapinya.

“Sa, bengong aja, ayo makan.” bisik Chigiri di sampingnya.

Isagi merespon si cantik dengan anggukan singkat. Sejujurnya lsagi juga tidak mengerti mengapa ia merasa sejengkel ini. Mungkin karena tadi lebih baik ia langsung pulang saja ke rumahnya, mungkin karena ia sedang tidak ingin berada di tengah keramaian, mungkin karena ia tiba-tiba merasa tidak nafsu, atau mungkin karena sang bos belum mengiriminya pesan sama sekali sampai detik ini juga.

Oh, sial, yang terakhir adalah yang paling menjengkelkan karena mengapa juga ia bisa jengkel dengan hal yang tidak berguna seperti itu?

“Pak Rin jarang deh ikut makan besar gini, sering-sering lah Pak kumpul sama kita,” ujar Kira yang sepertinya sudah mulai sedikit mabuk.

Rin mengangkat bahunya, “Kalau saya tidak malas, saya pasti ikut,”

“Gak males dia kalo gua yang ajak,” Reo di samping Rin langsung merangkul akrab si bos, “dia maunya makan sama gua doang, nanti gua paksa lagi dah biar sering-sering kita kumpul,”

“Gapapa gak sering kumpul, yang penting sering-sering traktir aja, Pak~” celetuk Bachira di samping Isagi yang disusul oleh gelak tawa dari semuanya.

“Gampang, hahaha!”

Semua orang terlihat menikmati waktunya sementara Isagi tetap diam. Benci mengakuinya tapi Isagi berharap setidaknya Rin menoleh atau sekadar berbicara dengannya. Tetapi sepertinya laki-laki sialan itu asyik menyantap makanannya dan seolah tidak memedulikan Isagi sama sekali.

BANGSAT!

Isagi menancapkan pisaunya pada daging dengan cukup kuat ketika ia kembali membayangkan hal yang menjadi penyebab utama dari kemungkinan perasaan jengkelnya ini—yaitu tweetan terakhir Reo beberapa saat yang lalu.

Jujur saja sekarang Isagi bingung, sebenarnya apa hubungan Rin dan Reo? Benarkah hanya sebatas teman dan rekan kerja? Tetapi mengapa mereka terlihat sangat dekat dan mesra?

Mengapa juga Rin tidak menjelaskan sama sekali maksud dari pesan yang ia kirim untuk Reo? Mengapa ia membiarkan karyawan lain mulai berpikiran mereka ada hubungan rahasia? Mengapa juga keduanya terlihat biasa-biasa saja sementara ia kesal seorang diri?

Terlalu banyak pertanyaan di benaknya saat ini, tetapi yang paling ingin Isagi tanyakan adalah—jika Rin memang punya hubungan spesial dengan Reo, lantas mengapa ia masih berusaha agar mereka bisa kembali bersama?

Sebenarnya Rin menganggap Isagi ini siapa?

Bachira yang asyik menyantap daging dengan senyuman lebar di wajah, tiba-tiba mengerutkan dahinya begitu melihat gelas berisikan bir yang cukup besar diambil begitu saja oleh Isagi yang langsung meminumnya dengan cepat sampai habis.

“Sa! Lo gila? Lo kan gampang mabok!” Bachira berbisik dengan panik, ia bahkan memberikan isyarat pada Chigiri untuk menyingkirkan gelas bir yang dipegang Isagi.

“Gapapa, pengen aja, hehe,”

Chigiri meringis begitu melihat wajah Isagi langsung berubah merah padam secepat kilat.

“Sa, lo masih oke?”

“Masih... mungkin? Chi... haus, mau bir lagi,”

Isagi mulai meraih-raih sesuatu tapi yang ia ambil justru botol kecap. Kalau sudah begini tidak ada yang bisa diharapkan.

Isagi sudah mabuk total.

“Duh, mulai dah, mana dia kalo mabok suka ngomong yang aneh-aneh pula,” Bachira akhirnya melahap daging terakhir sebelum ia menjadikan bahunya untuk Isagi bersandar, “Chi, kita pulang duluan aja.”

Chigiri kini menatap Isagi yang matanya sudah setengah terpejam, mau tak mau mereka memang harus membawa temannya ini pergi sebelum benar-benar hilang kesadaran.

“Iya deh, lo temenin dia di mobil, gue ngikutin dari belakang.”

“Sip, sip.” Bachira mengalungkan lengan Isagi ke bahunya, dan karena hal itu pula langsung menarik perhatian para karyawan lain terutama Reo.

“Lho, ada apa?” tanya sang manajer.

“Ah, anu, kita bertiga izin pulang duluan, Pak Reo, Bos, dan yang lain,”

Ucapan kikuk Bachira akhirnya terdengar oleh Rin yang mau tak mau menoleh ke arahnya. Begitu ia melihat Isagi hampir tidak sadarkan diri, saat itu juga Rin tahu apa yang harus ia lakukan.

“Isagi mabok?” tanya Kunigami, “pantes dia diem aja dari tadi,”

Chigiri tertawa canggung, “Iya, kita izin pulang duluan, ya, makasih banget Pak Reo traktiran-”

“Biar saya aja yang antar.”

Tiba-tiba Rin sudah berdiri dari tempatnya ketika ia memotong ucapan Chigiri barusan. Semua mata tertuju pada Rin yang tanpa aba-aba juga langsung mendekat ke arah Isagi yang sudah tidak bisa merespon ucapan siapapun.

“Gak usah, Bos, kita-”

“Biar saya aja yang antar.” ulang Rin kali ini penuh penekanan yang membuat Bachira dan Chigiri takut untuk berkutik.

Reo yang mengerti situasi segera menepuk kedua tangan agar perhatian tertuju padanya lagi, “Ah, betul! Udah sini, Bachira, Chigiri, lanjut makan aja, Rin gak minum dari tadi jadi Isagi bakal aman kok, tenang!”

“Yakin aman?”

“Stop mikir cabul.” bisik Chigiri yang langsung mencubit Bachira karena tadi si setan kuning ini tersenyum mencurigakan.

“Isagi ini sekretaris saya, dia saya antar pakai mobil pribadi saya seperti biasa, gak perlu khawatir, lagi pula kalian berdua juga jadi gak harus bolak-balik, kan?”

Rin sudah mode memaksa, tidak mungkin Bachira dan Chigiri bisa membantah.

“Ah, oke, Pak Bos. Kalo gitu saya titip temen saya sama Pak Bos, ya?”

“Ya.”

Bachira akhirnya mengalah, kini ia menyerahkan Isagi pada Rin yang langsung sigap meraih pinggang Isagi dan membuat pemuda yang hampir tidak sadar itu bersandar pada dadanya yang bidang.

“Kalau begitu kami yang pamit duluan, selamat malam semuanya.”

Rin pun pergi dengan membawa Isagi dalam gendongannya, meninggalkan cemas pada wajah Bachira dan Chigiri, sekaligus memberikan harapan pada wajah Reo yang sedari tadi telah menunggu momen ini terjadi.

Semangat, Rin!


Selama di perjalanan menuju rumah Isagi, lelaki mungil itu terlelap di samping Rin yang ikut duduk di jok belakang mobil. Tidak ada yang aneh, Isagi hanya terlelap dengan lengan atas Rin sebagai sandarannya, sementara Rin sendiri hanya diam sambil sesekali memperhatikan wajah damai Isagi lewat kaca mobil yang kadang tersorot cahaya lampu jalanan.

Begitu sampai di rumahnya pun ia tetap diam, kembali menggendong Isagi dengan hati-hati dengan kedua tangannya, Rin disambut oleh kedua orang tua Isagi yang juga langsung memberikan mereka tatapan khawatir dan bertanya-tanya.

“Rin?”

Rin menundukkan kepalanya untuk memberi salam, “Ma, Isa-, Yoichi tadi mabuk, jadi nanti kalo Yoichi bangun, tolong jangan bilang Rin yang antar, ya?”

Hubungan Rin dengan kedua orang tua Isagi tentu saja tidak menjadi buruk walau ia pernah mengecewakan sang anak. Mungkin karena Isagi tidak mengatakan keburukan Rin dan mengaku bahwa mereka putus secara baik-baik. Terbukti dengan orang tuanya yang sudah tahu bahwa Rin adalah bos di kantornya.

Mama Isagi lantas mengangguk mengerti, “Terima kasih, Rin, langsung bawa Yoichi ke kamar aja, Mama gak akan bilang.”

Setelah diberikan izin oleh sang ibunda, Rin membawa Isagi ke lantai atas dengan lebih hati-hati karena kamar Isagi ada di lantai dua.

Begitu masuk ke kamar, Rin langsung meletakkan Isagi di atas kasur sepelan mungkin agar tidak menghasilkan suara yang akan mengganggunya. Tak lupa juga ia segera melepas sepatu yang dikenakan Isagi dan menyelimuti tubuh sang terkasih agar tidak kedinginan.

“Tidur yang nyenyak, Sa.”

Rin memilih duduk di tepi ranjang dan terpaku cukup lama hanya untuk melihat wajah Isagi yang begitu tenang, rasanya sudah lama sekali ia tidak melihat pemandangan seperti ini, dan fakta bahwa kini ia sudah berada di kamar Isagi lagi malah hanya membuat perasaan bersalah Rin semakin menguat.

Kamar yang dulu pernah jadi tempat mereka sering menghabiskan waktu bersama. Mulai dari bermain, belajar, bahkan bermesraan kecil. Betapa Rin merindukan hal itu semua yang mungkin tidak akan pernah terjadi lagi di masa depan.

Melihat wajah Isagi yang masih memerah karena mabuk juga menambah satu rasa bersalah Rin yang baru. Karena semua kejadian pada malam ini sebenarnya sudah masuk rencana miliknya dan Reo.

Ya, mengadakan traktir kecil-kecilan lalu membiarkan Isagi minum sampai mabuk karena itu adalah kelemahannya. Ketika Isagi mabuk, ia akan berkata jujur soal apa pun termasuk perasaannya terhadap Rin.

Rin dari awal sengaja memanfaatkan momen ini. Tetapi melihat Isagi yang benar-benar tertidur pulas, datang ke rumahnya dan teringat akan masa bahagia mereka waktu itu, Rin langsung mengurungkan semua niatnya.

Rin tersenyun miris, “Maaf, ya, Isagi. Aku pulang dulu kalo gitu.”

Ya, mungkin Rin memang tidak akan pernah mendapat jawaban sama sekali sampai kapan pun. Rin beranjak dari tepi ranjang Isagi untuk segera keluar kamar, sebelum akhirnya kembali berhenti begitu ujung mantel panjang yang ia kenakan ditarik oleh sosok yang baru saja ingin ia tinggalkan.

“Mau ke mana?”

Rin panik, ternyata si mungil sudah bangun. Ia menoleh dengan takut-takut karena Isagi mungkin akan segera mengamuk ketika melihat dirinya yang membawa laki-laki itu ke kamar.

“Aku-”

“Lo juga siapa, deh?”

Tetapi begitu mendengar pertanyaan tersebut, Rin memberanikan diri untuk menatap wajah Isagi yang kini memandangnya sayu dengan wajah makin memerah.

Apa dia masih mabuk dan ingatannya jadi buram?

“Kamu nanya aku?” tanya Rin memastikan.

Isagi mengangguk lemah, “Iya, ganteng.”

Mendengar itu kaki Rin rasanya langsung melemas. Rin tahu Isagi sedang mabuk, tapi bukankah sudah ia katakan juga bahwa ketika Isagi mabuk itu adalah momen ia akan berkata jujur?

Isagi bangun dari baringnya untuk duduk, tatapannya mulai mengarah ke sekeliling, bertanya-tanya.

“Ini kita juga di mana?”

“Ka- kamar kamu,”

Isagi menatap Rin terkejut, “Kamar gue? Terus lo ngapain di sini?!”

“Tadi kamu mabuk, jadi aku antar sampai sini.” Rin berkata jujur.

“Oh... makasih kalo gitu, ya, Mas ganteng.”

Isagi mengakhiri ucapannya dengan senyuman manis—yang saat itu juga membuat Rin mencapai batasnya hingga tak sengaja jatuh bersimpuh ke lantai begitu saja, menahan teriakan frustasi akan rasa gemas dan bahagia tiada tara.

“Kenapa? Kenapa? Lo sakit? Sini duduk,”

Isagi justru langsung beranjak untuk membantu Rin duduk di tepi ranjang kembali—yang padahal perbuatannya itu hanya semakin membuat Rin ingin meledak hingga menembus langit ke-7.

Rin benar-benar dibuat tidak berkutik oleh tingkah manis Isagi, nyatanya ia belum punya persiapan sama sekali untuk menghadapi hal ini. Oh, ayolah, Rin ini bukan manusia terkuat di bumi. Jika kelemahan Isagi adalah mabuk, maka kelemahan Rin adalah Isagi yang mabuk.

Jadi, sejak detik ini pula Rin sadar bahwa yang dikatakan Reo kepadanya selama ini adalah benar—Rin memang tolol.

“Lo pasti udah punya pacar, ya? Makanya malu ada di kamar orang lain kayak gue?”

Isagi membuka suaranya lagi yang mau tak mau harus Rin jawab meski ia masih dilanda kegugupan, atau mungkin rencana awal Rin untuk mendapatkan jawaban Isagi masih belum sepenuhnya gagal?

“Ngga punya.”

Isagi mengerutkan dahinya tidak suka, “Ih, masa ganteng gini gak punya?”

“Kamu sendiri punya?”

“Nggaaa,”

“Kenapa?”

Wajah Isagi yang tadi bingung langsung berubah lesu, “Jangan diketawain, ya? Hehe, gue... belum move on.”

Napas Rin reflek tertahan begitu mendengarnya. Tetapi jawaban seperti ini belum bisa ia terima bulat-bulat, bagaimana jika Isagi selama ini mempunyai mantan pacar selain dirinya?

“Punya mantan?”

Isagi terkekeh lagi, “Iya,”

“Mantan yang mana?”

Karena sejak dulu Rin selalu bertanya-tanya, apakah dirinya yang kelewat penyendiri dan tidak menyenangkan ini akan mendapatkan seseorang yang benar-benar bisa menerimanya? Yang hanya akan menyukainya? Tidak berpaling sama sekali darinya? Bahkan bertahan setia demi dirinya?

“Cuma satu dan dia aja.”

Dan ternyata seseorang itu adalah Isagi, dan akan selalu seorang Isagi Yoichi.

Meski Rin pernah menyakiti Isagi, meski Rin pernah membuat Isagi menangis, meski Rin pernah meninggalkan Isagi dan membuatnya kecewa. Tapi kini Isagi tetap mengungkapkan perasaan tulusnya tentang Rin dengan senyuman paling hangat sedunia.

“Namanya Itoshi Rin.”

Walau memang itu hanyalah satu kalimat singkat, tapi sudah mampu membuat seluruh beban Rin serasa terangkat.

Oh, tolong jangan sembuhkan Rin jika ini hanya khayalan ketika ia sakit. Tolong jangan sadarkan Rin jika ini hanya tipuan hipnotis. Tolong jangan bangunkan Rin jika ini hanya sekadar mimpi.

“Kayaknya dia mirip lo juga, cuma kalo dulu pas pacaran lebih kurusan dikit,” Isagi menusuk pelan pipi Rin dengan telunjuk kecilnya, “tapi sama-sama ganteng kok, hehe.”

Tuhan, jika Rin meninggal, tolong mainkan rekaman suara lembut Isagi ketika mengatakan hal ini di pemakamannya nanti.

“Gantengan siapa?”

Tetapi entah pergi ke mana juga rasa gugup Rin setelah dipuji habis-habisan oleh Isagi, bahkan ia kini dengan berani meraih pergelangan tangan si manis agar membuat kedua netra sayu itu fokus pada miliknya seorang.

“Hmm, gantengan gue aja! Hehehe!”

Isagi yang malu memalingkan wajahnya, tapi begitu mendengar suara Rin lagi, ia kembali menoleh dengan wajah penasaran yang lucu.

“Aku juga dulu punya pacar,”

“Mantan juga berarti?”

“Iya, lucu, mirip kamu juga.”

Isagi terperangah, “Ehhh? Terus kenapa putus? Sayang banget!”

Rin tersenyum miris, “Diputusin.”

“TOLOL BANGET YANG MUTUSIN!”

Wajah Isagi kembali memerah lucu ketika ia tiba-tiba emosi. Senyum Rin tertahan begitu melihatnya, karena mungkin ucapan ia selanjutnya akan membuat reaksi si manis berubah.

“Aku yang minta diputusin.”

Benar saja, wajah yang tadinya dipenuhi emosi kini berubah drastis menjadi penuh kekecewaan.

“Oh, sama kayak mantan gue itu, dia juga minta diputusin abis itu ilang deh, poof!” Isagi menundukkan kepalanya, tersenyum kecut, “Padahal gue masih sayang banget sama dia...”

Lalu tanpa bisa Rin duga, air mata sudah mengalir di kedua pipi Isagi yang memerah. Isagi menangis dan itu karena Rin. Lagi.

Lantas Rin langsung meraih tubuh yang lebih kecil itu untuk masuk ke dalam pelukannya, menyalurkan kehangatan, sekaligus permintaan maaf atas rasa bersalahnya hingga membuat Isagi sampai jadi seperti ini.

“Maaf, Isagi, maaf,”

Isagi yang bingung hanya bisa bergumam kecil, “Kok malah lo yang minta maaf...”

Rin terus mendekap Isagi di dadanya, sesekali juga ia menghujaninya dengan kecupan ringan di kepala sambil tetap mengucapkan seribu kata maaf yang sama sekali belum bisa menghapus kesalahannya pada sang terkasih.

“Maaf udah bikin kamu sedih, maaf, Sa... maaf Rin udah jahat sama kamu,”

Diperlakukan seperti itu ketika ia sedang mabuk, tentu saja akan sangat membuatnya luluh. Akhirnya detik itu juga tangisan Isagi pecah, pelukan Rin ia balas sama eratnya.

“Huaaa!!! Rin jahat! Dia jahat banget, anjing! Gue benci diaaa~”

Isagi juga menguburkan wajahnya di dada bidang Rin sambil sesekali memukulinya.

“Maaf, Isagi, maaf...”

“Setelah dia hilang lama, sekarang dia muncul lagi dan tiba-tiba malah ditakdirin jadi bos gue? Huuaa~ Rin nyebelin banget!”

“Maafin aku, maafin Rin, Isagi,”

Isagi menggeleng lemah, “Dia bilang dia mau kita balikan, katanya masih suka sama gue, tapi apa? Ternyata dia punya hubungan juga sama manajernya! HUAA!!! RIN BERENGSEK!!!”

Tunggu.

Rin menghentikan ucapan maafnya begitu mendengar ucapan Isagi barusan. Apa tadi katanya? Manajer?

Maksudnya Reo? Isagi cemburu sama Reo? batin Rin tidak percaya.

“Kamu cemburu, Sa?”

Dengan kejujuran penuh, Isagi mengangguk di sela-sela tangisnya, “Iyalah! Gue ini cemburuan! Ih! Kesel~”

Kini Rin tidak dapat lagi menahan senyumannya. Mungkin juga sekarang wajahnya sudah tersenyum layaknya orang idiot. Ini bukan langit ke-7 lagi, Rin bisa terbang dan meledak bebas hingga langit ke-100 walau seluruh dunia mengatakan itu tidak mungkin.

“Pake muji Reo ganteng segala, apa sih maksudnya? Terus dia juga gak jelasin kalo itu cuma bercanda ke siapa pun! HUAAAA!!! RIN JELEKKKK!!!”

Isagi memukuli dada Rin karena kesal, sementara Rin berusaha sekuat mungkin untuk tidak tertawa, “Maaf, Isagi, maaf Rin udah buat kamu cemburu, Rin janji gak akan ngulangin, ya?”

Isagi tidak menjawab, tapi ia tetap menangis di pelukan Rin sambil sesekali memainkan kancing mantel yang dikenakan olehnya.

Isaginya yang mabuk. Isaginya yang lucu. Isaginya yang paling ia sayangi.

Kejujurannya selama mabuk ini juga memberanikan Rin untuk bertanya lebih, mungkin dengan pertanyaan terakhir ini, semua jawaban yang ingin Rin ketahui akan segera ia dapatkan.

“Isagi... kalau misal Rin minta kesempatan buat hadir di kehidupan kamu lagi, apa kamu mau?”

“Untuk nyakitin lagi?” tanya Isagi dengan suaranya yang melemah.

Rin menggeleng meski Isagi tidak dapat melihatnya, “Untuk bahagiain kamu dan gak akan ngulangin kesalahan yang sama, apa kamu bakal kasih kesempatan terakhir itu buat aku, Sa?”

Setelah menanyakan hal itu, tangisan Isagi berhenti dan ruangan kembali sunyi. Mungkin yang bisa ia dengar hanyalah debaran kencang jantungnya selagi menunggu jawaban apa yang akan diberikan Isagi.

Siap tidak siap ia harus mengetahuinya, bagaimana pun jawaban ini adalah yang paling Rin tunggu.

Tetapi bukannya suara lemah itu yang keluar, melainkan dengkuran teratur yang justru terdengar. Rin melirik ke bawah dan menemukan Isagi sudah kembali terlelap dalam pelukannya.

“Sekarang gantian kamu yang tidur, tapi kayaknya kalo kamu tidur beneran.” Rin mendengus menahan tawa mengingat lucunya Isagi yang semudah itu ditipu.

Mengalah, dengan hati-hati tubuh kecil yang ringan itu kembali ia baringkan di atas kasur. Wajah manisnya yang masih basah juga Rin usap perlahan dengan ibu jarinya.

Nyatanya biarlah jawaban itu menjadi misteri untuknya. Rin tidak akan pernah tahu apakah Isagi masih ingin memberinya kesempatan terakhir atau tidak. Harusnya Rin sadar diri, bahwa mungkin jawaban seperti itu pun tidak akan keluar dari mulut Isagi mau ia dalam keadaan mabuk atau tidak sekalipun.

Jadi, aku nyerah aja gitu, Sa?

“Rin...”

Tetapi gerakan tangan itu lantas terhenti seketika begitu Isagi menyebut nama Rin dalam tidurnya. Rin terpaku selama beberapa saat dengan perasaan yang tidak lagi bisa dimengerti orang lain kecuali dirinya.

Bodoh.

Bagaimana bisa Rin mengatakan pada dunia bahwa ia akan menyerah begitu saja untuk mendapatkan Isagi kembali ke hidupnya?

Kini Rin tahu, ia sudah tidak perlu mencari jawaban lagi atas setiap pertanyaan tentang Isagi dalam benaknya, jika sedari awal jawaban itu sendiri adalah cukup dengan seorang Isagi.

Kehadiran Isagi dalam hidupnya sudah cukup untuk membuat Rin bertahan untuk tetap mencintai dan memperjuangkannya.

Oleh karena itu, Rin bersumpah ia tidak akan menyerah. Rin akan terus mengejar Isagi meski harus berlari ribuan kilometer lagi. Rin akan terus berenang menemui Isagi meski harus menyelam sampai ke dasar terdalam. Rin akan terus terbang meski Isagi adalah sosok yang sangat sulit digapai.

Rin akan terus berusaha melakukan apa pun demi Isagi.

Isaginya yang kecil. Isaginya yang ia sayangi. Isaginya yang tidak akan pernah lagi akan ia sakiti. Isaginya yang hanya akan ia cintai.

Isaginya Rin. []

© 2023, roketmu.

Rin mengerjapkan matanya berkali-kali untuk memastikan bahwa ia tidak sedang bermimpi atau ini efek dari demamnya yang sangat tinggi.

Di depannya kini berdiri sosok mungil yang selalu ia rindukan, menatapnya penuh kekhawatiran terpancar dari bola mata sebiru lautan yang juga ia dambakan.

“Ah, syukur deh, lo gak mati.”

Ya, tidak salah lagi, suara dan rupa itu memanglah milik Isagi Yoichi.

“Isagi?”

Rin berusaha bangkit dari posisi tidurnya tetapi langsung ditahan oleh Isagi, menciptakan jarak yang begitu dekat di antara mereka setelah sekian lamanya.

Entah Isagi sadar atau tidak, tapi sentuhan tangannya di kedua pundak Rin hanya membuat wajah merah demam sang bos semakin jelas.

“Reo harus di kantor, sementara gue ini sekretaris lo, jadi jangan geer.” ujar Isagi lebih dulu sebelum Rin berpikir aneh-aneh.

“Engga, tapi aku boleh seneng, kan, karena kamu yang justru dateng untuk aku?”

“Lagi sakit tetep aja gak jelas.”

Isagi langsung terlihat gugup atas kejujuran Rin, bahkan ia segera memalingkan wajah agar semburat merah di pipinya juga tidak terlihat.

Lucunya, kalo gak lagi sakit udah gua terkam nih anak, batin Rin liar.

“Cepet banget juga kamu ke sini, kamu lari, ya?”

Tetapi tentu saja Rin harus menepis pikiran buruk itu dan mencoba mengajak Isagi berbicara lagi sebelum dia benar-benar kabur dari hadapannya.

“Apa sih, karena apartemen lo ini yang gak berubah makanya gue tau, tempatnya, bahkan passwordnya,”

Rin mengangguk, “Tanggal lahir kamu.”

“Ganti.”

“Iya, sama tanggal pernikahan kita nanti.”

“Gue pulang, nih?” ancam Isagi.

“Jangan. Aku masih sakit.”

Isagi hanya mendecih, sementara Rin tentu saja tidak bisa menahan senyumnya begitu Isagi dengan malas-malasan meletakkan barang bawaan yang ia bawa sejak tadi. Lelaki mungil itu terlihat menahan untuk berbicara lebih, tetapi melalui tindakannya Rin bisa tahu bahwa ia peduli.

“Itu berkas yang dikasih Reo,”

“Iya, makasih,”

“Lo udah makan belom?”

“Belum.”

“Gue bakal bikinin bubur, enak gak enak lo harus makan biar bisa minum obat.”

Lagi, nadanya memang terkesan dingin tetapi Rin sangat tahu bahwa ia melakukannya karena ingin. Tak memerlukan waktu lama bagi Rin menunggu Isagi membuat bubur, si manis kembali datang dengan raut wajah yang dibuat jengkel sedemikian rupa tetapi tetap paling menggemaskan tiada dua.

“Makan.” perintahnya.

“Lemes, suapin.”

“Ish! Manja banget!”

Dan lagi, Isagi pun tidak menolak untuk hal itu. Isagi duduk di samping Rin yang kini bersandar pada kepala ranjang. Suap demi suap masuk ke dalam mulut Rin yang penuh akan rasa pahit, terlihat dari ekspresi terpaksa Rin di sela-sela menelan semua bubur buatan Isagi.

“Udah,” rengek Rin sesekali sambil menggeleng pelan.

“Gak, abisin.” tapi Isagi juga tetap memaksanya untuk menelan habis semua.

Selama menyuapi Rin dalam hening, Isagi diam-diam tersenyum tipis melihat Rin yang sekarang jadi lebih penurut, padahal biasanya Isagi yang lebih banyak mengalah ketika mereka menjalin kasih waktu itu.

Apakah pemuda ini benar-benar seserius itu ingin hubungan mereka kembali seperti dulu?

Sementara Rin meski dengan keadaan kepala yang masih berdenyut nyeri dan indra perasa dipenuhi pahit, tidak dapat menutupi rasa bahagianya melihat Isagi benar-benar ada di depan mata. Berada di dalam kamarnya. Hanya berdua dengannya.

Kalau begini, Rin rela untuk jatuh sakit lagi jika memang Isagi adalah penyembuhnya.

“Rin,”

Isagi kembali membuka suara untuk memecah keheningan yang tercipta ketika mereka asyik tenggelam dalam pikiran masing-masing.

“Lo... sakit gara-gara nungguin gue keluar, kan?”

Rin menggeleng, “Engga-”

“Engga apanya? Lo ujan-ujanan nungguin gue! Tolol banget,” potong Isagi yang mulai mengomel, “gue bahkan gak baca chat lo dari terakhir gue bilang gak mau bales kalo bukan urusan kerja.”

Rin yang mendengar itu tidak bisa mengelak lagi, “Maaf, aku lagi berusaha minta maaf sama kamu,” ia kini menatap Isagi dengan raut wajah bersalahnya, “kamu masih marah banget sama aku, Sa?”

Setelah suapan terakhir, Isagi meletakkan mangkok bubur di atas meja dan kini ia meraih gelas berisikan air putih, tak lupa dengan obatnya juga.

“Dikit. Udah nih, minum obatnya, lo harus sembuh cepet, karyawan lo kalo izin sakit juga gak boleh lama-lama, kan?”

“Maaf, aku lagi-lagi ceroboh.” ujar Rin dan menuruti perintah Isagi untuk segera meminum obatnya saat itu juga.

Selagi Rin meminum obatnya, Isagi kini mulai berpikir bagaimana caranya agar pemuda ini cepat sembuh. Karena semakin lama Rin sakit, semakin Isagi juga yang akan repot. Entah karena urusan pekerjaan, atau urusan hati Rin yang pasti akan melakukan hal nekat lain demi dirinya.

Oleh karena itu, imunitas tubuh Rin harus ditingkatkan, dan satu-satunya cara cepat yang terpikirkan oleh Isagi adalah dengan memberitahu Rin soal keputusan yang membuat mantan kekasihnya yang bodoh ini sudah pasti akan bahagia.

Isagi menghela napasnya pasrah, nyatanya Rin memang menjadi lebih penurut, tetapi sayangnya Isagi juga tetap jadi pihak yang masih mengalah.

“Iya, engga lagi.” ucap Isagi akhirnya.

Rin yang baru selesai meminum obatnya terpaku bingung dengan ucapan tiba-tiba sang mantan kekasih.

“Engga lagi, apa?”

“Gak pulang bareng Nagi lagi.”

Kini Isagi dengan berani menatap wajah Rin, tetapi laki-laki itu justru menatapnya dengan panik, membuat Isagi buru-buru menghapus pikiran buruk itu dengan penjelasan setelahnya.

“Iya, engga lo paksa, ini keputusan gue sendiri, lagian kasihan supir lo nanyain gue mulu tiap hari,”

Rin mengerjap tidak percaya, “Isagi... beneran?”

Isagi mengangguk mantap, “Iya, jadi jangan lo pikirin lagi, apalagi sampe bikin sakit kayak gini, awas lo.”

Dan benar saja, ketika mendengar itu mata indah Rin yang sayu karena sakit seperti langsung kembali menemukan cahaya hidupnya.

“Bener bukan dipaksa aku, kan?”

“Iya,”

“Kamu pulang bareng supirku lagi selamanya?”

“Iyaa,”

“Dan gak akan nebengin siapa pun lagi?”

“Iyaaa,”

“Akhirnya... Makasih Isa...”

Plukk!

Belum sempat ucapan itu selesai, tubuh Rin tiba-tiba jatuh ke depan dengan kepala yang tepat bersandar pada paha Isagi. Membuat sang empu paha sontak panik dengan wajah merah bukan kepalang.

“HEH! GUE CUMA BILANG GA PULANG BARENG NAGI! BUKAN GUE JADI PACAR LO LAGI! JADI JANGAN NGELUN- Rin?!”

Isagi menatap heran Rin yang tidak berkutik sama sekali ketika ia memukul-mukul tubuhnya. Hingga akhirnya ketika suara dengkuran pelan itu terdengar, tangan Isagi ikut terhenti untuk bergerak dan menatap Rin yang kini sudah kembali terpejam.

Isagi mendengus kasar, “Malah tidur,”

Isagi tidak menyangka efek obatnya akan secepat itu, atau mungkin memang demamnya saja yang terlalu tinggi. Untuk mengecek hal itu, Isagi menggunakan satu punggung tangannya untuk ia letakkan di kening Rin.

“Panas.”

Kemudian tangan tersebut ia gunakan juga untuk menangkup kedua pipinya sendiri.

“Di sini... juga.”

Ya, wajah Isagi ikut memerah dan itu bukan karena demam. Lagi pula jujur saja, siapa yang tidak akan berdebar jika berada di posisi Isagi saat ini?

GUE HARUS GIMANA, ANJING!!! batin Isagi frustasi.

Ia berpikir untuk melarikan diri dengan segera tetapi sepertinya itu tidak mungkin. Lagi pula memang ia sendiri yang menyarankan untuk bertemu Rin dari awal, tidak perlu mengkhawatirkan soal tugasnya dalam bekerja, bosnya saja sedang sakit seperti ini.

Jadi, mungkin Isagi tidak punya pilihan lain. Ia putuskan dirinya untuk menetap dan membiarkan posisi mereka tetap seperti ini sebelum ia beranjak pergi.

Isagi mendecih begitu melihat Rin dalam tidurnya bergerak untuk menyamankan posisi dengan paha Isagi tetap jadi bantalannya.

“Ini, kan, yang lo mau? Dasar.”

Tetapi kemudian Isagi juga terkekeh pelan melihat kelakuan Rin sekarang yang mengingatkannya bahwa kini tepat dua minggu lebih ia bekerja di perusahaan yang sama dengan Rin, dan tidak menyangka sudah begitu banyak kejadian beragam penuh drama yang hadir sejauh ini.

Membuat Isagi mau tak mau tersenyum geli akibat semua kebodohan yang telah mereka lalui, hingga tanpa sadar juga tangannya sudah terangkat untuk mengusap-usap kepala Rin yang masih juga terlelap dengan wajah paling damai yang hanya bisa dilihat oleh dirinya seorang.

“Ya, lupain bentar deh kita emang mantanan, anggep aja ini balas budi gue sama orang yang dulu pernah bikin gue merasa paling bahagia di bumi ini, Rin,”

Isagi tersenyum tipis, kemudian membungkuk sedikit untuk membisikkan kalimat singkat dengan suara paling manis tepat pada telinga Rin—yang sebenarnya hanya pura-pura terlelap dan menikmati semua perlakuan tak kalah manis Isagi untuknya sejak tadi.

“Cepet sembuh, Pak bosku.” []

© 2023, roketmu.

Tidak semua rahasia akan selalu menjadi rahasia. Sepandai-pandainya kau merahasiakan suatu kebohongan, pada akhirnya suatu saat akan terbongkar. Seperti pepatah yang mengatakan, meskipun bangkai sudah susah payah ditutupi, tetapi baunya tetap masih tercium juga.

Hubungan yang dijalani Kageyama dan Hinata sejak duduk di bangku SMA nyatanya dirahasiakan hingga mereka sudah menjadi atlet voli hebat kelas internasional.

Mereka merahasiakannya juga bukan tanpa alasan, melainkan karena hubungan cinta yang terjalin di antara keduanya ialah hubungan yang masih tabu dalam masyarakat.


“Kau melamun?”

Suara nyaring itu membuat Kageyama menoleh lalu menurunkan maskernya, “Tidak, kau saja yang terlalu lama membeli bakpau ini.”

“Hehe, maaf. Mengantri seperti biasa.”

Kageyama hanya langsung menggenggam tangan Hinata. Laki-laki berambut jingga itu juga tidak keberatan, mereka lanjut berjalan beriringan sambil melahap bakpau masing-masing.

“Kau ingin aku mengajakmu ke mana lagi?” tanya Hinata di sela-sela makannya.

“Ke mana saja asal bersamamu, Boke.”

Benar. Kali ini Hinata yang tiba-tiba mengajak Kageyama untuk jalan-jalan keluar. Hinata beralasan karena merindukannya saja, padahal Kageyama tahu jalan-jalan ini untuk menghilangkan sedikit stress yang ada pada mereka berdua sejak dua hari yang lalu, ketika hubungan keduanya mulai diketahui publik.

Video dan foto tentang mereka yang berciuman di jalan pulang rumah Hinata tersebar. Televisi dan sosial media ikut meramaikan, menjadikan skandal mereka berdua sebagai skandal terparah di kalangan atlet voli.

Walau skandal tersebut sudah dikonfirmasi sebagai kesalahpahaman, nyatanya warga tetap tidak percaya. Kageyama dan Hinata pun terpaksa cuti selama sebulan untuk menghindari media, walau yang dilakukan mereka justru kebalikannya seperti saat ini.

“Aku masih tidak percaya ternyata ikan pari memiliki wajah yang seperti itu, tapi aku suka ikan badut, karena membayangkan film Nemo, kau tahu itu?”

Kageyama mengangguk, “Dia berwarna oren sepertimu.”

“Dan kau berwarna biru seperti Dory. Sebuah kebetulan yang menarik.”

Kageyama tersenyum tipis dibuatnya. Seharian ini mereka mengunjungi berbagai tempat, sudah saatnya untuk pulang karena waktu mulai mendekati pukul 9 malam. Hanya tersisa beberapa jam lagi mereka boleh menetap di stasiun. Oleh karena itu Kageyama harus bergegas mengatakan sesuatu pada Hinata sebelum pergi dari sini. 

“Nyawa, nyawa, nyawa.”

Tetapi suara parau dari seorang Kakek yang duduk di bangku dekat rel kereta api membuat Kageyama dan Hinata menoleh. Pasalnya sang Kakek juga asal menyeletuk sambil menunjuk ke arah Hinata, membuat keduanya memasang wajah bingung.

Kageyama pun menegurnya, “Maaf?”

“Kucing, kucing, kucing.”

Tapi ia tidak dipedulikan karena kali ini Kakek menunjuk ke arah gadis kecil yang sedang dituntun oleh ibunya. Ketika Kageyama kembali melihat mata sang Kakek, ada pancaran yang berbeda di sana, ia pun langsung mengerti.

“Dompet, dompet, dompet.”

Kini Kakek juga menunjuk pria lain, ia sedang duduk di samping seseorang yang tertidur dengan topi menutupi wajahnya. Kageyama menghela napas lelah, ia pun mengajak Hinata beranjak dari sana dan menganggap sang Kakek sebagai angin lalu saja.

“Kageyama, kau ingin minum sesuatu dulu?”

Mengingat tujuan utamanya, Kageyama menggeleng dan menepi bersama Hinata pada bangku kosong. Ia meraih tangan pemuda itu, mengusapnya perlahan yang membuat pemiliknya bertanya-tanya.

“Sebenarnya ada yang ingin kau bicarakan padaku, kan?”

Hinata tidak terlihat terkejut, Kageyama tahu bahwa dia juga menunggunya untuk bertanya. Atmosfer yang mengelilingi mereka dari awal sudah berbeda dari biasanya. Ada yang aneh dan janggal, sebab itu Kageyama harus segera meluruskan masalah tersebut.

Pemuda beraroma jeruk itu sekarang membawa tangan Kageyama ke pipinya, “Aku hanya ingin menghabiskan waktu bersamamu agar kau tidak terlalu memikirkan skandal itu,”

“Aku tidak memikirkannya, jangan khawatir.”

“Tapi kau khawatir denganku dan aku tidak suka itu.” Hinata mencium pelan punggung tangan Kageyama, “aku minta maaf karena tidak hati-hati, ini semua salahku.”

Kageyama menarik tangannya, “Jangan bercanda. Ini bukan salah siapa-siapa. Tenanglah, warga akan melupakannya sebentar lagi.”

“Tapi tidak dengan dampak yang menimpa kita berdua, Kageyama. Kita berdua bisa kehilangan pekerjaan, karir kita akan hancur. Apa kau masih belum sadar, hm?”

Hinata mulai terdengar serius, Kageyama pun meraih kedua tangan yang dulu mungil itu dengan lembut, “Lalu? Bagaimana jika kita mengasingkan diri mulai sekarang?”

Tubuh Hinata merinding seketika, matanya bahkan mulai berair, “Kage-”

Kageyama tahu masa ini akan datang, ia sudah memikirkannya sejak lama walau waktunya tidak tepat dan terkesan mendesak, “Kita bisa ke luar negeri, memulai kehidupan baru di sana.”

“Aku-”

Kageyama tersenyum, semakin menggenggam tangan kekasihnya itu, “Kau mau kan, Hinata?” kini Hinata benar-benar menangis, “karena aku tidak bisa memikirkan voli dan kau sebagai hal yang harus dipisahkan. Aku mencintaimu, sangat.”

Hinata menundukkan kepalanya seraya menyembunyikan isakan. Tetapi perlahan setelah itu ia melepaskan genggaman mereka, membuat senyuman Kageyama meluntur, begitu pula dengan ucapan gemetar yang keluar dari mulutnya.

“Tidak bisa …”

“Kenapa?”

Hinata terisak, semakin membuat Kageyama lemas, “Karena semenjak kejadian itu, sebentar lagi aku akan dijodohkan oleh gadis pilihan orang tuaku.”

Wajah Kageyama memucat, napasnya seakan tercekik. Apa yang didengarnya barusan mendadak membuatnya pusing dan mual secara bersamaan. Sementara Hinata sedang berusaha mati-matian untuk menahan air matanya yang turun semakin deras.

“Tapi aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi.” Hinata tersenyum tipis, “Maafkan aku juga bila aku mengatakannya tiba-tiba, karena sebenarnya hari ini … adalah hari terakhir aku menghabiskan waktu bersamamu.”

Kageyama menggeleng lemas, “Tidak, Hinata …”

“Karena jalan keluar yang bisa kupilih untuk menyelamatkan karirmu adalah dengan perpisahan.”

“Tidak bisa! Aku juga membutuhkanmu, Boke!”

Kageyama meraih kedua bahu Hinata dengan tangannya yang gemetar, “Atau kau sekarang tidak mau bersamaku lagi? Kau ... kau tidak mencintaiku lagi?”

Hinata menggeleng, ia meraih wajah Kageyama dan mencium bibirnya lembut, “Aku sangat mencintaimu dan kau tahu itu.”

“Hinata …”

“Aku harap kau selalu bahagia. Ayolah, ke mana perginya Kageyama yang selalu menyebutku lemah?”   Kageyama menggeleng, “Kebahagiaanku adalah dirimu dan kau masih bisa berharap aku bahagia setelah kau pergi?”

Tidak mempedulikan Kageyama, Hinata terus mengusap dan merapikan helaian rambut kekasihnya, walau keduanya sadar bahwa tangannya gemetar tertahan.   “Setelah ini, aku harap kau juga selalu mendapat cinta dari banyak orang di sekelilingmu. Jangan sering melakukan kebiasaan burukmu, aku tahu kau sudah banyak berubah. Aku bangga menjadi partner sekaligus kekasihmu. Aku … aku sangat bersyukur Tuhan menghadirkanmu dalam hidupku,” Hinata tertawa pelan, “terima kasih telah menjadi orang yang kucintai dan mencintaiku.”

“Hinata, cukup, kau-” Ucapan Kageyama terpotong ketika Hinata mengecup keningnya cukup lama.

“Kita akhiri di sini. Jaga dirimu baik-baik, Kageyama Tobio.” Hinata bangkit berdiri tanpa menoleh lagi.

Ia berjalan meninggalkan Kageyama yang tidak bisa menerima keputusan sepihak kekasihnya itu. Kageyama harus kembali membujuk Hinata, laki-laki jeruk itu memang bodoh dan hanya selalu memikirkan keadaannya, ini semua tidak bisa dibiarkan.

Sedetik kemudian Kageyama ikut bangkit untuk mengejar Hinata, tetapi seseorang yang baru saja berlari berhasil menabraknya hingga tersungkur tiba-tiba.

Seorang pria dewasa pun segera membantu Kageyama untuk bangkit, “Kau baik-baik saja?”

“Pencuri! Siapa pun tangkap pencuri itu!” teriak pria di belakangnya yang juga sedang berlari tergesa-gesa.

Kageyama tertegun sesaat, pria tersebut adalah pria yang beberapa saat lalu sedang duduk di samping pria yang tidur dengan topi di wajahnya. Lantas Kageyama tiba-tiba teringat dengan apa yang dikatakan Kakek buta di sebelah sana.

“Apa pria itu baru saja kehilangan dompetnya?”

Pria yang menolong Kageyama mengangguk, “Bagaimana kau tahu?”

“Aku mendengar ucapan yang dilontarkan Kakek tua itu saat menunjuknya. Apa Kakek itu peramal?” Mendadak Kageyama penasaran, sepertinya pria dewasa ini terlihat bisa menghilangkan penasarannya.

“Ah, Kakek itu. Daripada dikatakan peramal, ia bisa dikatakan memiliki keahlian unik yang orang tidak dapat percaya,” pria itu menatap Kageyama intens, “walau ia buta, ia bisa mengetahui apa yang akan hilang dari orang yang ia tunjuk secara acak.”

“Jadi benar, dompet adalah kata yang dilontarkan Kakek itu- tunggu,”

Jantung Kageyama berdetak lebih cepat saat itu juga. Tanpa mengatakan apa pun pada pria tadi, Kageyama kembali bangkit untuk berlari mengejar Hinata di kerumunan, sebelum teriakan histeris tiba-tiba terdengar di sekelilingnya.

“Seseorang berambut jingga baru saja melompat ke rel kereta!”

Semua bagaikan mimpi buruk di mana Kageyama ingin segera bangun dan mengakhirinya. Teriakan-teriakan histeris masih mengelilinginya sementara Kageyama masih mematung.

Orang-orang juga mulai berlarian tidak teratur, menggiring Kageyama yang sudah lemas kembali ambruk tak berdaya di pinggir rel kereta.

“Hina ... Hinata-”

Nyatanya perpisahan yang dimaksud adalah ini. Hinata, dengan senyum bodoh yang selalu secerah matahari itu, memilih untuk mengakhiri hidupnya demi Kageyama.

Ia memilih menghilangkan matahari untuk melindungi bayangan yang sudah jelas tidak bisa muncul di bumi tanpa kehadirannya. 

Kageyama tak kuasa menahan tangis. Ia ingin bangkit dan berteriak pada orang yang mengelilingi Hinata untuk segera menjauh, tapi langkahnya tiba-tiba terhenti ketika melihat sang Kakek duduk tak jauh darinya.

Dengan perasaan yang sudah hampa, Kageyama berjalan mendekat, berusaha mengeluarkan suaranya yang menyedihkan.

“Kakek … se- sejak tadi aku bersamanya, kau pasti juga tahu apa yang akan hilang dariku, kan?”

Sang Kakek mengangguk seraya menunjuk Kageyama yang langsung berteriak histeris ketika mendengar jawabannya.

“Kekasih, kekasih, kekasih.” []

© haikyuusou, 2020.

Semua sadar tentang apa yang sedang terjadi dengan Kageyama dan Hinata. Mereka adalah dua laki-laki yang mempunyai hubungan dekat soal olahraga voli mau pun soal percintaan. Mereka saling mencintai, oleh karena itu mereka berpacaran. Satu sekolah hampir mengetahui rahasia itu. 

Awalnya memang tidak aneh, sebelum berita yang tersebar adalah bagaimana Kageyama Tobio selalu diskors akibat kekerasan yang dilakukan olehnya. Tak segan-segan Kageyama memukuli siswa mau pun siswi hingga harus dilarikan ke rumah sakit hanya karena seorang Hinata Shouyou, kekasihnya. 

Yamaguchi Tadashi adalah salah satu siswa yang menyadari dan juga sering memerhatikan perkembangan mereka berdua. Kini ia melihat bagaimana Hinata dengan riangnya datang ke kelas untuk menghampiri Kageyama, untuk apa lagi kalau bukan berpacaran di atap atau di depan kelas.

Ia menghela napasnya, “Aku kasihan pada Hinata, ia pantas mendapatkan yang jauh lebih baik daripada Kageyama.”

“Kau contohnya?” selidik Tsukishima yang baru muncul dengan minuman kaleng di tangannya.

“B-bukan! Tentu saja bukan!” Yamaguchi menggeleng, “Aku tidak tertarik pada Hinata, tetapi yang lain.”

Tsukishima mengikuti arah pandang Yamaguchi pada gadis berambut pirang diketahui bernama Yachi Hitoka, anak baru dari kelas sebelah. Ia menyeringai tipis, tetapi sekarang bukan saat yang tepat untuk menjahilinya, topik tentang Kageyama dan Hinata lebih menarik untuk dibahas.

“Memang apa yang membuatmu berpikir si Pendek itu pantas mendapatkan yang lebih baik?” 

“Aku takut jika Kageyama akan melukai Hinata pada akhirnya. Aku sudah memantau hubungan mereka sejak awal, terhitung lebih dari tiga kali Kageyama diskors dan lima orang terluka karenanya. Entah harus masuk rumah sakit atau absen di kelas selama beberapa hari. Itu semua dia lakukan karena cemburu pada seseorang yang mendekati Hinata!” Yamaguchi merinding ketika mengingat segala kekerasan yang dilakukan Kageyama selama ini, “Kalau bukan karena anak orang kaya, ia pasti sudah dikeluarkan sejak lama!”

Tsukishima mengangguk, lalu melirik Yamaguchi, “Menurutmu, apa yang membuat Kageyama melakukan hal itu?”

Pertanyaan Tsukishima membuat Yamaguchi terdiam sejenak. Satu kata yang terlintas di benaknya hanyalah obsesi. Bukan cinta namanya jika terlalu posesif dan juga kasar hanya karena cemburu. Pasti selama ini Hinata merasa terkekang. Atau sebenarnya Hinata memang ingin melepaskan diri tetapi terlalu takut dengan apa yang akan Kageyama lakukan padanya?

“Karena Kageyama seperti psikopat. Pokoknya tidak pantas.” akhirnya jawaban inilah yang keluar dari mulut Yamaguchi.

Tetapi Tsukishima justru tertawa meremehkan, “Jika si Raja itu psikopat, bagaimana bisa Hinata tetap terlihat baik-baik saja sampai sekarang?”

“Mungkin Hinata sedang meminta pertolongan! Aku yakin Hinata sangat tertekan selama ini!”

“Kau yakin? Lalu apa yang sedang mereka lakukan sekarang?”

Kini Yamaguchi yang mengikuti arah pandang Tsukishima. Di dekat jendela koridor sekolah, Kageyama dan Hinata berdiri dengan senyum malu-malu di wajah keduanya. Terlihat Hinata yang lebih aktif untuk menggoda Kageyama, karena laki-laki itu kini mencubit pipi kekasihnya gemas. Benar-benar terlihat seperti pasangan normal pada umumnya.

“Mereka bermesraan.”

“Mereka selalu bersama. Di aula voli, koridor, kantin, bahkan jalan pulang ke rumah, keduanya memasang wajah yang sama setiap harinya.” Tsukishima kini memandang serius, “Aku juga sama sepertimu, sering memerhatikan mereka untuk melihat adanya sinyal aneh yang ditunjukkan, tetapi yang kudapatkan hanya kemesraan memuakkan ini.”

Yamaguchi menggigit kukunya ragu, “Jadi mereka benar-benar saling mencintai? Tetapi bagaimana dengan orang yang mau mendekati Hinata? Mereka pasti akan menjadi calon korban Kageyama selanjutnya.”

“Mungkin kau benar, seperti gadis itu contohnya.”

Yamaguchi menatap gadis yang dimaksud Tsukishima. Gadis yang sekarang tengah malu-malu mengajak Hinata berbicara di depan kelas. Gadis dengan rambut pirang pendek nan lugu yang selama ini telah menarik perhatiannya. Gadis bernama Yachi Hitoka.

“Tidak.” Yamaguchi menatap Tsukishima panik, “Aku harus menyelamatkannya.”


Harusnya malam ini Yamaguchi sudah pulang bersama Tsukishima setelah selesai latihan. Tetapi ada hal yang harus diprioritaskan, yaitu keselamatan Yachi si anak baru yang tentu belum banyak mengetahui tentang mereka berdua. Rencana pertama Yamaguchi adalah menyelidiki keadaan keduanya terlebih dahulu.

“Kau menungguku?” suara Kageyama terdengar di parkiran sepeda sekolah, sementara Yamaguchi bersembunyi di balik pepohonan tak jauh dari sana.

Hinata mengangguk lalu berjinjit untuk mencium bibir Kageyama, “Kau lambat.”

“Maaf. Mau pulang sekarang? Atau ke rumahku?”

Kageyama membawa Hinata ke pelukannya, sesekali mencium pucuk kepala jingga itu. Hinata juga terlihat mengeratkan pelukannya, saling menyalurkan kehangatan. Bahkan Yamaguchi yang melihat itu semua ikut terbawa suasana. Mereka memang sangat manis jika melupakan fakta bahwa Kageyama seperti psikopat.

“Apa yang akan kau lakukan padaku ketika di rumah?” Hinata bertanya dengan suara menggoda. 

Sementara Kageyama menggigit pelan helaian rambut Hinata, “Seperti yang ada di bayanganmu sekarang ini, Boke.”

“Apa itu maksudnya?” bisik Yamaguchi tidak mengerti.

Hinata terkekeh sebentar, tetapi kemudian ia mengangkat kepalanya untuk menatap Kageyama lebih lekat. “Kageyama ... apa kau kenal Yachi Hitoka?”

Ketika nama itu disebut, bulu kuduk Yamaguchi seketika berdiri. Ia segera menajamkan pendengarannya pada topik penting kali ini.

“Siapa?” Kageyama mengerutkan dahinya, “Kenapa menanyakan hal itu tiba-tiba?”

Terlihat wajah Hinata melunak, “Tidak apa, sepertinya dia belum berani. Haha.” ia kembali memeluk Kageyama erat, “Ia mengatakan padaku rencananya yang ingin menjadi manajer baru. Besok aku akan bicara lebih banyak bersamanya.”

“Oh, tidak …”

Yamaguchi menutup mulutnya. Hinata mungkin tidak menyadari perubahan wajah Kageyama sekarang. Benar juga faktanya bahwa Hinata adalah laki-laki polos, mungkin Yachi memang ingin menjadi manajer klub voli sungguhan, tetapi ia tidak menyadari bahwa Yachi juga ingin mendekatinya.

“Ah, begitu.” Kageyama mencubit pelan hidung mungil Hinata, “Perlu kutemani?”

Hinata menggeleng, “Tidak perlu, ada hal yang harus aku urus sendiri. Ayo, pulang!” 

“Ayo. Tapi tunggu, aku mendengar ada sesuatu yang aneh di sekitar sini.”

“Berasal dari mana?” 

“Pohon.”

Tubuh Yamaguchi lantas membeku. Sebisa mungkin ia mengusahakan untuk tidak kembali menghasilkan suara, karena sekarang Kageyama seakan tahu keberadaannya.

“Jangan menakutiku! Ayo!” 

Beruntung Hinata sudah lebih dulu menarik sepedanya menjauh. Mau tak mau pandangan Kageyama juga mengikuti ke mana Hinata pergi. Yamaguchi bisa menghela napasnya dengan tenang setelahnya. Selain karena ia berhasil menyelidiki mereka dengan selamat, ia juga tahu rencana selanjutnya yang akan ia lakukan besok.


“Pagi ini aku melihat Yachi membawa surat dan juga cokelat.”

Ucapan Tsukishima tadi pagi membuat tekad Yamaguchi semakin bulat. Sudah pasti hal yang ingin dibicarakan Yachi bersama Hinata tentang pernyataan cintanya. Maka dari itu rencana selanjutnya adalah menjauhi Kageyama dari mereka berdua sebisa mungkin.

“Siapa pun yang bersedia pergi membeli keperluan kelas yang rusak hari ini akan menambahkan nilai tambahan beserta siapa yang ia ajak. Kalian yang bersedia pun juga mendapatkan hak untuk memilih siapa pun untuk diajak.”

Mungkin Tuhan juga berpihak pada Yamaguchi saat ini. Salah satu hal yang ia syukuri sekarang adalah fakta bahwa Kageyama satu kelas dengannya. Tanpa pikir panjang lagi Yamaguchi mengacungkan tangan, ia tidak boleh melewatkan kesempatan ini. 

“Saya bersedia, Pak!”

Tsukishima menatapnya dengan sedikit terkejut. Pak guru di depan sana juga begitu, karena Yamaguchi yang tiba-tiba memilih untuk aktif adalah hal yang sangat jarang terjadi. 

“Baik, lalu siapa orang yang ingin kau ajak?”

Yamaguchi menatap Kageyama yang terlihat tidak tertarik dengan hal ini, “Kageyama Tobio, Pak.”

Kini bukan Tsukishima saja yang terkejut, melainkan satu kelas memandangnya khawatir. Bagaimana tidak? Kageyama adalah pilihan terakhir yang pasti ada di benak mereka. Bahkan Kageyama yang biasa berekspresi datar juga sedikit mengerutkan dahinya tidak terima.

“Baik. Sudah diputuskan dan tidak boleh ada penolakan. Sekarang kembali fokus pada buku kalian halaman 27.”

Ketika Yamaguchi menurunkan tangannya, bisa ia rasakan hawa menyeramkan di belakang sana tengah mengintimidasinya. Tsukishima yang mengerti pun hanya bisa memandangnya dengan pandangan yang sulit dimengerti. 

Waktu bahkan terasa sangat cepat berlalu, kini bel pulang sekolah telah berbunyi. Setelah membereskan isi tas, Yamaguchi dengan sedikit gemetar membalik tubuhnya untuk menghampiri laki-laki itu di sana.

“Kenapa kau memilihku?”

Tapi Kageyama sudah lebih awal mendahuluinya. Yamaguchi menelan salivanya gugup, ia tidak pernah membayangkan akan bersama dengan Kageyama sungguhan. Dengan segenap keberanian yang ia kumpulkan, Yamaguchi menatap netra biru laut itu tegas.

“Hanya ingin berinteraksi denganmu, apakah tidak boleh?”

Kageyama mendecih, “Bukannya kau takut padaku? Aku sering mendapati dirimu memerhatikan kami.”

“T-tidak, aku hanya bingung bagaimana cara mengajakmu berbicara, kau terlihat sangat tertutup.” Yamaguchi ingin mati saja rasanya, “Bisa kita pergi sekarang? Aku takut tokonya sudah tutup.”

Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Kageyama menurutinya. Sepanjang perjalanan Yamaguchi berusaha menenangkan dirinya dengan fakta bahwa Yachi sekarang bisa baik-baik saja walau mungkin hatinya tidak karena sudah pasti Hinata menolaknya. 

Mereka tidak banyak bicara di toko, tetapi tidak seperti yang ia bayangkan, nyatanya Kageyama cukup menurut untuk diminta pertolongan. Melupakan kekerasan yang dilakukan olehnya, sekali lagi Yamaguchi dapat melihat ia seperti anak remaja polos pada umumnya.

“Yamaguchi, apa kau menyukai Hinata?”   Tetapi tiba-tiba ia bertanya seperti itu yang membuat tubuh Yamaguchi mendadak tegap, “Tentu saja tidak, kenapa kau berpikir seperti itu?”

“Mungkin saja kau menghampiriku karena kau ingin tahu lebih banyak tentangnya.” 

Ah, Yamaguchi sadar, Kageyama Tobio memang bukan tipe yang berpikir panjang untuk mengatakan dan melakukan sesuatu.

“Kau ini mudah cemburu, ya?” Entahlah, tiba-tiba rasa takut Yamaguchi meluap begitu saja karena ia pikir Kageyama tidak terlalu menakutkan untuknya. “Hanya karena orang itu mendekati Hinata, bukan berarti ia ingin memilikinya.”

“Tapi aku merasa sangat terganggu, kau tahu Hinata adalah tipe yang bisa berteman pada semua orang. Bukanlah hal aneh jika dia bisa jatuh hati juga pada orang lain.”

“Tapi kau juga tidak bisa menyalahkan orang lain yang membuat Hinata-”

“Hinata milikku.” klaim Kageyama tegas, penuh penekanan.

Yamaguchi mengerti, ia pun menepuk pundak Kageyama pelan, “Baiklah. Aku tidak mengerti bagaimana perasaanmu padanya, tetapi jika kau ingin Hinata juga merasa aman dan nyaman berada dekatmu, kau bisa mengurangi kekerasan itu. Cemburu boleh, tapi jangan sampai merugikan orang lain, Kageyama.”

Kageyama menyeringai, “Memangnya kau tahu apa yang bisa membuat Hinata lebih nyaman?”

“Aku? Tidak juga.”

Karena ketika Kageyama bertanya seperti itu, Yamaguchi sudah kalah telak. Ia benar-benar tidak tahu ingin membalas apa. Akhirnya ia memilih untuk tak mengungkit topik tersebut. Mereka berbelanja dengan tenang, tetapi sebelum berpisah di depan toko, Kageyama kembali membuka suaranya.

“Hinata itu sama sepertiku. Kalian yang sering memerhatikan tidak perlu khawatir,” pemuda itu menunjukkan ponselnya yang berisikan puluhan pesan dari kontak bernama 'Boke' dengan emoji hati, “dia bahkan melebihiku, kau tahu?” 

“Baiklah. Kalau begitu kalian pantas.” finalnya.

Yamaguchi berpisah dengan Kageyama di persimpangan jalan. Ketika ia rasa lelaki beraroma splash marine itu telah menjauh, Yamaguchi baru bisa menghela napasnya lega. Tubuhnya tidak lelah, melainkan batinnya. 

Tapi lelahnya tidak akan menjadi sia-sia karena pasti akan membuahkan hasil. Pulang sampai ke rumah, Yamaguchi langsung merebahkan dirinya di kasur tanpa membuka ponsel lagi. Ia memilih menuruti kantuknya untuk memejamkan mata, menuju alam bawah sadarnya.


Kalau bukan karena kesiangan, Yamaguchi pasti tidak akan terlambat. Dengan tergesa-gesa ia menggapai pintu kelas, yang sialnya guru sudah hadir lebih cepat di sana. Tapi kini keberuntungan kembali berpihak pada Yamaguchi, ia diperbolehkan duduk begitu ia masuk.

Yamaguchi duduk lalu berbisik pada Tsukishima di sampingnya, “Sial sekali hari ini aku kesiangan, tetapi kenapa pelajaran dimulai lebih cepat dari biasanya?”

“Karena ada pengumuman.” jawab Tsukishima.

Yamaguchi menjeda napas terengah-engahnya sebentar untuk menatap ke seluruh siswa di kelas, di mana wajah mereka terlihat takut dan juga terkejut.

“Oleh karena itu, besok pihak sekolah akan mengadakan penggalangan dana untuk kesembuhan Yachi Hitoka. Saat ini keadaannya masih kritis, jika kalian mau menjenguknya mungkin kalian tidak bisa bertemu langsung dan-”

Yamaguchi memucat. Tangannya menjadi dingin. Suara-suara di sekitarnya mendadak tidak jelas dan ikut memusingkan. Tetapi matanya menatap tajam ke arah Kageyama Tobio di belakang sana, seakan ingin mengulitinya hidup-hidup.

Yamaguchi bersiap mengangkat tangannya untuk melapor sebelum Tsukishima menahannya. Ia menatap lelaki bersurai pirang yang sekarang menggeleng tegas. 

“Apa yang kau lakukan, Tsuki!?” 

“Kau tidak membaca pesanku!”

Bahkan sekarang ia juga lupa untuk membawa ponselnya, “Dia pasti pelakunya, padahal kemarin aku sudah-”

“Yamaguchi.” Tsukishima menggenggam tangannya lebih erat, “aku akan membicarakannya pulang sekolah setelah kau bisa meredakan emosimu.”

Kini waktu pulang terasa sangat lambat. Selama kelas berlangsung Yamaguchi tidak fokus sama sekali. Di dalam kepalanya ia selalu bertanya-tanya, di mana letak kesalahan dari rencana yang sudah matang-matang ia persiapkan? Tsukishima menceritakannya sedikit bahwa kemarin sore Yachi ditemukan tergeletak di lapangan sekolah dengan posisi kaki dan tangan patah mengenaskan. Bukankah sore itu Kageyama bersama dengannya?

Menunggu kelas mulai sepi hingga Kageyama benar-benar keluar dari kelas, saat itulah Tsukishima dan Yamaguchi memulai pembicaraan sensitif mereka. Bahkan tak segan-segan Yamaguchi memulainya dengan membanting tas ke lantai, meluapkan amarahnya yang sudah tak dapat ditahan lagi.

“Aku sangat bodoh! Aku meremehkan Kageyama yang pasti mempunyai seribu cara untuk melukai siapa pun yang mendekati Hinata!”

“Yama-”

“Benar, Tsuki! Dia anak orang kaya, tidak heran dia tidak dikeluarkan dari sekolah ini karena pasti dia membungkam mulut pemilik sekolah dengan uangnya! Bahkan aku yakin dia juga menyuruh orang lain saat dia tidak bisa melukai Yachi secara langsung! Apalagi penggalangan dana-”

“Yamaguchi! Diamlah!”

Yamaguchi menatap Tsukishima marah, “Bagaimana bisa aku diam, Tsuki?! Sudah banyak korban yang berjatuhan dan aku hanya perlu diam? Aku harus memberitahu Hinata untuk segera menjauh dari-”

“TADASHI!”

Bentakan Tsukishima yang memakai nama panggilannya membuat Yamaguchi bungkam detik itu juga. Tatapan sahabat sejak kecilnya ini juga terlihat sangat serius, kalau sudah seperti ini ia tidak bisa melawan, Yamaguchi pun memberikan bagian Tsukishima untuk berbicara.

“Kau tahu? Kau tidak akan bisa memisahkan mereka berdua sama sekali. Mereka gila. Pantas saja mereka sangat mencintai satu sama lain dengan cara masing-masing.”

Yamaguchi mendelik, “Dengan kekerasan? Posesif? Gila? Apa itu pantas disebut cinta?”

“Tentu tidak bagi kita, tetapi iya bagi keduanya.”

“Aku tidak percaya. Aku harus segera melaporkannya kepada polisi, ini sudah keter-”

“Kau tahu alasan sebenarnya Yachi bisa masuk ke rumah sakit?” potong Tsukishima cepat.

Yamaguchi mendelik, “Seperti yang sudah kukatakan, pasti Kageyama-”

“Kemarin siang aku melihat Yachi memberikan surat dan cokelat itu pada Kageyama.” 

“Apa?”

“Ia mendekati Hinata untuk mengetahui lebih jauh tentang Kageyama. Ia menyukai si Raja bodoh itu.”

Mungkin saja kau menghampiriku karena kau ingin tahu lebih banyak tentangnya.

Tsukishima tersenyum miris, sementara Yamaguchi mendadak lemas. Bahkan tubuhnya tidak sanggup untuk diajak berdiri, perutnya ikut mual hanya karena mendengar fakta tersebut bersama dengan ingatannya tentang apa yang dikatakan Kageyama kemarin.

“Hinata yang mendorong Yachi. Bukan Kageyama.”

“Tidak mungkin …”

Yamaguchi memegang kepalanya yang sangat pusing, sementara Tsukishima terus melanjutkan ucapannya. 

“Sore itu, beruntung aku melihat dan segera melaporkannya pada pihak sekolah. Hinata Shouyou yang selama ini kau ikut khawatiri, ia mendorong Yachi dari lantai dua dengan senyuman puas di wajahnya.” Tsukishima menyeringai, “Jadi, sudah jelas mengapa mereka pantas menjadi pasangan, bukan?”

Jika dilanjutkan mungkin Yamaguchi akan benar-benar mengeluarkan isi perutnya sekarang juga. Tenaganya seperti habis dikuras hanya karena mendengar fakta mengerikan barusan. Ia bahkan menyuruh Tsukishima untuk pulang lebih awal, meninggalkan dirinya yang nanti akan datang untuk menjenguk Yachi di rumah sakit.

Mengistirahatkan tubuh dan pikirannya selama beberapa menit, Yamaguchi pun kini membalik badannya untuk mengambil tas. Ucapan Kageyama kembali terngiang-ngiang bersamaan dengan pengakuan Tsukishima tadi.

Memangnya kau tahu apa yang bisa membuat Hinata lebih nyaman?

Yamaguchi sudah memantapkan hati ketika menemukan rencana terakhir yang akan ia lakukan kali ini. Karena setelah menjenguk Yachi, Yamaguchi akan segera melapor seluruh perbuatan Hinata ke kantor polisi.

“Maafkan aku, Tsuki. Aku akan menerima resikonya untuk ini semua.”

“Resiko apa, Yamaguchi?”

Aku? Tidak juga.

Jantung Yamaguchi terasa berhenti berdetak saat itu juga. Langkah sepatu yang mendekat dan pintu yang dikunci membuat Yamaguchi reflek menatap ke arah suara, di mana Hinata Shouyou berdiri di sana dengan senyuman ceria yang sekarang terlihat mengerikan di matanya.

“Hinata …”

Hinata itu sama sepertiku. Kalian yang sering memerhatikan tidak perlu khawatir.

“Apa kau sedang tergesa-gesa? Aku ingin membicarakan hal penting denganmu.”

Dia bahkan melebihiku, kau tahu?

“Te-tentang?”

Kini Hinata berdiri di depannya, sambil menunjukkan sebuah benda berlumuran darah yang ia kenali sebagai kacamata milik Tsukishima, sahabat sekaligus saksi penting dalam perbuatan gila yang dilakukan oleh lelaki jingga di hadapannya. 

“Apa sekarang kau yang sedang mendekati Kageyama?”

Baiklah. Kalau begitu kalian pantas.

Dunia Yamaguchi seakan terjungkal saat itu juga. []

© haikyuusou, 2020.