roketmu

satu nusa, satu bangsal.

Setelah mendengarkan nasihat Reo soal bagaimana ia yang tetap harus meminum suppressant lebih sering karena akhir-akhir ini feromonnya tak bisa terkontrol dengan baik, Rin rasanya ingin segera cepat-cepat masuk ke kamar lalu tidur dengan tenang. Ia bahkan sudah bisa membayangkan betapa nyamannya kasur empuk yang telah menanti kedatangannya di sana.

Walau seharusnya ia bisa mendapatkan hiburan lain sebelum tidur lebih dulu yaitu dengan sedikit menjahili Isagi Yoichi. Tapi anehnya hari ini tak ada satu pun notifikasi yang masuk dari kontak bernamakan ‘freak’ di ponselnya.

Apa Isagi memang sudah menyerah untuk bisa mendapatkan perhatiannya?

Omong-omong tentang omeganya itu, kehadiran Isagi itu bukan kehadiran yang Rin tidak sukai. Awalnya mungkin ia berusaha untuk membuat pemuda itu setidaknya takut dan memilih untuk menjauh darinya, tetapi sampai sekarang pun Rin tidak merasakan adanya ketakutan itu pada diri Isagi yang setiap hari selalu berusaha mendekatinya. Rin justru merasa bahwa apa yang Isagi lakukan terlihat konyol dan bodoh, mungkin juga—imut.

Jadi, jika boleh jujur, ia sedikit kecewa jika memang Isagi menyerah begitu saja untuk mengejarnya.

Shit. Kenapa jadi mikirin dia?”

Rin lantas kembali ingat pada tujuan utamanya sekarang yaitu untuk segera ke kamar dan tidur. Soal Isagi akan ia pikirkan lagi nanti, mungkin kali ini giliran Rin yang akan mengerjainya sungguhan guna membuat Isagi bahkan tak bisa lepas lagi dari sisinya dan hanya akan terus memperhatikannya?

Tetapi terkadang kenyataan memang tak selalu sama dengan harapan.

Buktinya ketika Rin baru saja membuka pintu kamar dan sudah bersiap untuk tidur, tubuhnya justru mematung begitu saja kala ia melihat sosok yang dari tadi ia pikirkan kini tengah duduk di atas ranjangnya dengan keadaan paling tidak terpikirkan—yaitu tubuh polos tanpa busana yang juga sedang memberikan senyuman lebar pada ke arahnya.

Ya, Isagi Yoichi benar-benar dalam keadaan telanjang tengah duduk di atas ranjang milik Itoshi rin sekarang juga.

“Tuan Muda Rin!” sapa Isagi ramah.

Fuck … lo ngapain?!”

“Menyambut Tuan Muda, bukannya para alpha suka dengan omega yang gak pakai baju?” Isagi langsung memasang wajah polos andalan upaya berusaha menyembunyikan tawa akibat melihat Rin yang masih berdiri di depan pintu dengan kakunya. “Aku juga omega yang tolol, bodoh, beloon gak bisa main bola, jadi seenggaknya aku mau coba untuk buat alphaku seneng dengan nyerahin diriku sepenuhnya, hehe…”

Dalam hati Isagi kini tersenyum puas. Mampus lo, sekarang gue beneran bertingkah tolol lo juga ikut kaget, kan?

Jujur saja sebenarnya Isagi pun jijik dan malu bertelanjang bulat di depan Rin langsung seperti saat ini, tetapi berhubung Isagi juga sudah nekat sedari awal ia ikut pelelangan omega waktu itu, harusnya untuk kenekatan selanjutnya tidak perlu dipertanyakan lagi bukan?

Sungguh dengan beraninya ia masuk ke kamar Rin yang untungnya tidak dikunci dan benar-benar langsung melepaskan seluruh pakaian yang menutupinya hanya demi membalas perbuatan semena-mena Beast manja kurang ajar di depannya saat ini.

Lagi pula mereka berdua juga sama-sama alpha, akan konyol sekali jika seorang Itoshi Rin yang merupakan alpha terkuat ikut terangsang melihat alpha lain telanjang di depannya, kan?

“Kata Pak Itoshi bahkan kita bisa langsung mulai dengan berhubungan seks,” kini Isagi perlahan membaringkan tubuhnya di kasur milik Rin, lalu mengulurkan satu tangannya pada pemuda itu dengan genit, “jadi, sini, Tuan Muda.”

Senyum nakal muncul di wajah Isagi sekarang, ia yakin bahwa setelah ini alpha impoten yang polos itu akan malu setengah mati lalu dalam hitungan detik sudah keluar dari kamarnya lagi.

Heh, membayangkannya saja sudah lucu bagi Isagi, karena dengan begini ia sudah bisa membuat alpha terkuat itu trauma akibat perbuatannya dan tidak akan lagi semena-mena untuk mengerjainya.

Isagi pun memejamkan mata penuh percaya diri untuk mendengar langkah kaki Rin yang akhirnya bergerak. Tetapi menyadari bahwa itu bukanlah langkah kaki menjauh, matanya kembali terbuka dan kini belum sempat ia memeroses keadaan, tiba-tiba ia mendapati tubuhnya sudah berada di bawah kukungan seorang Itoshi Rin dalam sekali kedipan.

Kedua mata mereka saling bertubrukan dengan jarak yang begitu dekat, membuat Isagi mendadak tak bisa bernapas karena keterkejutan yang begitu nyata. Belum lagi Rin benar-benar mengunci pergerakan Isagi dengan kedua tangannya yang digenggam dan juga kakinya yang ikut terjepit.

Mati gue.

Lantas yang Isagi bisa lakukan hanya kembali memejamkan matanya pasrah begitu wajah Rin kini mulai mendekat untuk melakukan entah apapun itu yang tidak bisa Isagi bayangkan.

“Yang kayak gini berani?”

Tapi nyatanya suara Rin terdengar lebih dulu yang disusul dengan dengusan remeh khas pemuda itu, membuat Isagi juga langsung membuka matanya cepat dan melihat pemuda itu akhirnya bangkit dari atas tubuhnya.

Kini giliran Isagi yang benar-benar membeku tak berdaya, bahkan ketika Rin sudah menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuhnya, Isagi masih terbaring kaku seperti mayat. Semua kejadian barusan terasa begitu cepat untuknya.

Fuck ... harga diri alpha gue …

“R-Rin, maaf-”

“Gua tau sebenernya lo juga gak tertarik sama gue, kan?” potong Rin cepat.

Isagi kini sudah bangun untuk duduk dengan selimut yang ia pererat untuk menutupi seluruh bagian tubuh polosnya. Ia menatap Rin dengan takut-takut, karena bukannya melarikan diri dan langsung pergi, tetapi Tuan Mudanya itu malah tetap hadir dan bahkan ikut duduk di tepi ranjang yang sama dengannya sekarang.

“Semua rayuan pendekatan lo yang tolol dan kaku itu terlihat setengah-setengah, mulai dari gimana lo yang ketahuan gak biasa panggil orang ‘Tuan Muda’, ketikan lo yang gak bisa menyesuaikan sebenernya lo mau pakai bahasa baku sama gua atau engga, bahkan gaya bicara berbeda lo sama temen lo yang lo sembunyiin dari gua, semuanya lo lakuin kayak gak serius dan lo sendiri kurang tertarik sama situasi lo yang jadi omega demi menggoda alpha.”

Anjing, gue langsung ketahuan, kah?

Isagi ingin membantah itu semua dengan kebohongannya lagi, tetapi suara Rin kembali keluar untuk melanjutkan ucapan tadi.

“Dan gua sendiri juga gak tertarik sama lo, jadi kita ada di posisi yang sama saat ini.” Rin pun menatap Isagi yang masih memandangnya dengan bingung, “Gua pilih lo di pelelangan semata-mata cuma mau buat Papa gua berhenti maksa gua datang ke pelelangan tolol itu, dan saat melihat lo di pelalangan pun gua juga merasa kalau lo bukan omega lacur yang nantinya akan merangkak demi bisa ditidurin gua.”

Bangsat, gue alpha!

“Jadi keluarin aja jati diri lo yang sebenernya di depan gua, gak usah pura-pura lagi, Isagi Yoichi.”

Mendengar itu lantas Isagi menghela napasnya gusar. Sial, jika sudah seperti ini tandanya ia tidak akan bisa mengelak lagi.

Isagi memang bodoh karena ia sendiri tidak memiliki banyak persiapan bahkan rencana matang-matang, yang ia tahu hanya bisa menaklukkan Rin, membuat alpha sombong nan manja ini jatuh ke pesonanya.

Tetapi perbuatannya selalu berbanding terbalik dari semua rencananya, yang ia lakukan justru terlalu ceroboh, terpancing akan emosi sesaat, lalu membuat dirinya kini terjebak atas kesalahan yang ia perbuat.

Lantas apa lagi yang harus Isagi lakukan jika Rin saja sudah tahu bahwa ia tidak berniat menjadi ‘omega’ sesungguhnya?

“Tapi gue mau berusaha, gunanya gue sebagai omega lo adalah itu, kan? Feromon gue cukup kuat untuk menarik alpha lain, kali aja lo bisa sembuh kalau terus sama gue.”

Masa bodoh, kalau begitu Isagi hanya bisa mengikuti bagaimana kemauan Rin dengan meruntuhkan kepalsuan image yang ia buat. Untuk persoalan rencana selanjutnya, biar ia pikirkan nanti saja setelah ini.

“Gua gak berniat sembuh juga.” balas Rin cuek.

“Terus masa kita mau diem-dieman aja? Lo gak rugi udah beli gue dengan harga sebesar itu? Atau lo mau jadiin gue temen lo aja?”

Mendengarnya langsung membuat Rin menatap sinis Isagi, sudah jelas ia tidak suka dengan usul itu.

“Tuh, kan, lo gak mau juga. Gue sendiri udah nyerahin semua hidup gue ke elo, jadi gue gak tau hidup gue mau dibawa ke mana lagi, sialan.”

Sayangnya fakta itu juga benar, akan lebih mudah jika Rin benar-benar menggunakan kehadiran Isagi di hidupnya dan bukan justru mengabaikannya.

“Lo sendiri kenapa bisa ikut pelelangan ini?”

Isagi menaikkan sebelah alisnya mendengar Rin tiba-tiba bertanya. Apa pemuda ini sekarang mencurigainya? Tapi tenang saja, Isagi juga adalah pembohong yang ulung jika soal mengarang cerita.

“Simpel, gue gak punya uang, lo sendiri tau gue udah gak ada orang tua.”

“Terus tau dari mana?” selidik Rin, karena menurutnya latar belakang Isagi sesuai data pribadi yang diberikan Reo itu seperti remaja normal yang bahkan tidak akan tersentuh dunia gelap seperti ini.

“Ini rahasia, tapi suatu hari gue ketemu salah satu orang kaya yang pernah mau rekrut gue buat ikut pelelangan ini karena dia bersedia jadi guardiannya. Lo pasti tau kalau guardian juga dapat uang besar soal ini, kan? Jadi lebih baik gue maju sendiri aja karena gue butuh uang yang lebih banyak.”

Rin mendengus remeh, “Gak menarik banget hidup lo.”

“Emang. Lo sendiri juga aneh, udah terkenal jadi Beast yang katanya setiap rut bakal jadiin orang samsak buat amukan lo yang gak bisa ngeseks. Pfth, alpha impoten.”

“Oh, shut up.”

Isagi kini menyeringai tipis, “Jadi lo pasti juga masih perjaka, kan, Rin?”

Look who’s talking.”

Rin mendecih sebal, sementara Isagi malah semakin ingin menggodanya.

“Terus tanggapan lo sendiri gimana sama kondisi lo sampai sekarang ini? Lo kesel gak udah sayang-sayang jadi alpha terkuat tapi lo malah punya kelemahan kayak gitu?”

Isagi bahkan sudah merasa bahwa lambat laun suasana di antara mereka kali ini tak lagi secanggung tadi, membuatnya tanpa sadar juga sudah ikut bersandar pada kepala ranjang sambil memperhatikan Rin dengan santai.

“Siapa yang tau kalau gua akan terlahir kayak gini? Orang-orang khawatir sama ras alpha terkuat yang ada dalam diri gua, tapi gua sendiri gak peduli. Kekurangan bahkan kelebihan jadi alpha terkuat ini gak penting karena gua akan tetap hidup dengan semau gua.”

Rin sendiri pun tidak masalah atas pertanyaan Isagi, ia tetap menjawabnya meskipun wajah mereka tak saling berhadapan, lebih tepatnya Rin yang menghindar karena tak ingin Isagi melihat ekspresi yang tengah ia buat saat ini.

“Betul itu, emang bagusnya lo gak usah peduli sama sekali.” Isagi mengangguk-angguk, “Karena secondary gender kita dengan segala kelebihan dan kekurangannya gak akan mempengaruhi diri kita yang sebenarnya. Mereka tau lo Beast, calon alpha terkuat atau apalah itu, tapi lupa kalau lo juga manusia, lo itu Itoshi Rin.”

Tapi balasan Isagi barusan membuat Rin langsung kembali memusatkan perhatiannya pada pemuda berambut biru tua yang kini sedang tersenyum tulus itu.

“Makanya juga gue gak peduli dan gak takut sama alpha-alpha kayak kalian biar pun gue ini omega, gue bisa aja bantai kalian satu-satu kalau kalian nyerang gue,” Isagi terkekeh singkat sebelum melanjutkan ucapannya, “karena sebelum gue jadi omega, gue adalah Isagi Yoichi, dan selamanya tetap Isagi Yoichi.”

Ah, begitu, ya?

Isagi yang tengah tersenyum bangga ini mungkin tidak sadar, tapi ucapannya barusan membuat Rin kini tersenyum tipis, hampir tidak terlihat. Siapa sangka ucapan dari omega yang sepertinya asal bicara ini mampu membuat Rin merasa sedikit ... lega?

Rin lagi-lagi mendengus geli, “Tapi tadi lo ketakutan pas gua mau serang.”

“Itu karena lo tiba-tiba! Jadi gue kaget!” bela Isagi pada dirinya sendiri.

Keheningan tercipta sejenak di antara mereka sebelum suara Rin akhirnya kembali terdengar untuk memecahkannya.

“Terus gimana?”

“Apanya?”

Rin kini menatap Isagi lebih lekat, “Lo masih bersedia untuk ikut bantu masa rut gua, kan?”

Yang ditanya terkesiap, “Yaa … oke aja? Gue siap jadi samsak lo, gue juga penasaran lo bakal berubah jadi kayak gimana nanti, apa gue langsung mati atau engga, hahaha.”

Ya, mungkin inilah rencana Isagi selanjutnya, walau ia harus jadi samsak sekalipun setidaknya ia bisa tahu kelemahan Rin. Kali saja dengan menjadi teman bertarungnya, mereka juga bisa memulai pendekatan yang lain atau bahkan lebih bagus lagi Isagi bisa menjadikannya sebagai peluang untuk melenyapkan Rin sebagai penerus PXG yang dibanggakan?

Ah, tapi sepertinya kalau sampai melenyapkan terlalu berlebihan? Kalau bisa Isagi tidak ingin ada pertumpahan darah di antara mereka.

Atau ... bagaimana kalau Isagi belajar hipnotis dari sekarang? Seperti ketika Rin sedang dalam masa rutnya yang tidak sadar, Isagi bisa mengendalikan pikiran Rin dan membuat alpha terkuat ini tunduk padanya. Maka dengan begitu penghancuran terhadap PXG akan lebih mudah untuk dilakukan jika Rin saja sudah menuruti perintahnya, bukan?

“Bukan jadi samsak, tapi cara lain seperti ajakan lo sebelumnya.”

Eh? Tunggu sebentar.

“Maksud lo?”

Semua bayangan dalam pikiran Isagi soal rencana tidak jelasnya mendadak lenyap digantikan oleh kebingungannya akibat ucapan Rin barusan.

Menemani rut tapi bukan menjadi samsak melainkan dengan cara lain seperti ajakan Isagi sebelumnya?

Oh! Rin lo beneran setuju mau kita ngeseks aja jadinya?”

Rin mendecih sebal ketika mendengar nada meledek Isagi yang menyebalkan.

Fuck. Lupain.”

Wajah Isagi juga langsung berseri, bahkan ia tak lagi bisa menahan tawanya.

Anjing, masa beneran segampang ini? Jadi gue hanya perlu kembali ke rencana awal gitu?

“Engga, engga, ayo, gue bersedia bahkan walau lo belum rut sekalipun. Ayo, kita ngeseks sekarang.”

Wait, gue udah bilang lupain, Isagi-”

Kini Rin justru panik karena tiba-tiba Isagi mulai mendekat ke arahnya dengan selimut yang perlahan turun dan kembali memperlihatkan bagian polos tubuhnya selagi pemuda kecil itu terus bergerak.

Gawat, wajah Rin langsung memerah matang dibuatnya.

“Kenapa? Gak usah malu, Tuan Muda Rin~”

Isagi kini tersenyum seperti orang mesum, puas menggoda Rin yang bahkan sekarang terlihat sedang kewalahan akibat berusaha menjauh sambil menangkis setiap sentuhannya.

Shit, gua gak ada pengalaman bahkan lo juga, kita gak tahu apa-apa soal ini, sialan.”

Ah? Bener juga.

Isagi akhirnya berhenti mendekat, membuat Rin dapat bernapas lega meski hanya sesaat karena sekarang pemuda itu justru langsung duduk di samping dirinya yang sudah terpojok di ujung ranjang sambil menatapnya dengan tampang polos andalan seperti di awal tadi.

“Kalau gitu kita coba aja dari hal yang paling mudah.”

Rin meliriknya curiga, “Apa?”

“Pelukan.”

Ha?

Kedua tangan Isagi langsung terentang lebar untuk menyambut Rin masuk ke dalam dekapannya dengan senang hati.

“Bangsat, gak-”

“Pelukan itu tahap awal untuk aktivitas sentuhan fisik,” potong Isagi cepat, “kalau lo beneran mau gue bantu saat rut dengan hal seperti yang lo bilang, kita bisa mulai dari sini. Tapi kalau lo emang gak mau, gue juga gak akan maksa kok, tenang, haha.”

Isagi terlihat begitu santai sementara Rin sendiri dilanda kegugupan. Otak dan hatinya kini tengah bertengkar dan memaksa ia untuk memilih apa yang sebaiknya harus ia lakukan.

Otaknya menyuruh ia untuk menolak pelukan Isagi karena gengsinya yang setinggi langit, sementara hatinya membujuk ia untuk setidaknya mencoba dulu pelukan Isagi yang terlihat sangat hangat tengah mengundangnya.

“Rin?”

Ah, sial.

Tetapi nyatanya ia lebih dulu jatuh kepada pesona Isagi sebelum dapat menentukan pilihan.

Karena begitu melihat Isagi yang kini tersenyum manis setelah memanggilnya dengan lembut, pertahanan Rin langsung hancur detik itu juga.

Masa bodoh. Isagi memang omega miliknya, kan?

Lagi pula mereka berdua sudah tahu alasan masing-masing terhadap perjanjian kontrak seumur hidup ini. Rin sendiri juga tidak masalah dengan kehadiran Isagi, ia merasa bahwa Isagi berbeda jadi tidak ada salahnya jika mencoba melakukan hal-hal seperti ini bersamanya, bukan?

Rin menghela napasnya pasrah, “Oke. Kalau gitu gua akan coba.”

Pupil Isagi membesar kala mendengar persetujuan Rin. Dengan gerakan perlahan tapi pasti, akhirnya Rin kini benar-benar mendekat ke arahnya.

Gawat, gawat, gawat.

Debaran jantung Isagi langsung berdetak lebih cepat di setiap gerakan yang Rin lakukan. Mulai dari bagaimana kedua tangan besar Rin meraih pinggang polosnya, sampai dagu pemuda itu yang kini bersandar di bahunya, napas Isagi kian ikut tercekat akibat sensasi aneh menggelitik di dalam perut yang membuat tubuhnya memanas.

Seorang Itoshi Rin sang Beast benar-benar sedang memeluk Isagi sekarang!

Isagi juga tidak mengira bahwa posisi pelukan mereka akan seperti ini jadinya, bahkan tangannya sendiri tanpa sadar sudah ikut melingkari bahu lebar Rin dan membuatnya bisa langsung mencium bau tubuh sang Beast dengan jarak sedekat ini.

Sialan, kalau seperti ini bukankah lebih berbahaya? Mereka berdua jadi bisa saling mendengar detak jantung masing-masing yang entah tidak diketahui siapa pemilik dari yang lebih cepat berdetak. Isagi bahkan makin dibuat terkejut karena mendapati Rin kini juga turut menempelkan hidungnya pada bahu Isagi, menimbulkan sensasi geli akibat hawa panas dari napas si bungsu Itoshi.

Dia nyium bau gue sekarang?

Isagi awalnya tidak percaya karena mungkin saja Rin berbohong soal tidak bisa mencium feromon orang lain, tetapi lain halnya dengan sekarang karena ia dapat membuktikannya sendiri.

Pasalnya Isagi sedang tidak memakai alat ramuan X untuk mengeluarkan feromon omega, ia juga sudah meminum suppressant penekan feromon alphanya agar tidak keluar. Lantas apa yang tengah Rin ciumi sekarang?

“Rin …?”

Rin juga tidak menjawab panggilan Isagi, yang hanya ia lakukan adalah tetap terpejam dan menghirup aroma alami tubuh Isagi dalam-dalam layaknya tak ada hari esok.

Entah, Rin juga tidak mengerti, yang hanya ia tahu bahwa detik pertama kali mereka berpelukan dan aroma Isagi masuk ke dalam penciumannya, Rin langsung merasa diselimuti oleh ketenangan dan kenyamanan yang sudah lama belum kembali Rin rasakan.

Rasanya seperti ketika pertama kali ia menghirup udara dingin menyegarkan di musim gugur dan seperti ketika ia baru saja pulang ke rumah setelah melewati perjalanan panjang yang melelahkan.

Rin menginginkan lebih banyak dan lebih lama lagi untuk menghirup aroma Isagi.

Lagi. Lebih banyak lagi.

Tanpa sadar hidungnya kini mulai berpindah tempat tak lagi di sekitar bahu melainkan leher dan juga dada Isagi. Bibir pun tak tinggal diam untuk ikut mengecup kulit halus yang terpampang polos di depannya, membuat ia tak kuasa menahan rasa ingin mencumbunya lebih dari sekadar ciuman.

Mmhh!”

Isagi menahan suara aneh yang berusaha keluar ketika ia merasakan mulut basah pemuda itu kini tengah menghisap permukaan kulitnya. Rin tidak melakukan itu dengan kuat tapi Isagi dapat jamin ia pasti meninggalkan jejak.

Lebih. Rin ingin lebih.

Selagi bibirnya sibuk melakukan pekerjaan utama, kini tangan besar yang tadi hanya berpegang pada pinggang halus Isagi, sudah ikut merembet ke bawah dan mengelus paha bagian dalam milik pemuda dengan mata seindah batu safir itu.

“Rin ...”

Tak kuasa menahan beban Rin yang semakin mendorong dirinya ke belakang, tubuh Isagi pun ambruk terbaring begitu saja di kasur dan membuat posisi mereka kembali seperti di awal Rin mengukungnya tadi.

Sontak akibat perubahan itu, kedua mata Rin yang sejak tadi tertutup kembali terbuka dengan cepat seakan kesadarannya baru muncul detik itu juga.

Tapi sepertinya itu bukanlah tindakan yang tepat untuk dilakukan, karena pemandangan di depannya saat ini justru lebih terlihat membahayakan—yaitu Isagi yang berada di bawahnya dengan leher dan dada memerah akibat perbuatannya, ditambah lagi wajah manis pemuda itu yang kini memberinya tatapan sayu lagi tak bertenaga.

Detik itu juga Rin merasa sisi buas dalam dirinya ikut bangkit yang membuatnya ingin meledak dalam seketika.

“Gua mau mandi.”

Akhirnya dengan sisa kekuatan dan kesadaran yang tersisa, Rin langsung bangkit dari kasur seraya menutupi setengah wajahnya, disusul oleh Isagi yang juga kembali meraih selimut untuk menutupi tubuh polosnya.

“O-oke? Gue balik ke kamar juga kalau gitu.”

Rin hanya menjawabnya dengan gumaman singkat sebelum ia akhirnya benar-benar masuk ke kamar mandi dan hilang dari hadapan Isagi.

Isagi yang juga merasa kesadarannya belum penuh segera ikut memakai kembali pakaiannya yang ia tanggalkan begitu saja di lantai sejak awal tadi. Walau ia sendiri belum bisa memeroses lebih jauh tentang apa yang baru saja tadi mereka lakukan, tetapi lebih baik ia pergi dulu dari kamar Rin dan setelah itu bisa Isagi pikirkan lagi setelahnya.

Tak jauh dari sana, Reo yang sedang tidak sengaja lewat di dekat kamar Rin dibuat bingung dengan Isagi yang baru saja keluar dari kamar milik Tuan Mudanya itu. Belum sempat mendekat untuk memanggilnya, tubuh Reo terperanjat begitu merasakan feromon Rin yang berasal dari kamar begitu besar dan langsung bisa ia ikut rasakan.

“Rin udah itu ... sama Isagi, kah?”

Tetapi anehnya Reo juga sama sekali tidak merasakan feromon lain kecuali milik Rin. Mungkinkah karena pengaruh obat? Tetapi harusnya obat khusus milik PXG hanya bisa untuk tidak mencium feromon omega, jadi harusnya Reo masih bisa juga merasakan feromon Isagi seperti ia merasakan feromon Rin sekarang.

Apakah feromon milik Rin terlalu kuat dan menelan seluruh feromon omega Isagi? Apakah Rin langsung melakukan scenting pada Isagi juga? Apa yang barusan sudah mereka lakukan sebenarnya?

“Ini … perkembangan bagus, kan?” wajah Reo langsung berseri bahagia, “Shit, gue harus kasih tau Pak Itoshi dan Kak Sae sekarang juga!”

Sementara Rin yang masih berada di kamar mandi tengah mengondisikan napasnya yang mulai tak teratur. Tubuhnya bahkan mulai memanas sampai ke ujung kepala, dengan gerakan tergesa-gesa pula ia meminum suppressant hanya dengan air keran di wastafel akibat feromonnya yang sudah kembali tak terkendali.

Apa lagi bayangan Isagi yang telanjang sambil menatapnya sayu dengan bau paling memabukkan tadi masih terus memenuhi pikirannya.

Sial, sial, sial.

Banyak pertanyaan muncul di kepala Rin untuk saat ini. Ia seratus persen percaya bahwa ia tidak bisa mencium dan merasakan feromon apapun. Ia juga yakin dan jelas tahu bahwa apa yang ia cium barusan bukan feromon tetapi aroma alami Isagi.

Tetapi mengapa ia bisa bereaksi sampai seperti ini? Apakah akibat dirinya yang tidak bisa mencium feromon, justru penciuman aslinya yang juga ikut menguat?

Atau ... memang Isagi Yoichi saja yang berbeda dari omega lainnya?

Fuck … Isagi Yoichi.”

Dan untuk pertama kali dalam hidupnya, seorang Itoshi Rin merasakan ada perubahan besar pada sisi alpha yang dimilikinya. []

© 2024, roketmu.

Aula yang begitu megah, tetapi diselimuti oleh segala hal yang begitu menjijikan.

Wajah Isagi mengeras untuk kesekian kalinya tiap kali menyaksikan betapa buruknya omega diperlakukan di hadapan hampir 100 alpha tersebut. Selagi ia menunggu gilirannya untuk dipanggil, ia melihat semua keburukan yang begitu sempurna tertampang jelas di depan matanya.

Para omega tersebut bergantian naik ke atas panggung dengan sangkar besar yang melindunginya, sedangkan para alpha yang menjadi peserta lelang asyik duduk manis di bangku penonton dengan topeng yang menutupi separuh wajahnya.

Tch. Lo semua ternyata tahu kalau yang lo lakukan ini buruk dan masih mau melindungi identitas diri lo semua, kan?

Belum lagi ketika Isagi mulai mendengar setiap ucapan yang keluar dari mulut-mulut kotor yang sangat menunjukkan ketidakmanusiaannya ini.

“Walau umur saya sudah 30 tahun, tetapi saya masih perjaka, saya gak masalah berapapun umur alpha yang mau menerima saya malam ini.”

“Kalau gitu kamu gak ada pengalaman sama sekali, ya? Lantas gimana bisa kamu memuaskan kami di atas ranjang?”

“Saya akan belajar ... jika Tuan ingin mengajarkannya.”

Halah, gak usah kamu pedulikan kakek tua tadi, Manis. Saya sendiri suka omega yang polos. Hei! Cepat mulai lelangnya, saya sudah mau menawar dengan harga tinggi!”

“Saya juga!”

Isagi sungguh ingin muntah mendengar percakapan seperti itu semua sejak tadi. Sungguh malang nasib para omega tersebut, mungkin sebagian besar dari mereka tidak memiliki pilihan dan harus mau merelakan dirinya kepada para alpha sialan yang kini menatap mereka penuh nafsu dengan hasrat ingin mendominasi.

Jujur saja Isagi juga alpha, tetapi Isagi bersumpah tidak akan mau memperlakukan omega seperti mereka ini. Karena ketika Isagi sudah menemukan omega pilihannya, Isagi akan menjadikan ia sebagai pasangan hidupnya, bukan justru sebagai budak seks.

Karena bagi Isagi, alpha, beta, dan omega, semuanya adalah manusia yang hidup berdampingan di bumi dengan keadilan yang harusnya setara.

Fuck. Gue muak.

Kalau bukan karena misi rahasia yang ia jalani kali ini, Isagi pasti sudah habis mengacaukan semuanya. Tetapi ia harus bersabar, apa lagi kini ia sendirian tanpa didampingi oleh Hiori atau Nanase seperti biasanya, dua bodyguard betanya itu hanya bisa mengawasi dari luar gedung karena tidak ingin ketahuan.

Sebab Isagi perhatikan sejak tadi, para omega tersebut harusnya memang memiliki pendamping yang berupa guardian untuk bertanggung jawab terhadap mereka, seperti yang mengurus omega tersebut sejak lama dan tahu betul data pribadinya, bahkan yang juga melakukan proses penyerahan resmi hak milik kepada sang alpha yang memilihnya.

“Omega nomor 11, sekarang giliranmu.”

Isagi mengangguk begitu kru yang di belakang layar sudah memberinya aba-aba untuk masuk ke kolong panggung. Ia segera berjalan dengan santai menuju ke sangkar besar yang kini terbuka untuk siap mengurung dirinya.

Hanya dalam hitungan menit, sangkar tersebut muncul perlahan ke atas panggung dan membuat Isagi benar-benar sudah ada di hadapan mereka semua seperti omega-omega yang terdahulu.

Kini Isagi juga bisa melihat pandangan bingung yang ditujukan kepada dirinya sekarang dan tentu saja ia sendiri tahu apa itu alasannya.

Pertama, Isagi tidak memiliki guardian. Kedua, Isagi tidak memakai collar yang melindungi lehernya. Padahal sebenarnya Hiori sudah memberikannya tadi sebelum Isagi berangkat pergi, tapi Isagi tidak ingin memakainya. Toh, dia alpha jadi itu percuma saja, bukan?

Guardian dan collarmu?” Pemandu acara pelelangan itu sendiri ikut panik melihat dirinya saat ini.

“Gak perlu. Saya bisa atur semuanya sendiri.”

Terasa seperti pick me boy karena Isagi ingin berbeda dari yang sudah-sudah, tapi memang tujuan Isagi itu ingin dpilih oleh Itoshi Rin sang Beast itu, kan? Jadi ini sudah termasuk rencananya juga.

Omong-omong, sebenarnya Isagi dan Hiori sudah berusaha menyelidiki lebih banyak soal Itoshi Rin ini, tapi mereka juga takut ketahuan bila sistemnya dilacak, bukan hanya oleh para anggota PXG melainkan juga BM.

Ingat, ini misi rahasia lebih dari rahasia negara.

Jadi, sampai detik ini Isagi hanya tahu nama asli dari Beast tersebut. Isagi tidak tahu bagaimana rupanya bahkan hidupnya, oleh karena itu biar Isagi cari tahu semuanya di sini. Pada pertemuan pertama mereka.

“Baik, kalau begitu kamu boleh mulai.”

Isagi mengangguk lalu mulai memperkenalkan diri kepada para peserta di hadapannya, “Saya Omega nomor 11. Laki-laki, umur 18 tahun, saya masih bersekolah, saya suka bermain bola dan makanan manis.”

Ia mengatakan yang sejujurnya kecuali nama asli, tentu saja karena identitas asli para omega dan peserta di sini ikut dirahasiakan.

“Dan ya … tentu saja saya juga masih perjaka dan tidak berpengalaman. Tidak ada yang spesial pada diri saya. Itu saja.”

Suasana yang menanggapi mendadak hening dikarenakan perkenalan Isagi terhadap dirinya sendiri begitu singkat dan tidak menarik. Tidak juga ada sesi Isagi menunjukkan pesona lewat wajah atau suaranya seperti para omega lain, Isagi benar-benar hanya berdiri cuek menatap mereka semua.

Tentu saja Isagi sendiri sadar akan hal itu, ditambah lagi pakaian yang ia kenakan pun hanya celana jeans biru dengan kemeja lengan panjang putih yang tidak mengekspos apapun pada tubuhnya.

“Hanya itu aja? Apa kamu gak punya kelebihan atau apapun untuk menarik para peserta?” bahkan sang pemandu acara kembali ikut berbisik untuk membantu dirinya.

“Kelebihan?”

Benar juga, Isagi tidak ada persiapan sama sekali untuk ini. Ujungnya, kalau ingin mendapatkan perhatian dari Itoshi Rin itu, setidaknya Isagi harus berpikir untuk menjadi sesuatu yang sangat menarik dan tidak ada pada omega biasanya.

Ya, yang tidak ada pada omega biasanya.

Tunggu, tapi gue ini alpha, jadi gimana bisa ... Ah!

Isagi tahu!

“Untuk kelebihan yang saya punya. Saya tidak pernah memakai collar seperti sekarang ini, karena saya tidak selemah itu dengan feromon alpha. Jadi, jika ada yang ingin mengeluarkan feromonnya, saya boleh persilakan untuk uji coba. Karena saya bisa jamin tidak akan ada yang ampuh.”

“Omega nomor 11, kamu serius?” tanya pemandu acara yang kini mulai panik.

“Seratus persen serius.”

Ya, iyalah, karena gue ini alpha. Isagi tersenyum miring setelah mengucapkannya dalam hati.

“Kalau dia gak bisa lemah terhadap feromon alpha, lalu gimana caranya bikin dia bisa tunduk dengan kita?” salah satu peserta kini baru menyahuti ucapannya.

Exactly, karena saya juga justru mencari alpha yang bisa membuat saya bertekuk lutut oleh feromonnya.”

Dan itu gak akan ada, dasar alpha-alpha tolol.

“Wah, menarik sekali! Omega nomor 11 ini mungkin bisa menjadi tantangan baru untuk para kaum alpha yang mau mendominasi!”

Setelah mendengar itu, para peserta mulai riuh dan berbicara terhadap satu sama lain. Kekuasaan dan kekuatan adalah hal yang sangat diagung-agungkan oleh para alpha, sudah pasti mendengar omega sebagai kaum minoritas terbawah mengatakan sesuatu yang meremehkan diri mereka, mereka tidak akan terima dan langsung berpikir untuk mempertahankan martabatnya.

Tetapi Isagi Yoichi tentu saja juga tidak akan membiarkan hal itu terjadi.

“Lalu kelebihan saya yang lain, justru feromon saya inilah yang bisa membuat kalian tunduk dalam seketika.”

“Feromonmu?”

Isagi menyeringai tipis.

Detik kemudian Isagi menekan alat ramuan X yang sejak tadi sudah tertutup perban pada bagian pinggangnya. Ramuan X yang telah berhasil dicuri oleh Hiori pada dua bulan lalu, ramuan X yang juga menjadi kartu AS untuk misi rahasia mereka ini.

Begitu alat ramuan X tersebut bekerja, saat itu juga Isagi mulai melihat semua alpha di ruangan ini mendadak pusing bahkan ada yang sudah bangkit dari kursinya, reflek berjalan mendekati panggung di mana Isagi berada.

Satu per satu dari mereka mulai kehilangan akal sehatnya dan ingin menyerang Isagi yang kini untungnya selalu terlindungi oleh sangkar besar. Siapa saja yang berusaha menyentuh sangkar akan langsung tersengat listrik dan itu terlihat sangat bodoh di mata Isagi, membuat ia sendiri tak lagi dapat untuk menahan tawa puasnya.

“Cukup, Omega nomor 11. Kamu sudah membuktikannya, sekarang kamu bisa meredakan feromonmu!” perintah sang pemandu acara beta itu yang mulai panik akan suasana heboh barusan.

“Oke.”

Isagi kembali menekan alat tersebut secara sembunyi-sembunyi seperti tadi, lalu dalam hitungan detik pula feromon yang dikeluarkan berhasil lenyap. Sungguh ramuan alat yang benar-benar canggih, ia bisa mengatur seberapa kuat feromon itu bisa keluar, bahkan Isagi sebagai pemakainya saja benar-benar tidak terpengaruh akibat ramuan X berbentuk obat yang ia minum sebagai penawarnya.

Lantas tak lama setelah aksi yang ternyata sangat menarik perhatian ini, para peserta di sana langsung mulai untuk berlomba-lomba menawarkan harga yang begitu tinggi untuk Isagi.

“10 miliar!”

“20 miliar!”

Wah, wah, bahkan sebelum dipersilakan sudah lebih dulu menawarkan harga! Kalau begitu langsung saja pelelangan terhadap Omega nomor 11 ini kita mulai dengan harga sebesar 20 miliar!”

“50 miliar!”

“70 miliar!”

“100 miliar!”

Wah! Menyentuh 100 miliar dalam waktu 5 menit! Nomor 11, kamu benar-benar omega yang spesial!”

Pelelangan terus berlanjut dengan harga jual yang semakin meningkat, sudah dipastikan mereka semua benar-benar para miliarder bahkan triliuner yang sepertinya hidupnya bukan di negera ini lagi.

“300 miliar!”

“500 miliar!”

“1 triliun!”

“Sungguh menakjubkan! Kini sudah menyentuh 1 triliun! Ini benar-benar suatu kehormatan, Omega nomor 11!”

Isagi mendecih, 1 triliun itu dikit, sialan. Gue gak mau dilelang seharga rumah yang lagi ayah gue dan Kaiser bangsat itu tinggali.

Tetapi tentu saja penawaran harga tidak sampai di situ, harga jual terus menaik dan kini bahkan sudah mencapai puluhan triliun.

“50 triliun!”

“70 triliun!”

Ah, Sial. 80 triliun! Ini sudah yang paling tertinggi sepanjang sejarah pelelangan omega, bukan?”

Isagi menoleh ke arah pemandu acara yang kini juga ikut kewalahan. Pasalnya dari harga tawar tersebut, penyelenggara pelelangan ini akan mendapatkan 30% keuntungan dari uang tersebut sebelum semuanya diberikan pada omega yang terpilih.

Namun bagi Isagi, ia tidak merasa senang sama sekali. Setiap nyawa dan hidup manusia itu tidak bisa ternilai dengan harga berapapun. Jadi Isagi tidak akan merasa spesial walau ia dibeli dengan harga paling tinggi sekalipun.

“Ya … 80 triliun! Hebat! Apakah masih ada yang ingin menawar harga yang lebih tinggi?”

Di saat semuanya mulai kembali riuh untuk berbicara satu sama lain karena tak lagi bisa mengikuti lelang tersebut, peserta yang menawar terakhir tadi sudah tersenyum bangga karena yakin bahwa pasti di sini tidak ada yang berani dan memiliki kekayaan sebanyak dirinya.

“Baik, kalau begitu Omega nomor 11 jatuh kepada peserta nomor 44 dengan-”

“111 triliun.”

Tiba-tiba interupsi dari suara peserta lain terdengar, membuat semua pandangan langsung tertuju pada di mana suara tesebut berasal, yaitu pada sosok dengan topeng berwarna hijau tosca yang kini berdiri di ujung paling belakang dengan satu tangan yang ikut terangkat menunjukkan papan bernomor 9.

Mereka semua lantas terkesiap oleh penawaran harga yang begitu tinggi, menandakan bahwa orang itulah yang paling terkaya di sini dengan kelas yang sungguh jauh di atas mereka.

Tetapi bukannya ikut terkejut, Isagi sendiri justru langsung memejamkan matanya seraya menghela napas lega.

Ah, akhirnya.

Isagi bukannya tidak tahu, tapi ia sudah merasakan ada sepasang mata yang begitu menusuk ke arahnya sejak ia memulai aksi tadi seakan ingin mengulitinya hidup-hidup. Bahkan kini tubuhnya ikut merinding hanya dengan suara yang baru saja ia dengar.

Siapa lagi kalau bukan Itoshi Rin sang Beast? Isagi berani bertaruh bahwa sudah pasti hanya dirinyalah yang mampu membuat seorang alpha seperti Isagi merasakan kewaspadaan yang begitu tinggi juga.

Wow! 111 triliun dari peserta nomor 9, apakah masih ada yang bisa menandinginya?” pertanyaan pemandu acara kini hanya dibalas keheningan oleh massa yang justru sudah menjawab semuanya, “Kalau begitu Omega nomor 11 jatuh kepada Tuan peserta nomor 9 dengan harga setinggi 111 triliun! Pelelangan selesai!”

Dengan begitu suara ketukan palu langsung terdengar menggema di satu aula, memberitahukan bahwa pelelangan terhadap dirinya benar-benar berakhir sekaligus menandakan bahwa dimulai dari detik itu juga Isagi Yoichi resmi sepenuhnya menjadi milik Itoshi Rin.

Kedua mata mereka kini saling bertatapan sebagai bentuk pengenalan awal meski dengan jarak yang cukup jauh di antara keduanya.

Sementara sosok pemuda berambut ungu yang tak jauh dari sana kini ikut terlihat lega tapi juga panik akan yang terjadi di depannya saat ini.

Bagaimana tidak? Di satu sisi, Reo bersyukur akhirnya Rin bisa juga menemukan omega pilihannya setelah sekian kali mereka ikut pelelangan bodoh ini. Lalu sisi yang lain ia juga panik dengan kelebihan yang omega itu miliki, pasalnya kini Rin tengah mengeluarkan feromon yang bisa membuat omega manapun pasti akan merasakan heat dalam hitungan detik.

Tetapi omega nomor 11 itu sungguh berbeda, dia hanya diam berdiri dan menatap Rin tanpa takut sedikitpun. Membuat Reo bertanya-tanya sebenarnya apa yang dipikirkan Rin ketika memilihnya?

Lo alpha yang gak bisa cium feromon siapapun dan dia omega yang gak mempan terhadap feromon apapun. Lantas lo pilih dia karena apa, Rin?

“Omega nomor 11, silakan kembali turun ke bawah lalu dibimbing oleh kru kami untuk membahas hal terkait selanjutnya.” ucap sang pemandu acara yang kini tak bisa melepaskan senyum dari wajahnya itu.

Isagi mengangguk menyetujui, membuat ia akhirnya berjalan menjauh dari panggung sekaligus memutuskan pandangan terhadap Itoshi Rin yang kini masih berdiri di tempat yang sama dengan lirikan mata yang masih mengikutinya.

Sepanjang berjalan bersama kru yang menuntunnya pergi ke tempat lain, Isagi kini mulai bertanya-tanya dalam benaknya.

Apakah ia akan baik-baik saja setelah ini? Bagaimanakah orangnya si Itoshi Rin itu? Apakah misi rahasia ini bisa berjalan lancar seperti yang dipikirkannya? Apakah Isagi benar-benar melakukan hal yang tepat?

Heh, jujur saja Isagi tidak tahu ke mana hidup akan membawanya pergi setelah ini. Tetapi demi mendapatkan pengakuan yang sesungguhnya dari sang ayah angkat, dirinya yang seorang alpha tulen pun rela menjalankan misi rahasia sebagai umpan yang berpura-pura menjadi omega dengan feromon paling memikat agar bisa menaklukan seorang alpha Beast yang bahkan tidak bisa mencium feromon siapapun.

Apakah Isagi benar-benar bisa menaklukkannya? Atau seperti kabar yang beredar ia hanya akan dikorbankan untuk menjadi samsak sang Beast dalam melewati masa rutnya?

Ketakutan pasti ada, tapi tekad pun tetap tidak pudar pada dirinya. Walau masih ada begitu banyak pertanyaan soal kemungkinan tidak jelas yang bisa terjadi pada dirinya setelah ini.

Namun, Isagi masih memiliki satu hal jelas yang selalu ia pertahankan sampai akhir nanti—yaitu dengan tetap menjadi si Isagi-tidak akan pernah menyerah-Yoichi.

Salam kenal dan mohon bantuannya, Itoshi Rin sang Beast. []

© 2024, roketmu.

Rin dan Isagi masih saling membeku dengan wajah yang tak kalah kaku ketika kembali mengingat ucapan yang dikatakan Mikoto beberapa saat lalu, tepatnya setelah mereka menyudahi diskusi bersama Shou dan Ciel tentang “cara” yang katanya akan membantu Minato untuk cepat sembuh.

“Namanya cara ‘10 pengakuan’, cara yang ada di keluarga kita untuk mengatasi pertengkaran. Kalau ada dari kami yang sedang bertengkar, Papa dan Yayah selalu suruh kita untuk saling duduk berhadapan sambil berpegangan tangan, lalu saling menyebutkan 10 hal yang disukai dari diri masing-masing lawan bicara secara bergantian.”

Ya, dengan cara seperti itu.

MANA ADA YANG KAYAK GITU BERHASIL? batin Isagi kini berteriak frustasi.

Pasalnya ia dan Rin sedang dalam hubungan yang buruk, Isagi saja sungguh enggan hanya untuk menatap matanya. Lantas bagaimana bisa ia kini harus berpegangan tangan lalu mengakui 10 hal yang ia sukai pada diri laki-laki itu?!

“Sial, bisa gila gue.” gumamnya, lalu ia pun menoleh ke arah Mikoto dan Gakuto yang tengah duduk bersama di sofa, “Kalian yakin cara ini bakal berhasil? Kalian gak lagi bohongin kita, kan?”

“Engga, Yayah. Iya, kan, Dek?”

Huum!” timpal Gakuto menyetujui jawaban sang abang.

Kemudian pandangan Isagi kini beralih pada Reo dan Sae yang masih berdiri di dekat pintu sengan senyuman lebar—terlihat sangat menanti apa yang akan dirinya dan Rin lakukan, yang justru membuat Isagi ingin melarikan diri sekarang juga karena malu.

Tetapi begitu sepasang bola matanya kembali fokus pada Minato yang berada di samping mereka, rasa bersalah sontak semakin menggerogoti hati dan pikiran Isagi detik itu juga.

“Minato beneran bakal mau makan dan sembuh setelah kami ngelakuin hal ini?” tanya Isagi dengan lembut sekali lagi.

Minato hanya menjawabnya dengan anggukan lemas tapi dengan senyuman penuh keantusiasan. Anak yang biasanya terlihat paling ceria dan aktif, kini terkulai lemas di atas ranjang dengan wajah pucatnya. Apa bisa Isagi tega dan tak mau menuruti kemauannya?

Akhirnya Isagi pun memberanikan diri untuk kembali menatap Rin yang nyatanya sejak tadi selalu memperhatikannya. Mereka berdua juga sudah duduk di kursi masing-masing, saling berhadapan, dengan ranjang Minato yang tepat berada di tengah-tengah mereka agar sang anak dapat melihat jelas ke arah keduanya.

“Ayo, kita lakuin. Demi Minato.”

Rin tidak menjawab, bahkan ia tetap diam saja ketika kedua tangan Isagi juga meraih miliknya—membuat mereka saling berpegangan tangan yang juga untuk pertama kalinya.

Rasanya hangat, sampai ikut membuat wajah Isagi memanas hingga si manis pun reflek melepaskan genggaman tersebut, “Gi-gimana kalau kita suit dulu aja siapa yang duluan?” usulnya untuk menutup kegugupan.

Bukannya mengiyakan, tapi sang bungsu Itoshi justru kembali meraih tangan Isagi di saat yang lebih tua belum juga selesai memeroses keadaan, “Biar gua aja yang mulai duluan.” dan ucapan tanpa keraguan itu hanya semakin membuat Isagi tak berkutik hingga memilih untuk menundukkan kepalanya.

Selagi Isagi masih bergelut dengan kegugupannya, Rin yang melihat itu diam-diam tersenyum dalam hati. Karena dengan begini Rin jadi semakin ingin mengutarakan semua yang ingin ia sampaikan dengan jelas.

Memang saat inilah waktu dan kesempatan yang tepat baginya untuk jujur pada Isagi sekaligus perlahan meluruskan masalah yang ada pada hubungan mereka saat ini.

Rin juga ikut melirik ke tiga anaknya yang kini masih menunggu sambil menatap mereka penuh rasa penasaran. Haha, betapa lucunya. Tenang saja, Rin akan dengan senang hati mengakui dan mengutarakan pengakuan-pengakuan soal hal yang ia sukai pada diri Isagi. Di depan mereka, di depan Isagi, bahkan di depan seluruh dunia jika memang perlu.

“Papa ...” Rin menggantung ucapannya sejenak hanya untuk tersenyum tipis pada Isagi yang bahkan tak bisa melihat itu, “suka sama mata milik Yayah.”

Mendengar pengakuan pertama milik Rin, satu ruangan langsung memberikan reaksi yang berbeda-beda—Reo reflek menutup mulutnya sambil menoleh ke arah Sae yang juga sama ikut terkejut di tempat, wajah ketiga anaknya langsung berseri, sementara Isagi yang tadi menunduk kini kembali menunjukkan wajahnya dan menatap Rin bingung.

Ah, ketika mereka bertatapan lagi, Rin bahkan semakin sadar betapa sukanya ia melihat kedua bola mata Isagi yang begitu bulat dan bersinar lucu.

“Yayah …”

“Ya?”

Merasa dirinya dipanggil, Isagi menoleh pada Minato yang tengah tersenyum manis.

“Sekarang giliran Yayah.” lanjutnya.

Isagi kini menelan salivanya gugup, pengakuan pertama Rin bagai menghancurkan tembok pertahanan yang sudah ia bangun sejak tadi untuk menghalau rasa malu. Diam-diam ia berharap Rin akan gagal pada percobaan pertama, tapi nyatanya laki-laki itu melakukannya seperti tidak ada masalah. Bahkan anak-anaknya juga tidak protes, menandakan bahwa Rin memang telah mengutarakan pengakuannya dengan jujur.

Sial, baru mulai tapi jantung gue udah berdebar gak normal!

Jika Isagi berbohong setelah ini pasti mereka akan segera mengetahuinya. Jadi sepertinya memang sudah tidak ada lagi celah untuk dirinya melarikan diri dari tempat ini dan juga kenyataan yang berada di depannya.

Selamat tinggal, rasa malu. Mohon bantuannya, keberanian.

Isagi pun mengembuskan napas panjangnya pasrah, “Yayah … Yayah suka Papa tiap lagi main bola.”

Dapat dipastikan wajah Isagi sudah semerah kepiting rebus saat ini. Ia bahkan tak dapat melihat langsung ke arah Rin setelah mengucapkannya, ia lebih memilih untuk melihat ke arah Mikoto dan Gakuto yang justru saling melempar senyum senang, menandakan bahwa tidak ada kebohongan pada jawaban Isagi juga kali ini.

Sementara Reo bahkan sudah menahan teriakannya beserta hasrat ingin merekam untuk memberi kabar kepada teman-temannya sekalian. Tapi tentu semua hal itu tidak akan ia lakukan upaya tidak ingin membuat Isagi melarikan diri.

Sorry, guys. Kali ini eksklusif yang di sini aja yang bisa tau!

Mendapati pengakuan seperti itu awalnya Rin juga hampir saja ikut kehilangan pertahanannya. Tetapi jika ia terus diam dan justru menunjukkan salah tingkah, ia hanya akan menambah kecanggungan pada mereka berdua. Oleh karena itu jalan satu-satunya adalah dengan menjahili Isagi seperti biasanya.

Ah, jadi lu pas gua lagi main bola suka terpesona, ya?” Isagi akhirnya kembali menatap wajah Rin yang kini tersenyum usil, “pantes aja gawang anak kelas lu kebobolan terus.”

Mendapati reaksi seperti itu hanya membuat wajah Isagi kembali memerah dan semakin terlihat menggemaskan di mata Rin, “Berisik! Itu bukan salah gue aja, ya! U-udah lanjut lo ke pengakuan kedua!”

Rin mendengus remeh, “Pede banget ada banyak hal yang bisa disukai dari diri lu?”

Ketika kalimat pertanyaan itu terdengar, langsung saja Isagi menoleh kembali pada Mikoto dan Gakuto, “Tuh, liat Papamu, gimana juga Yayah bisa ngaku kalau dianya aja senyebelin ini?” dan mengadu seperti anak kecil pada anaknya sendiri.

Mikoto ingin membuka mulutnya untuk segera menanggapi, tapi mendengar suara tawa Rin yang tertahan, ia mengurungkan niatnya dan justru jadi ikut tersenyum.

“Bercanda. Pengakuan kedua itu, Papa suka jahilin Yayah.”

Ih! Itu juga bukan sukaaaa!!!” protes Isagi kemudian.

Lalu seisi ruangan yang tadinya hanya diselimuti oleh kecanggungan dan keheningan yang cukup menyesakkan, kini perlahan mulai dipenuhi oleh kehangatan yang berasal dari tawa lepas mereka semua yang ikut melegakan. Bahkan Minato yang tadi berbaring saja sekarang sudah duduk tegap untuk ikut menyaksikan mereka berdua secara lebih jelas.

“Oke, oke, sekarang serius,” Rin kembali bersuara untuk mengambil perhatian Isagi, “kalau gitu Papa suka Yayah yang lagi bersemangat.”

Isagi yang tadinya berwajah malas, langsung menunjukkan seringainya dalam secepat kilat, “Semangat buat gebukin lo suka juga, gak?” karena ia juga ingin membalas keusilan si bungsu Itoshi sialan ini barusan.

“Gebukan semut maksudnya?”

Tapi lagi-lagi Isagi yang justru dibuat kesal. Detik kemudian terdengar rintihan kecil Rin ketika yang lebih pendek mencubit tangannya yang masih saling bergenggaman itu.

“Kalau di pengakuan kedua, Yayah … suka bulu mata bawah Papa yang lentik.”

“Kakak juga punya, Sa. Gimana? Suka juga dong?”

Sontak Rin menatap sinis abangnya yang baru saja ikut menimpali untuk meledek dirinya. Tetapi Isagi yang mendapati pertanyaan seperti itu justru terlihat panik dan tidak peka terhadap sinyal yang diberikan Sae.

“Bedaaa, Kak Sae lebih banyak dan jadi agak lebat, sementara punya Rin itu pas.” jelas si manis yang hanya membuat hati Rin jadi girang tak tertahankan.

“Bilang aja lebih ganteng gua ketimbang Abang.”

“Males!!!”

Reo yang ada di sudut ruangan ikut kembali tertawa lebar tiap mendengar ucapan-ucapan yang keluar dari mulut pasangan bodoh itu, seperti sedang menonton sitkom saja rasanya, “Ahahaha! Lanjut, lanjut, pengakuan ketiga!!!”

Pada pengakuan ketiga kali ini giliran Rin yang terlihat berpikir, lebih tepatnya berpura-pura berpikir untuk mengundang rasa penasaran Isagi yang diam-diam pasti sudah menantikannya. Hingga ketika pemuda bermata sebiru laut itu lengah, Rin menggunakan celah itu untuk mengelus punggung tangan Isagi dengan ibu jarinya perlahan.

“Papa suka Yayah yang sering peduli sama Papa.”

Isagi tertegun, entah karena sentuhan Rin atau ucapan pemuda itu barusan.

Cieee … botol minum, tuh!” sementara Reo asyik berseru penuh semangat seperti penonton bayaran yang disuruh menggoda selebriti-selebriti yang tengah tampil di panggung acara televisi.

Di sisi lain, Gakuto yang mendengar ucapan Reo justru langsung teringat akan sesuatu hal, lalu berbisik pada Mikoto di sebelahnya. “Abang! Botol minum yang Papa paling sering pakai itu, ya?”

Ssssttt! Iya, Adek. Itu pasti botol yang masih Papa simpan sampai sekarang!” balas Mikoto dengan kekehan singkatnya.

Isagi yang tertegun cukup lama akhirnya tersadar dan buru-buru mengalihkan pikiran dan perasaannya yang mulai terbawa suasana ini.

“Kasihan juga gak ada yang peduliin.” begitu ucapnya disusul dengan senyum meremehkan.

Rin hanya mengangkat bahunya cuek seraya berkata, “Gapapa, yang penting lu jadi peduli sama gua.”

Lagi-lagi ucapan yang keluar dari mulut Rin sangat telak untuk membalas serangan Isagi padanya. Si manis yang tidak mau semakin terlihat salah tingkah karena malu itu pun dengan cepat melanjutkan pengakuannya lagi.

“Ya-yayah juga suka kalau Papa caper sama Yayah, kelihatan beloonnya.”

Giliran Sae yang kini tertegun sejenak, “Rin pernah cari perhatian gimana ke Isagi?”

Wah, ditanya begitu tentu Reo akan dengan senang hati menjawab, “Sering, Bang! Kalau Isagi lagi cuekin Rin, adek lo ini suka caper cari masalah kayak gangguin dia, atau kalau caper yang gak mendasar itu, kayak tiba-tiba gak ada angin gak ada hujan, Rin pernah minjem anduk ke Isagi juga pas-oops!” tapi dengan secepat kilat juga ia menghentikan ucapannya ketika Rin sudah memberinya lirikan sinis mematikan.

Oh, begitu …”

Sae tersenyum lega ketika mengetahuinya. Karena dengan begini artinya Rin benar-benar sudah menemukan sosok yang membuatnya nyaman. Jadi, tidak salah jika memang nanti mereka akan berakhir menikah di masa depan, ia percaya Isagi adalah orang yang paling pantas dan cocok untuk mendampingi adik semata wayangnya itu.

Abang sangat merestui hubungan kalian berdua, Rin.


Lambat laun suasana yang dipenuhi kecanggungan tadi sudah berhasil hilang sepenuhnya di antara mereka berdua. Dengan begini semakin memudahkan juga untuk keduanya terus berterus terang tentang pengakuan-pengakuan selanjutnya yang masih harus diungkapkan.

“Pengakuan keempat, Papa suka muka kesel Yayah, kayak kucing.”

Isagi mendecih sebal, “Karena itu lo jadi nyari ribut terus sama gue?!”

Yup. Makin kesel, makin suka.”

Stop.” dengan wajah yang terus saja memerah, Isagi juga tak mau kalah dari Rin yang tak ada habis menggodanya, “Kalau Yayah suka wanginya Papa!”

Oh? Pantes juga jaket gua masih sama lu, ya?”

“Besok gue bakaaarrr!!!”

Gakuto hanya bisa tersenyum senang dalam diam mengetahui fakta bahwa jaket tersebut masih berada di atas kasur Isagi selama sang Yayah tidur. Namun Rin yang ternyata menyadari hal itu segera menatap ke arah Gakuto dan Isagi secara bergantian, lalu tanpa pikir panjang lagi ia justru kembali menemukan satu hal serupa yang ia sukai pada diri pemuda manis itu.

“Terus Papa suka senyuman Yayah juga, mirip kayak punya Adek.”

“Kenapa? Manis, ya?” Ledek Isagi.

“Iya, karena Papa orang yang jarang senyum, tiap ngeliat senyuman Yayah tanpa sadar Papa jadi bisa ikut ngerasa damai.”

Reo dan Sae kali ini benar-benar kehabisan reaksi dan hanya bisa menutup mulutnya untuk menahan teriakan gemas. Sungguh mereka berdua sangat bersyukur karena berada di sini dan bisa menyaksikan kelucuan mereka secara gratis.

“Mulut lo ikutan sok manis juga sekarang!” Isagi mengembungkan pipinya kesal, lagi-lagi ia kalah telak dalam berusaha membuat Rin salah tingkah, apa laki-laki ini sesusah itu untuk dibuat malu?

“Lanjut, Yayah.”

Hah, kalau begitu biarlah Isagi mengalah kali ini dan ikut memalukan dirinya sendiri.

“Yayah suka … uh, suka ketika Papa panggil yang lain dengan nama hinaan, Papa justru panggil Yayah dengan nama.”

Rin tertegun, tidak menyangka pengakuan itu bisa keluar dari mulut Isagi, “Yoichi?”

“ISAGI!!!”

“Tapi nanti juga jadi Itoshi Yoichi, kan?”

IH! GAK SUKA KALAU NGELEDEKKK!!!”

Kalau tidak sedang berada di depan anak-anaknya, Isagi benar-benar ingin menjambak rambut Rin saat ini juga untuk melampiaskan rasa malunya yang sudah di ujung tanduk. Ditambah lagi ketika melihat Rin selalu berwajah datar seolah tidak peduli terhadap ucapannya yang didasari keisengan belaka.

“Imutnya Yayah …”

Namun begitu mendengar suara lembut dari Gakuto yang juga sedari tadi tersenyum tak henti-henti, wajah Isagi kini tak lagi memerah malu melainkan merona karena terharu. Jika sudah seperti ini, Isagi mulai berpikir bahwa tidak buruk juga kalau ia melakukan hal konyol asal bisa membuat anak-anaknya tersenyum bahagia.

“Lanjut, ya, pengakuan keenam?” tanya Rin kepada anak-anaknya yang langsung bersorak menyetujui dengan penuh semangat, “Hm … Papa suka pipi gembil Yayah.”

“Gue tau gue gemes,” kemudian giliran Isagi yang kini tersenyum miring, pengakuannya setelah ini pasti setidaknya bisa membuat Rin malu atau sedikit terkejut, “kalau Yayah suka sama muka Papa yang ganteng.”

Tapi bukannya terlihat malu, Rin justru kembali mendengus, “Tau juga kok, makanya gak salah kalau anak kita lima.”

Sialan.

“NYEBELIN BANGET!!!”

Rin sangat tahu bahwa tadi Isagi pasti ingin membuatnya malu bahkan salah tingkah seperti di group chat waktu itu. Walau sebenarnya cara tadi memang hampir kembali berhasil menggoyahkan pertahanannya, tapi Rin cukup pintar untuk menyembunyikan hal itu dengan jawaban spontan barusan.

Oleh karena itu, ini dia balasan Rin untuk Isagi terhadap percobaan membuat dirinya lengah.

“Pengakuan ketujuh, Papa suka pinggang ramping Yayah.”

Bingo! Wajah Isagi sudah kembali semerah tomat lagi.

“Fo-foto yang dikirim Adek waktu itu berarti gak lo hapus?”

Rin mengangguk, “Gua jadiin wallpaper laptop soalnya.”

“KAK SAE ADEKNYA MESUM, NIH!”

“Bercanda, bodoh. Lanjut.”

Isagi mengembungkan pipinya tak terima. Namun jika berbicara soal fisik, sebenarnya Isagi juga bisa jujur untuk satu hal yang selalu ia idamkan selama ini dari diri Rin.

“Yayah juga suka, sih … sama badan atletisnya Papa.”

“Karena itu lu sering ngintilin gua kalau lagi yoga?” selidik si bungsu Itoshi.

“Ya, iyalah! Kan gue juga pengen punya badan bagus kayak lo. Tinggi, terus berotot, bisa one arm handstand kuat gitu padahal lo ini lebih muda dari gue … dunia gak adil banget.”

Isagi bukan hanya jujur, tapi ia juga sekaligus mengutarakan ketidakpercayaan dirinya tentang bentuk tubuh yang ia miliki, yang sontak membuat Rin sangat tidak suka mendengarnya.

“Gak usah, pinggang ramping dan pantat semok lu justru yang paling gua suka.”

Karena bagi Rin, Isagi sudah sesempurna itu di matanya.

“Sembarangan, lanjut!” Lagi-lagi cubitan kecil dihadiahi Isagi untuk Rin karena malu omongan mesum itu sudah didengar anak-anaknya bahkan Sae dan Reo di sudut ruangan.

“Papa suka Yayah yang baik ke semua orang walau kadang lihatnya juga bikin iritasi.”

“Bilang aja cemburu.”

“Emang cemburu.”

Skakmat.

Uh … Yayah suka Papa tiap lagi ngomong pakai bahasa Inggris walau Yayah gak ngerti kayak- hey, what do you mean? AM GANE KRASH YU!”

Rin membalasnya dengan dengusan geli tiap kali melihat usaha Isagi yang berusaha membuatnya kesal, “Nice try, Papa juga suka tingkah Yayah yang kadang bodoh tapi lucu kayak sekarang.” karena itu justru menjadi celah baru yang memancing Rin untuk menemukan pengakuan hal yang ia sukai pada diri Isagi dengan mudah.

“Gue gak pernah bodoh!” bantah si manis walau detik kemudian tetap melanjutkan pengakuannya, “Yayah suka kalau Papa cuek sama yang lain tapi ke Yayah engga.”

“Berarti suka kalau dispesialin, kan?”

“Yang bilang gak suka siapa emang?” balas Isagi sama tengilnya.

Walau memang awalnya dimulai dengan kecanggungan yang cukup lama, tapi kini tanpa sadar pengakuan-pengakuan tersebut sudah mau mencapai akhirnya yaitu pada pengakuan ke-10. Reo sendiri bahkan sampai heran, karena ia pun hampir lupa jika saja jarinya sejak tadi tidak menghitung pengakuan tersebut.

Laki-laki bersurai ungu itu lalu menoleh kepada tiga anak yang masih asyik melihat aksi lucu kedua orang tuanya beradu mulut, “Gimana? Mikoto, Minato, Gakuto? Papa sama Yayah kalian belum ada yang bohong sama sekali sampai sekarang?”

Minato menggeleng, “Belum. Tapi kalau yang terakhir ini bohong, maka Papa Yayah akan gagal dan harus mengulangnya dari pertama lagi dengan pengakuan yang berbeda.” jelas si kecil sambil menatap kedua orang tuanya secara bergantian.

“Tenang, Papa gak akan bohong.” ucap Rin percaya diri.

Sementara Isagi kini tiba-tiba kembali tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Pengakuan terakhir, ya?

Ya, Isagi sebenarnya cukup panik terhadap hal ini, entah karena bisa saja Rin akan berbohong dan mengharuskan mereka mengulangi itu semua demi menggodanya, atau karena Isagi yang takut jika pengakuan-pengakuan ia selanjutnya membuat Rin mengambil satu kesimpulan yang sejujurnya masih belum bisa Isagi akui—kesimpulan bahwa ia menyukai hal-hal yang ada pada diri Rin karena ia memang menyukai Rin.

Eh– tunggu, menyukai Rin?

Netra biru laut Isagi sontak terpaku pada sosok di depannya yang kini juga ikut menatapnya serius, menimbulkan perasaan menggelitik dalam dirinya, dan membuat pertanyaan-pertanyaan yang selama ini terpendam di kepalanya mulai muncul ke permukaan meminta ditemukan jawabannya.

Mungkin karena Isagi bodoh, mungkin juga karena jawaban tersebut masih belum bisa ia terima.

Isagi tidak tahu apakah perasaannya selama ini pada Rin sudah cukup valid untuk diartikan suka?

Isagi tidak tahu apakah dengan dirinya yang memang sering lebih peduli dan memikirkan Rin pertanda bahwa ia suka?

Isagi tidak tahu apakah dengan kehadiran anak-anaknya yang datang ke masa lalu ini memang sengaja membuat Isagi tidak memiliki pilihan lain untuk berakhir menjadi suka?

Isagi tidak tahu apakah dengan fakta bahwa ia tidak ingin Rin mencari pengganti yang lain kecuali dirinya bisa dikatakan suka?

Isagi tidak tahu apakah dengan dirinya yang kemarin kecewa ketika mendengar Rin mengatakan bahwa mereka berpacaran saja tidak mungkin itu karena Isagi memang sudah suka?

Isagi bahkan tidak tahu apakah sebenarnya ia memang tidak suka pada Rin, atau hanya tidak ingin mengakui bahwa ia menyukai Rin karena takut jika hanya dirinya seorang saja yang suka?

Namun begitu merasakan genggaman tangan pada miliknya mengerat yang disusul dengan ucapan lembut yang keluar dari mulut Rin, segala pikiran soal pertanyaan-pertanyaan bodoh yang menguasai Isagi langsung hilang dalam sekejap,

“Papa suka Yayah, karena udah jadi Yayah untuk 5 anak kita berdua.”

-digantikan dengan dirinya yang kini terjerat sepenuhnya oleh diri Itoshi Rin seorang.

Hening.

Satu ruangan menjadi hening setelah mendengar pengakuan terakhir dari Rin. Entah mereka ikut terkejut atau apapun itu, Rin sendiri tidak begitu memedulikannya, karena ia hanya menunggu reaksi Isagi di depannya saat ini.

Kini Isagi di depannya terdiam dengan mata yang masih menatapnya tak kunjung berkedip, membuat Rin mau tak mau menunduk untuk pertama kalinya demi mengurangi puncak kegugupannya.

Dalam hati, Rin berpikir bahwa Isagi mungkin terlalu terkejut dengan pengakuan kali ini, Rin juga berpikir mungkin Isagi terlalu bingung untuk membalasnya. Bahkan ia seperti sudah bisa membayangkan balasan Isagi untuknya setelah ini adalah sebuah ledekan belaka untuk mengatasi kecanggungan yang kembali tercipta di antara mereka.

“Yayah pun suka Papa, karena udah jadi suami Yayah dan Papa untuk 5 anak kita berdua juga.”

Tetapi begitu ucapan itu terdengar, sontak Rin mengangkat kepalanya dengan kedua mata yang melebar tak percaya.

Sebentar, apa ia tidak salah dengar? Atau ini hanya khayalan dalam bayangannya belaka?

Selagi Rin sibuk tidak percaya dengan apa yang baru saja ia lihat dan dengar, Isagi justru terkekeh dengan wajah yang kembali merona menggemaskan.

Ucapan Isagi beberapa detik lalu mungkin memang membuat Rin terkejut, tapi ucapan Rin lebih dulu tadi membuat Isagi menemukan jawaban yang selama ini ia cari.

Karena ketika Isagi mulai mempertanyakan semua hal itu pada dirinya sendiri, menandakan bahwa Isagi memang telah menyukai Rin sejak pertanyaan itu muncul sedari awal.

Ya, meski taruhan itu sudah dibatalkan, tetapi seorang Isagi Yoichi tetap mengaku kalah karena selama ini ialah yang memang sudah dan selalu menyukai Itoshi Rin.

Itoshi Rin yang berada di depannya saat ini. Itoshi Rin sang rival sekaligus musuhnya. Itoshi Rin yang membuatnya kagum ketika sedang bermain bola. Itoshi Rin yang sering cari perhatian kepadanya. Itoshi Rin yang menyebalkan. Itoshi Rin yang selalu mengajaknya bertengkar. Itoshi Rin yang sialnya sangat tampan. Itoshi Rin yang akan menjadi suaminya. Itoshi Rin yang nanti di masa depan menjadi Papa dari anak-anaknya.

Itoshi Rin.

Ah, sial. Bahkan sepertinya ini bukan rasa suka lagi, melainkan Isagi benar-benar jatuh cinta pada Rin.

Isagi menahan kekehannya begitu mengingat perkataan Ciel waktu itu saat memberitahu bahwa dirinya di masa depan begitu posesif dan sering cemburu, kini Isagi mulai percaya karena memang bisa saja ia seperti itu.

Oh, Isagi jadi tidak sabar menantikan saat itu. Namun sebelum semuanya bisa terjadi, mereka berdua tetap harus membereskan masalah di masa kini dengan mengembalikan ketiga anaknya lebih dulu ke masa depan, sekaligus agar takdir cinta dan jalan hidupnya bersama Rin tidak akan terubah.

Menyadari bahwa sejak ucapan itu keluar dari mulutnya telah membuat keheningan tercipta cukup lama. Isagi akhirnya benar-benar tertawa ketika melihat Rin yang akhirnya untuk pertama kali ini tak bisa berkutik atas pengakuannya.

Ahahaha, gimana? Papamu sampai bengong beloon gini, 10 pengakuan Papa Yayah tadi bisa diterima, gak?”

Lalu Isagi bertanya pada Minato sebagai juri penentu atas 10 pengakuan yang mereka utarakan. Sejujurnya ia sendiri tidak lagi peduli kalau memang harus mengulang dari awal. Toh, Isagi kini bisa dengan berani mengutarakan 100 pengakuan sekalipun karena ia sudah sadar akan perasaannya.

Namun belum sempat jawaban itu Isagi dengar, tiba-tiba tubuhnya dan Rin langsung ditubruk oleh Minato yang kini memeluk mereka berdua dengan begitu erat.

“Minato ... hiks, Minato juga suka Papa dan Yayah yang udah jadi Papa Yayah untuk kami berlima …” meski suaranya bergetar akibat isakannya, tetapi senyum haru yang Minato tunjukkan saat ini sudah menjelaskan perasaan sesungguhnya, “Minato saaaayang Papa dan Yayah!”

“Mikoto juga!”

“Adek jugaaa!”

Kedua anaknya yang lain pun bahkan langsung berlari mendekat demi bergabung untuk memeluk mereka berdua dan ikut menangis bahagia.

Oh, tidak. Isagi juga ingin menangis saja rasanya.

Tapi ternyata sudah ada yang lebih dulu melakukan itu sebelum mereka bertiga, yaitu Reo yang kini tengah menangis tersedu-sedu akibat terlalu terharu menyaksikan pemandangan keluarga lucu di depannya. Bahkan Sae juga ikut memberikan tepuk tangan sambil tersenyum bangga dengan mata yang berkaca-kaca.

BRAVO! ITOSHI FAMILY FOREVER!!!”

“Abang bangga dengan kalian berdua.”

Berlebihan sekali memang, tapi jusru karena tingkah konyol mereka berdua inilah yang membuat Rin dan Isagi akhirnya kembali saling tatap lalu tertawa bersamaan.

Mikoto yang menyadari bahwa suasana sudah kembali mencair di antara mereka pun tersenyum seraya berkata, “Mikoto pikir Papa Yayah bakal kehabisan ide, tapi ternyata jawabannya sama aja kayak di masa depan, walau yang di masa depan itu lebih …”

“Lebih apa?” tanya Isagi penasaran pada ucapan menggantung Mikoto.

“Beneran mau tau?”

“Gak jadi! Ah– Minato gimana? Apa bener sekarang kamu udah mendingan dan jadi mau makan?” dengan cepat Isagi mengalihkan pembicaraan tersebut dengan bertanya pada Minato, yang juga langsung mengundang tatapan gemas dari Mikoto untuk Yayah lucunya ini.

Minato yang ditanya begitu tentu langsung mengangguk semangat, “Mau! Minato rasanya udah bisa makan apa aja bahkan sayur brokoli sekalipun!”

“Kalau gitu biar Abang bantu suapin Minato, ya?” tawar Mikoto dengan mata yang berbinar penuh harapan.

“Gaakk! Minato udah gedeee!!!”

Rengekan Minato pun kembali mengundang tawa dari mereka berlima. Lalu di sela-sela anaknya yang kini asyik bercanda tawa, Rin diam-diam ikut mencuri tatapan pada Isagi walau berakhir tersipu malu ketika kedua mata itu bertemu.

Ada banyak hal yang sebenarnya ingin Rin sampaikan padanya, tapi sebelum itu ia teringat akan suatu hal penting yang perlu diluruskan saat ini juga bersama mereka.

“Mikoto, Minato, Gakuto.”

“Ya, Papa?”

Dipanggil begitu sontak ketiga anaknya menoleh untuk memberikan perhatian penuh padanya.

“Papa minta ma-”

“Yayah minta maaf soal omongan kasar Yayah sore itu.”

Tapi nyatanya ucapan itu telah dipotong Isagi lebih dulu yang membuat Rin dengan cepat menoleh bingung ke arah si manis.

“Isagi, tunggu,”

Bukannya berhenti, Isagi justru semakin melanjutkannya, “Yayah sangat salah dan pasti Yayah udah bikin kalian kaget bahkan sedih sampai sekarang ini, kan? Maaf … Yayah emang bodoh dan udah keterlaluan sama kalian. Yayah janji hal itu gak akan terulang, karena Yayah juga akan berusaha lebih baik lagi untuk kalian setelah ini, bahkan setelah Yayah udah kembali bersama kalian berlima di masa depan dan seterusnya.”

Rin tertegun selama beberapa saat, “Kembali bersama kalian berlima di masa depan ...?” ulang si bungsu Itoshi yang lagi-lagi merasa ada sesuatu yang salah pada pendengarannya.

Ah! Sama Papa juga! Kembali bersama Papa dan kalian berlima di masa depan. Jadi kalian gak perlu khawatir, Yayah pasti akan menikah sama Papa, dan cuma Papa Itoshi Rin aja.”

“Beneran, Yah?” tanya Minato memastikan.

“Isagi ...?” bahkan Rin sampai sudah tidak tahu harus bereaksi seperti apa lagi.

Isagi mengangguk dengan wajah yang sudah kembali merona hebat, “Bener dong, karena kalau Yayah gak menikah sama Papa, nanti Yayah gak bisa ketemu kalian lagi, gimana?”

Wajah ketiga anaknya seketika langsung berseri bahagia.

“Yayaaahhh!!!”

Woah!!!”

Isagi hampir saja terjatuh akibat pelukan ketiga anaknya yang kini semakin bersemangat. Sungguh ucapan Isagi barusan sangat amat berarti bagi mereka bertiga, karena dengan begini ketiganya bisa tenang dan selalu percaya bahwa kedua orang tuanya tidak akan berpisah dan mereka bisa kembali hidup bersama-sama di masa depan selamanya.

Sementara Rin yang tadi sempat terkejut selama beberapa saat, kini akhirnya kembali sadar dan ikut memperhatikan mereka sambil tersenyum lega. Namun ketika ia berusaha menatap Isagi untuk mencuri perhatiannya lagi, Isagi justru menghindari tatapannya dengan wajah memerah yang tak kunjung mereda.

Lucunya.

Sudah pasti setelah mengatakan itu semua membuat Isagi sangat malu sekarang. Tetapi Rin justru jadi tambah lega, dengan begini Isagi sudah memberikan sinyal lampu hijau untuk Rin agar segera menyatakan cintanya, sekaligus memberi pertanda bahwa kelanjutan hubungan mereka dan misi mengembalikan ketiga anaknya ke masa depan akan semakin berjalan lancar setelah ini.

Ternyata cara 10 pengakuan itu memang benar-benar berhasil. Entah apa yang dipikirkan Rin dan Isagi di masa depan ketika memutuskan untuk membuat cara ini, yang jelas Rin dan Isagi di masa kini sungguh berterima kasih kepada keduanya karena telah membantu mereka menyelesaikan masalah yang ada dengan cara yang tenang dan cukup mengasyikan.

Terima kasih, Rin dan Isagi yang ada di masa depan. Kami berdua berjanji akan tetap menghadirkan kelima anak kita di masa depan sehingga kalian semua dapat kembali berkumpul bersama seutuhnya, selama-lamanya. []

© 2024, roketmu.

Yeay!!! Akhirnya kita sampai!!!”

Yeay! Sampai!!!”

Bachira bersorak gembira begitu mereka sampai di parkiran. Isagi bahkan ikut tersenyum ketika melihat tiga anaknya turun dari mobil untuk ikut bersorak riang.

“Adek!!! Adek tadi mabok gak di jalan?” tanya Chigiri yang baru saja berlari demi menghampiri si kecil sambil ikut berjongkok di sebelahnya.

Gakuto menggeleng semangat, “Engga, Uncle! Adek seneng soalnya kita mau jalan-jalan!”

“Bener, apa lagi jalan-jalannya sama Uncle Meguru!” timpal Bachira yang langsung memeluk gemas Gakuto.

Isagi akhirnya ikut mendekat kepada tiga anaknya, terutama Minato untuk merapikan pucuk rambutnya yang terlihat berantakan akibat tadi tertidur lelap di mobil. Diam-diam ia mendengus geli sambil menatap kepala sang anak. Dari sekian banyaknya hal yang bisa menurun dari dirinya, hanya pucuk rambut Minato saja yang identik dengannya, itu pun hanya satu jambul yang berhasil muncul.

Tch, Gen Itoshi sialan yang mendominasi.

“Yayah, Yayah, pasti wahana di zaman Papa Yayah lebih sedikit dibanding di masa depan, ya?”

Haha, mungkin? Tapi di zaman Yayah udah seru, kok! Minato mau naik apa aja nanti Yayah bolehin!”

Guratan merah tipis langsung muncul di kedua pipi gembil Minato, “Bener, Yah?”

“Bener! Tapi apa, Bang?” Isagi menatap Mikoto agar sang anak melanjutkan ucapannya, “Tingginya harus mencukupi dulu, dan pastinya selalu diawasi sama Abang.” jawab Mikoto dengan senyuman tulus.

Ih!!! Dibilang Minato bukan anak kecil lagi!”

Rengekan Minato membuat Mikoto dan Isagi saling melempar tawa. Dalam hati pun Isagi bersyukur dengan suasana seperti saat ini, senyum seakan tidak bisa hilang dari wajahnya jika melihat anak-anaknya sudah akrab bahkan dengan para temannya.

Tapi kini senyuman yang tadinya terlihat manis itu seketika berubah menjadi senyuman sombong saat Isagi mulai membayangkan bahwa hari ini dialah yang akan memenangkan taruhan bodohnya bersama Rin itu.

Kenapa ia bisa berpikir seperti itu? Oh, tentu saja karena Isagi sudah sangat percaya diri dengan persiapannya yang mengikuti saran Chigiri waktu itu.

Benar, merayu.

Bagaimanapun juga ia percaya pasti Rin akan jatuh pada pesonanya, apa lagi persiapan matang tersebut dimulai dari pakaian yang ia kenakan saat ini, alias dengan memakai celana paling pendek yang ia punya.

Isagi percaya 100% kalau Rin itu mesum, makanya anak mereka bisa sampai 5 dengan jarak umur yang sangat dekat. Sebab tidak mungkin jika di masa depan adalah dirinya yang meminta untuk melakukan ‘itu’ lebih sering, jadi sudah pasti Rin saja yang tidak tahan dengan keseksiannya! Iya, kan?

Oleh karena itu, rencana Isagi kali ini adalah merayu Rin dengan selalu duduk berhimpitan dengannya, membuat Rin mau tidak mau melihat paha mulusnya, membuat pemuda itu salah tingkah, dan berakhir akan jatuh ke dalam pesona Isagi sepenuhnya.

Anjing, tapi kalau dipikir-pikir lagi gue malah jadi kelihatan kayak orang tolol yang genit banget?

Ah, tapi tidak apa kalau sekali-kali, ini semua demi memenangkan taruhan dari Rin yang kurang ajar itu. Isagi akhirnya mengangguk dan semakin tersenyum penuh percaya diri.

“Puas-puasin senyum sekarang karena tau nanti bakal kalah?”

Lalu suara Rin tiba-tiba terdengar bersamaan dengan dirinya yang juga ikut berdiri di samping Isagi.

Si pendek pun mendecih remeh menanggapi itu, “Gak terima kata-kata dari orang yang justru bakal kalah.”

Sebelum mereka kembali beradu mulut, suara tepukan tangan dari Reo segera mencuri perhatian mereka semua.

“Udah, yuk? Udah kumpul semua, kan? Gue mau langsung scan tiketnya biar kita bisa lebih dulu main.”

“Oke, Re!!!”

Satu per satu dari mereka mulai mengekori ke mana Reo berjalan karena ia sebagai pemimpin kali ini. Mendengar hal tersebut pula Isagi kembali menaruh penuh perhatian kepada anak-anaknya di sana.

Ah, Abang Mikoto sama Abang Minato selalu jalan di depan Yayah atau Papa, ya? Jangan jauh-jauh, kalau Adek digendong sama Papa aja biar gak capek.”

“Oke, Yayah!!!”

Mereka bertiga mengangguk serempak dengan senyum antusias tak sabar untuk segera masuk ke dalam.

“Sip! Ayo, kita ikut yang lain biar gak ketinggalan!”

“Tunggu.”

Isagi yang sudah bersiap untuk melangkah maju tiba-tiba harus berhenti akibat perintah Rin barusan. Belum sempat Isagi menoleh, pemuda itu lebih dulu tertegun dengan Rin yang tiba-tiba mendekat, merendahkan tubuhnya, lalu melilitkan pinggang Isagi dengan jaket miliknya.

“Terlalu pendek. Hati-hati di sini banyak yang bisa berniat buruk sama lu.”

Setelah mengatakan hal itu, Rin langsung menggendong Gakuto dan berjalan mendahului Mikoto, Minato, bahkan Isagi yang masih mematung di tempatnya selama beberapa saat.

“Yayah? Yayah kenapa mukanya merah?”

Ditanya begitu Isagi seakan kembali ditarik pada kenyataan saat ini dan reflek gelengan cepat ia berikan pada Minato yang penasaran.

“Engga merah! Yayah ... Yayah cuma lagi kepanasan! Iya! Kepanasan! Hahaha!”

Tentu saja berbohong adalah pilihan yang tepat untuk saat ini, karena tidak mungkin Isagi mau mengakui bahwa wajahnya memerah akibat apa yang baru saja Rin lakukan padanya! Bahkan bukan hanya wajahnya saja yang memerah, melainkan jantungnya ikut berdebar kencang dua kali lebih tepat!

ITOSHI RIN SIALAN!!!

Di dalam hatinya Isagi mengumpati banyak cacian untuk Rin karena ternyata laki-laki itu sudah mengambil start lebih dulu untuk memenangkan taruhan kali ini.

Padahal kalau saja Isagi tahu, kini Rin yang tengah berjalan bersama Gakuto dalam gendongannya pun tengah bergelut dengan pikirannya sendiri untuk memastikan bahwa tingkahnya barusan tidak bermaksud apapun.

“Iya, itu cuma jaga-jaga aja, jaket pun panas kalau dipakai sekarang sama gua. Itu pasti namanya bukan peduli dan gak mau paha dia diliatin banyak orang dan bahkan digodain, bukan pula karena posesif. Iya, kan, Dek?”

Huum!” timpal Gakuto yang sebenarnya tidak paham apa yang Papanya ini gumamkan.

Sementara Chigiri dan Hiori yang berada di barisan belakang ternyata ikut memperhatikan adegan roman picisan yang terjadi di depan mata mereka berdua sejak tadi.

“Lo yakin mereka bakal gapapa, kan?”

“Kayak orang tolol,” jawab Chigiri menanggapi pertanyaan Hiori, “tapi yang itu lebih tolol lagi.” lanjutnya sambil menunjuk ke arah samping,

“LEPASIN GU-HMPPHH!!!”

lebih tepatnya ke arah Kaiser yang tengah meronta-ronta tapi sedang ditahan oleh Karasu dan Otoya agar si keturunan bule Jerman ini tidak lepas untuk mengganggu kemesraan Rin dan Isagi.

Hiori pun terkekeh pelan, “Sekumpulan orang-orang tolol.” lalu diam-diam mengabadikan kedua momen tersebut dengan ponsel pribadinya.


Begitu sudah masuk ke dalam, mereka semua segera menghabiskan waktu yang ada untuk bersenang-senang seperti semestinya. Diutamakan mereka akan menaiki wahana aman yang memperbolehkan anak-anak untuk ikut, terutama Gakuto.

“Kalo gitu gua sama Bito dan Otoy mau naik kora-kora lagi, siapa yang mau ikut?”

“Minato!!!”

Reo menatap Shidou kaget, “Gila?! Gue bahkan mikir kayak mau mati tadi, Minato kamu serius mau naik lagi?” ia juga menatap Minato yang masih kepalang semangat.

“Belum puas, Re.” Karasu terkekeh, “Lu juga sini, Ser. Jangan lu ngintilin itu Isagi mulu, tai.”

“Bacot.” balas Kaiser karena memang ucapan Karasu benar bahwa ia selalu menatap sinis Rin dan Isagi dari jauh.

“Yaudah, gapapa, nanti kita tunggu di pohon yang di depannya gak jauh dari Halilintar, jangan sampai nyasar.”

Isagi mengangguk setuju atas peringatan Chigiri, “Bener, gue paling duduk-duduk dulu sama Adek di sini, kalian yang mau main di wahana lain, main aja.”

Minato mengangguk senang, “Siap, Yayah!”

“Hati-hati, Minato! Jangan lari nanti jatuh!” seru Isagi begitu melihat anak keempatnya itu berlari dengan semangat bersama Shidou dan Otoya yang menggandeng kedua tangannya.

Ah, omong-omong, sebenarnya rencana awalnya tidak begini.

Niat mereka semua itu ingin membuat Itoshi Family bersatu memiliki ruang dan waktu bersama, sementara yang lainnya menyingkir untuk bermain wahana lain. Tetapi sayangnya para SaShiMi ini juga tidak bisa menahan hasrat untuk bersenang-senang bersama anak-anak lucu itu.

Kadang Mikoto bermain dan bergabung bersama grup Reo, Yukimiya, Nagi, dan Hiori. Minato asyik bersama grup Shidou, Karasu, Otoya, dan Kaiser. Lalu Gakuto bersama Chigiri dan Bachira. Sementara Rin dan Isagi selalu bersama dan bergabung di ketiga grup itu secara bergantian.

Namun, bukan berarti dengan bermain bersama anak-anak tersebut membuat para SaShiMi ini juga lupa untuk ikut memperhatikan pergerakan Rin dan Isagi, sebagai tujuan mereka yang membuat keduanya sadar bahwa keduanya sudah saling jatuh cinta.

“Anjing, gak pernah gua kebayang sama sekali si bangsat Rin beneran tebar pesona demi bikin Isagi naksir dia.” begitu celetuk Otoya ketika berada tak jauh dengan Rin dan Isagi, menatap keduanya dengan pandangan jijik.

Karena memang benar bahwa selagi mereka sibuk berpindah dari satu wahana ke wahana lain, Rin selalu tebar pesona pada Isagi dengan cara seperti menggendong Gakuto sambil membawa tas milik Isagi sekaligus, mempersilakan Isagi untuk mendapatkan tempat duluan, membantu Isagi naik-turun wahana, apa saja ia lakukan karena ia tengah berusaha semaksimal mungkin agar Isagi tidak kelelahan.

“Gua juga gak kebayang Isagi bakal begitu. Tuh, liat kelakuannya udah kayak malewife sejati, buset.” timpal Bachira di sampingnya yang ikut memperhatikan mereka dengan senyum usil.

Yup, Isagi tak kalah tebar pesona, bahkan mencuri perhatian sebisa mungkin agar Rin setidaknya terbawa suasana dengan perlakuannya. Seperti tiba-tiba membantu Rin untuk minum ketika tangan si bungsu Itoshi itu penuh, bergelayut manja saat menaiki wahana menyeramkan, bahkan sampai mengelapkan keringat di wajah Rin dengan tisu.

Eh, eh, mumpung udah mau sore naik Bianglala, yuk?”

Reo tiba-tiba memberi usul karena saat ini mereka sudah mau kembali berkumpul semua untuk menaiki wahana yang sama lagi.

“Boleh! Adek gak takut ketinggian, kan?”

Menanggapi pertanyaan Isagi, Gakuto menggeleng pelan, “Engga, Yayah. Adek suka naik ini!”

“Oke! Kalau gitu Yayah panggil abang-abangmu dulu di sana, Adek sama Papa dulu.”

Begitu Gakuto mengangguk mengiyakan, Isagi langsung berjalan menghampiri Minato dan Mikoto yang sedang membeli minum bersama temannya yang lain.

Tetapi belum juga ada di setengah perjalanan, matanya kini sudah menangkap beberapa gadis yang tiba-tiba berjalan ke arah belakang di mana Isagi baru saja di sana, atau lebih tepatnya di tempat Gakuto dan Rin berada.

“Hai? Gue boleh minta nomor handphone lo, gak?”

“Gue juga!”

Bachira dan Otoya yang masih ikut memperhatikan pun saling lirik seakan mereka tahu apa yang ada di pikiran masing-masing. Iya, tentang Rin yang memang terlihat tampan, jadi tentu saja akan ada banyak yang berusaha mendekatinya.

“Bangsat, emang kalo normalnya pun tanpa tebar pesona kayak tadi, ini orang napas aja udah bikin siapa aja yang baru liat naksir, sih.” ujar Otoya memaklumi.

“Berarti elu naksir Rin juga dong pas pertama kali liat?”

“Engga, lah, gua naksir orang gak mandang fisik soalnya.”

“Tai.” Bachira terkekeh sebentar kemudian kembali melihat Rin, “Dia pasti gak nyaman, gua kasih tau dulu, dah.” ia pun menghela napasnya gusar, mau tidak mau akhirnya ia mendekat untuk membantu menyingkirkan orang-orang tersebut dari Rin.

Sorry, guys, dia-”

“Dia gak punya nomor handphone.”

Namun belum juga Bachira menyelesaikan kata-katanya, ucapan Isagi yang baru saja kembali lebih dulu memotong dan membuat keheningan sejenak di antara mereka.

Hah? Maksudnya?” tanya gadis yang tadi pertama kali bertanya.

“Iya. Karena handphone yang kita pake ini sama.”

“Kalo gitu akun medsosnya aja gima-”

“Gapunya juga soalnya dia sibuk.”

Gadis satu lagi kini menatap Isagi sinis karena pemuda itu selalu menyela mereka, “Gapunya? Haha, emang sesibuk apa, sih, anak muda zaman sekarang sampai gak punya sosmed bahkan nomor pribadi?”

“Sibuk urus keluarga. Gak lihat ini dia lagi gendong anaknya?”

Ow, shit.

Mendapati jawaban yang berupa pertanyaan sarkastik sekaligus senyuman dipaksakan, gadis-gadis tersebut pun langsung tersenyum kikuk tak mampu berkutik lagi.

“Sialan, ternyata udah nikah.” bisik gadis tadi.

“Yuk, sayang. Kita samper anak-anak lain yang masih jajan.”

Akhirnya Isagi pun melingkarkan tangannya di lengan Rin untuk mengajaknya pergi, tapi tak lupa juga sebelum itu ia memberikan pelototan maut pada gadis-gadis tersebut yang tanpa pikir panjang ikut melarikan diri karena ngeri.

Reflek Bachira dan Otoya saling pandang, lalu keduanya langsung menahan tawa usil seakan kembali tahu isi pikiran masing-masing.

Tahan. Tahan. Jangan digodain, jangan digodain.

Tapi ternyata tak hanya mereka berdua yang berpikir untuk menggoda usil, nyatanya kini Rin tengah menahan senyum atas tindakan Isagi barusan untuknya.

“Terpaksa bohong karena posesif suaminya terlalu ganteng?”

Isagi yang wajahnya kembali memerah langsung menggurutu sebal, “Berisik. Gue cuma gak mau Adek tadi kayak kebingungan dan gak nyaman.”

Oh? Kalau gitu harusnya tadi Adek aja yang lu bawa pergi,”

IH! RESE LO!!! Gue bareng Mikoto dan Minato aja kalau gitu!”

Untuk menutupi rasa malunya, Isagi dengan cepat berlari ke arah Mikoto dan Minato yang baru saja selesai membeli jajanan bersama Shidou dan Kaiser.

“Ayo! Kita antri duluan aja gak usah nungguin si Jelek!”

“Adek gimana, Yah?” Mikoto menatap Yayahnya bingung.

Sial, Isagi lupa Gakuto masih ada dalam gendongan Rin. Tapi karena sudah telanjur kesal, akhirnya ia tidak menjawab pertanyaan Mikoto dan memilih untuk menarik kedua tangan anaknya itu untuk langsung mengantri barisan.

Tapi ternyata Isagi beruntung, mereka hanya mengantri sebentar dan langsung bisa masuk untuk mendapatkan giliran duduk. Lalu akibat terlalu fokus untuk mengajak Mikoto dan Minato duduk lebih dulu, Isagi tidak menyadari bahwa ada orang lain yang ingin ikut masuk ke dalam bangku kincir giliran mereka.

“Boleh gabung? Cuma bertiga aja sama adek-adek kamu, kan?” tanya pemuda tidak dikenal itu.

Eh, itu ...” tentu saja Isagi terkejut, netra biru lautnya melihat ke sekeliling berharap Shidou dan Kaiser tadi berada tak jauh dari mereka, tapi dua orang bodoh itu sepertinya tertinggal di belakang.

“Itu apa?”

Isagi pasrah, orang ini sudah masuk jadi tidak enak untuk menolaknya, “Ah, itu maksudnya bo-”

“Gak boleh.”

Tapi kini giliran ucapannya yang tiba-tiba dipotong langsung oleh orang yang paling tidak ingin ia lihat kali ini.

“Gak lihat dia udah sama anak-anaknya?” lanjut Rin tanpa menyembunyikan wajah tidak sukanya.

Oh? Tadi kirain adeknya. Masih muda tapi udah punya anak.” Pemuda asing itu tersenyum ramah, tapi detik kemudian menatap bingung ke arah Rin yang tiba-tiba duduk di samping Isagi. “Lah, lo juga ngapain duduk di situ?”

Tanpa aba-aba Rin langsung meraih pinggang Isagi untuk makin mempersempit jarak di antara mereka, “Anak-anak gua juga. Ada masalah?” lalu tersenyum miring setelah puas mengatakannya.

Damn, pasusu muda.”

Melihat reaksi Rin yang semakin menyebalkan dan seperti ingin mengajak ribut, lebih baik pemuda itu juga segera melarikan diri secepat mungkin agar tak lagi terlibat.

Ketika pemuda itu benar-benar pergi meninggalkan mereka, tangan Isagi pun bergerak untuk menyentuh tangan Rin yang masih berada di pinggangnya, “Sekarang lo yang posesif karena suaminya terlalu lucu?” lalu tersenyum menggoda kepada Rin yang langsung membuang wajah ke arah lain.

“Gua juga lihat Mikoto dan Minato yang tadi kelihatan gak nyaman.”

Sementara teman-temannya yang ternyata kembali ikut memperhatikan adegan tersebut hanya kembali saling tatap dan seakan mengerti arti tatapan masing-masing.

Bahwa sejak awal datang ke sini, Rin dan Isagi memang terlihat berusaha melakukan segala hal untuk membuat satu sama lain kalah akan taruhan mereka untuk jatuh cinta lebih dulu.

Padahal asal dua orang itu tahu saja bahwasanya mereka tidak perlu berusaha sama sekali. Karena justru tindakan-tindakan natural seperti beberapa saat yang lalu itulah yang sudah membuat satu sama lain luluh tanpa mereka sadari.

Ck. ck. ck. Dasar pasangan suami-suami bodoh.


Tak terasa waktu akan berjalan lebih cepat jika kita menikmati kegiatan yang dilakukan di setiap detiknya. Setelah mereka menaiki berbagai wahana, istirahat, makan, banyak mengabadikan momen lewat foto dan video yang langsung dibagikan ke Shou dan Ciel melalui Whatsapp, akhirnya mereka sampai juga pada wahana terakhir yang akan dimainkan sebelum pulang yaitu carousel atau komidi putar.

Untuk itu Isagi kembali melihat ke arah anak-anaknya yang kini tengah bercanda tawa di bawah pancaran sinar lampu yang begitu memukau indah.

“Adek duduknya mau sama Papa atau Yayah?” Isagi bertanya seraya mendekati Gakuto yang masih berada dalam gendongan Rin.

“Sama Uncle Meguru, pleaseeee~” mohon Bachira dengan mata berbinar yang penuh harapan.

Gakuto terlihat berpikir sebentar sambil melihat ke arah mereka bertiga secara bergantian, lalu satu kesimpulan yang ia dapatkan membuat senyum di wajahnya semakin merekah.

“Adek sama Uncle Meguru aja supaya Papa duduk sama Yayah berdua! Hehe~”

Mendengar jawaban itu mereka semua lantas tak dapat menahan tawanya, apa lagi ketika melihat wajah Isagi yang kembali memerah matang.

“Gak bisa, Adek. Kalau kita naik berdua itu berat, nanti kasian patung kudanya, iya, kan, Pa?”

Isagi tersenyum tapi matanya melotot kepada Rin upaya untuk mengancam yang lebih muda itu untuk menyetujui ucapannya.

“Yayah betul, Adek.” Hati Isagi hampir bersorak gembira karena persetujuan itu, sebelum akhirnya kembali diredamkan oleh ucapan Rin selanjutnya. “Tapi kalau Adek mau Papa tetep sama Yayah, nanti Yayah naiknya jangan di kuda tapi Papa gendong aja di punggung, gimana?”

Gakuto yang justru mendengar jawaban tersebut lantas mengangguk dan semakin antusias.

“Mau! Adek mau lihat!”

HAHA! Papa bisa aja bercandanya!” Isagi kembali tertawa palsu dan detik kemudian terdengar rintihan kecil dari Rin karena Isagi menabok lengannya cukup kencang, “Saking lucunya sampai ada nyamuk! Sakit, ya? Sayangku?”

Para SaShiMi yang ada di sana ikut terkikik geli menyaksikan tingkah-tingkah lucu dari pasangan yang katanya sudah menikah di masa depan itu.

“Udah kayak pasusu beneran aja lu berdua,” Bachira bahkan tak dapat lagi menahan diri untuk tidak bersiul usil menggoda keduanya. “Lu, nih, pada lagi akting buat bikin salah satu dari lu berdua naksir duluan, kan? Tapi malah kayak PDKT beneran, jir! Hahaha!”

Merasa dianggap seperti itu, Isagi memilih untuk diam saja karena sejujurnya ia sendiri pun tidak mengerti dengan situasi yang terjadi sejak tadi. Ia bahkan hampir melupakan sejenak bahwa taruhan itu ada sebab ia terlalu fokus untuk bersenang-senang bersama Rin dan anak-anak mereka.

“Ini semua demi mereka bertiga.” dan karena diamnya Isagi, maka Rin memilih untuk menjawabnya dengan singkat.

Bachira menaikkan sebelah alisnya, “Demi mereka bertiga berarti demi masa depan lu berdua juga, kan?”

Isagi kini benar-benar membeku begitu mendengar pertanyaan itu muncul kembali. Pertanyaan yang sebenarnya juga selalu Isagi tanyakan pada dirinya sendiri, yang tentunya akan menentukan hubungan apa yang sebenarnya Rin dan Isagi ini tengah jalani.

“Untuk sekarang, gua pacaran sama Isagi aja gak mungkin, apa lagi nikah di masa depan? Bahkan sampai sekarang dia belum suka juga sama gua.”

Tapi nyatanya begitu jawaban yang ia dengar dan keluar langsung dari mulut Rin. Jawaban yang sebenarnya wajar, tapi entah mengapa bukan jawaban yang ingin ia dengar.

Isagi tersenyum getir, dadanya bahkan ikut sesak karena ia tidak mengerti mengapa mendengar hal tersebut membuatnya bisa sekecewa ini?

“Betul, haha. Tugas kita di sini cuma ngembaliin mereka. Jadi setelah mereka kembali ke masa depan, kita yang di masa kini akan hidup seperti biasanya dan gue pun yakin kita gak akan berakhir nikah,”

Lalu atas dasar kekecewaan yang tak dimengerti itu Isagi melepaskan semuanya lewat kata-kata yang entah mengapa tak bisa berhenti untuk ia utarakan, membuat suasana mendadak canggung hingga para teman dan anaknya terdiam.

Tak lagi ada gelak tawa bahkan raut wajah gembira.

“Karena gue kayaknya juga tahu kalau pasti kedatangan mereka bertiga ke masa lalu ini semata-mata mau mencegah gue dan Rin untuk gak saling jatuh cinta dari sekarang sebelum kita akhirnya mutusin buat nikah. Oleh karena itu, gue bakal ubah takdir di masa depan, dengan gue cari orang lain kecuali Rin, seperti yang gue bilang waktu itu.”

Mereka semua tersentak secara bersamaan begitu mendengarnya, apa lagi Mikoto dan Minato yang langsung terdiam kaku di tempat. Chigiri yang menyadari itu ingin segera menghentikan Isagi untuk berbicara aneh-aneh, menganggap semua ini bercanda dan ingin segera suasana kembali dicairkan oleh tawa mereka.

“Setelah mereka kembali ke masa depan? Logika apaan kayak gitu?”

Tetapi pertanyaan Karasu sudah terucap lebih dulu yang justru kembali memperkeruh suasana. Kini bahkan benar-benar tak ada lagi nada canda atau santai yang keluar dari mulutnya, melainkan nada serius yang menahan amarah.

“Gimana bisa mereka ada di masa depan kalau lu berdua aja gak nikah?” Karasu terkekeh miris, “Itu sama aja dengan secara gak langsung lu berniat untuk menghilangkan keberadaan mereka juga di masa depan.”

Begitu kalimat tersebut Isagi dengar, pandangannya sontak langsung tertuju kepada tiga anaknya yang kini menatap Isagi dengan bingung, sedih, dan juga takut. Oh, tidak. Kini ia merasa seperti tenggorokannya tercekat bahkan matanya mulai memanas tanpa bisa ia tahan lagi.

Haha? Isagi pasti bercanda gak, sih? Gak mungkin lu mikir gitu, kan, Sa?” Bachira langsung mencoba mencuri perhatian kala kecanggungan menyelimuti mereka semua.

Ya. Harusnya Isagi tidak berkata seperti itu, harusnya Isagi bahkan juga tidak berpikir seperti itu. Tapi semua itu sudah terlambat karena ia telah mengutarakannya, pada teman-temannya, anaknya, bahkan Rin yang kini ikut menatapnya penuh tanda tanya.

Ah. Isagi ingin pergi dari sini.

“Gu-gue mau beli jajan lagi.”

“Mau beli apa? Biar gua aja-”

“Gak perlu.” Isagi menolak tawaran Rin dengan cepat, “Ayo, Gakuto.”

Lalu untuk mengakhiri pembicaraan dan juga lari menghindari situasi kali ini, Isagi menarik Gakuto pergi tiba-tiba. Meninggalkan mereka semua yang juga masih dalam keadaan bingung apa yang sebaiknya mereka lakukan.

Untuk mempercepat jalannya Isagi bahkan menggendong Gakuto seperti yang tadi Rin lakukan, seberusaha mungkin ia berjalan, atau berlari, diharapkan segera menjauh dan tak dapat lagi dihampiri.

“Yayah ... Yayah nangis?”

Isagi menatap Gakuto yang kini ikut menatapnya khawatir, tapi ia tetap membalasnya dengan senyuman terbaik yang ia mampu kali ini.

“Engga, sayang. Yayah kelilipan.”

Sebab karena raganya yang sejak tadi sibuk berlari, Isagi sampai tidak menyadari bahwa air matanya sudah ikut jatuh sedari tadi. []

© 2024, roketmu.

Begitu lokasinya telah dikirimkan oleh Bachira, tanpa pikir panjang lagi Rin segera mempercepat laju motornya dua kali lipat dari biasanya. Beruntung lokasinya tidak begitu jauh, lagi pula Rin juga bisa melacak lokasi Isagi melalui GPS ponsel si manis yang untungnya masih menyala.

Tetapi di sepanjang perjalanan, rahang Rin tak berhenti mengeras begitu pikiran-pikiran buruk selalu terlintas di otaknya. Apakah Isagi akan benar-benar menemukan pengganti dirinya? Apakah Isagi seingin itu untuk mengubah takdir masa depan mereka? Walau tetap yang paling mengkhawatirkan adalah ... apakah Isagi masih baik-baik saja di sana?

Rin tahu ia bertingkah bodoh. Ia terlambat menyadari bahwa ucapannya sudah keterlaluan dan telah membuat Isagi kecewa. Walau sebenarnya ia sendiri tidak mengerti harus menanggapi persoalan jatuh cinta itu dengan bagaimana, dan ia juga akan semakin tidak mengerti jika tanggapan Isagi justru berbeda dengan yang seharusnya.

Wajar, kan? Bila Rin belum mengerti oleh hal-hal yang sama sekali tidak pernah terpikirkan dalam hidupnya?

Rin menghela napas gusar, tak ingin tenggelam dalam lamunan terlalu lama, pemilik netra toska itu kembali melihat ke peta menuju Club yang Isagi datangi, tetapi dahinya langsung berkerut seketika mendapati posisi asli Isagi justru berada di luar Club tersebut.

“Ini Cebol ke mana lagi, sih? Atau dia udah mau pulang?”

Tiba-tiba perasaan Rin menjadi tidak enak karena begitu ia sampai, peta tersebut ternyata mengarahkannya pada gang sempit nan sepi akibat sudah memasuki waktu menuju tengah malam. Akhirnya tanpa perlu berlama lagi Rin turun dari motornya dan bergegas ke tempat di mana Isagi berada saat ini.

“Isa-”

Namun panggilan Rin langsung menggantung begitu ia hanya mampu melihat kepala Isagi yang terhalang oleh beberapa orang yang menghimpitnya.

“Lo sendirian, kan? Ayo, ikut kita kalau gitu,” ucap salah satu pria berambut cepak.

“Gue pengen sendiri, minggir sebelum gue pelintir biji lo satu-satu!”

Mereka tertawa mendengar Isagi yang lebih mungil dari mereka ini nyatanya berani untuk melawan juga. Hingga satu pria yang lain meraih dagu Isagi seraya berkata, “Kita cuma seneng-seneng, Manis. Lo mau kita ajak baik-baik atau langsung kita pak-”

“Singkirin tangan lu semua dari dia.”

Lantas mereka yang ada di sana berjengit kaget begitu suara rendah Rin lebih dulu memotong ucapan tersebut. Terlebih lagi Isagi yang kini langsung dapat melihat wujud Rin dengan tangan mengepal kuat, bahkan raut wajah dingin yang sungguh membuatnya ingin cepat-cepat melarikan diri dari tempat ini sekarang juga.

“Rin ...”

Salah satu dari mereka pun langsung menghadap Rin dan bersuara, “Siapa lo? Jangan ikut campur dan ganggu urusan kita di sini.”

“Urusan kalian?” Rin mendengus remeh, “urusan kalian itu udah ada yang punya.”

“Hah? Siapa?”

“Gua,” kemudian Rin melirik Isagi yang masih terdiam kikuk di sana sebelum melanjutkan ucapannya, “suaminya.”

Orang-orang itu serempak terkejut, tetapi tidak lebih terkejut dari Isagi saat ini. Beruntung sekarang sudah malam dan area sekitar menjadi gelap, jika tidak, Rin akan dapat langsung melihat semburat merah di pipi Isagi akibat ucapannya barusan.

“Lah, udah nikah ternyata?” tanya pria berambut cepak itu sebelum mendesah kecewa, “Maleslah. Cabut aja, Coy!”

Kemudian orang-orang itu berlalu pergi begitu saja tanpa mengucapkan sepatah kata lagi, meninggalkan ruang dan waktu kepada Rin yang kini masih menatap Isagi dalam sunyi.

Diamnya Rin dengan aura gelap yang memancar kuat saat ini membuat Isagi rasanya ingin ikut melarikan diri bersama orang-orang tadi walau ia tahu keinginan konyol tersebut tak akan pernah terwujud.

Akhirnya dengan segenap keberanian pun ia memilih untuk bersuara, “Kalau mau marah, marah aja sekarang.”

Lalu Isagi menolehkan kepalanya ke samping untuk menghindari tatapan dan amukan Rin setelah ini, entah mau dimaki-maki tolol atau apapun itu, Isagi pasrah.

Tetapi alih-alih mendapati itu semua, justru Isagi dikejutkan dengan Rin yang tiba-tiba bergerak mendekat dan langsung menarik ia masuk ke dalam dekapannya.

“Gua ... gak telat, kan?”

Isagi tidak menjawab pertanyaan itu karena sungguh ia belum bisa memeroses keadaan saat ini sepenuhnya. Bagaimana suara Rin yang begitu rendah terdengar di telinganya, usapan tangan Rin pada helai rambutnya, juga rengkuhan lembut tangan Rin yang lain pada pinggangnya.

Tuhan, Isagi rasanya seperti ingin meledak.

“Mereka udah ngapain lu aja tadi? Kalau lu mau gua bisa patahin tangan yang udah nyentuh lu.”

“Gu-gue gapapa, jangan lupa gue juga cowok.” tapi akhirnya Isagi berhasil bersuara meski sedikit gugup.

Lelaki bersurai hijau gelap itu tersenyum lega, kemudian melonggarkan sedikit pelukannya agar bisa melihat wajah si manis saat ini.

“Terus tadi jadi ke Club?”

Si manis langsung menoleh ke arah lain sambil mengerucutkan bibirnya malu, “Gak berani.”

Mendengar itu tentu saja Rin tak bisa untuk tidak terkekeh sekaligus membuat Isagi makin malu dan jengkel akibat tindakan gegabahnya sendiri.

“Kalau masih minum antimo pas naik mobil gak usah sok makanya.”

“Berisik.”

Tetapi mengingat bahwa tindakan Isagi yang nekat seperti ini akibat ucapan keterlaluannya, Rin kembali diselimuti perasaan bersalah dan ia rasa Isagi juga perlu mengetahui penjelasannya.

“Maaf ... Isagi.”

“Maaf?” ulang Isagi yang kini terlihat bingung.

“Soal tadi, gua sadar omongan gua itu keterlaluan walau maksud gua sebenernya bukan begitu. Gua ... hanya gak tahu mau menanggapinya kayak gimana dan malah berakhir bikin lu marah. Maaf, Sa.”

Selesai Rin mengutarakan isi hati dan juga permintaan maafnya, suasana kembali tenang dan sunyi. Isagi masih tertegun selama beberapa saat sambil mengerjapkan matanya berkali-kali. Karena jujur ini adalah kali pertama ia mendengar rentetan kalimat terpanjang yang keluar dari mulut Rin selama ia kenal dengan adik dari Itoshi Sae itu.

Apalagi kini Rin membuat ekspresi wajah bersalah yang juga terlihat lucu di matanya. Memberikan efek embun-embun putih seakan ikut muncul di sekeliling mereka yang membuat hati Isagi menghangat dalam seketika.

“Gue ... juga salah karena udah bikin lo dan mungkin yang lain khawatir, jadi maaf juga ... Rin.”

Akhirnya Isagi menundukkan kepalanya lagi, entah karena malu atas perbuatannya, atau entah karena ia tidak sanggup untuk bertatapan dengan wajah Rin yang hanya membuat debar di jantungnya semakin menggila.

“Kalau gitu jangan, ya?”

Tetapi suara rendah Rin yang kini terdengar seperti bisikan itu kembali membuatnya penasaran, “Jangan apa?”

“Jangan cari yang lain.”

Kali ini Rin juga menatapnya serius yang membuat rona merah di pipi Isagi kembali muncul tanpa bisa dicegah lagi.

“Ta-tapi lo, kan, gak mau suka sama gue,”

“Lu juga,” bela Rin.

“Gue gak bilang gitu! Gue cuma ... cuma gak mau mulai aja.”

Rin mendengus pelan, “Gengsi? Padahal gua ganteng.”

Isagi mendecih sebal dan reflek mencubit perut Rin saat itu juga yang justru membuat si Itoshi bungsu malah terkekeh lepas dan berakhir kembali mengeratkan pelukan mereka berdua.

“Jangan bikin anak-anak khawatir lagi.”

Isagi mengangguk dan membalas pelukan Rin dengan sama hangatnya, “Iya, engga.”

Kemudian keduanya tersenyum secara bersamaan tanpa bisa dilihat oleh masing-masing insan. Pikiran-pikiran buruk yang sejak tadi berada dalam otak Rin pun akhirnya sirna berkat ucapan Isagi dan kehadiran si manis yang baik-baik saja.

Kini yang bisa Rin pikirkan hanya ingin memberi kabar kepada anak-anak mereka bahwa Isagi selamat dan mereka bisa segera pulang.

“Mau pulang, Sa?” tanya Rin akhirnya.

“Mau, tapi lepas dulu pelukannya,”

“Lima menit lagi. Anget.”

Karena berada dalam pelukan Isagi saat ini rasanya sudah seperti berada di rumah itu sendiri.

Rin makin mengeratkan pelukannya pada Isagi sementara yang lebih tua terkekeh mendapati Rin bisa juga terlihat semanja ini di hadapannya, yang akhirnya mengundang satu pertanyaan konyol muncul dalam benak Isagi kala itu juga.

Apakah Rin yang seperti ini hanya bisa dilihat oleh Isagi saja?

“Rin,”

“Hm?”

Oleh karena itu, satu permintaan egois yang sama pun ikut terlintas sebagai jawaban atas pertanyaan itu sendiri.

“Lo ... juga jangan cari yang lain, ya?”

Pupil mata Rin membesar begitu kalimat itu keluar dari mulut yang lebih tua. Meski terdengar samar seperti bisikan, tetapi sudah cukup untuk membuat hati Rin girang tak tertahankan.

“Iya. Gak akan.”

Lalu tak lupa setelah itu ia juga langsung mengeluarkan ponselnya dengan cepat untuk segera memberikan kabar kepada anak-anak mereka di rumah yang pasti masih menunggu dengan setia.

Papa

Yayah udah sama Papa, sebentar lagi kita pulang.

Berdua. []

© 2024, roketmu.

Rin mengambil satu tarikan napas panjang terakhir sebelum dengan berat hati membuka pintu ruangannya, sekaligus menyerah terhadap rencana keputusannya.

Harusnya Rin tidak perlu terkejut lagi dengan hasil yang seperti ini, kan?

Tetapi begitu bungsu Itoshi itu membuka pintu, ia tak sengaja berpapasan dengan Isagi yang berada tak jauh dari tempat ia berdiri. Kedua mata mereka pun bertemu untuk kali pertamanya pada hari ini.

Mata dengan warna sebiru laut dalam yang selalu ia dambakan. Mata dengan pancaran penuh ketulusan dan kasih sayang yang juga selalu ia rindukan. Juga mata dengan sejuta memori sebagai saksi kisah mereka yang ia harap tak akan dilupakan.

Isagi terlihat terkejut seperti tertangkap basah, menimbulkan senyum getir terulas di bibir Rin. Nyatanya pemilik mata seindah permata safir itu mungkin hanya tak sengaja berpapasan dengannya dan terpaksa membungkuk untuk memberi sapaan seperti sekarang, bukan berniat menunggunya apalagi memang ingin bertemu dengannya.

“Benar kata kamu, Isagi. Di luar sudah mendung,” tapi Rin juga akan bertindak seolah memang tidak akan terjadi apa-apa di antara mereka, “kalau begitu saya duluan, ya.” agar sang terkasih pun juga bisa berpikir demikian.

Isagi justru tidak membalas ucapannya dan memilih untuk diam. Mungkin lelaki itu tahu jika mengucapkan sepatah katapun walau hanya berbunyi “hati-hati” untuknya, Rin akan menganggap hal itu sebagai secercah harapan yang kembali.

Ah, karena itu Rin harus kembali mengingat bahwa kisahnya dengan Isagi sudah berada di akhir sejak pertama kali kata putus itu diucapkan, persis seperti cetusan Bachira.

Namun, begitu Rin berjalan melangkah pergi untuk meninggalkan Isagi, tarikan kecil pada ujung jas yang ia kenakan membuat gerakannya terhenti seketika.

“Pak Bos,”

Disusul oleh suara lembut yang akhirnya keluar untuk memanggilnya.

“Ya?”

Mungkin bagi orang-orang yang ikut menyaksikan kisah cinta mereka, pertemuan Rin dan Isagi setelah putus adalah bagian dari sekuel singkat atau bahkan cerita sisipan yang tidak menjawab apa-apa.

Tetapi bagi Rin, pertemuan kembali dirinya dengan Isagi tetaplah bagian dari inti kisah cinta mereka berdua yang memang belum berakhir bahagia.

“Kenapa, Isagi?”

Rin memandang sosok di depannya dengan penuh harap, sementara yang ditanya tetap membisu tetapi dengan genggaman pada ujung jas yang kian dipererat.

Karena jika kisahnya diibaratkan sebuah buku dan Rin adalah penulisnya, maka sebelum kisah tersebut mencapai bagian akhir, Rin akan meninggalkan satu halaman kosong terakhir.

“Jangan pergi.”

Halaman yang tidak bisa ia isi sendiri karena ia butuh Isagi untuk menyelesaikannya.

Rin pun tersenyum haru mendengarnya.

Apa kamu masih bersedia untuk mengisi halaman itu, Sa? []

© 2024, roketmu.

Hari itu adalah hari Isagi berada di titik paling rendah dalam hidupnya. Hari yang menghancurkan hatinya, mimpinya, bahkan rasa percayanya.

Setelah menjelaskan semuanya sambil menangis tersedu-sedu via panggilan ponsel kepada Bachira dan Chigiri, kini Isagi melipir ke dekat jalan raya agar mereka dapat menemukannya dengan mudah.

Ya. Isagi mau pulang sesegera mungkin. Niat dan rencana yang sudah ia siapkan matang-matang untuk kebaikan Rin, semuanya sirna akibat perbuatan mantan kekasihnya itu sendiri.

Karena di saat ia bersusah payah untuk mencari cara agar hubungan mereka tetap bertahan utuh, Rin sendiri yang dengan sengaja mempermudah apa yang sudah retak dalam hubungan mereka hancur dalam seketika.

Rin begitu egois, sangat egois. Ia pikir dengan ia melakukan hal itu yang akan hancur hanya hubungan mereka saja?

Isagi juga hancur, Rin. Hancur sekali.

“ISAGI!”

Panggilan tiba-tiba itu datang dari arah yang berlawanan darinya, begitu Isagi menoleh, kecemasan dalam dirinya meningkat begitu tinggi dan ia harap Bachira atau Chigiri segera sampai untuk membawanya lari.

“Sialan, kenapa selingkuhannya malah nyamperin gue, sih?”

Selamat kepada Itoshi Rin yang tadi telah mencampakkannya dan membuatnya terlihat menyedihkan, akibat dia pun sekarang Isagi ikut terlihat seperti orang bodoh yang tak ada hentinya untuk menangis di mata kekasih gelapnya itu.

“Isagi, tunggu! Jangan lari!”

Tapi belum sempat Isagi berlari, tangan kanannya yang menggantung lebih dulu ditangkap sehingga mau tak mau ia harus berhadapan dengan orang tersebut.

“Lepasin. Lo gak ada masalah sama gue.” pinta Isagi dengan nada dingin.

Lelaki bermata lentik itu menggeleng kuat, “Tentu ada! Nama aku Hiori, aku-”

“Gue tau lo selingku-”

“Aku bukan selingkuhannya Rin!”

Isagi menghempas tangan Hiori yang kini masih mengatur napasnya pasca berlari, “Oke, terus lo mau bilang kalau lo pacarnya juga dan lo gak tau kalau Rin ternyata pacaran sama orang lain?”

“Aku sepupunya dia, dari kecil kita udah temenan mana mungkin aku jadi selingkuhannya! Rin bohong sama kamu, Isagi!” Hiori tetap bersikeras bahkan ia meraih tangan Isagi lagi agar yang lebih pendek tidak melarikan diri.

“Terus gue emangnya juga bisa percaya sama lo, gitu?” Lelaki bersurai biru gelap itu terkekeh naas, “Udah, ambil aja si Rin, gue gak mau lagi sama dia.”

“Gak boleh!” kini Hiori meninggikan suaranya yang membuat Isagi terheran, “Justru ini yang Rin mau! Dia emang sengaja mau buat Isagi kecewa supaya dia diputusin dan dibenci Isagi!”

“Dibenci... gue?”

Isagi bisa saja menjawab tidak peduli, tapi sepertinya ia juga perlu tahu hal ini, setidaknya untuk membuat semuanya jelas tentang akhir dari hubungan mereka berdua.

Diamnya Isagi pertanda baik untuk Hiori, maka saat itu juga ia mengeluarkan semua bukti bahwa ucapannya barusan adalah benar. Ia menunjukkan isi chat-chat dirinya dengan Rin terkait rencana bodoh milik mantan kekasih Isagi itu beserta alasan-alasannya. Semuanya. Tak terlewatkan sedikitpun.

Setelah mengetahui itu semua, kecemasan dalam diri Isagi berkurang, walau hanya sedikit tapi setidaknya membuat Isagi kini dapat meredakan emosinya selama beberapa saat.

“Kenapa lo mau ngasih tau gue soal ini?” tanya Isagi dengan suara yang jauh lebih tenang.

“Karena aku pun gak tau kalau ternyata harus pura-pura jadi penjahat sama sepupuku yang tolol banget itu,” Hiori menerima ponsel itu kembali dari Isagi setelah si manis melihat semua buktinya, “jadi, aku pun mau kamu untuk tau, kalau Rin di sini gak selingkuh sama sekali, karena dia sayang banget sama kamu.”

“Kalau sayang kenapa dia harus rela nyakitin gue dengan pura-pura selingkuh?” cibir Isagi tidak terima.

“Kamu pasti gak dikasih tau, kan? Masalah Rin akhir-akhir ini? Aku aja tau dari Kak Sae, tentang masalah kuliahnya, bertengkar sama papanya, bahkan kehidupan percintaannya yang udah diatur itu.”

“Tunggu, Rin punya masalah sebanyak itu? Bukannya hanya soal dia yang mau keluar negeri dan karena itu dia mau kita putus?”

Hiori menggeleng lemah, “Justru itu pelarian Rin. Dia bahkan kalau mau nekat udah ajak kamu ke luar negeri, tapi dia gak mau egois, daripada kamu yang disalahin dan terbebani, lebih baik kamu putusin Rin, karena dia gak akan sanggup untuk putusin kamu, Isagi...”

Hening selama beberapa saat sebelum akhirnya kekehan terdengar dari arah Isagi yang turut membuat Hiori bingung akan reaksi pemuda beriris safir itu.

“Sesusah ini, ya, gue pacaran sama Rin? Berarti selama ini dia nahan juga, kan?”

Ah, sial. Mata Isagi kembali memanas.

Tak jauh di belakang Isagi, terlihat dua orang yang tengah berlari mendekatinya dengan tergesa-gesa. Hiori yang tak tahu menahu merasa begitu terkejut ketika salah satu di antaranya menarik paksa kerah kemeja yang ia kenakan begitu saja.

“Lo ini selingkuhannya si Bajingan itu, kan?” Bachira mendecih, “pegangin Isagi, Chi. Biar gue urus si rambut telor asin satu ini.”

Bachira sudah siap melayangkan tamparannya sebelum Isagi lebih dulu menahan tangan si kuning dengan cepat.

“NANTI DULU, RA!”

“Apanya nanti dulu?! Biar gue aja yang gampar karena gue tau lu gak mau!”

Hiori memejamkan matanya bersiap menerima tamparan Bachira, tapi Isagi lebih dulu memeluk sahabatnya itu dengan erat untuk membatasi pergerakannya.

“Isagi...”

Isagi menggangguk, “Biar gue yang jelasin semuanya.”

Sama seperti Isagi, bahkan Bachira dan Chigiri ikut sangat terkejut mendengar fakta penjelasan yang diberikan Hiori terkait alasan Rin melakukan itu semua. Mereka sudah berniat untuk menghajar Rin saat itu juga, tapi sayang Isagi melarang keras, ia juga tak lupa menyuruh Hiori untuk berjanji tak mengatakan apapun pada Rin soal dirinya yang sudah tahu masalah ini. Karena ia merasa, semuanya sudah ia relakan untuk selesai.

Pertemuan mereka akhirnya ditutup dengan Hiori yang hanya bisa menatap iba ke arah Isagi yang kembali menangis tersedu-sedu di dalam pelukan kedua temannya.


“Kamu selama ini udah tau... tapi kenapa kamu gak bilang sama sekali ke aku, Sa!?”

Tubuh Rin sudah lemas sejadi-jadinya selepas mendengar cerita dari sudut pandang Isagi pada hari itu. Sosok yang biasanya terlihat angkuh nan gagah, kini tak berdaya dengan binar mata yang memancarkan begitu banyak emosi dalam satu warna.

“Karena gue pengen semuanya terlihat selesai,” Isagi menggantungkan ucapannya sejenak untuk tersenyum tipis, “jadi, kita damai aja, yuk, Rin?”

Rin masih tetap diam seribu kata, pikirannya yang sudah kacau tambah kacau. Isagi bisa mengerti hal tersebut, maka dari itu ia saja yang mengambil alih dalam percakapan kali ini.

“Gue pengen lo hidup tanpa beban, cinta-cintaan dalam hidup gak sepenting itu. Kalau emang kita gak direstuin gapapa, kalau lo bahkan mau dijodohin juga gapapa.”

Rin kembali meraih tangan Isagi untuk ia genggam, bisa si manis itu rasakan tangannya yang sudah panas dingin menahan gemetar dengan susah payah seakan mengatakan tidak setuju atas ucapan Isagi barusan.

“Orang tua gak boleh dilawan, Rin. Kita selesai aja, lo emang gak capek apa sama perasaan ini?”

Rin akhirnya menggeleng tak terima, “Aku gak mau, Sa. Aku maunya kita balikan...”

Isagi menghela napas gusar, “Lo tau gak kenapa gue bisa semarah itu sama lo walaupun gue udah tau semuanya?” kemudian ia terkekeh miris dalam jeda ucapannya, “karena lo pengecut. Bahkan sampai sekarang pun lo pengecut, lo belom mau cerita soal kedatangan Kak Sae dan papa lo yang nyuruh lo buat ngejauhin gue lagi, kan?”

Kilat mata Rin kembali memancarkan ketakutan, habis sudah rencananya gagal untuk tidak ingin Isagi terlibat lagi tapi sang terkasih sudah lebih dulu mengetahuinya.

“Haha, bahkan karena tau lo lagi gak baik-baik aja ini, gue sampe ngajak lo keluar, seenggaknya untuk bikin lo tenang, tapi justru lo sendiri yang bikin semuanya kembali rumit karena bahas hal ini tiba-tiba.”

“Aku ngambil keputusan bodoh itu karena aku gak mau kamu terlibat, Sa. Bahkan sampi saat ini! Aku gak mau kamu terbebani karena kamu gak ada salah sama sekali...” bela Rin atas alasannya.

“Gak salah sama sekali?” Isagi menatap Rin tidak percaya, “Lo jahat, Rin. Gue emang gak ada salah tapi lo malah pengen gue benci lo, padahal jelas-jelas itu tindakan yang fatal baik untuk lo maupun untuk diri gue!”

Isagi mengusap wajahnya kasar, ingin rasanya ia berteriak saat ini juga untuk meredakan rasa stress dan pusing dalam dirinya. Apalagi Rin terlihat semakin tidak berkutik, kefrustrasian Isagi melipat ganda hanya dengan menatap ekspresi sedih yang sangat ia benci itu. Ekspresi yang seberusaha mungkin Isagi usahakan tidak akan terlihat di wajah Rin.

“Lo sengaja bikin gue yang lagi sayang-sayangnya sama lo malah disuruh benci gitu aja. Lo sepengen itu dibenci oleh orang yang sesayang itu sama lo?”

Rin membelalakan matanya begitu ia melihat kembali ke arah Isagi, air mata yang sejak tadi berusaha ditahan pemuda beriris safir itu akhirnya mengalir pedih di pipi gembilnya.

“Isagi...”

Isagi menangis, tak kuat menahan emosinya yang sudah susah untuk dibendung, “Gimana kalau ternyata gue belum tau sama sekali tentang lo yang pura-pura? Gimana kalau gue akhirnya beneran benci sama lo, Rin?”

“Isagi, maaf, aku...”

Ingin rasanya Rin merengkuh Isagi ke dalam pelukannya tapi ia juga tahu bahwa ia tidak pantas untuk melakukan itu.

“Lo bahkan bertindak seolah baik-baik aja ketika setelah beberapa tahun kita gak ketemu, seakan lo lupa kesalahan lo, dan berusaha bikin gue jatuh cinta lagi sama lo. Jujur, gue gak ngerti, bangsat...”

“Aku bodoh, Sa. Apa yang kamu harapkan dari orang bodoh kayak aku? Aku taunya saat itu kamu udah benci aku, aku berencana untuk bertingkah nyebelin agar dapat perhatian kamu, dekat sama kamu lagi, sampai akhirnya aku bisa jelasin semua kesalahpahaman soal kepura-puraan aku sama kamu yang udah jatuh cinta sama aku lagi.”

Isagi mendecih di sela isakannya, “Oh, let’s be real, orang tolol mana yang bakal jatuh cinta ke orang yang sama padahal udah pernah diselingkuhin? Kenapa lo bisa seyakin ini untuk bikin gue bakal cinta lagi sama lo?”

“Karena itu kamu, Sa.”

Isagi tertegun sesaat mendengar jawaban cepat Rin yang tidak masuk akal. Apalagi ketika ibu jari pria itu turut ikut mengusap air mata di pipinya.

“Gue?”

Rin mengangguk, “Rasa yakin itu bukan dari aku atau usahaku, tapi cukup dengan kehadiran kamu.” ia juga kembali meraih telapak tangan kecil Isagi untuk ia genggam selagi ia meneruskan ucapannya, “Gak akan ada orang yang bisa mencintai aku lebih dari cinta kamu untuk aku, juga gak akan ada orang yang bisa kamu cintai, melebihi rasa cinta kamu untuk aku, Isagi Yoichi.”

Keheningan langsung tercipta begitu Rin menyelesaikan ucapannya. Hanya ada suara angin dan desiran ombak yang mengisi bungkamnya dua insan tersebut.

Isagi masih menundukkan kepalanya, sementara Rin merasa cemas karena menanti jawabannya. Ada begitu banyak yang ingin Isagi utarakan, tetapi begitu sedikit juga yang mampu ia suarakan.

Mau tak mau Isagi kembali mengangkat kepalanya, menatap ke arah Rin dengan berani sambil menunjukkan wajah yang kali ini tak ada lagi air mata tersisa.

“Oke, dengan itu gue juga semakin tau kalau kita beneran udah gak bisa sama-sama lagi, Rin.” ucap Isagi pada akhirnya.

Rin terkesiap, “Maksud kamu, Sa?”

“Kita damai seperti yang gue bilang, oke? Lo berhenti kejar gue, dan gue berhenti juga muncul di depan lo.”

Isagi pun melepas genggaman tangan Rin lalu bangkit untuk berdiri seraya membersihkan sisa-sisa pasir di tubuhnya. Sementara Rin yang tidak terima ikut bangkit dan untuk kesekian kalinya meraih pergelangan tangan Isagi agar yang lebih tua kembali menatapnya.

“Isagi, kamu jangan lari lagi. Aku tau kamu masih sayang sama aku dan itu gak akan pernah hilang, kan?”

Rin menatap Isagi frustasi, tetapi jawaban Isagi selanjutnya justru akan kembali melipatgandakan kefrustasian lelaki itu.

“Engga, Rin. Gue emang gak benci sama lo, tapi semua rasa itu udah gue tinggal di hari ketika lo minta untuk gue putusin.”

Maaf, Rin, gue bohong. Karena betul apa kata Kak Sae, kalau harapan atas hubungan kita bisa dilanjut itu datang dari perasaan gue terhadap lo, maka lo akan selalu punya harapan itu.

“Isagi!”

Dan gue gak mau hal buruk seperti dulu terulang, saat kita yang harusnya bisa menjalani hubungan dengan tenang, harus berusaha untuk kembali melawan segala sesuatu yang menghadang.

“Lo gak perlu antar gue, gue udah dijemput Bachira. Maaf ya, harusnya gue bikin lo seneng-seneng di pantai, bukan malah sebaliknya.”

Isagi tersenyum miris di sela ia berusaha mengatur napas akan suaranya yang gemetar untuk kembali menahan tangis.

“Kalau kamu benar mau kita selesai dari sejak itu, berarti selama ini cuma aku yang berjuang sendiri untuk berusaha agar kita sama-sama lagi, Sa?”

Hati Rin mencelos begitu suara ombak laut menjadi perwakilan jawaban Isagi yang memilih untuk diam. Akhirnya dengan sangat berat hati, Rin melepaskan genggaman tangannya pada pergelangan tangan Isagi. Merelakannya.

“Oke, kalau itu emang keputusan kamu. Maaf, Sa, aku gagal dan terlambat.”

Isagi hanya bergumam samar sambil menolehkan kepalanya ke arah lain asal bukan Rin, karena ia sangat tahu ekspresi seperti apa yang dibuat Rin pada wajahnya saat ini.

“Oh,” sebelum benar-benar melangkah pergi, pemilik surai biru gelap itu teringat akan satu hal penting lagi yang perlu ia luruskan, “lo tenang aja, gue bakal tepatin kontrak gue seperti waktu yang sesuai. Makasih pengalaman kerja sebulannya.”

Menunduk singkat sebagai rasa hormat terhadap atasan, Isagi pun mengakhiri pertemuan mereka dengan berlari menjauh secepat mungkin yang bahkan tidak memberikan kesempatan untuk Rin membalas ucapannya.

“Makasih juga pengalaman mencintai dan dicintai orang baik kayak kamu walau gak sampai selamanya, Sa.”

Ucapan yang lebih terdengar seperti salam perpisahan untuk keduanya. []

© 2024, roketmu.

Isagi, gua udah di depan rumah.

Begitu notifikasi pesan itu muncul di layar ponsel, Isagi lantas bangun dari duduknya di sofa untuk segera bergegas ke depan pintu masuk, menyambut kedatangan Rin yang sudah ditunggu-tunggu oleh si kecil Gakuto.

“Cepet juga,” ujar Isagi canggung begitu ia membuka pintu dan mendapati bahwa Rin ternyata sudah siap sedia memakai piyama dari rumah, “semangat banget kayaknya.”

Rin mengangkat bahu cuek atas ejekan usil tersebut, “Demi anak,” lalu ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling rumah Isagi sebelum melanjutkan ucapannya, “papa dan mama lu mana?”

“Ah, kebetulan papa ada tugas di luar kota dan mama ikut nemenin.”

“Oh, makanya juga tadi lu beres-beres sendirian demi gua, ya?” lalu inilah balasan Rin atas ejekan Isagi di awal.

“Rese! Lo udah makan, belum?” Isagi yang malu berusaha mengalihkan pembicaraan.

“Udah tadi, gua dateng ini buat langsung tidur.”

“Oke, kalau gitu-”

“PAPAAAAA!!!”

Tiba-tiba terdengar suara teriak menggemaskan yang menginterupsi ucapan Isagi, tidak lain dan tidak bukan adalah Gakuto si bungsu yang muncul untuk langsung lompat memeluk Rin.

“Papa... terima kasih sudah datang...” wajah Gakuto benar-benar berseri saat mengucapkannya.

“Papa udah janji, kan?”

Gakuto mengangguk penuh semangat. Sementara Isagi ikut tersenyum diam-diam saat memperhatikan keakraban tak terduga dari mereka berdua. Apalagi melihat bagaimana Rin yang kini tengah menggendong tubuh kecil Gakuto dengan satu tangannya.

Sungguh papa yang atraktif.

EH? MIKIR APA SIH, GILAAAA!!!

Isagi buru-buru menggelengkan kepalanya, “Yaudah, yuk? Kamar gu- kamar Yayah di atas.”

“Yuk!!!”

Rin tersenyum tipis merasakan antusias Gakuto melalui pelukannya yang mengerat. Tetapi, belum sempat Isagi mengajak keduanya untuk ke lantai dua, suara bel rumah sudah kembali terdengar yang menimbulkan kebingungan di antara mereka bertiga.

“Paket?” tanya Rin.

“Ngga kayaknya, coba lo buka aja.”

Dengan Gakuto yang masih berada dalam gendongannya, Rin pun kembali membuka pintu tersebut yang kali ini justru membuatnya sedikit terkejut ketika melihat siapa sosok yang hadir untuk menyapa mereka.

“Abang?”

“Abang!!!”

Yap, yang satu untuk kebingungan Rin karena melihat Sae di sana, satu lagi untuk seruan Gakuto yang tambah antusias melihat Mikoto dan Minato.

“Keponakan Abang yang dua ini juga minta ikut untuk menginap, mereka juga kangen kalian. Minato bahkan sampai gak berhenti nangis karena ditinggal Rin.”

Rin menatap kedua anak itu bergantian, Minato benar-benar masih menangis sampai detik ini juga, sementara Mikoto walau ia tidak menangis, tapi dari raut wajahnya ikut menunjukkan kesedihan bahwa ia juga ingin menginap bersama mereka.

“Mikoto dan Minato janji gak akan nakal,” ucap Mikoto sambil menatap Rin dan Isagi dengan matanya yang membulat lucu, “Boleh, ya? Papa? Yayah?”

Mendengar hal itu tentu saja Isagi tidak ada alasan untuk menolak. Ia justru langsung mendekat untuk memeluk dua anaknya yang tak kalah menggemaskan itu dengan erat.

“Boleh! Siapa bilang gak boleh? Maaf, ya, harusnya Yayah pun ajak kalian juga dari tadi,” Isagi pun menatap Sae dengan senyuman lega, “makasih, ya, Kak Sae. Maaf udah repot-repot nganter mereka juga.”

Sae ikut tersenyum tipis, “Santai, ini udah kewajiban seorang uncle dan kakak ipar.”

Rin mendecak sebal begitu Sae mulai lagi dalam mendalami perannya. Sejujurnya Rin tidak ingin Isagi menganggap bahwa dengan sikap Sae yang seperti ini seakan menandakan bahwa mereka berdua menikmati situasi dan peran tersebut, yang nantinya akan menimbulkan dugaan atau pikiran yang tidak-tidak juga dari pihak Isagi.

Tetapi begitu Rin melirik ke ke arah yang lebih pendek untuk memastikan, ternyata tidak terlihat sama sekali raut wajah jijik atau pun canggung seperti yang Rin bayangkan, melainkan senyum bodoh itu lagi yang dengan bangga ia tunjukkan.

Hehe, Kak Sae mau ikut nginep juga, gak?”

Sae menggeleng, “Engga,” kemudian menatap Rin yang kembali memandangnya dengan tatapan seakan menyuruhnya untuk segera pergi, “Iya, Abang pulang dan gak akan ganggu Rin sama Isagi dan anak-anak kalian.”

Ck, udah sana.”

Sae pun tertawa sebelum akhirnya berpamitan kepada mereka berlima. Pintu rumah Isagi juga kembali ditutup dan kini mereka bisa fokus untuk melalukan ritual- ehm, maksudnya tidur bersama-sama seperti kemauan Gakuto.

“Mikoto, Minato, kalian juga udah makan?” tanya Isagi selagi mereka berjalan di tangga untuk menuju kamar.

“Udah, Yayah. Dua jam sebelum tidur kami sudah harus makan.”

Lalu mendengar itu Isagi langsung teringat sesuatu, “Oh, iya! Karena aku- ehm, karena Yayah belum tau, gimana kalau kalian juga jelasin gimana rutinitas kalian biasanya sebelum tidur?”

“Rutinitas?” ulang Rin.

“Iya! Ini masuknya pendekatan juga, kan?” Isagi menatap ketiga anaknya dengan senyuman lebar, “Gimana? Apa yang mau atau biasa kalian lakuin sama Papa dan Yayah sebelum tidur?”

Mikoto dan Minato tertegun beberapa saat sebelum akhirnya saling tatap dengan wajah tak kalah berseri seperti Gakuto yang melihat kedatangan Rin tadi. Dengan semangat pun mereka menjawabnya dengan kompak.

“Kita gosok gigi dan cuci muka sama-sama!!!”


Rin dan Isagi tidak pernah menyangka bahwa menggosok gigi bersama-sama bisa membuat anak kecil—tepatnya anak-anak mereka menjadi sebahagia ini.

Di pojok kanan ada Mikoto yang berdiri di samping Minato untuk selalu mengawasi adik tersayang agar tidak menggosok giginya terlalu cepat yang bisa membuat gusinya sakit.

Lalu di tengah ada Gakuto yang duduk di atas wastafel dengan Isagi yang menggosokkan giginya, sejak hari pertama si bungsu ada di sini hal itu sudah menjadi hal yang biasa untuk Isagi.

Terakhir di pojok kiri, ada Rin yang menggosok giginya dengan tenang sambil sesekali mencuri-curi pandang ke arah Isagi di sampingnya.

“Cebol, kalau lu kapan gosok giginya?” tanya Rin iseng.

“Setelah gosokkin Adek, kenapa? Mau bantuin?” Isagi tersenyum menantang.

“Gosokkin gigi lu?”

ISH! Adeklah!” sewot Isagi.

Rin hanya mendengus geli, sementara Isagi malah jadi tidak fokus untuk menggosok gigi Gakuto hingga membuatnya tak sengaja terciprat oleh busa dari odol tersebut.

Aw!”

“Kenapa, Yayah?” tanya Mikoto yang sedang mengeringkan wajah Minato dengan handuk.

Isagi meringis, “Gapapa, Yayah cuma kemasukan busa!” lalu ia menyenggol Rin dan berbisik di sampingnya, “kasih gue air, nanti si Adek khawatir liat gue keperihan!”

“Oh, oke.”

“Iya, tolong-”

Tetapi Belum sempat Isagi menolehkan wajahnya, Rin lebih dulu bergerak untuk menjilat mata Isagi dan membuat yang lebih pendek itu terkejut hingga reflek menjauhkan dirinya.

“Lo!?”

“Cara itu lebih cepet ketimbang air,” ujar Rin tak merasa bersalah sebelum menoleh ke arah Gakuto, “iya, kan, Dek?

Gakuto tentu saja mengangguk dan tertawa girang disusul dengan senyuman jahil dua abangnya yang lain.

“AWAS LO, RIN!!!”

Lalu ritual menggososok gigi dan cuci muka Itoshi Family ini diakhiri dengan Yayah yang mengamuk sambil menciprati air sebanyak-banyaknya ke arah si Papa.


Selepas menggosok gigi dan cuci muka, anak-anak sudah harus tidur pukul 9 malam. Berbicara tentang tidur, Isagi bersyukur mereka di sini jadi tidur berlima dengan menggunakan kasur lipat, karena jika hanya ada ia, Gakuto, dan Rin, sudah pasti akan tidur di satu ranjang yang sama.

Atau itulah yang ada di pikiran Isagi, sebelum pada akhirnya tetap sama saja. Walau sudah di kasur lipat pun ia dan Rin harus berdekatan karena permintaan Gakuto. Jika posisinya diurutkan dari pojok kiri, maka posisinya adalah Mikoto, Rin, Gakuto, Isagi, dan Minato.

Sebelum merebahkan diri, Minato berkata bahwa biasanya Papa alias Rin akan membacakan dongeng untuk mereka, terutama Gakuto yang sangat senang mendengarkan cerita.

Lalu apakah Rin bisa menolak permintaan itu? Oh, tentu saja tidak demi sang anak tersayang.

“Kalau mau ketawa, ketawa aja.” tapi itulah yang juga diucapkan Rin pada Isagi sepanjang ia bercerita dengan wajah dan nada yang datar.

Tetapi anehnya, tak lama setelah itu mereka bertiga benar-benar tertidur. Mungkin karena memang sudah waktunya tidur, atau karena mendengar betapa membosankannya si Papa dalam bercerita.

Walaupun begitu, dapat dikatakan juga misi mereka menuruti kemauan Gakuto berhasil, Isagi bisa menghela napas lega selama beberapa saat sebelum akhirnya tersadar akan situasinya sekarang. Lantas ia melirik sekilas ke arah Rin yang ternyata masih ikut terjaga seperti dirinya.

Sialan, bakal jadi canggung banget!

Sepertinya malam ini akan menjadi malam yang panjang untuk mereka berdua.

Berkali-kali Isagi berganti posisi tidur dan berusaha agar segera terlelap walau semua usahanya sia-sia. Sampai di tahap akhirnya ia pun menyerah dan memilih untuk membuka mata, disusul dengan Rin yang tiba-tiba bersuara di sebelahnya.

“Kalau dari penjelasan Shou waktu itu, dia lahir setelah umur kita sekitar 20-an.”

Isagi mengerutkan dahinya bingung, “Terus?”

“Itu artinya lu gak usah takut kalau malam ini gua bakal ngapa-ngapain lu.”

Rin berucap seraya menolehkan kepala ke arah Isagi hingga membuat kedua mata bertemu dengan jarak yang sangat dekat.

Ih! Apaan, sih? Siapa juga yang mikir begitu!?” Isagi reflek menoleh ke arah langit-langit kamar untuk menghindari tatapan Rin.

“Lagian gua juga gak bakal mau ngehamilin orang, apalagi orang yang gua suka sebelum gua menikah sah dengan dia,”

Tapi ketika mendengar hal itu, Isagi tertegun selama beberapa saat, sampai akhirnya Rin mendengus geli dan melanjutkan ucapannya.

“Lu langsung ngebayangin orangnya itu elu, kan?”

Wajah Isagi sukses memerah detik itu juga.

“NYEBELIN BANGET, SIH!”

Sst, sst, ini anak-anak udah tidur.” ujar Rin yang kini berusaha semaksimal mungkin untuk tidak tertawa karena berhasil menjahili Isagi yang kesekian kalinya.

Isagi menghentikan cubitannya pada Rin, lalu kembali membetulkan posisi tidurnya agar menghadap ke langit-langit kamar lagi.

“Gue tuh emang lagi mikir sesuatu yaitu kalau gue gak nyangka aja bakal tidur bareng kayak gini sama orang yang gua sebelin! Kayak ngapain coba? Makin dipikirin, makin gila!” bela Isagi dengan wajah masih semerah kepiting rebus.

Rin yang mendengar itu ikut mengangguk setuju, “Gua juga gak nyangka,”

“Iya, kan?!”

“Gak nyangka kalau nanti di masa depan lu bakal hamil anak gua,” kemudian ia menunjuk ke arah perut Isagi, “di sini.”

“Apaan lagi, sih, lo!” Isagi menepis cepat tangan Rin.

“Kita berarti bakal beneran ngelakuin hal ‘itu’ ya, Sa?” dan semakin Isagi kesal, semakin Rin juga semangat untuk menggodanya.

Stop, anjing. Ini ada anak kecil!”

Rin tersenyum miring, “Anak kecil yang kita hasilin dari ngelakuin ‘itu’.”

“LO-”

Oh. Gimana kalau kita latihan buat ngelakuin hal ‘itu’ malam ini, Sa?”

“GUE TENDANG LO!!!”

Kini Isagi benar-benar mengangkat kakinya untuk menendang-nendang Rin yang justru tidak lagi bisa menahan tawanya akibat respon Isagi yang begitu mudah untuk marah.

“Bercanda, dasar lebay.”

Ih! Udah sana tidur sebelum lo gue usir dari sini!”

Isagi untuk kesekian kalinya membetulkan posisi tidur. Tetapi kini ia berani untuk memiringkan tubuhnya ke arah Gakuto, karena nyatanya melihat wajah tidur si bungsu bisa membuat ia lebih tenang.

Rin yang ikut memperhatikan gelagatnya pun menghela napas lega, “Gua cuma gak mau suasana setegang tadi. Kayak lu beneran takut gua bakal ngapa-ngapain lu atau pikiran aneh lainnya, maaf.”

Isagi mendongak ke atas untuk kembali bertatapan dengan Rin yang kini ikut memiringkan tubuhnya, membuat mereka saling berhadapan dengan Gakuto yang menjadi pembatasnya.

“Iya, gue udah gak tegang karena gue maunya ngamuk untuk sekarang,”

“Yaudah, gua pindah ke sofa-”

“Tapi gue tetep mau bilang makasih ke lo karena udah mau nurutin kemauan Gakuto, walau gue tau lo sebenernya gak mau.” sela Isagi cepat dengan senyum tulusnya.

“Makasih ke diri lu juga kalau gitu.”

“Gue?” bingung yang lebih tua.

“Anak-anak kelihatan lebih nyaman sama lu karena lu emang baik sama anak kecil, jadi lu di sini beneran kayak sosok yayah untuk mereka.”

Isagi mengerjapkan matanya berkali-kali, “Masa?” entah itu pujian atau bukan tetapi Isagi tetap merasa senang dan bangga mendengarnya.

“Iya, sayang.”

“Oh, please. Jangan mulai lagi,” Isagi merotasikan bola matanya jengkel.

“Bercanda. Besok lu gak lupa kalau kita masuk sekolah, kan?”

Isagi mengangguk, “Iya, jadi lo mau Mikoto dan Minato tetep di sini aja sampai kita pulang atau gimana?”

“Gua antar pulang dulu sebelum gua berangkat ke sekolah.” lalu kemudian Rin teringat sesuatu, “Wait, kalau lu sekolah juga, Gakuto bakal sendirian. Papa dan mama lu masih di luar kota, kan?”

“Betul, tapi tenang aja,” Isagi terkekeh bangga, “kemarin gue udah mutusin untuk masukin Gakuto ke TK dekat rumah gue, dia masuk mulai hari ini supaya dia gak terlalu kesepian karena gue yang sibuk sekolah. Kebetulan guru TK itu juga sepupu gue, dia bakal jagain Gakuto sampai gue pulang.”

Penjelasan Isagi barusan membuat Rin terkesima diam-diam karena itu justru semakin membuktikan bahwa Isagi benar-benar menjadi sosok yayah yang serius dan bertanggung jawab kepada seorang anak yang identitas bahkan keberadaannya masih belum jelas.

“Gua yang bakal antar Gakuto ke TK juga kalau gitu.”

“Gak perlu, nanti pagi gue juga bakal masak sarapan buat kalian supaya lo gak perlu repot-repot lagi saat siap-siap di rumah dan jadi terlambat.”

Rin menyeringai samar, ia benar-benar akan kewalahan jika Isagi terus bersikap seperti ini, “Lu kayak beneran siap untuk jadi bagian keluarga Itoshi, Sa.” dan jalan terakhir untuk mengatasi hal itu adalah dengan kembali menggodanya.

“Diem, sebelum gue berubah pikiran jadi pengen gosongin sarapan khusus untuk lo.” ancam Isagi dengan tatapan bak kucing kecil yang sedang marah.

Ya, lebih baik respon galak Isagi yang seperti biasanya ini demi mempertahankan kewarasan Rin agar ia tetap menang dari perasaan aneh yang mulai mengusik dirinya.

“Kalau gitu selamat tidur, Yayah Yoichi.”

Rin sudah bersiap untuk kembali menangkis serangan tiba-tiba dari Isagi, sebelum akhirnya kalimat itu lebih dulu terdengar yang membuat ia seketika tersadar,

“Selamat tidur juga, Pa- Papa Rin!”

bahwa sejak pertama kali Rin berpikir untuk berusaha tetap menang dalam mempertahankan kewarasannya, di saat itu pula ia sudah tahu akan masa kekalahannya.

Tanpa sepatah kata lagi, Isagi akhirnya membalik badannya, diikuti Rin di detik kemudian hingga membuat keduanya tidur dengan posisi saling membelakangi.

Entah karena tidak lagi ingin saling berhadapan untuk melanjutkan obrolan, entah untuk menyembunyikan semburat merah yang muncul di kedua pipi masing-masing secara bersamaan.

Hah, nyatanya malam ini akan menjadi malam yang panjang bukan hanya karena mereka berada di bawah selimut yang sama saja—melainkan juga dengan perasaan asing nan menyenangkan yang ikut menyelimuti keduanya. []

© 2023, roketmu.

Setelah mendapat segala kabar buruk mulai dari para pemain di Bluelock sampai Ego sekalipun, sungguh membuat Isagi ingin marah kepada Rin saat ini juga.

Lemas karena tidak mau makan? Posisi kapten akan diganti karena performa buruk? Konyol! Yang benar saja?!

Isagi tidak bisa menerima hal tersebut karena ia sudah mendeklarasikan bahwa Rin adalah rivalnya! Ia mau bersaing dengan Rin si posisi nomor satu terhebat di Bluelock! Bukan Rin yang tiba-tiba melemah tanpa alasan tidak masuk akal seperti sekarang!

“Awas lo kalo ketemu gue langsung gue gampar-gampar biar sadar!”

Ya, niatnya begitu. Tetapi ketika ia membuka pintu kamar dan melihat sosok yang ia cari-cari ini sedang meringkuk di atas kasur dengan posisi membelakanginya, amarah Isagi langsung meredam secepat kilat.

“Rin?”

Mendengar namanya dipanggil, tubuh Rin bereaksi kecil tetapi dirinya sendiri tidak menyahut. Isagi terpaksa berjalan mendekat dan menghampiri Rin yang baginya kini terlihat seperti kucing besar yang sedang merajuk.

“Gue udah ambil nutrisinya, Rin.” ucap Isagi begitu ia duduk di tepi ranjang.

“Gak bilang gua?”

“Lo aja susah dihubungi dari kemarin, dan sebelum lo boleh ambil nutrisinya, gue mau lo makan dulu supaya-”

“Gak, gua udah kenyang.”

Penolakan Rin membuat Isagi kesal, “Lo nih apa, sih? Badan lo aja lemes banget kata pemain lain gara-gara lo cuma mau minum susu!”

“Ya, karena gua kenyang.”

BATU BANGET! batin Isagi kesal.

Amarah Isagi mulai bangkit lagi, tapi untuk menghadapi orang seperti Rin ia harus menjadi lebih tenang, apalagi umur Isagi lebih tua sedikit dari Rin. Ya, Isagi harus menyikapinya lebih dewasa.

Isagi kini makin mendekatkan dirinya kepada Rin, “Tapi, Rin, kata Pak Ego pun performa lo semakin buruk dalam dua hari ini, bisa bahaya kalau sampai setelah lo terima nutrisi, lo masih juga buruk, posisi kapten lo bisa terancam diganti, lo gak mau, kan?” bahkan nada suaranya ia lembutkan upaya meluluhkan yang lebih muda.

Entah berhasil atau tidak, tapi respon Rin yang langsung membalik tubuhnya membuat harapan kecil di hati Isagi muncul.

“Isagi bukannya gak mau Rin nenen lagi? Padahal Isagi tau Rin suka nenen.”

Terkejut, wajah Isagi sontak memerah mendengarnya. Apalagi kini Rin berbicara dengan menggunakan nama mereka, semakin membuat Isagi mengalah untuk ikut bersikap tambah lembut kepada si Itoshi bungsu ini.

“Ya- iya, sih, makanya gue pakai tampon sekarang, tapi lo harus tetep mau makan dulu, Rin,”

“Pakai tampon percuma, gak akan keluar semua, Rin udah cari tau juga soal itu.” ucapnya kali ini dengan wajah yang ikut murung.

Isagi terdiam selama beberapa saat untuk memeroses keadaan yang membuatnya tidak tahu harus berbuat apa.

Ia bertanya-tanya pada dirinya sendiri, apakah yang ada di depannya ini benar-benar seorang Itoshi Rin yang sangat ketus dan tidak sopan itu? Mengapa kini ia terlihat seperti anak kecil yang merajuk karena permintaannya tidak dituruti?

“Seenggaknya masuk nutrisi dulu, kalau nanti Rin jadi pemain yang terlemah gimana?” Sial, bahkan Isagi akhirnya ikut mengimbangi cara bicara Rin seperti saat ini.

Rin mengangkat bahunya pelan, “Mungkin Rin bakal dileminasi juga.”

Tapi begitu mendengar ucapan yang lebih tidak masuk akal, detik itu juga Isagi membelakakan matanya, apa ia tidak salah dengar? Seorang Itoshi Rin mampu mengucapkan kalimat seperti itu?!

Wah, ini sudah kelewatan.

“Rin! Rin gila?! Katanya Rin mau Isagi jadi orang terdekat yang bisa ngeliat Rin jadi nomor satu di dunia!” Isagi mengguncang pelan tubuh Rin yang masih juga meringkuk bodoh di kasur ini, “Bahkan Rin mau ngalahin abang Rin juga, kan? Masa gitu aja Rin nyerah!”

Rin menundukkan kepalanya, ia tetap menggeleng yang membuat Isagi kecewa, “Isagi aja, karena kalau Rin percuma. Untuk bisa jadi nomor satu aja Rin harus dapat nutrisi yang kurang itu dari perasan tampon,” ia juga mendengus pelan di sela ucapannya, “karena sebenernya Rin udah coba dengan latihan lebih sampai gak makan, kekuatan Rin tetap aja kurang kalau tanpa nutrisi, jadi mungkin udah saatnya Rin harus berhenti dan tereleminasi.”

Rin melirik sekali lagi pada Isagi sebelum akhirnya ia kembali membalik badannya untuk memunggungi Isagi dengan keadaan yang lebih menyedihkan.

Berhenti dan tereleminasi katanya?

Isagi tersenyum miring, kepalanya yang tadi ia tundukkan kini terangkat untuk mengucapkan kalimat final yang akan ia gunakan untuk membujuk Rin terakhir kalinya.

“Oke, kalo gitu Rin boleh ambil nutrisi ini tanpa tampon lagi.”

Karena Isagi sudah tidak mau pusing lagi untuk mengeluarkan 1001 cara membujuk Rin agar kembali seperti semula. Isagi langsung memakai cara ke-1002 ketika ia akan kembali menjadi pihak yang mengalah agar semua masalah bisa terselesaikan dengan cepat.

“Gak perlu. Isagi tau kalau Rin suka nenen, bahkan dari kecil sampai dikasih empeng, Rin gak mau maksa Isagi lagi.”

Tetapi Rin masih keras kepala dan membuat Isagi tidak segan-segan untuk menarik tubuh Rin agar kembali berhadapan dengannya. Bisa ia lihat wajah si bungsu itu tersentak begitu melihat Isagi terlihat tidak main-main dengan ucapannya.

“Kalau Isagi bilang boleh, ya berarti boleh!”

Rin menggeleng, “Tapi nanti Isagi juga merasa bersalah di masa-”

“ARRRGHHH!!! GUE LEBIH MERASA BERSALAH KALO LO MALAH TERELEMINASI, ANJINGGG!!! BAHKAN GUE GAK SUKA BANGET KALO GUE MENANG DARI LO, RIVAL GUE, TAPI KARENA LO GAK MINUM NUTRISI PADAHAL KEMAMPUAN LO TETAP AJA JAUH DI ATAS GUEEE!!!”

Isagi akhirnya berteriak karena sudah kehilangan kesabaran yang sejak awal ia tahan, membuat Rin ikut terkejut hingga ia diam tanpa mampu untuk mengucapkan satu patah katapun.

Isagi mengatur napasnya untuk kembali normal dengan wajah yang makin memerah, entah karena marah atau malu, sebab ucapan selanjutnya yang akan ia ucapkan akan terdengar lebih mengejutkan untuk dirinya dan juga Rin.

“Jadi sekarang buruan Rin ambil nutrisi Rin dan ne-” Isagi menggantung ucapannya hanya untuk menyingkap bajunya ke atas, memperlihatkan kembali kedua dadanya kepada Rin seperti yang biasa ia lakukan, “-nenen di Isagi lagi.”

Isagi mengucapkan kalimat itu sambil menyembunyikan wajahnya di balik baju yang ia angkat, karena apa yang ia lakukan sangat membuatnya malu, ia merasa saat ini seperti mangsa yang sedang menyerahkan diri kepada predator buas yang memang mengincarnya.

Karena benar saja, jika Isagi melihat raut wajah Rin saat ini, pemuda itu tengah menyeringai tipis dengan wajah berseri seperti energi kehidupannya kembali lagi.

Tanpa berucap sepatah kata lagi, tangan besar Rin langsung membawa tubuh Isagi yang lebih kecil untuk ia baringkan di kasur bersama dengannya. Perlahan tetapi pasti, satu tangan Rin digerakkan untuk melepas plester yang menutupi kedua puting memerah Isagi.

Shh...

Rasa sakit dan nyeri yang kembali terasa membuat Isagi tanpa sadar meringis kesakitan. Rin yang mendengar hal tersebut tanpa segan langsung memberi kecupan-kecupan lembut pada area sekitar dada upaya membantu meredakan.

“Rin mulai lagi ya, Sa?”

Bahkan nada ucapan Rin tak kalah lembut dari perlakuannya saat ini membuat Isagi terbuai, “Ya, Rin.” dan tanpa pikir panjang ia pun ikut mempersilakan.

Isagi memejamkan matanya begitu mulut basah dan panas Rin kembali melahap satu putingnya. Bahkan tak terasa tubuh Isagi sudah dibuat menyamping untuk mempermudah Rin yang ingin memeluknya selagi sang Itoshi bungsu itu mengisap nutrisi miliknya.

Tangan Isagi pun tak tinggal diam untuk ikut menyamankan posisi dengan memeluk kepala Rin sambil mengusap-usap helai rambut kehijauannya.

Suasana kembali hening, dan di sela-sela Rin asik menikmati aktivitasnya, Isagi mendengus tipis. Kini ia tahu jawaban dari pertanyaan yang sejak dua hari lalu selalu mengusik kepalanya.

Dasar manja. Gak makan lah, takut kurang kalau pakai tampon, bilang aja lo cuma mau nenen!

Tetapi entah mengapa Isagi tidak terlalu masalah lagi untuk hal tersebut. Karena hari ini ia benar-benar dibuat tidak menyangka karena ia bisa melihat sisi Rin yang seperti ini. Sisi baru yang sepertinya hanya Isagi yang tahu dan ia merasa spesial untuk itu.

Lagi pula kalau boleh jujur, jika menunggu dengan tampon prosesnya memang akan lebih lama, rasa sakit justru akan cepat hilang berkat isapan Rin. Jadi sepertinya yang mau bukan hanya Rin, melainkan Isagi sendiri sukarela untuk memberikan nutrisinya dengan cara seperti ini kepada Rin.

“Isagi,” panggil Rin yang tiba-tiba melepaskan isapannya sambil mendangak untuk menatap Isagi langsung.

Hm? Udah, Rin?” Isagi juga ikut menunduk dan membuat kedua mata mereka kembali bertemu.

Tetapi Rin menggeleng, membuat Isagi bingung sampai akhirnya Rin kembali mengeluarkan suaranya.

“Kalau lo emang gak mau bersalah dengan pacar gua di masa depan, gimana kalau lo aja yang ambil peran itu dari sekarang?”

“Hah?” Isagi mengerjapkan kelopak matanya berkali-kali karena tidak mengerti.

“Iya, kalau lo juga mau jadi orang terdekat yang menyaksikan gua jadi nomor satu di dunia, mungkin bisa dengan jadi pacar gua dulu?”

Begitu mengerti, Isagi lantas tersentak dan langsung melepaskan pelukannya pada kepala Rin, “Heh! Gue yang justru bakal jadi nomor satu di dunia!”

“Yakin?”

Rin mendengus meremehkan yang kini membuat Isagi kembali sadar bahwa Rin yang menyebalkan dan tidak sopan sudah kembali seperti semula.

“Ish! Lagian lo kali yang sebenernya mau jadi pacar gue, kan?”

Sialan, wajah Isagi makin memanas karena malu. Padahal Rin yang menggemaskan dan lucu tadi sudah mampu meluluhkan hatinya! Dasar perusak suasana!

Rin terlihat berpikir sejenak sebelum menjawab, “Jadi pacar lo? Gak masalah.” Kemudian ia kembali menarik tubuh Isagi untuk mengeratkan pelukan mereka.

“DIBILANG LO YANG JUSTRU MASALAHNYA-MMPPHH!”

Isagi dengan sigap menutup mulutnya untuk menahan suara aneh yang akan keluar ketika Rin kembali memulai aksinya. Sementara Rin di bawah sana tengah asyik mengisap dengan senyuman tipis yang tentu saja tidak bisa dilihat oleh Isagi lagi.

Wajah bahkan seluruh tubuh Isagi rasanya seperti terbakar ketika memikirkan kembali ucapan Rin barusan. Bukankah laki-laki itu baru saja mengajaknya untuk berpacaran? Apa itu artinya Rin menyukai Isagi? Tetapi bukannya mereka berdua ini laki-laki? Mereka juga rival, kan? Sial!

Ah, ada begitu banyak lagi pertanyaan yang harus Isagi cari tahu jawabannya setelah ini. Tetapi yang paling terpenting adalah Rin harus lebih dulu selesai mengisap habis nutrisi miliknya ini—nutrisi yang juga menjadi alasan atas terjadinya semua hal aneh kepada mereka berdua sampai detik ini! []

© 2023, roketmu.

Sudah jelas Isagi berbohong dan sampai kapan pun ia tidak akan memberitahu siapa pun tentang kebenaran akan hal itu. Kebenaran di balik plester pada dua putingnya.

Karena semua itu terjadi pada beberapa hari yang lalu, di malam ketika pemberian nutrisi sudah memasuki yang ke dua Minggu.


“Gua mau nutrisinya sekarang.”

Isagi yang sedang merebahkan diri di atas ranjang lantas terkejut dengan kehadiran Rin secara tiba-tiba di sampingnya. Posisi kamar mereka memang gelap karena pemberian nutrisi dilakukan sebelum waktu mereka beristirahat.

“Lo ngagetin gue! Kan lo bisa ngechat dulu, kalo ada yang lihat gimana?”

Isagi sedikit bersyukur karena teman sekamar mereka yang lain masih berkeliaran di luar dan hanya ada dia dan laki-laki tinggi ini saja.

Mendengar protes Isagi, Rin tetap diam, Isagi tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas karena minimnya cahaya, tapi Isagi bisa tahu bahwa laki-laki itu sedang memasang wajah kesal tak ingin dibantah.

Isagi mendecih sebal, “Iya, iya, gue ke toilet duluan, lo bisa nyusul-”

“Gua maunya di sini.”

Hah?”

Lalu tanpa bisa Isagi cegah, Rin langsung masuk begitu saja dan ikut merebahkan diri di bawah satu selimut yang sama dengan dirinya.

“Rin! Lo gila?!” Isagi menahan napasnya akibat jarak mereka yang sangat dekat.

Lagi-lagi Rin tidak menghiraukan protes Isagi, tangannya tak tinggal diam untuk bergerak mengangkat baju Isagi hingga kembali memperlihatkan dadanya yang masih merah membengkak itu.

“Rin! Ini di kamar! Nanti kalo yang lain mau masuk gimana, gila?” Isagi menatap khawatir ke arah pintu dan Rin bergantian.

“Gak peduli.”

“Rin! Ahk!”

Laki-laki bongsor itu benar-benar tak mendengarkan, ia tetap mengisap puting Isagi kembali seperti yang biasa ia lakukan akhir-akhir ini.

Tetapi entah kenapa Isagi bisa merasakan adanya perbedaan dari biasanya.

Isapan Rin kali ini lebih tergesa-gesa, bahkan lidahnya tidak tinggal diam untuk ikut membuat dada Isagi semakin panas seakan Rin tengah melampiaskan seluruh emosinya.

Apa Rin sedang marah?

Ngh-Rin? Lo lagi marah? Gue ada salah sama lo atau gimana?”

Rin tidak menjawab dan terus mengisap puting Isagi selagi yang lebih tua berpikir keras soal kesalahannya, dan ia pun kembali memutar ulang kegiatan yang mereka lakukan hari ini.

Ketika memulai latihan bersama para pemain tadi, sepertinya kelakuan Rin masih normal. Mereka makan di kantin pun sepertinya biasa saja walau duduk mereka memang selalu berjauhan. Saat mandi bersama pun Rin tidak ikut karena Isagi tahu meski diajak pun ia tidak akan mau.

Lalu ketika mereka tak sengaja mengganti pakaian di ruangan yang sama, di sana tidak hanya ada dirinya dan Rin melainkan pemain lainnya. Isagi banyak berbicara dengan yang lain terutama dengan Bachira, dan ketika Isagi mencuri-curi pandang ke arah Rin... ternyata laki-laki itu sempat ikut memperhatikan mereka berdua dari jauh dengan raut wajah yang tidak enak dilihat.

Isagi akhirnya menemukan kesimpulan asalnya.

“Oh! Lo lagi ada masalah sama Bachira, ya?”

Mendengar itu tubuh Rin tersentak, tetapi setelahnya justru ia makin memperkuat isapan pada puting Isagi yang membuat sang empu kesakitan hingga tak sengaja memukul kepala Rin cukup kencang.

PLETAK!

Tch, kenapa lo mukul gua?!”

“LO YANG TERLALU KUAT NGISEPNYA!”

Rin mendecih kesal kesekian kali, mulutnya kembali terbuka untuk siap mengisap puting Isagi lagi, tetapi lelaki mungil itu lebih dulu membekap mulutnya dengan satu tangan.

“Lo gak boleh ambil nutrisinya kalo lo masih dalam keadaan marah gini!” Isagi juga menekuk wajahnya marah, “Kenapa? Apa yang bikin lo marah?”

Melihat Isagi yang sepertinya kali ini tidak mau mengalah membuat Rin tidak punya pilihan lain. Ia pun mendengus kesal dan segera bangkit untuk duduk, memunculkan tanda tanya semakin besar di kepala Isagi.

“Tadi tete lo dilihatin Bachira.” ucapnya pelan, hampir tidak terdengar.

“Terus?”

“Ya, tete lo dilihatin! Gua gak suka,”

Isagi mengerjapkan matanya beberapa saat untuk mencerna alasan Rin mengapa ia marah, dan setelah dipikir-pikir Isagi sama sekali tidak menemukan satu pun titik masuk akalnya dalam alasan lelaki tersebut.

Isagi tersenyum kaku, “Oke? Gue gak ngerti tapi kayaknya lo ngantuk,”

“Gua gak ngantuk, sialan.” umpat Rin.

“Ya, abisnya lo gak jelas? Masa tete gue dilihatin orang doang kok lo gak suka? Emangnya-”

Ucapan Isagi sengaja dihentikan akibat suara pintu kamar yang tiba-tiba terbuka. Isagi seketika menahan napasnya, tanpa pikir panjang bukannya mengusir Rin untuk pindah dari ranjang, Isagi justru kembali menarik Rin untuk tidur di sampingnya, lebih tepatnya untuk ia sembunyikan di bawah selimutnya.

“Lho, Isagi lo udah ada di kamar dari tadi ternyata?”

Dari suaranya Isagi sudah tahu itu Bachira dan ia datang hanya seorang diri, Isagi bisa tenang sesaat.

Ah! Iya, Ra, gue abis nerima nutrisi jadi-JANGAN DINYALAIN LAMPUNYA!”

Bachira yang sudah siap menekan saklar lantas terkejut oleh teriakan tersebut, sementara detak jantung Isagi rasanya bertambah cepat di setiap detiknya.

“Oke?”

Akibat terlalu tegang, Isagi sampai tidak sadar bahwa napasnya jadi tidak beraturan dan menyebabkan dadanya naik-turun di depan wajah Rin—yang masih juga ia sembunyikan di bawah selimutnya.

“Lo udah mau tidur juga, Bachira?” basa-basi Isagi.

“Belum, sih. Oh, gue sebenernya mau cerita sesuatu sama lo!”

“Oh? Cerita- diem!”

“Diem?” Bachira menaikkan satu alisnya.

Bukan. Itu bukan untuk Bachira.

Kini Isagi tengah berusaha menghentikan tangan Rin yang tadi baru saja berusaha untuk kembali menaikkan bajunya ke atas, walau itu semua percuma karena tenaga si bongsor ini jauh lebih besar dari dirinya.

Setan, gue harus kabur dari sini!

Isagi tertawa canggung, “Maksud gue diem dulu! Ya! Diem dulu, kayaknya ceritanya jangan di sini? Kita keluar aja gimana?”

“Ohh, ayo aja gue mah, di ruang monitor gimana?”

“B-boleh! Ayo!”

Begitu Isagi ingin bangun, sepasang tangan kekar langsung mengelilingi pinggang rampingnya di bawah sana. Siapa lagi kalau bukan Itoshi Rin pelakunya? Ia seolah-olah berkata bahwa Isagi tidak akan bisa pergi ke mana-mana dan harus tetap bersamanya.

Bachira kembali menatap heran pada Isagi yang justru diam seperti batu, “Kenapa, Sa?”

Hehe, tiba-tiba gue mager kalo keluar sekarang, besok aja deh sekalian sama ceritanya,”

“Yah, tapi gue takut lupa kalo besok, dan gak bakal seru kalo gak diceritain sekarang,” Isagi tahu dari nada suaranya pasti Bachira kini tengah mengerucutkan bibirnya, merajuk.

Isagi sedang berada di pilihan yang sulit saat ini. Ia tidak bisa menuruti Bachira karena Rin sudah mengunci dirinya di bawah sana, tetapi jika ia tidak menuruti Bachira, kemungkinan anak itu pasti akan menarik tubuhnya keluar dan dengan cepat Rin akan ketahuan.

Sial, mengapa nasib buruk selalu berpihak padanya akhir-akhir ini?!

“Yaudah, yaudah, lo cerita di sini aja.” final Isagi yang langsung membuat wajah Bachira kembali berseri saat itu juga.

“Oke, oke, jadi tadi ceritanya gue abis sengaja gangguin Barou yang lagi makan sendirian...”

Saat Bachira memulai ceritanya, di saat itu juga Rin memulai kembali aksinya. Dengan baju Isagi yang sudah terangkat sejak tadi membuat Rin dengan mudah langsung mengisap putingnya.

Isagi mengutuk Rin dengan segala apa yang ia lakukan padanya saat ini. Tetapi ia tidak boleh kalah, Rin sedang berusaha mengacaukannya dan Isagi akan berusaha untuk tetap fokus pada apa yang di depannya.

“Kenapa lo gangguin? Te-terus dia marah?”

Bachira tersenyum menyebalkan, “Marah lah, dia kan orangnya suka banget kebersihan, jadi gue iseng aja nyeletuk ‘ternyata kutang lu ga bau keteknya kuproy’ eh dia langsung narik kerah baju gue anjrit, HAHAHA!”

“Anjir, lo jangan gitu lah, Barou emang super bersih parah, jadi gak-nghh!”

Isagi mengatup bibirnya tiba-tiba karena di bawah sana, Rin kali ini tidak hanya mengisap putingnya melainkan menggigit-gigitnya pelan.

LO NGAPAIN, GILAAAA?!!!

“Kenapa, Sa?” panik Bachira.

“Gapapa, kayak ada yang gigit,”

Bachira memicingkan matanya curiga, tapi ia tetap melanjutkan ceritanya, “Abis itu gue lari dan dia ngejar gue, minta tolonglah gue sama-”

AHK!

“Sa! Lo kenapa lagi, anjrit?”

Bachira semakin heran, tetapi Isagi kembali bertingkah seolah tidak apa-apa—padahal sebenarnya Rin baru saja kembali mengisap kuat putingnya. Isagi berjanji akan membalas perbuatan si Itoshi bungsu itu sebentar lagi!

“Gapapa, gapapa, udah lanjutin aja,”

“Ya gitu deh, terus pas Barou ngejar gue, langsung lah gue ngumpet di balik Chigiri dan gak sengaja si Barou malah ngejambak rambutnya si merah, HAHAHA! Jadinya mereka yang malah asyik berantem sementara gue lari masuk ke sini!”

Harusnya Isagi tertawa, tetapi kondisinya saat ini sangat tidak memungkinkan untuk menertawakan penderitaan seseorang di saat ia sendiri juga sedang menderita!

“Lo gak boleh gitu, Ra! Mending lo pisahin mereka sekarang, sayang nutrisinya masa dipake buat berantem gajelas,”

Bachira manyun tidak setuju, “Yang ada malah gue yang diamuk, eh? Itu kayaknya mereka mau ke sini! Gue kabur lagi, deh! Lo jangan kasih tau gue kalo gue ngumpet di ruang monitor ya, Sa!”

Isagi bisa merasa sedikit tenang begitu Bachira mengatakan bahwa ia ingin pergi dari sini. Dengan cepat ia mengangguk setuju.

“Iya, yaudah lo pergi sana, nanti gue bilang lo ada di kantin!”

Bachira mengangguk, “Oke! Lo lanjutin juga istirahatnya, gue kabur dulu! Bye!”

Isagi tersenyum menanti kepergian teman pertamanya itu. Tetapi sebelum Bachira membalik badannya, ia sempat menoleh dan memperhatikan proporsi tubuh Isagi yang sepertinya terlihat berbeda dalam balutan selimut.

“Kenapa, Ra?”

Bachira mengangkat bahunya cuek, “Gatau karena gelap apa gimana, tapi kaki lo kok jadi kayak panjang banget?”

“Ha...?”

Haha, mungkin bayangan aja, gue cabut beneran!”

Setelah itu Bachira benar-benar keluar dengan pintu yang kembali tertutup rapat, meninggalkan Isagi yang masih membeku takut akibat ucapan laki-laki berambut bob itu barusan.

Apakah Bachira mencurigai ada yang aneh pada dirinya sejak tadi? Apakah Bachira sudah tahu tetapi ia tetap berlagak tidak peduli? Apakah Bachira sadar bahwa ada yang bersembunyi di bawah selimutnya? DAN APAKAH Bachira sadar bahwa Rin dari tadi sedang bersamanya?

“Si rambut bob itu gak bakal tahu,” ucap Rin tiba-tiba seakan tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Isagi.

Isagi sendiri yang sempat termenung selama beberapa saat langsung dibuat sadar ketika melihat Rin, satu jitakan cukup kencang pun kembali ia berikan pada anak nakal itu.

PLETAK!

“Lo cari mati sama-”

“Lo yang cari mata sama gue!” Isagi mendengus kesal dengan wajah memerah, “Dasar tolol!”

Rin tersentak mendengar makian pertama kali dari yang lebih tua, Isagi sendiri sudah sangat kesal karena dari tadi ia berusaha mati-matian untuk menyembunyikannya tapi anak bongsor ini sendiri berusaha membuat mereka ketahuan.

“Kalo udah tahu lagi di kondisi kayak gitu harusnya lo diem aja! Bukan malah berulah yang mancing kita buat ketahuan! Emangnya lo mau tanggung jawab? Emangnya lo juga gak bakal malu?”

Isagi tersenyum meremehkan, “Main bola aja lo fokusin selalu jadi nomor satu, tapi sisanya malah nol! Bego! Itoshi Rin bego!”

Kemudian suasana menjadi hening sesaat setelah Isagi mengomelinya habis-habisan. Yang lebih tua berharap Rin segera sadar akan kesalahannya, walau sepertinya percuma karena justru omelan barusan malah mengundang hal yang sebaliknya.

“Tolol? Bego?”

Suara Rin tiba-tiba menjadi lebih rendah, Isagi yang tadinya sangat tersulut emosi seketika ikut meredam karena aura yang dikeluarkan lelaki di depannya saat ini lebih mengerikan dari apa pun.

Waduh, sepertinya Isagi benar-benar menggali lubang untuk kuburannya sendiri.

“R-Rin, maaf tadi gue-UWAHH!”

Belum sempat ucapannya selesai, Isagi sudah kembali berbaring tetapi kali ini dengan Rin yang sudah mengukungnya dari atas.

“Pembicaraan kita di awal belum selesai,”

Haha, yang mana, ya? Lo yang mau nutrisi? O-oke silakan diambil, b-belum selesai, kah?” wajah Rin yang begitu dekat dengannya membuat Isagi mau tak mau memalingkan wajah ke samping untuk menghindari pandangan menusuk si Itoshi bungsu.

“Tentang gua yang gak suka, kalo tete lo dilihatin orang lain.”

Rin kini mengangkat kembali baju yang dikenakan Isagi untuk memperlihatkan dua buah dada yang akhir-akhir ini menjadi santapan hariannya.

“K-kenapa lo gak suka? Ini kan-”

“Karena ini punya gua.”

Kemudian Rin kembali mengisap puting Isagi yang masih merah merekah, membuat sang empu dengan reflek menjambak rambut yang lebih muda sambil menahan erangannya.

“Di dalamnya ada nutrisi punya gua, yang satu pun orang gak akan bisa untuk ikut ambil,”

“Tapi-Ahk!”

Isagi memejamkan matanya begitu merasakan nyeri bercampur nikmat aneh pada dadanya yang kini baru saja digigit dengan sengaja oleh seorang Itoshi Rin. Gigitan yang Isagi tahu akan membekas jelas.

“Rin! Stop-mmhh!”

Ucapan Isagi seolah memintanya untuk berhenti, tetapi tangan yang ikut menjambat rambut Rin dan menarik kepalanya untuk memperkuat isapan justru mengatakan sebaliknya.

Oleh karenanya, Rin tidak berhenti di situ saja. Dengan lebih semangat, area sekitar dada Isagi juga ikut ia isap kuat hingga meninggalkan banyak bercak merah keunguan yang pasti juga akan lama hilangnya.

Stop, idiot...”

Rin mendengus pelan ketika bertemu mata Isagi yang menatapnya sendu dengan gairah tertahan, “Dengan ini lo jadi bisa inget kalo ini semua punya gua,” dan satu kecupan lembut terakhir ia berikan pada dada si manis sebelum menyelesaikan ucapannya, “punya Itoshi Rin.”

Setelah mengatakan itu Rin bangkit perlahan, senyum bangga terlihat tipis di wajahnya begitu melihat Isagi yang tidak berdaya dengan tubuh setengah terbuka penuh tanda, menampilkan mahakarya paling indah dengan dia sendiri sebagai pembuatnya.

Rin pun keluar dari kamar, meninggalkan Isagi dengan wajah paling merah sedunia dikarenakan perbuatannya yang amat kurang ajar, walau Isagi akui ia pun tidak dapat berkutik dan tidak sanggup melawannya.

Kini Isagi hanya bisa pasrah begitu ia bercermin dan melihat banyaknya bercak merah dan gigitan di sekitar puting dadanya, yang juga masih basah dengan saliva milik Rin yang menghiasinya.

“Itoshi goblok Rin... gimana cara gue nyembunyiin cupangan lo yang sebanyak ini? Tolol!!!!”


Jadi... seperti itu alasannya. Sudah jelas bukan mengapa Isagi memilih untuk berbohong?

Karena kebenaran di balik plester yang Isagi kenakan—adalah ulah dari Itoshi Rin yang sudah memberinya tanda kepemilikan. []

© 2023, roketmu.