[🌸] Menginap di rumah Yayah
Isagi, gua udah di depan rumah.
Begitu notifikasi pesan itu muncul di layar ponsel, Isagi lantas bangun dari duduknya di sofa untuk segera bergegas ke depan pintu masuk, menyambut kedatangan Rin yang sudah ditunggu-tunggu oleh si kecil Gakuto.
“Cepet juga,” ujar Isagi canggung begitu ia membuka pintu dan mendapati bahwa Rin ternyata sudah siap sedia memakai piyama dari rumah, “semangat banget kayaknya.”
Rin mengangkat bahu cuek atas ejekan usil tersebut, “Demi anak,” lalu ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling rumah Isagi sebelum melanjutkan ucapannya, “papa dan mama lu mana?”
“Ah, kebetulan papa ada tugas di luar kota dan mama ikut nemenin.”
“Oh, makanya juga tadi lu beres-beres sendirian demi gua, ya?” lalu inilah balasan Rin atas ejekan Isagi di awal.
“Rese! Lo udah makan, belum?” Isagi yang malu berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Udah tadi, gua dateng ini buat langsung tidur.”
“Oke, kalau gitu-”
“PAPAAAAA!!!”
Tiba-tiba terdengar suara teriak menggemaskan yang menginterupsi ucapan Isagi, tidak lain dan tidak bukan adalah Gakuto si bungsu yang muncul untuk langsung lompat memeluk Rin.
“Papa... terima kasih sudah datang...” wajah Gakuto benar-benar berseri saat mengucapkannya.
“Papa udah janji, kan?”
Gakuto mengangguk penuh semangat. Sementara Isagi ikut tersenyum diam-diam saat memperhatikan keakraban tak terduga dari mereka berdua. Apalagi melihat bagaimana Rin yang kini tengah menggendong tubuh kecil Gakuto dengan satu tangannya.
Sungguh papa yang atraktif.
EH? MIKIR APA SIH, GILAAAA!!!
Isagi buru-buru menggelengkan kepalanya, “Yaudah, yuk? Kamar gu- kamar Yayah di atas.”
“Yuk!!!”
Rin tersenyum tipis merasakan antusias Gakuto melalui pelukannya yang mengerat. Tetapi, belum sempat Isagi mengajak keduanya untuk ke lantai dua, suara bel rumah sudah kembali terdengar yang menimbulkan kebingungan di antara mereka bertiga.
“Paket?” tanya Rin.
“Ngga kayaknya, coba lo buka aja.”
Dengan Gakuto yang masih berada dalam gendongannya, Rin pun kembali membuka pintu tersebut yang kali ini justru membuatnya sedikit terkejut ketika melihat siapa sosok yang hadir untuk menyapa mereka.
“Abang?”
“Abang!!!”
Yap, yang satu untuk kebingungan Rin karena melihat Sae di sana, satu lagi untuk seruan Gakuto yang tambah antusias melihat Mikoto dan Minato.
“Keponakan Abang yang dua ini juga minta ikut untuk menginap, mereka juga kangen kalian. Minato bahkan sampai gak berhenti nangis karena ditinggal Rin.”
Rin menatap kedua anak itu bergantian, Minato benar-benar masih menangis sampai detik ini juga, sementara Mikoto walau ia tidak menangis, tapi dari raut wajahnya ikut menunjukkan kesedihan bahwa ia juga ingin menginap bersama mereka.
“Mikoto dan Minato janji gak akan nakal,” ucap Mikoto sambil menatap Rin dan Isagi dengan matanya yang membulat lucu, “Boleh, ya? Papa? Yayah?”
Mendengar hal itu tentu saja Isagi tidak ada alasan untuk menolak. Ia justru langsung mendekat untuk memeluk dua anaknya yang tak kalah menggemaskan itu dengan erat.
“Boleh! Siapa bilang gak boleh? Maaf, ya, harusnya Yayah pun ajak kalian juga dari tadi,” Isagi pun menatap Sae dengan senyuman lega, “makasih, ya, Kak Sae. Maaf udah repot-repot nganter mereka juga.”
Sae ikut tersenyum tipis, “Santai, ini udah kewajiban seorang uncle dan kakak ipar.”
Rin mendecak sebal begitu Sae mulai lagi dalam mendalami perannya. Sejujurnya Rin tidak ingin Isagi menganggap bahwa dengan sikap Sae yang seperti ini seakan menandakan bahwa mereka berdua menikmati situasi dan peran tersebut, yang nantinya akan menimbulkan dugaan atau pikiran yang tidak-tidak juga dari pihak Isagi.
Tetapi begitu Rin melirik ke ke arah yang lebih pendek untuk memastikan, ternyata tidak terlihat sama sekali raut wajah jijik atau pun canggung seperti yang Rin bayangkan, melainkan senyum bodoh itu lagi yang dengan bangga ia tunjukkan.
“Hehe, Kak Sae mau ikut nginep juga, gak?”
Sae menggeleng, “Engga,” kemudian menatap Rin yang kembali memandangnya dengan tatapan seakan menyuruhnya untuk segera pergi, “Iya, Abang pulang dan gak akan ganggu Rin sama Isagi dan anak-anak kalian.”
“Ck, udah sana.”
Sae pun tertawa sebelum akhirnya berpamitan kepada mereka berlima. Pintu rumah Isagi juga kembali ditutup dan kini mereka bisa fokus untuk melalukan ritual- ehm, maksudnya tidur bersama-sama seperti kemauan Gakuto.
“Mikoto, Minato, kalian juga udah makan?” tanya Isagi selagi mereka berjalan di tangga untuk menuju kamar.
“Udah, Yayah. Dua jam sebelum tidur kami sudah harus makan.”
Lalu mendengar itu Isagi langsung teringat sesuatu, “Oh, iya! Karena aku- ehm, karena Yayah belum tau, gimana kalau kalian juga jelasin gimana rutinitas kalian biasanya sebelum tidur?”
“Rutinitas?” ulang Rin.
“Iya! Ini masuknya pendekatan juga, kan?” Isagi menatap ketiga anaknya dengan senyuman lebar, “Gimana? Apa yang mau atau biasa kalian lakuin sama Papa dan Yayah sebelum tidur?”
Mikoto dan Minato tertegun beberapa saat sebelum akhirnya saling tatap dengan wajah tak kalah berseri seperti Gakuto yang melihat kedatangan Rin tadi. Dengan semangat pun mereka menjawabnya dengan kompak.
“Kita gosok gigi dan cuci muka sama-sama!!!”
Rin dan Isagi tidak pernah menyangka bahwa menggosok gigi bersama-sama bisa membuat anak kecil—tepatnya anak-anak mereka menjadi sebahagia ini.
Di pojok kanan ada Mikoto yang berdiri di samping Minato untuk selalu mengawasi adik tersayang agar tidak menggosok giginya terlalu cepat yang bisa membuat gusinya sakit.
Lalu di tengah ada Gakuto yang duduk di atas wastafel dengan Isagi yang menggosokkan giginya, sejak hari pertama si bungsu ada di sini hal itu sudah menjadi hal yang biasa untuk Isagi.
Terakhir di pojok kiri, ada Rin yang menggosok giginya dengan tenang sambil sesekali mencuri-curi pandang ke arah Isagi di sampingnya.
“Cebol, kalau lu kapan gosok giginya?” tanya Rin iseng.
“Setelah gosokkin Adek, kenapa? Mau bantuin?” Isagi tersenyum menantang.
“Gosokkin gigi lu?”
“ISH! Adeklah!” sewot Isagi.
Rin hanya mendengus geli, sementara Isagi malah jadi tidak fokus untuk menggosok gigi Gakuto hingga membuatnya tak sengaja terciprat oleh busa dari odol tersebut.
“Aw!”
“Kenapa, Yayah?” tanya Mikoto yang sedang mengeringkan wajah Minato dengan handuk.
Isagi meringis, “Gapapa, Yayah cuma kemasukan busa!” lalu ia menyenggol Rin dan berbisik di sampingnya, “kasih gue air, nanti si Adek khawatir liat gue keperihan!”
“Oh, oke.”
“Iya, tolong-”
Tetapi Belum sempat Isagi menolehkan wajahnya, Rin lebih dulu bergerak untuk menjilat mata Isagi dan membuat yang lebih pendek itu terkejut hingga reflek menjauhkan dirinya.
“Lo!?”
“Cara itu lebih cepet ketimbang air,” ujar Rin tak merasa bersalah sebelum menoleh ke arah Gakuto, “iya, kan, Dek?
Gakuto tentu saja mengangguk dan tertawa girang disusul dengan senyuman jahil dua abangnya yang lain.
“AWAS LO, RIN!!!”
Lalu ritual menggososok gigi dan cuci muka Itoshi Family ini diakhiri dengan Yayah yang mengamuk sambil menciprati air sebanyak-banyaknya ke arah si Papa.
Selepas menggosok gigi dan cuci muka, anak-anak sudah harus tidur pukul 9 malam. Berbicara tentang tidur, Isagi bersyukur mereka di sini jadi tidur berlima dengan menggunakan kasur lipat, karena jika hanya ada ia, Gakuto, dan Rin, sudah pasti akan tidur di satu ranjang yang sama.
Atau itulah yang ada di pikiran Isagi, sebelum pada akhirnya tetap sama saja. Walau sudah di kasur lipat pun ia dan Rin harus berdekatan karena permintaan Gakuto. Jika posisinya diurutkan dari pojok kiri, maka posisinya adalah Mikoto, Rin, Gakuto, Isagi, dan Minato.
Sebelum merebahkan diri, Minato berkata bahwa biasanya Papa alias Rin akan membacakan dongeng untuk mereka, terutama Gakuto yang sangat senang mendengarkan cerita.
Lalu apakah Rin bisa menolak permintaan itu? Oh, tentu saja tidak demi sang anak tersayang.
“Kalau mau ketawa, ketawa aja.” tapi itulah yang juga diucapkan Rin pada Isagi sepanjang ia bercerita dengan wajah dan nada yang datar.
Tetapi anehnya, tak lama setelah itu mereka bertiga benar-benar tertidur. Mungkin karena memang sudah waktunya tidur, atau karena mendengar betapa membosankannya si Papa dalam bercerita.
Walaupun begitu, dapat dikatakan juga misi mereka menuruti kemauan Gakuto berhasil, Isagi bisa menghela napas lega selama beberapa saat sebelum akhirnya tersadar akan situasinya sekarang. Lantas ia melirik sekilas ke arah Rin yang ternyata masih ikut terjaga seperti dirinya.
Sialan, bakal jadi canggung banget!
Sepertinya malam ini akan menjadi malam yang panjang untuk mereka berdua.
Berkali-kali Isagi berganti posisi tidur dan berusaha agar segera terlelap walau semua usahanya sia-sia. Sampai di tahap akhirnya ia pun menyerah dan memilih untuk membuka mata, disusul dengan Rin yang tiba-tiba bersuara di sebelahnya.
“Kalau dari penjelasan Shou waktu itu, dia lahir setelah umur kita sekitar 20-an.”
Isagi mengerutkan dahinya bingung, “Terus?”
“Itu artinya lu gak usah takut kalau malam ini gua bakal ngapa-ngapain lu.”
Rin berucap seraya menolehkan kepala ke arah Isagi hingga membuat kedua mata bertemu dengan jarak yang sangat dekat.
“Ih! Apaan, sih? Siapa juga yang mikir begitu!?” Isagi reflek menoleh ke arah langit-langit kamar untuk menghindari tatapan Rin.
“Lagian gua juga gak bakal mau ngehamilin orang, apalagi orang yang gua suka sebelum gua menikah sah dengan dia,”
Tapi ketika mendengar hal itu, Isagi tertegun selama beberapa saat, sampai akhirnya Rin mendengus geli dan melanjutkan ucapannya.
“Lu langsung ngebayangin orangnya itu elu, kan?”
Wajah Isagi sukses memerah detik itu juga.
“NYEBELIN BANGET, SIH!”
“Sst, sst, ini anak-anak udah tidur.” ujar Rin yang kini berusaha semaksimal mungkin untuk tidak tertawa karena berhasil menjahili Isagi yang kesekian kalinya.
Isagi menghentikan cubitannya pada Rin, lalu kembali membetulkan posisi tidurnya agar menghadap ke langit-langit kamar lagi.
“Gue tuh emang lagi mikir sesuatu yaitu kalau gue gak nyangka aja bakal tidur bareng kayak gini sama orang yang gua sebelin! Kayak ngapain coba? Makin dipikirin, makin gila!” bela Isagi dengan wajah masih semerah kepiting rebus.
Rin yang mendengar itu ikut mengangguk setuju, “Gua juga gak nyangka,”
“Iya, kan?!”
“Gak nyangka kalau nanti di masa depan lu bakal hamil anak gua,” kemudian ia menunjuk ke arah perut Isagi, “di sini.”
“Apaan lagi, sih, lo!” Isagi menepis cepat tangan Rin.
“Kita berarti bakal beneran ngelakuin hal ‘itu’ ya, Sa?” dan semakin Isagi kesal, semakin Rin juga semangat untuk menggodanya.
“Stop, anjing. Ini ada anak kecil!”
Rin tersenyum miring, “Anak kecil yang kita hasilin dari ngelakuin ‘itu’.”
“LO-”
“Oh. Gimana kalau kita latihan buat ngelakuin hal ‘itu’ malam ini, Sa?”
“GUE TENDANG LO!!!”
Kini Isagi benar-benar mengangkat kakinya untuk menendang-nendang Rin yang justru tidak lagi bisa menahan tawanya akibat respon Isagi yang begitu mudah untuk marah.
“Bercanda, dasar lebay.”
“Ih! Udah sana tidur sebelum lo gue usir dari sini!”
Isagi untuk kesekian kalinya membetulkan posisi tidur. Tetapi kini ia berani untuk memiringkan tubuhnya ke arah Gakuto, karena nyatanya melihat wajah tidur si bungsu bisa membuat ia lebih tenang.
Rin yang ikut memperhatikan gelagatnya pun menghela napas lega, “Gua cuma gak mau suasana setegang tadi. Kayak lu beneran takut gua bakal ngapa-ngapain lu atau pikiran aneh lainnya, maaf.”
Isagi mendongak ke atas untuk kembali bertatapan dengan Rin yang kini ikut memiringkan tubuhnya, membuat mereka saling berhadapan dengan Gakuto yang menjadi pembatasnya.
“Iya, gue udah gak tegang karena gue maunya ngamuk untuk sekarang,”
“Yaudah, gua pindah ke sofa-”
“Tapi gue tetep mau bilang makasih ke lo karena udah mau nurutin kemauan Gakuto, walau gue tau lo sebenernya gak mau.” sela Isagi cepat dengan senyum tulusnya.
“Makasih ke diri lu juga kalau gitu.”
“Gue?” bingung yang lebih tua.
“Anak-anak kelihatan lebih nyaman sama lu karena lu emang baik sama anak kecil, jadi lu di sini beneran kayak sosok yayah untuk mereka.”
Isagi mengerjapkan matanya berkali-kali, “Masa?” entah itu pujian atau bukan tetapi Isagi tetap merasa senang dan bangga mendengarnya.
“Iya, sayang.”
“Oh, please. Jangan mulai lagi,” Isagi merotasikan bola matanya jengkel.
“Bercanda. Besok lu gak lupa kalau kita masuk sekolah, kan?”
Isagi mengangguk, “Iya, jadi lo mau Mikoto dan Minato tetep di sini aja sampai kita pulang atau gimana?”
“Gua antar pulang dulu sebelum gua berangkat ke sekolah.” lalu kemudian Rin teringat sesuatu, “Wait, kalau lu sekolah juga, Gakuto bakal sendirian. Papa dan mama lu masih di luar kota, kan?”
“Betul, tapi tenang aja,” Isagi terkekeh bangga, “kemarin gue udah mutusin untuk masukin Gakuto ke TK dekat rumah gue, dia masuk mulai hari ini supaya dia gak terlalu kesepian karena gue yang sibuk sekolah. Kebetulan guru TK itu juga sepupu gue, dia bakal jagain Gakuto sampai gue pulang.”
Penjelasan Isagi barusan membuat Rin terkesima diam-diam karena itu justru semakin membuktikan bahwa Isagi benar-benar menjadi sosok yayah yang serius dan bertanggung jawab kepada seorang anak yang identitas bahkan keberadaannya masih belum jelas.
“Gua yang bakal antar Gakuto ke TK juga kalau gitu.”
“Gak perlu, nanti pagi gue juga bakal masak sarapan buat kalian supaya lo gak perlu repot-repot lagi saat siap-siap di rumah dan jadi terlambat.”
Rin menyeringai samar, ia benar-benar akan kewalahan jika Isagi terus bersikap seperti ini, “Lu kayak beneran siap untuk jadi bagian keluarga Itoshi, Sa.” dan jalan terakhir untuk mengatasi hal itu adalah dengan kembali menggodanya.
“Diem, sebelum gue berubah pikiran jadi pengen gosongin sarapan khusus untuk lo.” ancam Isagi dengan tatapan bak kucing kecil yang sedang marah.
Ya, lebih baik respon galak Isagi yang seperti biasanya ini demi mempertahankan kewarasan Rin agar ia tetap menang dari perasaan aneh yang mulai mengusik dirinya.
“Kalau gitu selamat tidur, Yayah Yoichi.”
Rin sudah bersiap untuk kembali menangkis serangan tiba-tiba dari Isagi, sebelum akhirnya kalimat itu lebih dulu terdengar yang membuat ia seketika tersadar,
“Selamat tidur juga, Pa- Papa Rin!”
bahwa sejak pertama kali Rin berpikir untuk berusaha tetap menang dalam mempertahankan kewarasannya, di saat itu pula ia sudah tahu akan masa kekalahannya.
Tanpa sepatah kata lagi, Isagi akhirnya membalik badannya, diikuti Rin di detik kemudian hingga membuat keduanya tidur dengan posisi saling membelakangi.
Entah karena tidak lagi ingin saling berhadapan untuk melanjutkan obrolan, entah untuk menyembunyikan semburat merah yang muncul di kedua pipi masing-masing secara bersamaan.
Hah, nyatanya malam ini akan menjadi malam yang panjang bukan hanya karena mereka berada di bawah selimut yang sama saja—melainkan juga dengan perasaan asing nan menyenangkan yang ikut menyelimuti keduanya. []
© 2023, roketmu.