[🌸] Di Balik Plester Isagi
Sudah jelas Isagi berbohong dan sampai kapan pun ia tidak akan memberitahu siapa pun tentang kebenaran akan hal itu. Kebenaran di balik plester pada dua putingnya.
Karena semua itu terjadi pada beberapa hari yang lalu, di malam ketika pemberian nutrisi sudah memasuki yang ke dua Minggu.
“Gua mau nutrisinya sekarang.”
Isagi yang sedang merebahkan diri di atas ranjang lantas terkejut dengan kehadiran Rin secara tiba-tiba di sampingnya. Posisi kamar mereka memang gelap karena pemberian nutrisi dilakukan sebelum waktu mereka beristirahat.
“Lo ngagetin gue! Kan lo bisa ngechat dulu, kalo ada yang lihat gimana?”
Isagi sedikit bersyukur karena teman sekamar mereka yang lain masih berkeliaran di luar dan hanya ada dia dan laki-laki tinggi ini saja.
Mendengar protes Isagi, Rin tetap diam, Isagi tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas karena minimnya cahaya, tapi Isagi bisa tahu bahwa laki-laki itu sedang memasang wajah kesal tak ingin dibantah.
Isagi mendecih sebal, “Iya, iya, gue ke toilet duluan, lo bisa nyusul-”
“Gua maunya di sini.”
“Hah?”
Lalu tanpa bisa Isagi cegah, Rin langsung masuk begitu saja dan ikut merebahkan diri di bawah satu selimut yang sama dengan dirinya.
“Rin! Lo gila?!” Isagi menahan napasnya akibat jarak mereka yang sangat dekat.
Lagi-lagi Rin tidak menghiraukan protes Isagi, tangannya tak tinggal diam untuk bergerak mengangkat baju Isagi hingga kembali memperlihatkan dadanya yang masih merah membengkak itu.
“Rin! Ini di kamar! Nanti kalo yang lain mau masuk gimana, gila?” Isagi menatap khawatir ke arah pintu dan Rin bergantian.
“Gak peduli.”
“Rin! Ahk!”
Laki-laki bongsor itu benar-benar tak mendengarkan, ia tetap mengisap puting Isagi kembali seperti yang biasa ia lakukan akhir-akhir ini.
Tetapi entah kenapa Isagi bisa merasakan adanya perbedaan dari biasanya.
Isapan Rin kali ini lebih tergesa-gesa, bahkan lidahnya tidak tinggal diam untuk ikut membuat dada Isagi semakin panas seakan Rin tengah melampiaskan seluruh emosinya.
Apa Rin sedang marah?
“Ngh-Rin? Lo lagi marah? Gue ada salah sama lo atau gimana?”
Rin tidak menjawab dan terus mengisap puting Isagi selagi yang lebih tua berpikir keras soal kesalahannya, dan ia pun kembali memutar ulang kegiatan yang mereka lakukan hari ini.
Ketika memulai latihan bersama para pemain tadi, sepertinya kelakuan Rin masih normal. Mereka makan di kantin pun sepertinya biasa saja walau duduk mereka memang selalu berjauhan. Saat mandi bersama pun Rin tidak ikut karena Isagi tahu meski diajak pun ia tidak akan mau.
Lalu ketika mereka tak sengaja mengganti pakaian di ruangan yang sama, di sana tidak hanya ada dirinya dan Rin melainkan pemain lainnya. Isagi banyak berbicara dengan yang lain terutama dengan Bachira, dan ketika Isagi mencuri-curi pandang ke arah Rin... ternyata laki-laki itu sempat ikut memperhatikan mereka berdua dari jauh dengan raut wajah yang tidak enak dilihat.
Isagi akhirnya menemukan kesimpulan asalnya.
“Oh! Lo lagi ada masalah sama Bachira, ya?”
Mendengar itu tubuh Rin tersentak, tetapi setelahnya justru ia makin memperkuat isapan pada puting Isagi yang membuat sang empu kesakitan hingga tak sengaja memukul kepala Rin cukup kencang.
PLETAK!
“Tch, kenapa lo mukul gua?!”
“LO YANG TERLALU KUAT NGISEPNYA!”
Rin mendecih kesal kesekian kali, mulutnya kembali terbuka untuk siap mengisap puting Isagi lagi, tetapi lelaki mungil itu lebih dulu membekap mulutnya dengan satu tangan.
“Lo gak boleh ambil nutrisinya kalo lo masih dalam keadaan marah gini!” Isagi juga menekuk wajahnya marah, “Kenapa? Apa yang bikin lo marah?”
Melihat Isagi yang sepertinya kali ini tidak mau mengalah membuat Rin tidak punya pilihan lain. Ia pun mendengus kesal dan segera bangkit untuk duduk, memunculkan tanda tanya semakin besar di kepala Isagi.
“Tadi tete lo dilihatin Bachira.” ucapnya pelan, hampir tidak terdengar.
“Terus?”
“Ya, tete lo dilihatin! Gua gak suka,”
Isagi mengerjapkan matanya beberapa saat untuk mencerna alasan Rin mengapa ia marah, dan setelah dipikir-pikir Isagi sama sekali tidak menemukan satu pun titik masuk akalnya dalam alasan lelaki tersebut.
Isagi tersenyum kaku, “Oke? Gue gak ngerti tapi kayaknya lo ngantuk,”
“Gua gak ngantuk, sialan.” umpat Rin.
“Ya, abisnya lo gak jelas? Masa tete gue dilihatin orang doang kok lo gak suka? Emangnya-”
Ucapan Isagi sengaja dihentikan akibat suara pintu kamar yang tiba-tiba terbuka. Isagi seketika menahan napasnya, tanpa pikir panjang bukannya mengusir Rin untuk pindah dari ranjang, Isagi justru kembali menarik Rin untuk tidur di sampingnya, lebih tepatnya untuk ia sembunyikan di bawah selimutnya.
“Lho, Isagi lo udah ada di kamar dari tadi ternyata?”
Dari suaranya Isagi sudah tahu itu Bachira dan ia datang hanya seorang diri, Isagi bisa tenang sesaat.
“Ah! Iya, Ra, gue abis nerima nutrisi jadi-JANGAN DINYALAIN LAMPUNYA!”
Bachira yang sudah siap menekan saklar lantas terkejut oleh teriakan tersebut, sementara detak jantung Isagi rasanya bertambah cepat di setiap detiknya.
“Oke?”
Akibat terlalu tegang, Isagi sampai tidak sadar bahwa napasnya jadi tidak beraturan dan menyebabkan dadanya naik-turun di depan wajah Rin—yang masih juga ia sembunyikan di bawah selimutnya.
“Lo udah mau tidur juga, Bachira?” basa-basi Isagi.
“Belum, sih. Oh, gue sebenernya mau cerita sesuatu sama lo!”
“Oh? Cerita- diem!”
“Diem?” Bachira menaikkan satu alisnya.
Bukan. Itu bukan untuk Bachira.
Kini Isagi tengah berusaha menghentikan tangan Rin yang tadi baru saja berusaha untuk kembali menaikkan bajunya ke atas, walau itu semua percuma karena tenaga si bongsor ini jauh lebih besar dari dirinya.
Setan, gue harus kabur dari sini!
Isagi tertawa canggung, “Maksud gue diem dulu! Ya! Diem dulu, kayaknya ceritanya jangan di sini? Kita keluar aja gimana?”
“Ohh, ayo aja gue mah, di ruang monitor gimana?”
“B-boleh! Ayo!”
Begitu Isagi ingin bangun, sepasang tangan kekar langsung mengelilingi pinggang rampingnya di bawah sana. Siapa lagi kalau bukan Itoshi Rin pelakunya? Ia seolah-olah berkata bahwa Isagi tidak akan bisa pergi ke mana-mana dan harus tetap bersamanya.
Bachira kembali menatap heran pada Isagi yang justru diam seperti batu, “Kenapa, Sa?”
“Hehe, tiba-tiba gue mager kalo keluar sekarang, besok aja deh sekalian sama ceritanya,”
“Yah, tapi gue takut lupa kalo besok, dan gak bakal seru kalo gak diceritain sekarang,” Isagi tahu dari nada suaranya pasti Bachira kini tengah mengerucutkan bibirnya, merajuk.
Isagi sedang berada di pilihan yang sulit saat ini. Ia tidak bisa menuruti Bachira karena Rin sudah mengunci dirinya di bawah sana, tetapi jika ia tidak menuruti Bachira, kemungkinan anak itu pasti akan menarik tubuhnya keluar dan dengan cepat Rin akan ketahuan.
Sial, mengapa nasib buruk selalu berpihak padanya akhir-akhir ini?!
“Yaudah, yaudah, lo cerita di sini aja.” final Isagi yang langsung membuat wajah Bachira kembali berseri saat itu juga.
“Oke, oke, jadi tadi ceritanya gue abis sengaja gangguin Barou yang lagi makan sendirian...”
Saat Bachira memulai ceritanya, di saat itu juga Rin memulai kembali aksinya. Dengan baju Isagi yang sudah terangkat sejak tadi membuat Rin dengan mudah langsung mengisap putingnya.
Isagi mengutuk Rin dengan segala apa yang ia lakukan padanya saat ini. Tetapi ia tidak boleh kalah, Rin sedang berusaha mengacaukannya dan Isagi akan berusaha untuk tetap fokus pada apa yang di depannya.
“Kenapa lo gangguin? Te-terus dia marah?”
Bachira tersenyum menyebalkan, “Marah lah, dia kan orangnya suka banget kebersihan, jadi gue iseng aja nyeletuk ‘ternyata kutang lu ga bau keteknya kuproy’ eh dia langsung narik kerah baju gue anjrit, HAHAHA!”
“Anjir, lo jangan gitu lah, Barou emang super bersih parah, jadi gak-nghh!”
Isagi mengatup bibirnya tiba-tiba karena di bawah sana, Rin kali ini tidak hanya mengisap putingnya melainkan menggigit-gigitnya pelan.
LO NGAPAIN, GILAAAA?!!!
“Kenapa, Sa?” panik Bachira.
“Gapapa, kayak ada yang gigit,”
Bachira memicingkan matanya curiga, tapi ia tetap melanjutkan ceritanya, “Abis itu gue lari dan dia ngejar gue, minta tolonglah gue sama-”
“AHK!”
“Sa! Lo kenapa lagi, anjrit?”
Bachira semakin heran, tetapi Isagi kembali bertingkah seolah tidak apa-apa—padahal sebenarnya Rin baru saja kembali mengisap kuat putingnya. Isagi berjanji akan membalas perbuatan si Itoshi bungsu itu sebentar lagi!
“Gapapa, gapapa, udah lanjutin aja,”
“Ya gitu deh, terus pas Barou ngejar gue, langsung lah gue ngumpet di balik Chigiri dan gak sengaja si Barou malah ngejambak rambutnya si merah, HAHAHA! Jadinya mereka yang malah asyik berantem sementara gue lari masuk ke sini!”
Harusnya Isagi tertawa, tetapi kondisinya saat ini sangat tidak memungkinkan untuk menertawakan penderitaan seseorang di saat ia sendiri juga sedang menderita!
“Lo gak boleh gitu, Ra! Mending lo pisahin mereka sekarang, sayang nutrisinya masa dipake buat berantem gajelas,”
Bachira manyun tidak setuju, “Yang ada malah gue yang diamuk, eh? Itu kayaknya mereka mau ke sini! Gue kabur lagi, deh! Lo jangan kasih tau gue kalo gue ngumpet di ruang monitor ya, Sa!”
Isagi bisa merasa sedikit tenang begitu Bachira mengatakan bahwa ia ingin pergi dari sini. Dengan cepat ia mengangguk setuju.
“Iya, yaudah lo pergi sana, nanti gue bilang lo ada di kantin!”
Bachira mengangguk, “Oke! Lo lanjutin juga istirahatnya, gue kabur dulu! Bye!”
Isagi tersenyum menanti kepergian teman pertamanya itu. Tetapi sebelum Bachira membalik badannya, ia sempat menoleh dan memperhatikan proporsi tubuh Isagi yang sepertinya terlihat berbeda dalam balutan selimut.
“Kenapa, Ra?”
Bachira mengangkat bahunya cuek, “Gatau karena gelap apa gimana, tapi kaki lo kok jadi kayak panjang banget?”
“Ha...?”
“Haha, mungkin bayangan aja, gue cabut beneran!”
Setelah itu Bachira benar-benar keluar dengan pintu yang kembali tertutup rapat, meninggalkan Isagi yang masih membeku takut akibat ucapan laki-laki berambut bob itu barusan.
Apakah Bachira mencurigai ada yang aneh pada dirinya sejak tadi? Apakah Bachira sudah tahu tetapi ia tetap berlagak tidak peduli? Apakah Bachira sadar bahwa ada yang bersembunyi di bawah selimutnya? DAN APAKAH Bachira sadar bahwa Rin dari tadi sedang bersamanya?
“Si rambut bob itu gak bakal tahu,” ucap Rin tiba-tiba seakan tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Isagi.
Isagi sendiri yang sempat termenung selama beberapa saat langsung dibuat sadar ketika melihat Rin, satu jitakan cukup kencang pun kembali ia berikan pada anak nakal itu.
PLETAK!
“Lo cari mati sama-”
“Lo yang cari mata sama gue!” Isagi mendengus kesal dengan wajah memerah, “Dasar tolol!”
Rin tersentak mendengar makian pertama kali dari yang lebih tua, Isagi sendiri sudah sangat kesal karena dari tadi ia berusaha mati-matian untuk menyembunyikannya tapi anak bongsor ini sendiri berusaha membuat mereka ketahuan.
“Kalo udah tahu lagi di kondisi kayak gitu harusnya lo diem aja! Bukan malah berulah yang mancing kita buat ketahuan! Emangnya lo mau tanggung jawab? Emangnya lo juga gak bakal malu?”
Isagi tersenyum meremehkan, “Main bola aja lo fokusin selalu jadi nomor satu, tapi sisanya malah nol! Bego! Itoshi Rin bego!”
Kemudian suasana menjadi hening sesaat setelah Isagi mengomelinya habis-habisan. Yang lebih tua berharap Rin segera sadar akan kesalahannya, walau sepertinya percuma karena justru omelan barusan malah mengundang hal yang sebaliknya.
“Tolol? Bego?”
Suara Rin tiba-tiba menjadi lebih rendah, Isagi yang tadinya sangat tersulut emosi seketika ikut meredam karena aura yang dikeluarkan lelaki di depannya saat ini lebih mengerikan dari apa pun.
Waduh, sepertinya Isagi benar-benar menggali lubang untuk kuburannya sendiri.
“R-Rin, maaf tadi gue-UWAHH!”
Belum sempat ucapannya selesai, Isagi sudah kembali berbaring tetapi kali ini dengan Rin yang sudah mengukungnya dari atas.
“Pembicaraan kita di awal belum selesai,”
“Haha, yang mana, ya? Lo yang mau nutrisi? O-oke silakan diambil, b-belum selesai, kah?” wajah Rin yang begitu dekat dengannya membuat Isagi mau tak mau memalingkan wajah ke samping untuk menghindari pandangan menusuk si Itoshi bungsu.
“Tentang gua yang gak suka, kalo tete lo dilihatin orang lain.”
Rin kini mengangkat kembali baju yang dikenakan Isagi untuk memperlihatkan dua buah dada yang akhir-akhir ini menjadi santapan hariannya.
“K-kenapa lo gak suka? Ini kan-”
“Karena ini punya gua.”
Kemudian Rin kembali mengisap puting Isagi yang masih merah merekah, membuat sang empu dengan reflek menjambak rambut yang lebih muda sambil menahan erangannya.
“Di dalamnya ada nutrisi punya gua, yang satu pun orang gak akan bisa untuk ikut ambil,”
“Tapi-Ahk!”
Isagi memejamkan matanya begitu merasakan nyeri bercampur nikmat aneh pada dadanya yang kini baru saja digigit dengan sengaja oleh seorang Itoshi Rin. Gigitan yang Isagi tahu akan membekas jelas.
“Rin! Stop-mmhh!”
Ucapan Isagi seolah memintanya untuk berhenti, tetapi tangan yang ikut menjambat rambut Rin dan menarik kepalanya untuk memperkuat isapan justru mengatakan sebaliknya.
Oleh karenanya, Rin tidak berhenti di situ saja. Dengan lebih semangat, area sekitar dada Isagi juga ikut ia isap kuat hingga meninggalkan banyak bercak merah keunguan yang pasti juga akan lama hilangnya.
“Stop, idiot...”
Rin mendengus pelan ketika bertemu mata Isagi yang menatapnya sendu dengan gairah tertahan, “Dengan ini lo jadi bisa inget kalo ini semua punya gua,” dan satu kecupan lembut terakhir ia berikan pada dada si manis sebelum menyelesaikan ucapannya, “punya Itoshi Rin.”
Setelah mengatakan itu Rin bangkit perlahan, senyum bangga terlihat tipis di wajahnya begitu melihat Isagi yang tidak berdaya dengan tubuh setengah terbuka penuh tanda, menampilkan mahakarya paling indah dengan dia sendiri sebagai pembuatnya.
Rin pun keluar dari kamar, meninggalkan Isagi dengan wajah paling merah sedunia dikarenakan perbuatannya yang amat kurang ajar, walau Isagi akui ia pun tidak dapat berkutik dan tidak sanggup melawannya.
Kini Isagi hanya bisa pasrah begitu ia bercermin dan melihat banyaknya bercak merah dan gigitan di sekitar puting dadanya, yang juga masih basah dengan saliva milik Rin yang menghiasinya.
“Itoshi goblok Rin... gimana cara gue nyembunyiin cupangan lo yang sebanyak ini? Tolol!!!!”
Jadi... seperti itu alasannya. Sudah jelas bukan mengapa Isagi memilih untuk berbohong?
Karena kebenaran di balik plester yang Isagi kenakan—adalah ulah dari Itoshi Rin yang sudah memberinya tanda kepemilikan. []
© 2023, roketmu.