roketmu

satu nusa, satu bangsal.

Sejak menerima pesan terakhir dari Rin yang menyetujui ajakannya, sejak saat itu pula jantung Isagi berdebar lebih kencang dari biasanya. Entah karena lonjakan semangat kepalang ingin mengalahkan Rin sesungguhnya, keresahan karena takut misinya akan gagal, atau perasaan lain yang masih tidak bisa Isagi mengerti keberadaannya.

Mengingat Otoya yang kemarin mengatakan bahwa ia seperti terlalu serius menanggapi permasalahan dengan Rin, hanya semakin membuat Isagi juga ikut bertanya-tanya.

Mengapa ia bisa seserius ini menanggapi Itoshi Rin? Apa karena si culun itu yang pertama kali kurang ajar dan bisa melawannya balik terus-menerus?

Lagi pula sejak awal memang Isagi yang selalu jadi pihak memulai perseteruan di antara mereka. Dari teman-teman Isagi yang selalu mengusik teman-teman polosnya, Isagi yang sengaja tidak mengerjakan tugas kelompok, Isagi yang juga merundung Rin waktu di pesta ulang tahun Karasu, bahkan sampai Isagi berencana mengeroyok Rin di rumah kosong.

Adalah hal yang wajar jika Rin ingin membalas semua itu untuk perlindungan dirinya sendiri. Semua yang pernah bermasalah dengan Isagi juga akan melakukan itu, walau memang tidak pernah ada yang berakhir sampai selama ini.

Mereka semua biasa menyelesaikan masalah dengan pertarungan dan kekerasan, jadi untuk membalas Rin kali ini akan sangat berbeda karena si culun itu sudah memegang kelemahan mereka, mulai dari ancaman bahkan hiburan pribadi Isagi sendiri.

Mungkin karena itu Isagi jadi ingin menanggapinya seserius seperti sekarang ini. Wajar juga jika semakin Rin melawan, semakin pula Isagi ingin membalas perbuatannya, kan?

Namun anehnya persepsi-persepsi tersebut belum juga menjadi jawaban atas perasaan janggal yang masih belum bisa dimengerti Isagi saat ini.

Yang jelas Isagi hanya punya satu tujuan.

Pokoknya gue gak akan kalah apa lagi dari gay culun sok berani kayak dia.

Ya, Isagi hanya tidak ingin kalah. Cukup dengan tujuan itu saja.

Karena itu terlepas dari segala hal yang membuat jantungnya berdebar kencang tak teratur, Isagi berharap pembalasan dendam atau hukuman yang ia berikan pada Rin kali ini akan menjadi yang terakhir.

Sebab Isagi sendiri sangat ingin Rin menyerah dan ia pun jadi tidak perlu lagi berurusan dengan orang sepertinya, kalau bisa juga untuk selamanya.

“Hai, Rin!”

Maka untuk mencapai tujuannya, di sinilah Isagi berada, di depan halte bis tempat ia menjemput Rin yang sudah siap untuk ia jebak malam ini juga.

“Selamat malam.”

Isagi langsung tersenyum lebar sebagai bentuk reflek untuk menutupi rasa ingin tertawa kencang ketika melihat setelan yang Rin kenakan saat ini. Walau tidak jauh berbeda dengan waktu di pesta ulang tahun Karasu, tapi kali ini benar-benar lebih buruk mengingat bahwa Isagi akan membawanya ke sebuah kelab mahal milik ayahnya Otoya.

Mulai dari celana jeans kebesaran berwarna biru tua, kemeja kotak-kotak dengan warna hijau norak yang dikancingi penuh sampai ke atas, sepatu merah yang entah apa itu mereknya, dan jangan lupakan kacamata tebal yang makin menyempurnakan penampilan bodohnya yang semakin bodoh itu.

Mungkin sebelum sampai ke ruangan yang sudah ia pesan ini Rin lebih dulu mendapat hujatan dan makian dari orang lain di kelab. Haha, membayanginya saja sudah lucu sekali bagi Isagi.

“Sini masuk, jangan diem aja.”

Rin masuk ke dalam mobilnya, mereka duduk bersebelahan pada jok depan seperti yang Isagi minta. Bukan hanya karena Isagi sedang berpura-pura baik, tapi kalau boleh jujur ada satu hal yang mengejutkan dari Rin di balik penampilan culun bodohnya itu.

Wangi Rin.

Minyak wangi yang dikenakan Rin sangat harum dan cocok sekali dengan selera Isagi. Jadi Isagi benar-benar tidak masalah untuk berada di dekatnya selama ini, bahkan termasuk pada saat kejadian kejatuhan buku yang sudah-sudah itu.

Duh, sialan, malah kepikiran itu lagi!”

“Kenapa, Isagi Yoichi?”

Ah, gapapa! Gue mulai nyetirnya, ya?”

Rin pun mengangguk, sementara Isagi tertawa canggung guna menutupi tingkah memalukan yang tidak disengaja itu.

“Tempatnya agak jauh, lo bisa tidur dulu kok.”

“Gapapa, saya gak ngantuk.”

Duh, gue yang canggung dan bingung mau ngomong apaan sama lo!

“Kalo gitu gue setel lagu, ya? Biar gak sepi.”

“Terserah, ini mobil kamu juga.”

Haha, oke.”

Beruntung apa yang membuat Isagi segan benar-benar tidak terjadi. Sebab selama perjalanan ini Rin memang banyak diamnya, jadi Isagi tidak perlu repot-repot mencari topik untuk bicara.

Pemuda bertinggi besar itu lebih memilih untuk menatap jalanan di balik kaca jendela mobil dengan tenang, menikmati pemandangan luar sambil membiarkan wajahnya ikut terkena pancaran cahaya dari lampu di pinggir jalan.

Sesekali juga diam-diam Isagi melirik ke arahnya kala itu, memperhatikan garis wajah Rin dengan seksama, hingga perasaan janggal tersebut kembali muncul ke permukaan dan membuatnya kian gelisah.

Sebab itu pula ia mempercepat laju mobilnya untuk sampai ke tujuan, yang tadinya bisa memakan waktu setengah jam jadi hanya 20 menit.

Lalu karena tak ingin berlama-lama lagi, begitu mereka keluar dari parkiran mobil pun Isagi tanpa banyak bicara langsung merangkul lengan Rin, berupaya menahannya secara tidak langsung selagi ia memimpin jalan masuk ke dalam kelab.

“Tempatnya ada di atas, udah gue pesan jadi lo bisa tenang.” begitu ujarnya yang hanya dijawab Rin dengan anggukan singkat.

Isagi tersenyum tipis karena rencananya hampir berhasil semudah ini. Tadinya ia pikir sebelum mereka melangkahkan kaki pun Rin akan menolak masuk mengetahui Greenscar adalah salah satu kelab malam terkenal di kota mereka, tapi sepertinya si culun ini belum mengetahuinya jadi Isagi bisa aman.

Terlebih lagi ia memiliki akses orang dalam yaitu Otoya sang anak pemilik kelab, Isagi jadi bisa masuk lewat lantai yang berbeda dan mempermudah dirinya untuk membawa Rin secara diam-diam.

Begitu mereka tiba di lantai sesuai, beberapa pelayan di sana langsung membimbing mereka ke ruangan yang dituju. Ruangan-ruangan khusus tamu VIP tentunya.

“Silakan, Tuan.”

Mereka berdua masuk pada salah satu ruangan yang cukup luas untuk dua orang. Ruangan itu dihiasi oleh lampu remang-remang tapi bernuansa elegan yang juga dikelilingi benda dan pajangan mewah. Tetapi fokus Isagi hanya tertuju pada tempat berlangsung rencananya, yaitu pada dua sofa memanjang dengan meja kaca transparan di bagian tengah, bersamaan dengan beberapa gelas kaca kecil dan juga botol minuman yang sudah dipesan di atasnya.

“Apa ada lagi yang diperlukan, Tuan?”

“Gak ada, thanks. Kalian boleh pergi sebelum gue panggil lagi.”

Begitu para pelayan keluar dan pintu sukses ditutup, saat itu pula senyuman Isagi kembali muncul.

“Ayo duduk, Rin. Gue udah pesan ruangan ini emang untuk kita berdua aja.”

“Ini mewah sekali, Isagi Yoichi. Kamu mau pesan makan apa di tempat kayak gini?” tanya Rin yang masih memandang ke sekeliling dengan takjub.

Siapa juga yang mau makan? batin Isagi licik.

“Udah duduk aja, kita bisa pesan nanti.”

Akhirnya Rin dan Isagi kini duduk berhadapan, yang mengartikan bahwa rencana Isagi juga sudah bisa dimulai sekarang.

Seperti yang ia duga, Itoshi Rin pasti belum tahu tempat seperti apa ini. Mungkin si culun ini akan langsung tahu jika mereka berada di ruangan bebas dengan musik berisik tempat orang biasa menari sambil minum-minum. Jadi ruangan lebih pribadi seperti ini adalah pilihan terbaik.

“Lo lihat menunya dulu aja, nanti kita bisa langsung panggil pelayannya kalau udah selesai milih.”

“Oke.”

Lalu selagi Rin sibuk melihat-lihat menu, Isagi segera menuangkan wine pilihannya itu ke dalam gelas kecil milik mereka berdua.

Betul, rencana Isagi yang berupa hukuman untuk Rin kali ini adalah membuat si ketua kelas culun itu mabuk, lalu tak lama setelah itu Isagi akan menyuruh wanita-wanita pilihan Otoya untuk datang ke ruangan mereka dan membantunya.

Membantu untuk apa? Tentu saja untuk membuat berita rekayasa bahwa ‘Rin si ketua kelas yang teladan dan tidak pernah salah, ternyata pernah punya rekam jejak digital sedang mabuk-mabukan bersama banyak wanita’. Inilah balasan blackmail untuk Rin dari Isagi.

Pasti dengan begitu situasi mereka jadi setara, kan? Rin tidak dapat lagi mengancamnya karena Isagi juga sudah mempunyai ancaman untuk si ketua kelas.

Memang terdengar jahat dan licik, tapi ini sudah menjadi hukuman untuk Rin agar jangan bermain-main lagi dengan orang sepertinya.

Isagi kini kembali melihat Rin yang masih berkutik dengan menu, “Gimana? Udah tau mau pesan apa?”

“Boleh saya ikut seperti pesanan kamu aja? Saya cukup bingung.”

Isagi mengangguk setuju, “Kalo gitu gue yang milih nanti. Tapi sebelum itu ... lo mau main game kecil-kecilan sama gue gak, Rin?”

Game seperti apa?”

Hmm, cuma balapan minum ini 7 gelas dengan cepat, terus yang kalah bakal ngabulin satu permintaan untuk yang menang, bebas apa aja!”

Rin terlihat berpikir sejenak sambil menatap botol wine itu dengan bingung, “Beneran cuma balapan minum aja?”

“Iya! Kenapa? Lo takut sama minuman ini? Tenang aja ini bukan alkohol kok, cuma minuman perisa anggur khas tempat ini! Gue udah sering coba!”

Tentu aja gue bohong, tolol.

Wine pilihan Isagi memang bukan yang termahal, tapi Isagi yakin hanya dalam 5 gelas saja pasti sudah cukup untuk membuat orang culun seperti Rin ini mabuk dengan cepat.

Isagi juga sengaja menentukan permainan seperti ini yang hanya akan merugikan Rin di dua sisi, sebab ia tahu bahwa Rin itu adalah orang ambisius dan juga teliti. Jika di sini Isagi yang menang, Isagi akan meminta dirinya untuk menghapus video dan foto ancaman tersebut. Tetapi jika Isagi yang kalah, berarti si culun itu sudah berhasil menelan habis 7 gelas wine tersebut dan berakhir mabuk di sini.

Bukankah rencana Isagi kali ini benar-benar cerdik?

“Oke, kalau gitu ayo.” ucap Rin setuju yang mengundang senyuman Isagi detik itu juga.

Nice, Itoshi Rin. Sekarang bener-bener kena lo, sialan.

“Kalau gitu kita mulai dari hitungan ketiga, ya?”

“Oke.”

“Satu ... dua ... tiga!”

Kemudian mereka berdua pun saling berlomba meminum wine tersebut secara lebih cepat.

Satu gelas.

Dua gelas.

Isagi kini memperlambat tegukannya begitu ia sampai pada gelas ketiga, dan dari sudut matanya ia bisa melihat Rin masih semangat menenggak wine tersebut pada gelas keempat.

Bodoh, apa haus banget si tolol ini? herannya.

Tapi justru dengan melihat itu, Isagi tak lagi dapat menyembunyikan senyumannya karena merasa sudah menang telak di sini. Apa lagi ketika Rin benar-benar terlihat sudah menghabiskan 7 gelas wine sesuai dengan aturan permainan mereka.

Ahhk!” desah Rin pada tegukan terakhirnya.

Sorakan langsung keluar dari mulut Isagi, “Wow! Lo yang menang! Cepet banget lo minumnya, Rin?! Gue bahkan belum sampai gelas keempat.” ia juga bertepuk tangan senang, sementara Rin mengangguk singkat menerima pujian itu.

Setelah ini tinggal tunggu lo pusing, lalu gue bisa segera manggil cewek-cewek temennya Otoya abis ini! Rasain lo, Culun!

“Karena saya mau menang, jadi boleh saya langsung meminta hadiah saya?”

Namun ucapan Rin barusan lebih dulu membuat mata Isagi langsung mengerjap heran berkali-kali upaya memeroses keadaan.

“Sekarang?” ulangnya, “Ini cuma boleh satu aja, lho?”

Rin mengangguk, “Iya, sekarang. Boleh, kan? Ini mudah kok.”

Isagi terdiam sejenak untuk berpikir, karena kalau boleh jujur, hal ini di luar perkiraannya.

Pertama, harusnya Rin sudah mulai merasa pusing bahkan mual jika ia belum pernah mencicipi alkohol sama sekali. Kedua, Isagi tidak menyangka jika Rin langsung mengajukan permintaannya sekarang karena Isagi sendiri sama sekali tidak terpikirkan bahwa ia harus menuruti hal tersebut.

“Isagi Yoichi?”

Namun bisa berbahaya jika Isagi menolak, apa lagi permainan ini adalah buatannya sendiri. Akan semakin mencurigakan saja jika Isagi menolak, mau tidak mau ia harus tetap berakting terlihat baik di depan Rin sebelum si ketua kelas tak sadarkan diri di depannya.

Ditambah lagi tadi Rin berkata bahwa permintaannya juga mudah, kan?

Haha, boleh kok, boleh. Ayo, lo mau minta apa sekarang?”

“Kamu minum ini 10 gelas lagi.”

Ha?

Rin kini menuangkan wine tersebut pada gelas kosong Isagi hingga penuh, sementara sang empu gelas hanya diam membeku dengan rahang mengeras.

Minum wine 10 gelas lagi katanya? Apa Isagi tidak salah dengar?

“Minum lagi? Serius cuma ini permintaan lo?”

Pemuda bersurai hijau gelap itu mengangguk, “Saya merasa lumayan pusing karena minum ini terlalu banyak, jadi saya ingin memastikannya juga sama kamu, apa kamu bakal pusing juga kalau minum sama banyaknya?”

Isagi meneguk salivanya gugup, “Buat apa?”

“Buat tau kalau minuman ini ada alkoholnya atau engga.”

Pupil biru Isagi langsung mengecil begitu mendengarnya. Ketakutan yang tadi sempat menghilang kini kembali muncul dan membuatnya gelisah. Keringat bahkan mulai turun di pelipisnya kala ia sedang dilanda kegugupan.

“Muka kamu kayak kaget gitu? Kamu takut karena ternyata udah sering coba minum ini tapi ternyata gak tau kalau ada alkohol di dalamnya, ya?”

Eh?”

“Saya cuma mau buktiin aja kok, lagi pula ini juga minuman yang biasa kamu minum dan kamu suka. Jadi permintaan saya gak sulit, kan? Isagi?”

Isagi kembali terdiam seribu bahasa.

Ini orang tolol atau gimana?

Tapi lagi-lagi ia tidak menyangka bahwa Rin adalah orang yang memang selalu punya kejutan. Bisa-bisanya si ketua kelas masih mengkhawatirkan orang lain seperti itu di kala kesialan sebentar lagi akan menghampirinya. Apakah Rin secara tidak langsung sedang berupaya meminta simpati untuk dibebaskan oleh Isagi?

Ah, Isagi bahkan tak lagi dapat menahan tawanya. Ia benar-benar tertawa puas yang membuat pemuda tinggi itu melihatnya dengan tatapan bingung.

“Padahal lo bisa minta lebih dari ini tapi taunya lo milih buat engga, lo lucu banget, Rin. Hahaha!” Isagi pun menerima gelas yang disodorkan Rin dengan senang hati, “Permintaan lo gue terima, gue akan minum 10 gelas ini. Perhatiin baik-baik, ya?!”

Sebagai bentuk solidaritas terhadap permainannya sendiri, Isagi pun menyetujui saja permintaan Rin. Apa lagi dalam beberapa menit ke depan si culun ini akan pingsan di depannya, jadi Isagi hanya akan menurutinya sampai saat itu tiba.

Tetapi begitu Rin menjawabnya dengan anggukan dan senyuman tipis untuk pertama kalinya sejak hari ini mereka bertemu, pada detik kemudian pula membuat Isagi langsung merasakan perasaan tidak enak merembet ke seluruh tubuhnya.

Tiga gelas.

Lima gelas.

Menenggak banyak wine dalam keadaan pikiran baik-baik saja memang cukup menyakitkan. Isagi dengan jelas mulai merasakan panas dalam tubuhnya menyerang, sesekali ia menatap ke arah Rin berharap laki-laki itu segera tumbang, tapi ternyata ia masih juga menatapnya lekat layaknya memastikan Isagi benar-benar menghabiskan winenya tanpa tersisa sedikitpun.

Total gue udah minum kalau digabungin sama yang tadi itu udah jadi 7 sama kayak dia, tapi kenapa dia belum tepar juga? Katanya tadi pusing?

Sembilan gelas.

Sial, kalau sudah begini justru Isagi yang mulai tidak kuat. Kepalanya sudah pusing dan kini pandangannya kian ikut mengabur.

“Kenapa, Isagi Yoichi? Kamu pusing?”

Rasanya seperti tubuh Isagi diputar secara pelahan dan suara-suara bising mulai masuk ke indra pendengarannya tanpa diminta sama sekali. Oleh karena itu, ia kini menatap Rin yang baru saja bertanya dengan nada khawatir, tetapi wajahnya malah menunjukkan sebaliknya.

Bangsat ...

Isagi bisa melihat laki-laki itu tersenyum, senyuman yang kali ini terlihat lebih jelas dan merupakan senyuman yang sama seperti yang ia berikan ketika di pesta ulang tahun Karasu waktu itu.

“Satu gelas lagi, Isagi Yoichi.”

Tangan kiri Rin kini terulur untuk menarik tengkuk Isagi, membantu kepalanya untuk tetap terangkat di kala tubuhnya yang sudah mulai lunglai. Sementara tangan kanannya ikut menyodorkan kembali gelas yang tak lagi bisa laki-laki bersurai biru tua itu raih, lalu perlahan memaksa dirinya untuk kembali meminum apa yang masih tersisa di sana.

Isagi biasanya cukup waspada terhadap batas kemampuan ia dapat menerima alkohol untuk tubuhnya, tapi kali ini ia lupa karena terlalu sibuk pada pikirannya yang menunggu Rin untuk tumbang lebih dulu dibanding dirinya.

Isagi sadar bahwa lagi-lagi ia kembali dipermainkan.

Dengan dirinya yang sudah mulai tidak berdaya dan di sela-sela kesadarannya yang hampir hilang, entah mengapa justru kalimat-kalimat peringatan dari Yukimiya waktu itu kembali muncul dalam ingatannya.

“Tapi kayaknya Itoshi Rin ini emang bukan orang biasa kayak yang lain?”

“Jadi lebih baik kita yang nyerah aja dan berhenti cari masalah sama dia.”

Harusnya Isagi mungkin mendengarkan peringatan itu, harusnya juga Isagi bisa sedikit lebih bersabar terhadap emosi dan egonya.

Karena ia sendiri tahu, mana mungkin jika Rin adalah si orang culun yang tidak pernah menyentuh alkohol ia bisa setahan ini setelah menengguk 7 gelas sekaligus?

“Gua udah bilang dia orang yang berbahaya, kan?”

Itoshi Rin memang berbahaya, dan Isagi Yoichi ternyata telah menerima bahayanya.

Kini semua sudah terlambat, bahkan kata ‘andaikan’ saja sudah tak lagi pantas untuk digunakan pada situasinya sejak awal.

Sebab di sini Isagi sadar bahwa bukan Rin yang meremehkan Isagi, tapi Isagi yang jusrtu sudah meremehkan orang seperti Itoshi Rin.

Balas dendam?

Harga diri Isagi diinjak-injak?

Isagi tidak ingin kalah?

Heh, persetan dengan itu semua karena Isagi kini sudah jatuh ke dalam neraka yang dibuat oleh Itoshi Rin untuknya.

Lalu pada tegukan terakhir yang tak lagi dapat ia terima, Isagi akhirnya tak sadarkan diri di depan Rin yang juga langsung menghilangkan senyumannya.


Pemilik netra seindah permata pirus itu menatap sosok di depannya yang kini sedang merebahkan kepala di atas meja, tak sadarkan diri akibat sudah mencapai batasnya.

Disentuhnya poni rambut sebiru lautan dalam itu perlahan guna tak ingin membangunkan sang empu. Ada wajah tenang di balik helaian itu yang selama ini tak pernah dilihat oleh Rin, wajah yang juga sama sekali tidak menunjukkan bahwa dialah penyebab semua perseteruan mereka terjadi sampai saat ini.

“Sebenernya apa lagi yang lo mau rencanain kali ini, Isagi Yoichi?”

Rin melirik ke arah botol wine yang masih berdiri kokoh di sebelah kepala Isagi, lalu mendengus remeh karena tidak menyangka bahwa laki-laki yang lebih pendek darinya ini ternyata masih sama bodohnya seperti biasa.

Apa dia pikir Rin terlalu bodoh untuk tidak mengetahui bahwa Isagi membawanya ke kelab dan memaksanya minum wine? Jujur saja Rin tahu dan tahan seperti sekarang ini bukannya karena ia pemabuk, tapi Rin pernah terpaksa harus mencobanya untuk mencaritahu batas ketahanannya juga demi perlindungan diri sendiri akan kejadian seperti ini.

Sebab seringkali ketika ia masih duduk di bangku SMP banyak orang yang berusaha mendekatinya dengan motif buruk setelah mengetahui bahwa ia adiknya Sae si pemain bola terkenal.

Beberapa cara ada yang dengan pendekatan normal seperti menghampirinya langsung di sekolah dan memberikan banyak hadiah atau surat di lokernya, ada juga yang menguntit sampai harus membuat keluarganya pindah rumah, bahkan sampai dengan memberikan minuman beralkohol agar bisa menjebaknya.

Benar-benar masa lalu kelam yang membuat dirinya harus menyembunyikan identitas asli sekaligus berperilaku seperti bukan dirinya sendiri.

Namun, entah mengapa di saat Rin yakin bahwa dengan dirinya yang sekarang ini bisa membuat kehadirannya merasa aman dan nyaman, tetap saja ada seonggok manusia lain yang ingin masuk ke dalam hidupnya dan berurusan sampai seserius ini dengannya.

Ah, tapi tidak juga. Mungkin memang benar bahwa Isagi yang mulai duluan dengan cari masalah dengannya, tetapi Rin juga yang memilih untuk ikut terus membalasnya.

Padahal seperti yang dikatakan Abang waktu itu, Rin bisa saja langsung melaporkan Isagi, menuntutnya bahkan satu sekolah sekalipun agar laki-laki nakal itu bahkan siapapun tak lagi dapat mengganggunya. Tapi lagi-lagi Rin yang memilih untuk membalas Isagi dengan caranya sendiri.

Apa karena Rin memang membenci Isagi? Tidak juga. Apa karena Rin ingin memberikan sanksi terhadap perbuatan Isagi selama ini? Bisa jadi. Apa karena Rin bosan dan butuh hiburan semata? Mungkin saja.

Atau ... apa Rin hanya ingin melihat reaksi Isagi yang marah-marah karena itu terlihat lucu di matanya?

Sepertinya itu jawaban yang paling benar.

Rin yang sejak tadi tenggelam dalam pikirannya seketika tersadar bahwa ia bahkan masih juga mengusap helai rambut Isagi seraya terus menatap wajah tenang yang lebih tua.

Kedua matanya seperti sudah terjebak oleh bagaimana paras wajah Isagi saat ini. Jemarinya bahkan tanpa sadar ikut bergerak untuk menyentuh apa yang kini ia lihat. Mulai dari alis Isagi yang kini terlihat normal padahal biasanya menekuk karena marah, kelopak mata yang menutupi bola mata seindah permata safir milik Isagi yang biasa menatap nyalang ke arahnya, hidung kecil Isagi yang tengah bernapas normal padahal biasanya mendengus remeh, pipi gembul Isagi yang sama sekali mengurangi kesan garang yang sudah dibuat olehnya selama ini, dan juga bibir tipis Isagi yang biasa mengeluarkan kata-kata kasar paling pedas satu sekolah.

Bibir tipis yang kini menjadi pusat perhatian Rin sepenuhnya, bibir tipis yang terlihat lebih lembab akibat wine yang masih menempel di atasnya, bibir tipis ... yang juga membuat Rin penasaran dan ingin sekali menciumnya.

Fuck. Mikir apa gua tadi?”

Buru-buru si Itoshi bungsu itu menjauh dari tubuh Isagi dengan menyandarkan punggungnya pada sofa di belakang. Mengistirahatkan kepalanya sambil menghela napas gusar, tak percaya dengan apa yang ia pikirkan barusan.

“Kenapa gua jadi terbawa peran gay gini?”

Apa ini termasuk pengaruh alkohol juga? Karena kalau benar begitu, tandanya Rin harus cepat-cepat mengangkat kaki sebelum kejadian yang tidak diinginkan terjadi.

Padahal Isagi yang seperti ini adalah sasaran empuk untuk kembali dijadikan ancaman baru. Tapi mengingat bahwa Rin merasa sudah lumayan terhibur dengan main-mainnya yang telah membuat Isagi seserius ini, Rin juga akan membiarkan kejadian yang satu ini berakhir cukup di sini saja.

“Semoga lo gak perlu berurusan sama gua lagi, Isagi Yoichi.” ujar Rin seraya menepuk pucuk kepala Isagi untuk yang terakhir kalinya sebelum ia beranjak keluar.

Tetapi melihat Isagi yang masih juga terlelap damai sendirian, terbesit perasaan bersalah dalam hatinya dan sontak membuat Rin mengurungkan niatnya untuk berdiri sesaat. Ia pikir ia perlu untuk setidaknya menitipkan Isagi kepada orang yang terpercaya.

Heh, kalau gitu biar gua telfon dulu temennya. Otoya Eita itu anak pemilik GreenScar, kan? Pasti si bodoh ini minta bantuan dari dia juga untuk ngejalanin rencananya kali ini.” monolog Rin seraya mengeluarkan ponselnya untuk bersiap melakukan panggilan.

Lalu selagi Rin sibuk mencari kontak nama Otoya di dalam ponselnya, tiba-tiba suara lenguhan cukup keras datang dari arah Isagi yang reflek membuat Rin memusatkan perhatian penuh padanya saat ini.

Ah, Isagi sudah terbangun.

Laki-laki itu bangun perlahan untuk duduk sambil mengedipkan matanya berkali-kali selama beberapa saat, sebelum akhirnya menyadari ada Rin di depannya dan langsung melayangkan tatapan tidak suka dalam sekejap.

“Bangsat, ada lo lagi ... Gay culun!”

Rin mendengus remeh, “Kalimat pertama yang keluar setelah bangun sekasar ini? Memang ketua geng anak nakal sejati.”

Kemudian tanpa peringatan apapun, ditariknya kerah kemeja Rin dengan kedua tangan Isagi hingga kini membuat kedua wajah mereka berhadapan dengan jarak kurang dari sejengkal. Entah tenaga dari mana yang merasuki pemuda itu saat ini, yang jelas Rin berhasil dibuat terkejut hingga tidak sempat mengantisipasi hal tersebut.

“Lo tuh kenapa nyebelin banget, sih?! Gue sebel dan benci banget lihat lo! Gue muak! Lo kenapa bukannya takut sama gue tapi lo malah ngelawan?! Heh, Gay bangsat! Jawab!”

Isagi langsung menyerbu Rin dengan kumpulan makian yang hanya membuat telinga Rin sakit akibat ledakan suara kerasnya.

Shit. Dia bener-bener mabuk sekarang.

“Lo sendiri yang juga cari masalah sama gua, kalau emang sebel dan benci gua, lo aja yang jauh-jauh dari awal.”

Tapi anehnya Rin juga ikut menimpali ucapan dari Isagi yang mabuk dan bahkan sukses membuat pemuda yang lebih tua itu tertegun selama beberapa saat.

“Lo bener ...” Isagi memelankan suaranya dengan intonasi lebih tenang.

“Yaudah, jadi lepas-”

“Tapi karena ini pertama kalinya kita bisa ngomong gini secara langsung berdua, gue juga jadi pengen nyampein beberapa hal sama lo sejak lama ...”

Rin lagi-lagi menghela napasnya gusar. Sepertinya memang tidak ada gunanya berdebat bersama dengan orang yang kesadarannya nol dan tidak mau kalah ini.

Hmm, gue juga gak tau kenapa bisa sebenci ini sama lo padahal gue mulu yang mulai cari masalah, apa karena lo yang nyebelin aja? Lo yang ngelawan? Lo yang gay? Atau ... ya, karena itu diri lo aja?”

Mendengar ocehan Isagi hanya membuat Rin jadi tak niat membalas dan memilih untuk diam. Tetapi justru karena ia diam dan pertahanan dirinya jadi berkurang, ia sampai tidak bisa mencegah gerakan di luar prediksi dari Isagi yang kini sudah bangkit dari sofa—dengan leluasanya menyebrangi meja hanya untuk duduk di atas pangkuan Rin dalam hitungan detik saja.

“Isagi?!”

“Diem. Lo harusnya gue kasih hukuman hari ini, tapi gatau kenapa malah jadi gue yang kena batunya!”

Rin berniat untuk protes, tapi dirinya lebih dulu dibuat terbelalak kala Isagi membuat wajah cemberut lucu yang lagi-lagi sama sekali belum pernah ia lihat. Akibatnya tangan yang tadi hendak menjauhkan tubuh Isagi dari atasnya ikut mendadak terhenti.

“Gue benci lo ... mulai dari benci badan lo yang lebih besar dan tinggi daripada gue ...”

Kemudian pula telapak tangan Isagi yang tadi bertengger pada kerah bajunya kini mulai merembet ke area pundak yang kian membuat tubuh Rin merinding di setiap sentuhannya.

“Badan lo yang juga sebenernya lebih kekar dari gue tapi ketutupan sama kemeja kotak-kotak bangsat lo ini ...”

Isagi menjeda sejenak ucapannya hanya untuk menatap jijik ke arah kemeja Rin, seakan-akan ia ingin membakar kemeja tersebut sekarang juga tapi akhirnya ia memilih untuk hanya membuka dua kancing paling atas tanpa persetujuan sang pemilik.

“Lalu suara rendah lo yang sekalinya keluar bisa bikin orang yang dengar merinding ...”

Rin menahan napas ketika Isagi menyentuh bibirnya dengan jari telunjuk tanpa segan sedikitpun.

“Dan juga mata ini ... mata yang selalu bikin gue gak nyaman hanya dengan tatapan sama lo.”

Lalu gerakan tidak terduga Isagi selanjutnya ialah melepaskan paksa kacamata tebal palsu milik Rin, lalu melemparnya ke sembarang arah guna tak lagi dapat diraih oleh sang pemilik.

“Nah, udah gue duga. Lo beneran jadi ganteng banget tanpa kacamata tolol tadi.”

Setelah mengucapkan itu Isagi memberikan senyuman manis yang lagi-lagi juga baru pertama kali Rin lihat, membuatnya ikut tertegun heran akibat merasakan detak jantungnya yang tiba-tiba ikut berdebar lebih kencang dari biasanya.

Fuck, minggir.” perintah Rin.

“Kenapa? Lo malu?”

Kekehan lucu terdengar dari Isagi kala melihat Rin yang menolehkan kepalanya ke samping. Membuat Isagi justru terpancing untuk langsung mengacak-acak rambut hingga poni panjang Rin, ia tata sesuka hatinya, hingga kedua netra biru si lucu itu berbinar senang setelah melihat hasil dari perbuatannya.

Wow ... Itoshi Rin. Gue bahkan tambah benci sama lo karena lo dengan tololnya nyembunyiin lo yang seganteng ini!”

Jemari Isagi kini bahkan tak kussa untuk meraba pipi dan garis rahang Rin dengan hati-hati, dengan kekaguman penuh, layaknya mahakarya pahatan terindah yang baru pernah ia lihat selama ini dan tidak akan habis untuk ia puja-puja.

“Lo padahal bisa dapetin cewek manapun cuma dengan modal wajah lo ini! Mereka pasti bakal rela mohon-mohon buat jadi pacar lo, tapi kenapa lo malah jadi gay?”

Rin mendecak sebal kala pujian yang tak pernah ia sukai kembali terdengar. Justru karena hal itulah ia berpura-pura menjadi gay!

“Sialan, Isagi. Lo mabuk banget, minggir dari gua.”

Isagi menggeleng dan memilih meneruskan ucapannya, “Lo malah menyia-nyiakan lo yang kayak gini dan milih sama yang berbatang juga?” lalu pemuda kecil itu tertawa sebentar, sebelum tersentak seakan teringat akan suatu hal, “Ah, gue baru sadar, mungkin perasaan janggal yang selama ini gue rasain adalah karena gue iri sama lo, gue iri karena lo punya semua yang gue inginkan tapi lo malah menyia-nyiakan itu dengan menjadi sosok yang paling gue gak suka.”

Rin terdiam cukup lama begitu mendengar ucapan Isagi yang baru saja. Lalu menyadari bahwa tadi nada bicara pemuda di pangkuannya ini terdengar sedih dengan raut wajahnya yang mendadak murung, Rin menyimpulkan bahwa mungkin saja ucapan tersebut memang kejujuran yang pemuda itu pendam selama ini.

“Terus dari rasa iri lo ini, lo malah jadi bully gua?” bahkan Rin sampai tidak tahan untuk ikut bertanya dan ingin tahu lebih banyak.

“Gak tau? Kalau soal ke anak-anak lain gue merasa seru karena mereka lemah, bangsat banget ya, gue?” Isagi tersenyum miris sesaat, “tapi kalau ke elo ... gue justru jadi semakin pengen nunjukin kalau posisi gue ini ada di atas lo, apa lagi lo cuma gay culun, walau ternyata ujungnya semua usaha gue sampai detik ini percuma juga.”

Isagi perlahan menurunkan kedua tangannya pada wajah Rin dan beralih untuk ia letakkan pada kedua pundak lelaki yang lebih besar itu sebagai tumpuan untuknya selagi terus berbicara.

“Sementara gue bahkan kayaknya sama orang dari kalangan cewek maupun cowok sekalipun tetap dipandang biasa aja.”

Isagi juga kini menundukkan kepalanya, tak ingin Rin melihat wajahnya yang menunjukkan kesedihan.

“Kalau gue gak kuat dan jago berantem, kayaknya anak geng juga gak takut sama gue. Jadi ketika gue ngelihat lo yang padahal kelihatan lemah ini ternyata malah berhasil bikin gue gak berkutik, rasa gak percaya diri gue naik, dan gue makin benci sama lo, bahkan benci sama diri gue sendiri kenapa gue bisa sesampah ini.”

Hening.

Keheningan yang cukup lama akhirnya menyelimuti mereka setelah Isagi mengungkapkan keluh kesahnya. Membuat kesan juga mendadak lebih serius dan Rin sungguh tak suka berada di dalamnya.

Rin harus kembali mencairkan suasana yang ada.

“Udah itu aja? Karena semua itu makanya lo ngeidolain Abang-ehm, Sae? Pengen sekeren dia, terus lewat fanfic-fanfic itu justru lo berkhayal baca ceritanya seolah-olah lo itu Sae?”

Mendengar itu lantas Isagi kembali mengangkat kepalanya sambil menatap Rin terkejut. “Itu gak semuanya bener, tapi jangan terlalu jelaslah, anjing.” kemudian si manis tertawa sebagai jeda untuk ucapannya, “Gue juga emang beneran ngefans sama Sae, jadi sekalian aja, haha!”

Berhasil, Isagi sudah kembali tertawa dan kini Rin dapat bernapas lega. Pasalnya tadi ia sempat panik ketika hampir saja keceplosan mengungkap jati diri sebenarnya bahwa ia adalah adiknya Sae. Syukurlah, kondisi Isagi yang mabuk ini ternyata cukup menguntungkannya.

“Menyedihkan banget ya, gue? Makanya gue gak terlalu suka hobi gue ini dinotis banyak orang. Karena itu juga gue marah banget sama lo, kenapa lo malah ngancurin kesenangan gue dengan bikin dia jadi gay bahkan boti!?” protes Isagi selanjutnya.

“Karena lo jadi ikut ngebayangin kalau lo ternyata cocok jadi gay juga, kan?”

Isagi menggeleng, “Bukan, tapi malah bikin gue sadar kalau gue adalah si pengecut rendahan yang jahat. Sampai bisa bikin orang culun nan teladan kayak lo seniat itu untuk ngebales gue, padahal semua alasan gue benci sama lo bener-bener gak jelas, semua salah juga ada di gue tapi gue masih sombong dan gak mau ngakuin itu.”

Lalu Isagi kembali terdiam, sementara Rin di depannya cukup terkejut dengan pengakuan Isagi barusan.

Sebab dengan itu pula semakin meyakinkan Rin bahwa selain alkohol memang sangat berbahaya untuk tubuh, ternyata di bawah pengaruhnya juga bisa menyebabkan banyak masalah di berbagai hal. Salah satunya suka berbicara sembarangan tanpa kontrol untuk berhenti sama sekali.

Tetapi ungkapan itu bukan hanya merujuk pada Isagi saja, melainkan pada dirinya sendiri dengan apa yang akan ia katakan setelah ini.

“Omongan lo semuanya jelas benar, lo memang sampah, bangsat, menyedihkan, pengecut, bahkan jahat. Tapi ada satu yang perlu gua koreksi.”

“Apa?” tanya Isagi penasaran.

“Lo gak biasa aja, lo cantik.”

Ya, itulah contoh pengaruh alkohol yang membahayakan itu.

Di sisi lain Isagi sedang mengerjap lucu berkali-kali mendengar pujian Rin barusan yang terdengar sangat tidak meyakinkan baginya.

Ah, lo bilang ini karena lo gay.”

No? Gua straight.

Tapi Rin tetap membela diri, “Gay juga punya selera.”

“Iyakah? Gue pikir lo mau-mau aja asal sesama cowok?”

“Pantes bodoh.” Rin pun menyentil dahi Isagi pelan sebagai hadiah.

Aw! Gue gak bodoh!”

“Gua jujur, Isagi Yoichi. Lo benar cantik, ganteng, rambut lo bagus, warna mata lo indah, bulat lucu, hidung lo mancung, pipi lo gembul, dan bibir lo ...”

Isagi menaikkan sebelah alisnya penasaran, apa lagi ketika melihat tatapan mata Rin yang mengarah ke bibirnya saat ini.

“Kenapa bibir gue?”

I want to kiss him.

Lalu keinginan kurang ajar itu kembali muncul, membuat Rin langsung berusaha kembali menggapai kesadarannya yang hampir ikut tenggelam bersama dengan bayangan liarnya.

Shit, gua ngomong apa sama orang mabuk?” Rin kembali mengusap wajahnya kasar, tak percaya dengan dirinya sendiri.

“Gue gak mabuk! Gue dengerin!” ucap Isagi yang semakin memperjelas bahwa ia mabuk. Karena jika Isagi yang sadar tidak mungkin masih berada di atas pangkuan Rin dengan mata membulat lucu penuh akan rasa penasaran.

“Intinya you look fine. Lo bisa dapet cewek atau cowok mana aja kalau mereka melihat lo.” Rin bahkan ikut mengacak rambutnya frustasi karena malu setelah mengucapkan hal tersebut.

Lain halnya dengan Isagi yang kini berseri-seri, “Dan lo orang yang pertama kali bisa ngelihat dan ngomong ini ke gue, Rin.” ia juga kembali menunjukkan senyuman manis yang hanya membuat si ketua kelas itu kembali salah tingkah, “Lo sendiri gimana? Udah berapa orang yang lo pacarin dengan tampang lo yang seganteng ini?”

No one.”

“Masa? Tapi pasti ada yang ngedeketin lo, kan? Cewek maupun cowok?”

“Jelas.”

Haha, sombong lo!”

Lalu entah dimulainya sejak kapan, tapi kini Rin merasa suasana di sekeliling mereka benar-benar sudah terasa lebih hangat dan juga lebih menyenangkan.

“Emangnya kayak gimana tipe untuk orang sombong macam lo ini?”

Walau terkadang ada saja tingkah dan ucapan Isagi yang selalu membuatnya tertegun seperti sekarang ini. Pertanyaan barusan yang membuat Rin bingung karena jujur saja ia tidak pernah benar-benar memikirkan soal hal itu.

“Yang gua suka aja.”

Oleh karena itu Rin juga akan menjawab seadanya.

“Terus lo suka gue gak?”

Deg.

Haha, bercanda, Rin! Gue juga tau lo pasti punya tipe dan gak mungkin suka sama orang kayak gue, hahaha!” Isagi menjeda ucapannya sejenak sebelum kemudian menatap lekat ke arah Rin yang masih belum memeroses pertanyaan Isagi barusan. “Tapi kalau lo mau, lo boleh cium gue kok, Rin.”

Lagi. Jantung Rin kembali berdebar lebih kencang lagi.

Sebentar, sebentar.

Apa maksudnya ini?

Apa yang Isagi barusan katakan?

Apa yang sedang terjadi di sini?!

“Isagi,”

“Karena gue juga penasaran, kata lo gue di mata orang gay kayak lo aja terlihat cukup menarik, kan?”

Gawat.

“Isagi, tunggu,”

Tak menurut, justru Isagi sengaja mendekatkan tubuhnya pada Rin walau bahunya lebih dulu pemuda itu tahan dengan kedua tangan agar jarak tetap ada sebagai pembatas mereka.

Akibat penolakan itu pula wajah Isagi kembali terlihat sedih dan ia tersenyum miris sebagai gantinya.

“Tuh, kan, lo bohong.”

Bukan gitu, Isagi.

“Emang ternyata gue ini gak menarik,”

Dibilang bukan gitu!

“mana ada orang yang suka sama gue,”

Argh, gua gak tau lagi.

“yaudahlah gue-mmh?!”

Rengekan Isagi pun berhenti begitu Rin akhirnya membungkam bibir Isagi dengan miliknya sendiri.

Rin akhirnya benar-benar mencium Isagi.

Meskipun hanya kecupan singkat, tapi ia rasa itu sudah cukup untuk membuktikan. Ia pun menyudahi kecupan itu dengan dehaman singkat upaya mengurangi rasa malunya.

“Gua gak bohong.”

Dengan takut-takut Rin kembali menatap wajah Isagi, mencaritahu apakah laki-laki itu sudah pucat pasi, atau bahkan sudah ingin melarikan diri.

Ciuman itu memang kemauan liar Rin sejak tadi, tapi juga permintaan Isagi barusan, kan? Jadi jangan salahkan Rin bila ia kali ini menurutinya.

Tetapi tetap saja kalau setelah ini Isagi ingin meninju atau menamparnya, mungkin akan Rin terima dengan sukarela.

“Lagi.”

Namun sepertinya kenyataan tidak selalu seburuk yang selama ini Rin pikirkan.

Ditatapnya Isagi dengan tidak percaya, sementara si manis itu justru memberikan sorotan mata sayu seakan menggodanya dengan sengaja.

“Cium lagi.”

Karena ketika permintaan itu kembali keluar, maka tidak ada alasan lagi untuk Rin menolaknya.

Holy shit.

Bibir mereka pun kembali bertemu, tapi kali ini bukan hanya kecupan singkat melainkan ciuman yang lebih panas dan juga penuh akan gairah. Kedua mata sudah saling terpejam, membiarkan panca indra lain untuk lebih merasakan.

Mereka bercumbu mesra layaknya sepasang kekasih yang sedang dimabuk cinta, membasahi bibir satu sama lain seakan hanya itu satu-satunya cara.

Kedua tangan Isagi bahkan sudah berpindah jadi melingkar di atas bahu Rin untuk memperdalam pagutan mereka, sementara milik Rin merengkuh pinggul Isagi erat untuk menghilangkan jarak di antara keduanya.

Ciuman itu akan terhenti sesaat kala Isagi hampir kehabisan napas, membuat Rin dengan perlahan ikut mengusap lembut punggung yang lebih tua seraya mengingatkan untuk bernapas lewat hidungnya, sebelum ia kembali memagut bibir tersebut dengan penuh suka cita.

Entah karena wine ataupun bukan, tapi bagi Rin bibir Isagi sungguh memabukkan.

Tak ingin rasanya ia berhenti untuk menyesap bibir tipis yang sejak tadi ia dambakan, sesekali pula gigitan ia berikan hanya untuk mendengar lenguhan erotis Isagi yang begitu memanjakan indra pendengaran.

Rin mau gila saja rasanya. Oh, tidak, mungkin ia memang sudah gila. Sebab jika biasanya berhadapan dengan Isagi akan membuat darahnya naik, kini berciuman dengan Isagi di atas pangkuannya hanya membuat darahnya turun ke ‘bawah’.

Ah!”

Bersamaan dengan itu pula ciuman mesra mereka terpaksa terlepas dengan Isagi yang kini membelalakkan matanya tak percaya dengan apa yang ia sedang rasakan.

“Rin? Lo ciuman aja langsung ‘keras’?”

Rin mendengus dengan pipi yang memerah, “Gua belum pernah ciuman.” begitu jujurnya.

Isagi lantas tak kuasa lagi menahan tawanya, apa lagi melihat wajah Rin yang menjadi merah lucu, semakin membuat Isagi ingin melakukan hal lain yang akan membuat lelaki culun itu terkejut.

Lalu detik kemudian pemuda yang lebih tua itu menekan kejantanan Rin yang sudah mengeras dengan bokongnya dan ikut sukses membuat Rin terperangah dengan mata melebar.

“Isagi!”

Yang dipanggil justru tersenyum menantang, “Kenapa? Bukannya enak?”

Melihat reaksi Rin yang sesuai harapan hanya memancing Isagi untuk semakin bersemangat menggoda pemuda itu. Bukan hanya tekanan, tapi kini Isagi bahkan menggerakkan pinggulnya maju-mundur secara perlahan upaya menggesek milik Rin yang terasa semakin membesar dan juga mengeras di bawahnya.

Sensasi yang diberikan Isagi langsung berpengaruh pada perubahan diri Rin saat ini. Tubuhnya kian memanas dan berkeringat, area sekitar perut mulai menggelitik, bahkan ia sampai menggigit bibir bawahnya demi mati-matian menahan gairah yang semakin melonjak untuk meminta lebih.

“Lo mau ngelakuin ‘itu’ sama gue, Rin? Gue gak masalah walau gue juga belum pernah.” tawar Isagi dalam bisikan yang hanya membuat tubuh Rin ikut merinding.

“Lo bahkan bukan gay, Isagi. Lo juga ... mabuk.”

Tangan Rin yang hendak mendorong Isagi menjauh lebih dulu diambil alih pemuda di atas pangkuannya ini untuk diletakkan pada kedua pipinya, upaya membuat Rin yang sudah mulai tidak fokus untuk kembali menatap wajah si manis.

“Lo takut ya, Culun?”

Lalu ketika mata mereka kembali bertemu, Rin sungguh menyesal telah melakukan itu. Bukannya menjadi turun, gairahnya justru tambah memuncak hanya dengan melihat wajah Isagi yang kini tersenyum dengan sorot mata bulat lucu penuh penantian.

Wah, bukan gawat lagi kalau sudah begini.

Bodohnya Rin larut dalam nafsu dan ikut terbawa perasaan dengan orang yang mabuk hingga ikut melakukan hal-hal yang di luar batas. Ciuman saja sudah membuatnya hampir kehilangan akal, apa lagi lebih dari itu? Rin takut mungkin ia tidak bisa berhenti jika mereka sudah memulainya.

“Rin~?”

Dengan keadaan seperti ini Isagi akan terus memaksanya dengan cara apapun. Jadi satu-satunya jalan adalah dengan mengajaknya berbicara lalu membuat pemuda mabuk ini menyerah.

“Isagi ... gua gak akan ngelakuin ‘itu’ kalau kita gak saling suka dan saling cinta, gua gak mau kita menyesal karena udah melakukan hal bodoh dengan maksud yang sia-sia.” Rin menjeda ucapannya sebentar untuk menghela napas, menenangkan pikirannya sesaat, “Benar ... anggap aja gua takut, takut kehilangan kewarasan gua sepenuhnya dan berakhir nyakitin lo, Isagi. Gua gak mau.”

Rin terdengar begitu suci kali ini. Walau ia rasa setidaknya pemikiran itu cukup sesuai dengan bagaimana Rin biasa berpenampilan hingga dapat meyakinkan Isagi untuk segera berhenti.

Nyatanya pun ia benar, kini Isagi kembali terdiam selama beberapa saat setelah mendengar ucapannya. Tercengang dengan jawaban tak terduga yang perlahan kembali mengundang senyuman lebar terbit di wajahnya.

“Lo ternyata manis juga masih mikirin tentang cinta. Dasar anak culun yang polos~”

“Ma-manis dan polos?!”

Isagi pun mengusap-usap kepala Rin dengan bangga, sementara yang diusap menekuk wajahnya tidak suka bersamaan dengan semburat merah kembali muncul di pipinya.

“Untuk pertama kalinya dalam hidup gue, gue akhirnya mengaku nyerah.” ucap Isagi lagi diselingi kekehan gemasnya, “Ternyata gue emang gak akan bisa menang dari orang kayak lo, Rin.”

Sekarang giliran Rin yang tercengang dengan pengakuan lain dari Isagi barusan. Ditatapnya wajah pemuda di depannya itu yang justru tengah menunjukkan senyuman manis paling hangat sedunia—tak lupa dengan sorotan mata melembut yang juga seakan jadi lambang perdamaian bagi semesta.

“Gimana kalau nantinya gue malah jadi jatuh cinta sama lo, Rin?”

Eh?

Jantung Rin seakan berhenti berdetak sesaat begitu mendengarnya.

“Maksud lo ...?”

Namun belum sempat kedua pertanyaan itu saling mendapat jawabannya, tubuh Isagi lebih dulu ambruk jatuh ke dalam pelukan Rin yang dengan sigap menerimanya.

Senyuman manis yang terlihat pada wajah Isagi kian memudar bersamaan dengan kelopak mata yang kembali menutup kedua binar indah miliknya itu.

Kali ini bukan pingsan karena mabuk, tapi Isagi benar-benar tertidur lelap ditandai oleh dengkuran halus dari mulut kecilnya yang sedikit terbuka.

Hening lagi.

Suasana akhirnya kembali hening, menyisakan Rin yang masih terdiam cukup lama untuk memeroses apa yang baru saja terjadi sejak tadi, sekaligus mengumpulkan kesadaran dan akal sehat yang juga hampir ia buang sejak tadi.

Haha?”

Lalu hal yang pertama kali ia lakukan ialah tertawa.

Menertawakan dirinya sendiri karena tidak percaya terhadap kondisinya saat ini. Masih berwajah merah matang, jantung berdebar kencang, dan juga celana yang masih terasa sesak tak kunjung hilang.

Tapi ia lebih tidak percaya lagi bahwa ini semua disebabkan oleh orang yang kini tertidur lelap di atas pangkuannya. Orang yang selama ini membencinya. Orang yang beberapa jam lalu ini ingin menjebaknya. Orang yang juga beberapa saat lalu berciuman dengannya hingga meninggalkan pertanyaan paling menggantung dalam hidupnya.

“Isagi Yoichi sialan ...”

Kacau sudah. Rin harus bagaimana setelah ini?

Mungkin sepertinya bukan hanya Isagi yang bodoh di sini, tetapi Rin pun juga.

Jika Rin tidak salah ingat, tadi Isagi mengatakan bahwa ia membawanya ke sini untuk tujuan menghukumnya, kan? Maka selamat, hukuman yang diberikan oleh ketua geng anak nakal itu benar-benar berhasil mengenai segala sisinya.

Rin sungguh benar-benar habis dibuat ‘tersiksa’ karenanya. []

© 2025, roketmu.

Setelah menunggu dengan sabar tanpa melakukan apapun yang memancing kecurigaan, bel pulang sekolah pun akhirnya berbunyi yang menandakan bahwa Isagi baru bisa menjalankan misinya kali ini.

Ketika mereka serempak bangkit keluar dari kelas, Isagi sudah saling lirik kepada para temannya, memberikan sinyal bahwa aksi mereka sudah boleh dimulai yaitu dengan tinggal menunggu saja di rumah kosong yang sudah ditetapkan, sementara Isagi akan mengurus Rin sendirian di sini.

Kena lo, Gay bangsat.

Laki-laki culun bertubuh tinggi besar itu kini dalam pantauannya. Dengan hati-hati tapi pasti, Isagi kini mengikuti Rin yang tengah berjalan di lorong kelas dan baru saja berpisah dengan teman-temannya yang lugu itu.

Dalam hati dan pikiran Isagi sudah dipenuhi emosi dan juga imajinasi liar bagaimana ia akan memukuli wajah Rin sepuasnya setelah ia berhasil menipu si culun itu untuk menemaninya ke sesuatu tempat.

Gue bakal bilang ke dia untuk nemenin cari buku yang disuruh Pak Chris karena gue gak tau, tapi sebenernya gue malah bawa dia yang naik motor gue ke rumah kosong kita itu.

Isagi tersenyum licik selagi terus mengekori Rin untuk menuju ke tempat yang lebih sepi. Itulah rencana simpel Isagi yang ia yakin akan membuat Rin mau saja untuk menurutinya. Karena Isagi memang mengakui bahwa Rin adalah ketua kelas yang cukup peduli pada anak kelasnya.

Tapi ia juga harus memperhatikan bahwa tidak ada orang di sekitar agar tidak ada saksi mata bahwa Rin pernah bersamanya sebelum ia benar-benar akan babak belur nanti.

Namun seiring mereka terus berjalan, perlahan senyuman itu digantikan oleh bibirnya yang mengerucut bingung. Sebab bukannya datang ke tempat sepi, Rin justru tiba ke tempat paling ramai yang dihuni oleh orang-orang berbahaya, alias guru-guru mereka ini.

Shit, kenapa dia malah ke ruang guru?

Terpaksa Isagi kini harus bersembunyi dulu di balik pilar dinding yang tak jauh dari pintu masuk. Lalu sebelum Isagi sempat berpikir akan rencana cadangan yang lain, tiba-tiba saja Rin sudah keluar bersama dengan Pak Chris dan buku-buku di kedua tangan mereka.

“Siapa tadi yang bersedia membantu katamu?” tanya Pak Chris pada sang ketua kelas.

“Isagi Yoichi, Pak. Ini dia sudah menunggu dari tadi.”

Eh?

Kedua pasang mata itu akhirnya tertuju pada Isagi di tempat persembunyiannya yang kini tengah berdiri mematung dengan wajah bingung, persis layaknya maling yang baru saja tertangkap basah.

“Oke, terima kasih, Isagi. Kalau begitu ayo kita ke perpustakaan sekarang, kamu bawa sebagian yang ini, ya.” lanjut Pak Chris yang kemudian memberikan Isagi setumpuk buku untuk ia bawa.

Bentar, bentar, apa maksudnya ini?!

Dengan pikiran yang masih belum bisa memeroses keadaan, Isagi menerima buku tersebut di tangannya dengan pasrah. Kemudian diliriknya Itoshi Rin dengan tatapan menusuk meminta penjelasan, tapi sayang lelaki berkacamata tebal itu seperti enggan sekadar untuk menatapnya balik.

Namun meskipun ia berperilaku begitu, Rin nyatanya masih berbelas kasih. Sebab sebelum bungsu Itoshi itu memilih untuk berjalan mengikuti Pak Chris di depannya, ia sempat berbisik sepatah dua patah kalimat untuk memberitahu Isagi suatu hal yang detik itu juga membuat si pendek terbelalak.

“Saya dengar kamu mau cari buku yang disuruh oleh Pak Chris sama saya, jadi sekalian aja kita ke perpustakaan dulu bareng beliaunya langsung, ya?”

Setelah itu baru Rin benar-benar melewati Isagi yang kini wajahnya sudah mengeras bukan hanya karena amarah—tetapi juga malu yang sudah kepalang bukan mainnya.


Tolol. Tolol. Tolol.

Dalam hati Isagi menggerutu berkali-kali akibat ketololannya yang minta ampun ini. Bagaimana bisa ia justru terjebak dalam kondisi yang sangat memalukan seperti sekarang?!

Di perpustakaan, diawasi oleh Pak Chris, menyusun berbagai buku sesuai dengan kategorinya, dan yang lebih parahnya lagi bersama dengan si gay culun yang harusnya akan ia pukuli detik ini juga.

Isagi bertanya-tanya di mana letak kesalahannya kali ini. Apa Rin memang tidak sengaja mendengar soal rencana mereka? Namun Isagi tidak merasa telah mengungkapkannya kepada siapapun untuk hari ini? Tapi kenapa si gay culun Itoshi Rin itu bisa tahu?

Goblok!

Penuh amarah, Isagi dengan sadar meletakkan buku tersebut dengan menyalurkan tenaga yang lebih kuat lalu tanpa sengaja justru membuat rak tersebut bergetar, kemudian mau tak mau menimbulkan buku-buku kini mulai dalam kondisi goyah dan dalam hitungan detik akan jatuh ke bawah.

Isagi yang tidak ada persiapan sama sekali hanya bisa memejamkan mata dan reflek berlindung memakai kedua lengan untuk menutupi kepalanya, walau akhirnya satu tarikan cepat pada pinggangnya lebih dulu menarik Isagi mundur hingga dirinya kini sukses tak terluka sama sekali.

“Kamu gapapa?”

Suara rendah itu terdengar tepat di telinganya, membuat Isagi perlahan membuka mata untuk kembali melihat ke tempat ia berpijak, memastikan bagaimana situasi yang ada agar bisa segera menjawab pertanyaan tersebut.

“Ya, gue gapapa. Makasih.” Isagi tersenyum tipis usai mengucapkannya.

Eh, tapi tunggu.

Isagi lantas langsung menoleh ke arah suara yang seketika membuat matanya kian melebar kala melihat Itoshi Rin tepat berada di belakangnya—yang ternyata adalah sang pemilik suara dan juga tangan yang masih asyik merangkul pinggangnya saat ini.

“Bangs-mmph!”

Mulut Isagi lebih dulu Rin bekap dengan tangannya yang lain, sementara tubuhnya yang memberontak kembali ditarik ke belakang yang menyebabkan hilangnya jarak di antara punggung Isagi dan dada bidang Rin seakan pemuda itu kini tengah mendekapnya.

Sst ... nanti ketahuan.” bisik si ketua kelas.

Jantung Isagi berdebar kencang dengan napas yang kian memburu akibat situasi tegang saat ini. “Kalo gitu lepasin gue, sialan.” Isagi memilih mengalah dan ikut mengecilkan suara demi tak adanya keributan sesaat ini.

“Tapi janji jangan berontak lagi?”

“Iya, bangsat.”

Rin akhirnya melonggarkan kedua tangannya pada tubuh Isagi yang setelah itu buru-buru ditepis dengan kasar oleh si surai biru laut dalam. Kini permata safir itu menyalang tak suka melihat Rin yang masih bergeming di tempatnya.

Mengetahui bahwa Isagi pasti bertanya-tanya dengan situasi kali ini, membuat Rin tidak memiliki pilihan kecuali menghilangkan penasaran pemuda yang berukuran lebih kecil dibanding dirinya ini.

“Kenapa? Kaget karena saya tau rencana kamu yang mau jebak saya di rumah kosong itu untuk kalian hajar ramai-ramai?”

Tetapi melihat dari reaksi Isagi yang justru tambah terkejut, sepertinya pertanyaan Rin barusan hanya semakin membuat si pendek penasaran, dan Rin mati-matian berusaha menyembunyikan senyuman gelinya karena itu.

“Maaf, ya? Saya gagalin. Kekerasan udah gak bisa saya toleransi lagi soalnya.”

Isagi terdiam sejenak. Ia menyadari bahwa ucapan Rin barusan terdengar jujur dan serius, jadi ia rasa tidak perlu lagi menyembunyikan rencana mereka kali ini dan lebih baik menghadapinya saja secara sendirian.

Isagi pun mendecih remeh, “Culun cupu banyak bacot! Bilang aja lo takut karena lo gak bisa berantem, kan?”

“Saya gak takut?”

Oh? Atau lo gak suka karena itu keroyokan? Yaudah, sini lawan gue sendirian, berani gak?!”

Pemuda yang lebih tinggi menggeleng pelan tak kuasa melihat kebodohan Isagi lagi, “Sudah saya bilang ini perkara kekerasan. Lagi pula tujuan kalian setelah berhasil bikin saya babak belur ini memangnya apa?”

“Peringatan buat lo supaya gak macem-macem lagi sama gue dan temen-temen gue, berengsek.”

Rin akhirnya mengangguk-angguk paham, tapi justru responnya yang seperti itu hanya makin membuat Isagi kesal. “Padahal kalian ini yang sebenarnya harus diberi peringatan.” ujar Rin dengan nada sok polos.

“Maksud lo?”

Ditanya begitu, dengan senang hati Rin menunjukkan apa yang sejak tadi memang ia ingin perlihatkan pada Isagi yang kini sedang menunggu—yaitu sebuah ponsel kecil dengan banyak hal menarik di dalamnya.

“Gimana? Ini kayaknya lumayan oke juga untuk dikirim ke kepala sekolah, kan?”

Isagi kini menatap layar ponsel milik Rin layaknya baru saja melihat hal paling mengerikan sedunia, sedangkan sang pemilik ponsel hanya kembali menahan tawa gelinya akibat reaksi Isagi yang sungguh sesuai harapan.

“Lo ...”

“Padahal poin nilai buruk kalian udah terlalu banyak, kalau yang ini sampai ketahuan kira-kira bakal gimana, ya?”

Hap!

Buru-buru Isagi langsung merampas ponsel tersebut dari tangan Rin yang sejak tadi menampilkan foto dan video Isagi bersama teman-temannya yang sedang bolos sekolah, merokok, bahkan aktivitas kenakalan lainnya di markas rahasia mereka.

Anjing! Anjing! Anjingggg!

Tangannya yang sudah agak gemetar dengan tergesa-gesa menghapus semua bukti-bukti tersebut tanpa perlu pikir panjang lagi.

Rin yang sejak tadi masih ikut memperhatikan hanya mendengus remeh, Bully kayak lo bisa ketakutan juga ternyata? lalu begitu pikirnya dalam hati.

“Sebenarnya sengaja selama ini saya simpan karena kali aja kalian bisa berubah,” jelas Rin di tengah kesibukan Isagi yang dengan frustasi masih mengotak-atik ponselnya, “ah, tapi walau semua itu kamu hapus dari handphone saya, saya masih punya file cadangan lainnya di mana-mana, jadi percuma aja, Isagi Yoichi.”

Jari Isagi yang tadinya bergerak liar mendadak terhenti begitu mendengarnya. Pikirannya kacau, begitu pula kondisi wajahnya saat ini yang tak lagi dapat ditutupi dengan kesombongannya.

Ditatapnya si ketua kelas tanpa berkedip sekalipun, ”Hapus ... Itoshi Rin, sialan. Kalau gak gue-”

Rin menaikkan sebelah alisnya bingung karena kalimat Isagi yang menggantung, “Kalau gak?” berikut ulangnya meminta penjelasan.

Lagi-lagi Isagi terdiam tak berkutik. Lalu Rin yang menanggapi reaksi seperti itu hanya kembali berjalan mendekat, sengaja menghimpitnya hingga berbenturan dengan rak buku di belakang mereka karena sepertinya Isagi sudah tidak berniat lagi untuk membalas walau hanya sekadar tatapan sekalipun.

Isagi kalah telak.

Rin pun kini merendahkan tubuhnya sejajar dengan Isagi upaya bisa menyampaikan beberapa hal langsung tepat di telinga sang lawan bicara.

“Ini baru peringatan pertama, kalau kamu dan teman-temanmu masih mau sekolah di sini dengan nyaman, jangan usik saya atau siapapun lagi. Sekolah yang benar saja, Isagi Yoichi.”

Setelah mengucapkan itu, Rin pun berniat untuk segera meninggalkan Isagi karena tugasnya untuk menyusun buku memang sudah selesai sejak tadi.

Tapi ketika melihat sosok Isagi yang kini makin terlihat kecil dan takut, hanya membuat Rin ingin kembali menggodanya sedikit lebih lama.

Anyway, hati-hati kejatuhan buku lagi, udah dua kali kamu saya lihat ceroboh begitu, Isagi.”

Rin pun menepuk pelan pucuk kepala Isagi yang sontak membuat sang empu memerah bukan hanya karena sentuhan kecil tersebut, tapi juga teringat akan kejadian memalukan yang ternyata kembali terulang.

Oh, dan satu pujian terakhir,” Rin kini menatap ke arah perut Isagi dengan sudut matanya sambil tersenyum tipis, “pinggang kamu ramping juga untuk ‘si ketua geng’ dari ‘anak-anak nakal’.”

Lalu sebelum ada kemungkinan Isagi mengamuk lagi kepadanya, Rin lebih dulu mengangkat kaki dari sana dan berpamitan kepada Pak Chris yang sedari tadi tidak tahu menahu apa yang telah terjadi pada kedua murid di belakangnya sejak tadi.

Padahal kalau saja ia tahu, ia mungkin bisa ikut tertawa bersama Itoshi Rin yang kini terlihat sungguh puas setelah berhasil menghajar Isagi Yoichi habis-habisan dengan segala ‘serangan’ yang ia berikan untuk anak nakal tersebut.

ITOSHI RIN BANGSAAAATTTTT!!! []

© 2025, roketmu.

“Rin!!!”

Rin yang tengah berdiri di depan halte bis lantas melambaikan satu tangannya begitu suara Reo terdengar bersamaan dengan mobil besar nan panjang yang akhirnya kini terparkir di hadapannya.

“Ayo, masuk. Maaf kalau kamu udah nunggu lama.”

Rin menggeleng, “Thanks, santai aja.”

“Ketua kelas kita ini emang gak mau dimanjain banget, Re. Dibilang bakal dijemput di depan rumah, dia malah maunya dijemput di halte bis biar gak nyusahin katanya.” ucap Bachira ketika Rin duduk di sebelahnya pada jok baris kedua.

Haha, itu juga yang justru aku suka dari Rin.”

Setelah mengangkut Rin sebagai penumpang terakhir, Reo langsung menyuruh supir pribadinya itu untuk segera meluncur ke lokasi utama yang sedang mereka tuju—rumah besar Karasu untuk menghadiri pesta ulang tahunnya.

Malam yang sudah pasti sang empu pesta tunggu-tunggu, tapi malam yang juga sangat diwaspadai oleh Rin saat ini.

“Kira-kira di sana nanti bakal banyak makanan apa aja, ya?” Bachira mulai bertanya-tanya.

Chigiri yang berada di jok baris belakang ikut berpikir, “Udah pasti banyak kayaknya, apa lagi ngundangnya sekelas juga.”

Oh, nanti aku bakal hadir sebentar aja, ya? Karena ini juga udah malam, aku mau pulang cepet, sekadar ngucapin selamat ke Karasu setelah itu pulang.” timpal Hiori yang berada di sebelahnya.

Bachira terkekeh, “Tenang aja, Ri. Pokoknya nanti gua bakal nemenin lo kalau lo bakal dideketin sama Karasu atau cecunguk yang lain itu.” lalu ia pun menepuk-nepuk bahu Rin di sebelahnya, “lagi pula kita juga punya ketua kelas di sini, udah pasti mereka gak bakal mau macem-macem.”

“Tapi kalian juga harus hati-hati. Jangan terlalu jauh dengan satu sama lain.” timpal Rin dengan senyuman tipis.

Ayayay, Captain!”


Perjalanan di mobil terasa cepat ketika mereka sudah berkumpul dengan anggota yang lengkap, membicarakan banyak hal, membuat waktu juga jadi terasa singkat karena tiba-tiba saja mereka sudah sampai ke tempat tujuan yang kini terlihat megah nan ramai.

Dipimpin oleh sang Tuan Muda keluarga Mikage, mereka berlima langsung berjalan masuk ke dalam rumah tersebut dengan langkah pertama yaitu mengisi kehadiran pada buku tamu undangan.

Rin merasa situasi mulai tidak terasa nyaman ketika kedatangan mereka disambut dengan beberapa orang yang memandang mereka secara sembunyi-sembunyi. Entah dari anak kelasnya atau orang lain yang tidak Rin kenal sama sekali.

Yup, udah selesai aku tulis semua. Ayo, langsung masuk aja.” ajak Reo lagi.

Lalu detik ketika mereka benar-benar masuk ke ruangan inti, musik yang tadinya terdengar begitu kencang tiba-tiba dimatikan begitu saja dan membuat suasana mendadak senyap.

Eh, kenapa ini?!”

“Musiknya kok mati?”

Satu ruangan mulai riuh, tapi itu hanya terjadi sementara karena kini kemunculan satu orang yang paling menonjol sudah menjadi pusat perhatian mereka selanjutnya.

Lho, gay culun ngapain ada di sini?”

Berdirilah Isagi Yoichi yang tak jauh dari mereka dengan senyuman paling meremehkan di dunia.

Di balik kacamata tebal yang ia kenakan, Rin hanya menatap Isagi datar bahkan tak ada niat membalas, membuat pemuda bersurai biru tua itu mendecak sebal dan akhirnya mulai berjalan mendekat.

“Gue tanya. Gay culun kayak lo ini ngapain ada di sini?” ulang Isagi dengan volume suara yang lebih besar.

“Rin-”

Rin menggeleng, mengisyaratkan Reo yang barusan berusaha membelanya untuk tetap diam dan berada di tempat.

“Saya diundang Karasu Tabito seperti anak kelas yang lain, tidak sopan jika tidak datang.” jawab Rin santai.

Detik itu Isagi mendengus menahan tawa, “Diundang? Emangnya lo siapa?”

“Ya, dia ketua kelas kita! Barusan aja bahkan Reo udah bantu ngisiin nama kami di buku kehadiran!” Chigiri pun tidak bisa tinggal diam dan akhirnya membela Rin, membuat dirinya mendapatkan lirikan sinis dari Isagi yang tidak berniat berurusan dengannya.

“Oke? Siapapun kayaknya bisa nulis di sana, tapi coba gue lihat di daftar undangan yang asli.”

Kemudian Isagi memberikan sinyal kepada Nagi yang tak jauh dari sana untuk segera mendekat. Terlihat jelas di tangan pemuda itu sebuah buku besar berukuran F4 yang pasti akan segera diberikan pada Isagi. Mengetahui itu saja membuat Rin sadar bahwa mereka memang sudah merencanakan hal ini.

“Ini, Sa.”

Menerima buku tersebut, Isagi langsung tersenyum menantang. “Kalo gitu kita buktiin sama-sama.”

Pemuda bermata safir itu pun membuka buku daftar tamu undangan tersebut lalu dengan lantang mulai membacakan satu per satu urutan daftar nama yang ada di dalamnya sampai akhir, sampai ia pun bisa kembali tersenyum meremehkan kepada Rin di hadapannya.

Nama Rin tidak terdaftar.

“Nama lo gak ada, kan? Berarti lo gak diundang.”

“Lo yang salah! Rin udah isi formulir waktu itu! Gak mungkin nama dia gak masuk!”

Isagi terperanjat mendengar pembelaan Bachira, “Ah? Jadi ternyata lo emang pengen ikut dan pengen diajak? Tapi sayang lo ternyata ditolak?” lalu ia terkekeh sinis, “Lagian siapa juga yang mau ngundang gay di pesta ulang tahunnya, sih?”

Suara bising kembali terdengar, lalu raut kekhawatiran dan kebingungan mulai terlihat di wajah para temannya saat ini yang mau tak mau memaksa Rin harus segera membuat keputusan.

“Gak ada, ya? Kalau begitu saya pulang dulu. Permisi.” ucapnya tak mau ambil pusing.

Lebih tepatnya mengalah.

“Rin! Jangan!”

“Gapapa.”

Rin hanya kembali menggeleng, menyuruh teman-temannya untuk tetap santai dan ikut mengalah saja, jangan sampai mereka bahkan ikut terseret dalam masalah di sini. Sudah jelas target Isagi dan kawan-kawannya adalah Rin, karena itu ia tidak mau mereka ikut terlibat bahkan memicu ke keadaan yang lebih kacau di pesta ulang tahun seseorang.

Tapi sebelum Rin sempat membalik badan untuk segera pergi dari sini, Isagi Yoichi lebih dulu merangkulnya tiba-tiba dan membuat langkahnya kembali terhenti.

“Bentar, bentar, kayaknya gak adil juga walau lo emang gak masuk di buku tamu undangan, mungkin aja Karasu bisa konfirmasi langsung kalau lo ternyata gayeh, maksudnya lo ternyata diundang?” Isagi kini tersenyum ramah sambil kemudian menunjuk ke arah segerombolan orang di seberang pintu, tepatnya berada di area kolam renang di samping ruangan mereka berada, “Tuh, lihat, ada Karasu di sana, gimana kalau lo samperin dia dulu?”

Rangkulan tersebut digantikan oleh tepukan pelan tangan Isagi yang secara tidak langsung menyuruh Rin untuk menurutinya. Rin sendiri mengerti akan hal itu, jika ia menolak pasti Isagi akan terus memaksanya dan ia akan semakin buang-buang waktu di sini.

“Oke.”

Rin mulai berjalan menuju ke tempat di mana Karasu dan yang lainnya berada, sementara Isagi di belakangnya tetap berdiri di sana dengan seringai tipis yang kini langsung muncul di wajahnya.

Melihat Rin sudah berjalan mendekat ke arah pintu yang terbuka, pemuda itu pun juga segera mengeluarkan ponselnya untuk melakukan suatu panggilan singkat.

“Sekarang.”

Lalu bersamaan dengan ucapan Isagi yang ditujukan kepada seseorang di dalam ponsel, Rin yang baru saja masuk ke area kolam renang tiba-tiba dihujani air dan es batu berwarna merah yang begitu banyak dari atas sana, lebih tepatnya dari sebuah bak besar yang sengaja ditumpahkan oleh beberapa orang dari lantai atas.

HAHAHAHA!!!”

Gelak tawa langsung terdengar membahana dari dalam ruangan bahkan di area kolam renang sekalipun. Bahkan semua mata kini sudah benar-benar memandang Rin layaknya Rin adalah badut yang baru saja hadir untuk menghibur mereka.

Tentu saja kecuali para teman-temannya yang masih juga terkejut dan reflek berlari untuk mendekatinya. Tapi lagi-lagi Rin menolak bantuan mereka bahkan kembali mengisyaratkan mereka untuk tetap diam, karena kini perhatian pemuda itu sepenuhnya hanya tertuju pada Isagi Yoichi yang tengah menatapnya dengan tatapan puas penuh kemenangan.

“Udahlah, orang kayak lo emang gak usah sok ikut party bareng kita gini, balik aja sana bikin cerita homo lo itu-oh! Atau malahan habis ini lo bakal dapet inspirasi bikin cerita gay yang dibully tapi pembullynya malah naksir sama si gay?”

“Anjing, Isagi! HAHAHA!”

Suara tawa benar-benar memenuhi ruangan di mana Rin berada seakan-akan menyempurnakan olokan yang ditujukan padanya.

Akibat tak mau membuang waktu lebih lama, apa lagi berurusan lebih panjang dengan Isagi dan kawan-kawannya, Rin pun kembali berjalan dengan keadaan yang masih basah kuyup untuk meninggalkan tempat tersebut.

Lalu sebelum benar-benar melangkah lebih jauh, Isagi kembali mendekati Rin untuk yang terakhir kalinya hanya untuk berbisik singkat di telinga pemuda itu.

“Ini baru hal kecil. Kalau lo sekali lagi main-main sama gue, yang selanjutnya jangan harap bisa lepas.”

Rin tidak membalas bisikan itu dan memilih untuk melanjutkan kepergiannya, membuat Isagi mendengus sebal karena rasanya seperti tidak dihiraukan sama sekali.

Namun entah barusan Isagi berkhayal atau tidak, tapi tubuhnya sedikit merinding begitu sekilas melihat senyuman samar terukir di wajah Rin begitu melewatinya.

Layaknya senyuman yang menandakan bahwa apa yang telah terjadi hari ini tidak akan berakhir begitu saja. []

© 2025, roketmu.

“Rin? Lo gapapa?”

Karasu yang tadinya pura-pura tidak peduli lama-lama jadi khawatir juga, karena sejak tadi dia memang sudah asyik memperhatikan gelagat Tuan Mudanya ini yang lebih banyak melamun setelah tadi berpisah dengan Isagi di depan kelas. Ah, tidak, lebih tepatnya sejak hari ketika Isagi menolaknya lalu hubungan mereka berakhir semakin dingin.

Jujur saja Karasu memang tidak ingin ikut campur, tapi sebagai bodyguard yang telah menjaga Rin selama bertahun-tahun, ia selalu mengkhawatirkan Tuan Mudanya ini. Masalah yang terjadi antara Rin dan Isagi memang bukan masalahnya, tapi kalau sudah membuat hari-hari Rin menjadi tak seperti biasanya, itu akan menjadi masalahnya.

“Jalanin mobilnya, udah telat.”

Rasa khawatir Karasu justru makin bertambah ketika Rin memilih untuk tidak menjawab pertanyaan simpelnya. Bahkan sampai mereka sudah di dalam mobil saja Tuan Muda yang biasanya langsung tertidur, kini menatap ke arah pemandangan jalan di balik jendela mobil seakan sedang memikirkan sesuatu.

“Siap, Tuan Muda.“ jawab Karasu tidak mau ambil pusing.

Walau jujur masih tidak masuk di akal mengetahui Isagi begitu berani untuk bertindak sesukanya dan Rin tetap membiarkannya. Apakah Isagi menjadi omega Rin ini memang sudah bisa seberpengaruh itu di hidup Tuan Mudanya? Mungkin Karasu akan berbicara pada Isagi langsung dan ikut memperingati dirinya agar tidak melewati batas dan membuat Rin semakin berbeda.

Andai saja sang Tuan Muda mau lebih jujur lagi terhadap perasaannya, pasti Karasu sudah mengetahui isi hati dan kegelisahannya saat ini.

“Di sana ada Bachira dan Chigiri sebagai temen betanya, terus ada Otoya juga, lo bisa percayain mereka buat ngawasin Isagi dan 3 temen alpha lo.”

Karena benar saja, sejak tadi hanya soal kepergian omeganya itu yang ada di pikirannya hingga saat ini. Mau dikatakan seperti apapun soal keselamatan Isagi, tetap saja Rin akan merasa gelisah. Belum lagi mengingat perkataan Karasu waktu itu tentang Yukimiya yang serius menyukai Isagi dan selalu mengeluarkan feromonnya.

Bukankah tandanya Isagi sudah diincar? Apa Yukimiya seserius itu ingin mendapatkan Isagi? Lalu apa Isagi juga mau saja dengan Yukimiya karena ia sudah tidak memedulikan Rin?

Sialan. Lagi-lagi gua mikirin Isagi.

Memikirkannya membuat ia kesal, tapi sayangnya ia tidak bisa menghentikan itu. Harusnya keputusan ia yang menjauhi Isagi itu sudah paling benar, kalau ternyata sebaliknya justru Rin hanya akan sama seperti alpha biasanya.

Mengingat ketika terakhir kali mereka berbicara juga sudah cukup menyadarkan Rin bahwa ia tidak perlu lagi mencoba dekat dengan Isagi. Pada dasarnya pertemuan mereka dimulai dengan kepentingan masing-masing yang sama sekali tidak diperlukan keakraban.

Biarlah mereka akhiri hubungan ini dan ia tidak perlu berinteraksi dengan Isagi, cukup jadikan Isagi sebagai alasan untuk tidak mengikuti pelelangan bodoh itu lagi.

Hari-hari ia sebelum bertemu Isagi pun tidak apa-apa, jadi kenapa Rin harus berpikir yang tidak-tidak?

Benar tidak apa-apa, kan?

Iya, kan?

Kringg!!! Kringg!!!

Lamunannya pecah begitu saja ketika mendengar nada dering panggilan darurat muncul di ponsel Karasu yang ternyata dari Otoya. Sekilas Karasu menatap Rin untuk meminta persetujuan menjawab dan tentu saja langsung Rin persilakan.

“Kenapa, Nge? Gua masih di jalan-”

“TOLONGIN GUA! Shidou, Yukki, dan Nagi gak terkendali bahkan alpha satu karaoke juga berusaha mau nyerang Isagi!”

Karasu dan Rin otomatis terperanjat mendengarnya.

Hah?! Lo serius?”

“KURANG SERIUS APA GUA KALO SAMPE NELFON LU?! CEPET KE SINI! ISAGI DALAM BAHAYA! AKH- ANJINGGG NAGI TENAGA BABOONNN!!! BURUAN, TOT!!!”

Panggilan terputus begitu saja dari sepihak dan bisa terdengar dari suasana di sebrang sana kalau mereka memang sedang ada dalam situasi yang kacau. Jika sudah seperti ini pasti benar-benar bahaya, bahkan sepertinya Bachira dan Chigiri di sana juga ikut kesulitan.

Karasu sendiri juga sangat paham mengapa Otoya tidak bisa meminta bantuan terhadap anggota PXG yang lain kalau tidak mau identitas mereka terbongkar, atau takut mengundang perhatian kelompok mafia lain yang berada di lingkungan luar.

Shit! Kenapa tiba-tiba?!” Karasu dengan cemas menoleh ke arah Rin untuk bertanya pendapatnya meski ia sedang dalam suasana hati yang buruk, “Rin, kita-”

“Kita ke sana sekarang. Secepat yang lo bisa.”

Tapi nyatanya kecemasan soal Rin yang akan menolak hanya sia-sia, Karasu pun lantas mengangguk mengerti mendengar perintah tersebut.

“Siap laksanakan, Tuan Muda.”


Untungnya jarak di mana mereka berada dan tempat karaoke tidak cukup jauh sehingga dalam hitungan menit mereka bisa langsung sampai.

Begitu keduanya turun dari mobil, Karasu langsung dibuat merinding kala ia merasakan begitu banyaknya feromon alpha berbeda yang menyebar hingga ke area luar, tapi hanya ada satu feromon omega yang begitu kuat dan besar. Sudah pasti itu milik Isagi Yoichi.

Karasu kini mulai mengerti mengapa keluarga Itoshi menerima kehadiran Isagi menjadi omeganya Rin. Walau obat milik PXG yang berguna untuk tidak dapat mencium dan dipengaruhi feromon omega telah tertanam dalam tubuh mereka, Karasu tetap merasa was-was jika Otoya bahkan sudah terkena pengaruhnya jika feromon omega sebesar ini.

Demi Tuhan, ini benar-benar kacau!

Tanpa perlu berlama lagi mereka berlari dan menerobos masuk ke dalam. Terlihat beberapa pekerja tengah sibuk ke sana ke mari dengan gelisah tapi tak ada satupun yang melakukan sesuatu untuk menangani kekacauan tersebut.

Lantas Karasu tidak akan tinggal diam, ia menarik kerah salah satu pekerja yang lewat dengan penuh emosi. “Bodoh! Kenapa kalian gak ada yang panggil polisi atau dokter?!”

Yang ditanya menjawab dengan takut-takut, “I-ini tempat karaoke ... kami tidak mau ada keributan serius yang bisa memberikan kesan buruk-”

Belum sempat ucapannya terselesaikan tapi pekerja itu sudah dihempas begitu saja oleh Karasu karena jawaban tidak bergunanya. Ia kini kembali berlari memimpin jalan untuk mengikuti di mana sumber feromon besar itu berasal.

Fuck ... apa-apaan ini?!”

Begitu sampai ke tujuan, Karasu menatap ngeri terhadap kumpulan alpha yang tengah berusaha membuka pintu di ruangan yang sepertinya di mana Isagi dan yang lain berada.

“Rin, mundur sebentar karena gue bakal singkirin mereka-”

“Diam. Biar gua yang masuk.”

Karasu berniat untuk menghajar mereka satu per satu, tapi nyatanya Rin justru melangkah maju terlebih dahulu yang tiba-tiba membuat pergerakan alpha di sekitarnya berubah menjadi kesakitan akibat tercekik.

Begitu merasakan hawa mengerikan yang lebih besar, Karasu tahu bahwa itu berasal dari pemilik gelar calon alpha terkuat yang kini tengah mengeluarkan feromon secara besar-besaran.

“Rin! Tunggu!”

Tak bisa dicegah lagi, Rin langsung membuka pintu ruangan tersebut dan mendapati pemandangan paling mengejutkan di sepanjang hidupnya saat ini.

Terlihat Otoya yang sedang berusaha semaksimal mungkin untuk menahan dan melawan ketiga alpha teman mereka sendiri yang masih ingin menyerang Isagi di dalam perlindungan yang dibuat Bachira dan Chigiri.

“Otoya...?!”

“Anjingggg! Jangan diem aja dan tolong bantu sadarin mereka!!!”

Namun belum sempat Karasu berniat untuk membantu, justru Yukimiya, Shidou, dan Nagi yang tadinya dalam keadaan liar kini langsung bereaksi sama seperti para alpha di koridor yaitu merasakan kesakitan akibat tercekik.

Siapa lagi pelakunya kalau bukan Rin?

Seorang alpha yang kini justru sedang mematung di depan pintu dengan pandangan yang sulit diartikan ketika melihat omeganya sedang berjongkok di pojokan, bersembunyi di balik kedua temannya, dengan kedua tangan yang dinodai begitu banyak bekas gigitan akibat dari usaha untuk melindungi tengkuknya yang tanpa collar itu.

Sementara Isagi yang tahu bahwa Rin kini sudah melihat kondisinya, hanya bisa membalas tatapan itu sambil tersenyum lega.

“Akhirnya lo dateng ... Rin.”

Lagi, hanya ucapan sederhana tapi mampu membuat Rin merasakan gejolak emosi yang sedemikian rupa. Tanpa ia ketahui juga feromon yang keluar bertambah besar hingga tak hanya rasa tercekik yang didapatkan oleh para alpha, tapi juga batuk berdarah akibat merasakan intimidasinya.

“Rin! Feromon lo! Cukup!”

Karasu dan Otoya lantas merinding karena panik, feromon yang keluar sudah terlampau besar. Meski memang hanya ditargetkan untuk para alpha yang dipilih olehnya, tapi jika terus seperti ini kejadian waktu itu bisa terulang yaitu ketika omega menjadi gila dan berbalik menjadi pihak yang menyerang Rin sang alpha.

Gawat! Ini gak sesuai rencana! Kenapa tiba-tiba banyak feromon omega yang lagi heat?! pikir Isagi bingung.

Karena mau sebesar apapun feromon intimidasi yang dikeluarkan oleh Rin untuk membuat para alpha tunduk, akan menimbulkan dampak yang berkebalikan terhadap omega.

Mendengar suara mulai ricuh dari ruangan lain membuat perhatian Bachira dan Chigiri semakin dibuat heran. “Ini ada apaan lagi?” karena meskipun mereka yang beta tak bisa mencium dan merasakan feromon, tapi mereka tetap bisa tahu bahwa hawanya semakin tidak beres.

“Tutup pintunya! Sekarang gak hanya alpha yang menggila, tapi omega juga! Heat mereka terpancing karena feromon Rin!”

Penjelasan Otoya tak bisa Bachira terima, “Tapi masa sampai di ruangan lain?!”

“Karena emang feromon Rin sekuat itu!”

Bachira akhirnya menurut dan segera menutup pintu, menyisakan mereka bersembilan di dalam satu ruangan. Isagi yang sialannya adalah seorang alpha, kini juga merasakan pusing dan gairah yang semakin meningkat akibat mencium banyaknya feromon omega yang memabukkan. Jika terus seperti ini rencananya akan gagal dan justru ia akan ketahuan.

Ya, rencana licik Isagi yang memang sengaja mengeluarkan feromon omega palsunya yang begitu kuat upaya untuk membuat 3 alpha ini menyerangnya, memancing Rin datang sebagai penyelamat lalu setelah itu Isagi akan menjalankan rencana selanjutnya.

Tapi Isagi sendiri lupa jika mengeluarkan feromon omeganya terlalu kuat, ternyata bisa sampai membuat alpha di ruangan lain ikut terpancing. Ia bahkan tidak menyangka jika Rin benar-benar marah untuknya dan kini keadaan berbanding terbalik dari yang seharusnya ia harapkan.

Sialan!

“Bachira! Chigiri! Keluar cari bantuan dengan beta manapun untuk amanin para omega di ruangan lain dan paksa mereka minum supressantnya!” perintah Isagi akhirnya, “Karasu! Otoya! Pisahin semua alpha dari omega dan amanin untuk ada di ruangan yang berbeda! Lo bawa supressant sendiri, kan?! Kasih mereka semua!”

“Kalau gak cukup gimana, Sa?!” Karasu frustasi.

“Panggil dokter, sialan! Gak usah pikirin hal lain dulu yang penting mereka cepet sadar-uhk!”

“Isagi! Tapi lo juga gimana?! Kita gak bisa ninggalin lo sama semua alpha di sini!” tolak Chigiri yang tetap pasang badan untuk menjadi pembatas antara Isagi dan Rin.

Tubuh Isagi merinding seketika ia hampir mencapai puncak gairahnya. Gawat, jika terus seperti ini Isagi akan kehilangan akal sehat dan ikut berlari untuk menyerang omega lain. Situasi manapun tidak menguntungkan, jika saja Rin tidak membungkus Isagi dengan feromonnya, ia bisa berakhir sama seperti alpha lain yang akan tercekik lalu semua penyamarannya terbongkar. Tapi karena itu pula ia justru ikut bereaksi normal terhadap feromon omega yang tengah heat.

Mereka harus bisa menghentikan kekacauan semua ini dan satu-satunya cara adalah dengan membuat Rin melakukan itu.

Dengan napas yang sudah terengah-engah, Isagi keluar dari tameng Chigiri yang melindunginya hanya demi meraih tangan Rin, membuat kulit mereka kembali bersentuhan dan keempat mata itu juga saling bertatapan.

“Rin ... feromon lo ... udah, ya?”

Semua yang masih sadar di sana lantas terkejut dengan aksi nekat Isagi. Pasalnya mereka memang sudah tahu kalau Rin adalah alpha yang tidak bisa mencium feromon apapun, tapi tidak dengan Isagi yang merupakan alpha tulen, mereka menyangka bahwa Isagi kini adalah sosok omega yang tengah heat juga akan feromon Rin yang tidak terkontrol.

Namun sesungguhnya apa yang mereka khawatirkan justru berbanding terbalik dengan keadaan sebenarnya. Dengan Isagi yang justru muncul dengan kondisi terengah-engah dengan wajah memerah, hanya makin membuat Rin kembali merasakan hal yang sama ketika pertama kali Isagi membangkitkan gairah dan naluri alpha yang ingin menguasainya.

Lalu justru karena Isagi pula kini Rin akhirnya sadar dan mulai melihat ke sekelilingnya di mana kekacauan terjadi. Mulai dari para alpha yang batuk darah, sampai bagaimana omega di luar sana mulai menggedor pintu mereka saat ini.

Ini sungguh kekacauan yang besar dan lagi-lagi terjadi akibat feromon sialannya ini.

Mendadak perut Rin terasa mual akibat menyaksikan kekacauan tersebut, lantas tanpa berpikir lagi ia segera keluar dari ruangan tersebut dan membuat para omega yang tadinya terhalang menjadi bisa mengejarnya.

“Rin!”

Detik kemudian Isagi juga berniat untuk mengejarnya, tapi sayang lebih dulu dihalang oleh Chigiri lagi.

“Lo ngapain, Sa?! Lo omega dan lo bakal bahaya banget kalau deket Rin!”

“Gak! Karena hanya gue yang tau cara bikin dia tenang! Lebih baik lo bantu gue juga untuk ngehalang omega lain yang bakal mau deketin Rin!”

Isagi dengan tangannya yang gemetar mau tak mau menelan supressantnya tanpa air jika tidak mau menyerang omega-omega tersebut. Lalu setelahnya ia berlari sekuat tenaga menyusul Rin tanpa bisa Chigiri cegah lagi.

“Chi! Percaya sama Isagi dulu! Ayo kita juga tolong omega lain!“ ucap Bachira sambil menunjukkan ponselnya, “Gua juga udah hubungin dokter barusan, sekarang kita lakuin semampu kita untuk cegah para omega itu!”

“Bachira bener, urusan Rin serahin sama Isagi. Gua dan Otoya juga bakal bantu untuk pisahin semua alpha dari para omega!” timpal Karasu, karena setelah kepergian Rin dan Isagi barusan, ketiga alpha teman mereka ini jadi sudah bisa ditangani dengan lebih mudah.

Tidak bisa menentukan terlalu lama, Chigiri pun akhirnya menurut dan bergegas untuk mengejar omega-omega tersebut bersama Bachira yang lebih dulu keluar.

Eh? Apa ini?

Tapi sebelum itu langkahnya terhenti ketika menginjak bungkus supressant milik Isagi yang ternyata tidak sengaja pemuda itu jatuhkan dan kini menarik perhatiannya.

Mungkin saja masih ada sisa yang bisa digunakan untuk para omega lain, bukan? Akhirnya Chigiri putuskan untuk berjongkok dan mengambilnya terlebih dahulu.

Namun bukannya senang dengan apa yang ia peroleh, justru detik itu juga netra si cantik membelalak begitu melihat benda kecil tersebut dengan lebih jelas.

“Isagi ... ini, kan ...?”

Bungkus supressant untuk alpha. []

© 2025, roketmu.

Setelah mendengarkan nasihat Reo soal bagaimana ia yang tetap harus meminum suppressant lebih sering karena akhir-akhir ini feromonnya tak bisa terkontrol dengan baik, Rin rasanya ingin segera cepat-cepat masuk ke kamar lalu tidur dengan tenang. Ia bahkan sudah bisa membayangkan betapa nyamannya kasur empuk yang telah menanti kedatangannya di sana.

Walau seharusnya ia bisa mendapatkan hiburan lain sebelum tidur lebih dulu yaitu dengan sedikit menjahili Isagi Yoichi. Tapi anehnya hari ini tak ada satu pun notifikasi yang masuk dari kontak bernamakan ‘freak’ di ponselnya.

Apa Isagi memang sudah menyerah untuk bisa mendapatkan perhatiannya?

Omong-omong tentang omeganya itu, kehadiran Isagi itu bukan kehadiran yang Rin tidak sukai. Awalnya mungkin ia berusaha untuk membuat pemuda itu setidaknya takut dan memilih untuk menjauh darinya, tetapi sampai sekarang pun Rin tidak merasakan adanya ketakutan itu pada diri Isagi yang setiap hari selalu berusaha mendekatinya. Rin justru merasa bahwa apa yang Isagi lakukan terlihat konyol dan bodoh, mungkin juga—imut.

Jadi, jika boleh jujur, ia sedikit kecewa jika memang Isagi menyerah begitu saja untuk mengejarnya.

Shit. Kenapa jadi mikirin dia?”

Rin lantas kembali ingat pada tujuan utamanya sekarang yaitu untuk segera ke kamar dan tidur. Soal Isagi akan ia pikirkan lagi nanti, mungkin kali ini giliran Rin yang akan mengerjainya sungguhan guna membuat Isagi bahkan tak bisa lepas lagi dari sisinya dan hanya akan terus memperhatikannya?

Tetapi terkadang kenyataan memang tak selalu sama dengan harapan.

Buktinya ketika Rin baru saja membuka pintu kamar dan sudah bersiap untuk tidur, tubuhnya justru mematung begitu saja kala ia melihat sosok yang dari tadi ia pikirkan kini tengah duduk di atas ranjangnya dengan keadaan paling tidak terpikirkan—yaitu tubuh polos tanpa busana yang juga sedang memberikan senyuman lebar pada ke arahnya.

Ya, Isagi Yoichi benar-benar dalam keadaan telanjang tengah duduk di atas ranjang milik Itoshi rin sekarang juga.

“Tuan Muda Rin!” sapa Isagi ramah.

Fuck … lo ngapain?!”

“Menyambut Tuan Muda, bukannya para alpha suka dengan omega yang gak pakai baju?” Isagi langsung memasang wajah polos andalan upaya berusaha menyembunyikan tawa akibat melihat Rin yang masih berdiri di depan pintu dengan kakunya. “Aku juga omega yang tolol, bodoh, beloon gak bisa main bola, jadi seenggaknya aku mau coba untuk buat alphaku seneng dengan nyerahin diriku sepenuhnya, hehe…”

Dalam hati Isagi kini tersenyum puas. Mampus lo, sekarang gue beneran bertingkah tolol lo juga ikut kaget, kan?

Jujur saja sebenarnya Isagi pun jijik dan malu bertelanjang bulat di depan Rin langsung seperti saat ini, tetapi berhubung Isagi juga sudah nekat sedari awal ia ikut pelelangan omega waktu itu, harusnya untuk kenekatan selanjutnya tidak perlu dipertanyakan lagi bukan?

Sungguh dengan beraninya ia masuk ke kamar Rin yang untungnya tidak dikunci dan benar-benar langsung melepaskan seluruh pakaian yang menutupinya hanya demi membalas perbuatan semena-mena Beast manja kurang ajar di depannya saat ini.

Lagi pula mereka berdua juga sama-sama alpha, akan konyol sekali jika seorang Itoshi Rin yang merupakan alpha terkuat ikut terangsang melihat alpha lain telanjang di depannya, kan?

“Kata Pak Itoshi bahkan kita bisa langsung mulai dengan berhubungan seks,” kini Isagi perlahan membaringkan tubuhnya di kasur milik Rin, lalu mengulurkan satu tangannya pada pemuda itu dengan genit, “jadi, sini, Tuan Muda.”

Senyum nakal muncul di wajah Isagi sekarang, ia yakin bahwa setelah ini alpha impoten yang polos itu akan malu setengah mati lalu dalam hitungan detik sudah keluar dari kamarnya lagi.

Heh, membayangkannya saja sudah lucu bagi Isagi, karena dengan begini ia sudah bisa membuat alpha terkuat itu trauma akibat perbuatannya dan tidak akan lagi semena-mena untuk mengerjainya.

Isagi pun memejamkan mata penuh percaya diri untuk mendengar langkah kaki Rin yang akhirnya bergerak. Tetapi menyadari bahwa itu bukanlah langkah kaki menjauh, matanya kembali terbuka dan kini belum sempat ia memeroses keadaan, tiba-tiba ia mendapati tubuhnya sudah berada di bawah kukungan seorang Itoshi Rin dalam sekali kedipan.

Kedua mata mereka saling bertubrukan dengan jarak yang begitu dekat, membuat Isagi mendadak tak bisa bernapas karena keterkejutan yang begitu nyata. Belum lagi Rin benar-benar mengunci pergerakan Isagi dengan kedua tangannya yang digenggam dan juga kakinya yang ikut terjepit.

Mati gue.

Lantas yang Isagi bisa lakukan hanya kembali memejamkan matanya pasrah begitu wajah Rin kini mulai mendekat untuk melakukan entah apapun itu yang tidak bisa Isagi bayangkan.

“Yang kayak gini berani?”

Tapi nyatanya suara Rin terdengar lebih dulu yang disusul dengan dengusan remeh khas pemuda itu, membuat Isagi juga langsung membuka matanya cepat dan melihat pemuda itu akhirnya bangkit dari atas tubuhnya.

Kini giliran Isagi yang benar-benar membeku tak berdaya, bahkan ketika Rin sudah menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuhnya, Isagi masih terbaring kaku seperti mayat. Semua kejadian barusan terasa begitu cepat untuknya.

Fuck ... harga diri alpha gue …

“R-Rin, maaf-”

“Gua tau sebenernya lo juga gak tertarik sama gue, kan?” potong Rin cepat.

Isagi kini sudah bangun untuk duduk dengan selimut yang ia pererat untuk menutupi seluruh bagian tubuh polosnya. Ia menatap Rin dengan takut-takut, karena bukannya melarikan diri dan langsung pergi, tetapi Tuan Mudanya itu malah tetap hadir dan bahkan ikut duduk di tepi ranjang yang sama dengannya sekarang.

“Semua rayuan pendekatan lo yang tolol dan kaku itu terlihat setengah-setengah, mulai dari gimana lo yang ketahuan gak biasa panggil orang ‘Tuan Muda’, ketikan lo yang gak bisa menyesuaikan sebenernya lo mau pakai bahasa baku sama gua atau engga, bahkan gaya bicara berbeda lo sama temen lo yang lo sembunyiin dari gua, semuanya lo lakuin kayak gak serius dan lo sendiri kurang tertarik sama situasi lo yang jadi omega demi menggoda alpha.”

Anjing, gue langsung ketahuan, kah?

Isagi ingin membantah itu semua dengan kebohongannya lagi, tetapi suara Rin kembali keluar untuk melanjutkan ucapan tadi.

“Dan gua sendiri juga gak tertarik sama lo, jadi kita ada di posisi yang sama saat ini.” Rin pun menatap Isagi yang masih memandangnya dengan bingung, “Gua pilih lo di pelelangan semata-mata cuma mau buat Papa gua berhenti maksa gua datang ke pelelangan tolol itu, dan saat melihat lo di pelalangan pun gua juga merasa kalau lo bukan omega lacur yang nantinya akan merangkak demi bisa ditidurin gua.”

Bangsat, gue alpha!

“Jadi keluarin aja jati diri lo yang sebenernya di depan gua, gak usah pura-pura lagi, Isagi Yoichi.”

Mendengar itu lantas Isagi menghela napasnya gusar. Sial, jika sudah seperti ini tandanya ia tidak akan bisa mengelak lagi.

Isagi memang bodoh karena ia sendiri tidak memiliki banyak persiapan bahkan rencana matang-matang, yang ia tahu hanya bisa menaklukkan Rin, membuat alpha sombong nan manja ini jatuh ke pesonanya.

Tetapi perbuatannya selalu berbanding terbalik dari semua rencananya, yang ia lakukan justru terlalu ceroboh, terpancing akan emosi sesaat, lalu membuat dirinya kini terjebak atas kesalahan yang ia perbuat.

Lantas apa lagi yang harus Isagi lakukan jika Rin saja sudah tahu bahwa ia tidak berniat menjadi ‘omega’ sesungguhnya?

“Tapi gue mau berusaha, gunanya gue sebagai omega lo adalah itu, kan? Feromon gue cukup kuat untuk menarik alpha lain, kali aja lo bisa sembuh kalau terus sama gue.”

Masa bodoh, kalau begitu Isagi hanya bisa mengikuti bagaimana kemauan Rin dengan meruntuhkan kepalsuan image yang ia buat. Untuk persoalan rencana selanjutnya, biar ia pikirkan nanti saja setelah ini.

“Gua gak berniat sembuh juga.” balas Rin cuek.

“Terus masa kita mau diem-dieman aja? Lo gak rugi udah beli gue dengan harga sebesar itu? Atau lo mau jadiin gue temen lo aja?”

Mendengarnya langsung membuat Rin menatap sinis Isagi, sudah jelas ia tidak suka dengan usul itu.

“Tuh, kan, lo gak mau juga. Gue sendiri udah nyerahin semua hidup gue ke elo, jadi gue gak tau hidup gue mau dibawa ke mana lagi, sialan.”

Sayangnya fakta itu juga benar, akan lebih mudah jika Rin benar-benar menggunakan kehadiran Isagi di hidupnya dan bukan justru mengabaikannya.

“Lo sendiri kenapa bisa ikut pelelangan ini?”

Isagi menaikkan sebelah alisnya mendengar Rin tiba-tiba bertanya. Apa pemuda ini sekarang mencurigainya? Tapi tenang saja, Isagi juga adalah pembohong yang ulung jika soal mengarang cerita.

“Simpel, gue gak punya uang, lo sendiri tau gue udah gak ada orang tua.”

“Terus tau dari mana?” selidik Rin, karena menurutnya latar belakang Isagi sesuai data pribadi yang diberikan Reo itu seperti remaja normal yang bahkan tidak akan tersentuh dunia gelap seperti ini.

“Ini rahasia, tapi suatu hari gue ketemu salah satu orang kaya yang pernah mau rekrut gue buat ikut pelelangan ini karena dia bersedia jadi guardiannya. Lo pasti tau kalau guardian juga dapat uang besar soal ini, kan? Jadi lebih baik gue maju sendiri aja karena gue butuh uang yang lebih banyak.”

Rin mendengus remeh, “Gak menarik banget hidup lo.”

“Emang. Lo sendiri juga aneh, udah terkenal jadi Beast yang katanya setiap rut bakal jadiin orang samsak buat amukan lo yang gak bisa ngeseks. Pfth, alpha impoten.”

“Oh, shut up.”

Isagi kini menyeringai tipis, “Jadi lo pasti juga masih perjaka, kan, Rin?”

Look who’s talking.”

Rin mendecih sebal, sementara Isagi malah semakin ingin menggodanya.

“Terus tanggapan lo sendiri gimana sama kondisi lo sampai sekarang ini? Lo kesel gak udah sayang-sayang jadi alpha terkuat tapi lo malah punya kelemahan kayak gitu?”

Isagi bahkan sudah merasa bahwa lambat laun suasana di antara mereka kali ini tak lagi secanggung tadi, membuatnya tanpa sadar juga sudah ikut bersandar pada kepala ranjang sambil memperhatikan Rin dengan santai.

“Siapa yang tau kalau gua akan terlahir kayak gini? Orang-orang khawatir sama ras alpha terkuat yang ada dalam diri gua, tapi gua sendiri gak peduli. Kekurangan bahkan kelebihan jadi alpha terkuat ini gak penting karena gua akan tetap hidup dengan semau gua.”

Rin sendiri pun tidak masalah atas pertanyaan Isagi, ia tetap menjawabnya meskipun wajah mereka tak saling berhadapan, lebih tepatnya Rin yang menghindar karena tak ingin Isagi melihat ekspresi yang tengah ia buat saat ini.

“Betul itu, emang bagusnya lo gak usah peduli sama sekali.” Isagi mengangguk-angguk, “Karena secondary gender kita dengan segala kelebihan dan kekurangannya gak akan mempengaruhi diri kita yang sebenarnya. Mereka tau lo Beast, calon alpha terkuat atau apalah itu, tapi lupa kalau lo juga manusia, lo itu Itoshi Rin.”

Tapi balasan Isagi barusan membuat Rin langsung kembali memusatkan perhatiannya pada pemuda berambut biru tua yang kini sedang tersenyum tulus itu.

“Makanya juga gue gak peduli dan gak takut sama alpha-alpha kayak kalian biar pun gue ini omega, gue bisa aja bantai kalian satu-satu kalau kalian nyerang gue,” Isagi terkekeh singkat sebelum melanjutkan ucapannya, “karena sebelum gue jadi omega, gue adalah Isagi Yoichi, dan selamanya tetap Isagi Yoichi.”

Ah, begitu, ya?

Isagi yang tengah tersenyum bangga ini mungkin tidak sadar, tapi ucapannya barusan membuat Rin kini tersenyum tipis, hampir tidak terlihat. Siapa sangka ucapan dari omega yang sepertinya asal bicara ini mampu membuat Rin merasa sedikit ... lega?

Rin lagi-lagi mendengus geli, “Tapi tadi lo ketakutan pas gua mau serang.”

“Itu karena lo tiba-tiba! Jadi gue kaget!” bela Isagi pada dirinya sendiri.

Keheningan tercipta sejenak di antara mereka sebelum suara Rin akhirnya kembali terdengar untuk memecahkannya.

“Terus gimana?”

“Apanya?”

Rin kini menatap Isagi lebih lekat, “Lo masih bersedia untuk ikut bantu masa rut gua, kan?”

Yang ditanya terkesiap, “Yaa … oke aja? Gue siap jadi samsak lo, gue juga penasaran lo bakal berubah jadi kayak gimana nanti, apa gue langsung mati atau engga, hahaha.”

Ya, mungkin inilah rencana Isagi selanjutnya, walau ia harus jadi samsak sekalipun setidaknya ia bisa tahu kelemahan Rin. Kali saja dengan menjadi teman bertarungnya, mereka juga bisa memulai pendekatan yang lain atau bahkan lebih bagus lagi Isagi bisa menjadikannya sebagai peluang untuk melenyapkan Rin sebagai penerus PXG yang dibanggakan?

Ah, tapi sepertinya kalau sampai melenyapkan terlalu berlebihan? Kalau bisa Isagi tidak ingin ada pertumpahan darah di antara mereka.

Atau ... bagaimana kalau Isagi belajar hipnotis dari sekarang? Seperti ketika Rin sedang dalam masa rutnya yang tidak sadar, Isagi bisa mengendalikan pikiran Rin dan membuat alpha terkuat ini tunduk padanya. Maka dengan begitu penghancuran terhadap PXG akan lebih mudah untuk dilakukan jika Rin saja sudah menuruti perintahnya, bukan?

“Bukan jadi samsak, tapi cara lain seperti ajakan lo sebelumnya.”

Eh? Tunggu sebentar.

“Maksud lo?”

Semua bayangan dalam pikiran Isagi soal rencana tidak jelasnya mendadak lenyap digantikan oleh kebingungannya akibat ucapan Rin barusan.

Menemani rut tapi bukan menjadi samsak melainkan dengan cara lain seperti ajakan Isagi sebelumnya?

Oh! Rin lo beneran setuju mau kita ngeseks aja jadinya?”

Rin mendecih sebal ketika mendengar nada meledek Isagi yang menyebalkan.

Fuck. Lupain.”

Wajah Isagi juga langsung berseri, bahkan ia tak lagi bisa menahan tawanya.

Anjing, masa beneran segampang ini? Jadi gue hanya perlu kembali ke rencana awal gitu?

“Engga, engga, ayo, gue bersedia bahkan walau lo belum rut sekalipun. Ayo, kita ngeseks sekarang.”

Wait, gue udah bilang lupain, Isagi-”

Kini Rin justru panik karena tiba-tiba Isagi mulai mendekat ke arahnya dengan selimut yang perlahan turun dan kembali memperlihatkan bagian polos tubuhnya selagi pemuda kecil itu terus bergerak.

Gawat, wajah Rin langsung memerah matang dibuatnya.

“Kenapa? Gak usah malu, Tuan Muda Rin~”

Isagi kini tersenyum seperti orang mesum, puas menggoda Rin yang bahkan sekarang terlihat sedang kewalahan akibat berusaha menjauh sambil menangkis setiap sentuhannya.

Shit, gua gak ada pengalaman bahkan lo juga, kita gak tahu apa-apa soal ini, sialan.”

Ah? Bener juga.

Isagi akhirnya berhenti mendekat, membuat Rin dapat bernapas lega meski hanya sesaat karena sekarang pemuda itu justru langsung duduk di samping dirinya yang sudah terpojok di ujung ranjang sambil menatapnya dengan tampang polos andalan seperti di awal tadi.

“Kalau gitu kita coba aja dari hal yang paling mudah.”

Rin meliriknya curiga, “Apa?”

“Pelukan.”

Ha?

Kedua tangan Isagi langsung terentang lebar untuk menyambut Rin masuk ke dalam dekapannya dengan senang hati.

“Bangsat, gak-”

“Pelukan itu tahap awal untuk aktivitas sentuhan fisik,” potong Isagi cepat, “kalau lo beneran mau gue bantu saat rut dengan hal seperti yang lo bilang, kita bisa mulai dari sini. Tapi kalau lo emang gak mau, gue juga gak akan maksa kok, tenang, haha.”

Isagi terlihat begitu santai sementara Rin sendiri dilanda kegugupan. Otak dan hatinya kini tengah bertengkar dan memaksa ia untuk memilih apa yang sebaiknya harus ia lakukan.

Otaknya menyuruh ia untuk menolak pelukan Isagi karena gengsinya yang setinggi langit, sementara hatinya membujuk ia untuk setidaknya mencoba dulu pelukan Isagi yang terlihat sangat hangat tengah mengundangnya.

“Rin?”

Ah, sial.

Tetapi nyatanya ia lebih dulu jatuh kepada pesona Isagi sebelum dapat menentukan pilihan.

Karena begitu melihat Isagi yang kini tersenyum manis setelah memanggilnya dengan lembut, pertahanan Rin langsung hancur detik itu juga.

Masa bodoh. Isagi memang omega miliknya, kan?

Lagi pula mereka berdua sudah tahu alasan masing-masing terhadap perjanjian kontrak seumur hidup ini. Rin sendiri juga tidak masalah dengan kehadiran Isagi, ia merasa bahwa Isagi berbeda jadi tidak ada salahnya jika mencoba melakukan hal-hal seperti ini bersamanya, bukan?

Rin menghela napasnya pasrah, “Oke. Kalau gitu gua akan coba.”

Pupil Isagi membesar kala mendengar persetujuan Rin. Dengan gerakan perlahan tapi pasti, akhirnya Rin kini benar-benar mendekat ke arahnya.

Gawat, gawat, gawat.

Debaran jantung Isagi langsung berdetak lebih cepat di setiap gerakan yang Rin lakukan. Mulai dari bagaimana kedua tangan besar Rin meraih pinggang polosnya, sampai dagu pemuda itu yang kini bersandar di bahunya, napas Isagi kian ikut tercekat akibat sensasi aneh menggelitik di dalam perut yang membuat tubuhnya memanas.

Seorang Itoshi Rin sang Beast benar-benar sedang memeluk Isagi sekarang!

Isagi juga tidak mengira bahwa posisi pelukan mereka akan seperti ini jadinya, bahkan tangannya sendiri tanpa sadar sudah ikut melingkari bahu lebar Rin dan membuatnya bisa langsung mencium bau tubuh sang Beast dengan jarak sedekat ini.

Sialan, kalau seperti ini bukankah lebih berbahaya? Mereka berdua jadi bisa saling mendengar detak jantung masing-masing yang entah tidak diketahui siapa pemilik dari yang lebih cepat berdetak. Isagi bahkan makin dibuat terkejut karena mendapati Rin kini juga turut menempelkan hidungnya pada bahu Isagi, menimbulkan sensasi geli akibat hawa panas dari napas si bungsu Itoshi.

Dia nyium bau gue sekarang?

Isagi awalnya tidak percaya karena mungkin saja Rin berbohong soal tidak bisa mencium feromon orang lain, tetapi lain halnya dengan sekarang karena ia dapat membuktikannya sendiri.

Pasalnya Isagi sedang tidak memakai alat ramuan X untuk mengeluarkan feromon omega, ia juga sudah meminum suppressant penekan feromon alphanya agar tidak keluar. Lantas apa yang tengah Rin ciumi sekarang?

“Rin …?”

Rin juga tidak menjawab panggilan Isagi, yang hanya ia lakukan adalah tetap terpejam dan menghirup aroma alami tubuh Isagi dalam-dalam layaknya tak ada hari esok.

Entah, Rin juga tidak mengerti, yang hanya ia tahu bahwa detik pertama kali mereka berpelukan dan aroma Isagi masuk ke dalam penciumannya, Rin langsung merasa diselimuti oleh ketenangan dan kenyamanan yang sudah lama belum kembali Rin rasakan.

Rasanya seperti ketika pertama kali ia menghirup udara dingin menyegarkan di musim gugur dan seperti ketika ia baru saja pulang ke rumah setelah melewati perjalanan panjang yang melelahkan.

Rin menginginkan lebih banyak dan lebih lama lagi untuk menghirup aroma Isagi.

Lagi. Lebih banyak lagi.

Tanpa sadar hidungnya kini mulai berpindah tempat tak lagi di sekitar bahu melainkan leher dan juga dada Isagi. Bibir pun tak tinggal diam untuk ikut mengecup kulit halus yang terpampang polos di depannya, membuat ia tak kuasa menahan rasa ingin mencumbunya lebih dari sekadar ciuman.

Mmhh!”

Isagi menahan suara aneh yang berusaha keluar ketika ia merasakan mulut basah pemuda itu kini tengah menghisap permukaan kulitnya. Rin tidak melakukan itu dengan kuat tapi Isagi dapat jamin ia pasti meninggalkan jejak.

Lebih. Rin ingin lebih.

Selagi bibirnya sibuk melakukan pekerjaan utama, kini tangan besar yang tadi hanya berpegang pada pinggang halus Isagi, sudah ikut merembet ke bawah dan mengelus paha bagian dalam milik pemuda dengan mata seindah batu safir itu.

“Rin ...”

Tak kuasa menahan beban Rin yang semakin mendorong dirinya ke belakang, tubuh Isagi pun ambruk terbaring begitu saja di kasur dan membuat posisi mereka kembali seperti di awal Rin mengukungnya tadi.

Sontak akibat perubahan itu, kedua mata Rin yang sejak tadi tertutup kembali terbuka dengan cepat seakan kesadarannya baru muncul detik itu juga.

Tapi sepertinya itu bukanlah tindakan yang tepat untuk dilakukan, karena pemandangan di depannya saat ini justru lebih terlihat membahayakan—yaitu Isagi yang berada di bawahnya dengan leher dan dada memerah akibat perbuatannya, ditambah lagi wajah manis pemuda itu yang kini memberinya tatapan sayu lagi tak bertenaga.

Detik itu juga Rin merasa sisi buas dalam dirinya ikut bangkit yang membuatnya ingin meledak dalam seketika.

“Gua mau mandi.”

Akhirnya dengan sisa kekuatan dan kesadaran yang tersisa, Rin langsung bangkit dari kasur seraya menutupi setengah wajahnya, disusul oleh Isagi yang juga kembali meraih selimut untuk menutupi tubuh polosnya.

“O-oke? Gue balik ke kamar juga kalau gitu.”

Rin hanya menjawabnya dengan gumaman singkat sebelum ia akhirnya benar-benar masuk ke kamar mandi dan hilang dari hadapan Isagi.

Isagi yang juga merasa kesadarannya belum penuh segera ikut memakai kembali pakaiannya yang ia tanggalkan begitu saja di lantai sejak awal tadi. Walau ia sendiri belum bisa memeroses lebih jauh tentang apa yang baru saja tadi mereka lakukan, tetapi lebih baik ia pergi dulu dari kamar Rin dan setelah itu bisa Isagi pikirkan lagi setelahnya.

Tak jauh dari sana, Reo yang sedang tidak sengaja lewat di dekat kamar Rin dibuat bingung dengan Isagi yang baru saja keluar dari kamar milik Tuan Mudanya itu. Belum sempat mendekat untuk memanggilnya, tubuh Reo terperanjat begitu merasakan feromon Rin yang berasal dari kamar begitu besar dan langsung bisa ia ikut rasakan.

“Rin udah itu ... sama Isagi, kah?”

Tetapi anehnya Reo juga sama sekali tidak merasakan feromon lain kecuali milik Rin. Mungkinkah karena pengaruh obat? Tetapi harusnya obat khusus milik PXG hanya bisa untuk tidak mencium feromon omega, jadi harusnya Reo masih bisa juga merasakan feromon Isagi seperti ia merasakan feromon Rin sekarang.

Apakah feromon milik Rin terlalu kuat dan menelan seluruh feromon omega Isagi? Apakah Rin langsung melakukan scenting pada Isagi juga? Apa yang barusan sudah mereka lakukan sebenarnya?

“Ini … perkembangan bagus, kan?” wajah Reo langsung berseri bahagia, “Shit, gue harus kasih tau Pak Itoshi dan Kak Sae sekarang juga!”

Sementara Rin yang masih berada di kamar mandi tengah mengondisikan napasnya yang mulai tak teratur. Tubuhnya bahkan mulai memanas sampai ke ujung kepala, dengan gerakan tergesa-gesa pula ia meminum suppressant hanya dengan air keran di wastafel akibat feromonnya yang sudah kembali tak terkendali.

Apa lagi bayangan Isagi yang telanjang sambil menatapnya sayu dengan bau paling memabukkan tadi masih terus memenuhi pikirannya.

Sial, sial, sial.

Banyak pertanyaan muncul di kepala Rin untuk saat ini. Ia seratus persen percaya bahwa ia tidak bisa mencium dan merasakan feromon apapun. Ia juga yakin dan jelas tahu bahwa apa yang ia cium barusan bukan feromon tetapi aroma alami Isagi.

Tetapi mengapa ia bisa bereaksi sampai seperti ini? Apakah akibat dirinya yang tidak bisa mencium feromon, justru penciuman aslinya yang juga ikut menguat?

Atau ... memang Isagi Yoichi saja yang berbeda dari omega lainnya?

Fuck … Isagi Yoichi.”

Dan untuk pertama kali dalam hidupnya, seorang Itoshi Rin merasakan ada perubahan besar pada sisi alpha yang dimilikinya. []

© 2024, roketmu.

Aula yang begitu megah, tetapi diselimuti oleh segala hal yang begitu menjijikan.

Wajah Isagi mengeras untuk kesekian kalinya tiap kali menyaksikan betapa buruknya omega diperlakukan di hadapan hampir 100 alpha tersebut. Selagi ia menunggu gilirannya untuk dipanggil, ia melihat semua keburukan yang begitu sempurna tertampang jelas di depan matanya.

Para omega tersebut bergantian naik ke atas panggung dengan sangkar besar yang melindunginya, sedangkan para alpha yang menjadi peserta lelang asyik duduk manis di bangku penonton dengan topeng yang menutupi separuh wajahnya.

Tch. Lo semua ternyata tahu kalau yang lo lakukan ini buruk dan masih mau melindungi identitas diri lo semua, kan?

Belum lagi ketika Isagi mulai mendengar setiap ucapan yang keluar dari mulut-mulut kotor yang sangat menunjukkan ketidakmanusiaannya ini.

“Walau umur saya sudah 30 tahun, tetapi saya masih perjaka, saya gak masalah berapapun umur alpha yang mau menerima saya malam ini.”

“Kalau gitu kamu gak ada pengalaman sama sekali, ya? Lantas gimana bisa kamu memuaskan kami di atas ranjang?”

“Saya akan belajar ... jika Tuan ingin mengajarkannya.”

Halah, gak usah kamu pedulikan kakek tua tadi, Manis. Saya sendiri suka omega yang polos. Hei! Cepat mulai lelangnya, saya sudah mau menawar dengan harga tinggi!”

“Saya juga!”

Isagi sungguh ingin muntah mendengar percakapan seperti itu semua sejak tadi. Sungguh malang nasib para omega tersebut, mungkin sebagian besar dari mereka tidak memiliki pilihan dan harus mau merelakan dirinya kepada para alpha sialan yang kini menatap mereka penuh nafsu dengan hasrat ingin mendominasi.

Jujur saja Isagi juga alpha, tetapi Isagi bersumpah tidak akan mau memperlakukan omega seperti mereka ini. Karena ketika Isagi sudah menemukan omega pilihannya, Isagi akan menjadikan ia sebagai pasangan hidupnya, bukan justru sebagai budak seks.

Karena bagi Isagi, alpha, beta, dan omega, semuanya adalah manusia yang hidup berdampingan di bumi dengan keadilan yang harusnya setara.

Fuck. Gue muak.

Kalau bukan karena misi rahasia yang ia jalani kali ini, Isagi pasti sudah habis mengacaukan semuanya. Tetapi ia harus bersabar, apa lagi kini ia sendirian tanpa didampingi oleh Hiori atau Nanase seperti biasanya, dua bodyguard betanya itu hanya bisa mengawasi dari luar gedung karena tidak ingin ketahuan.

Sebab Isagi perhatikan sejak tadi, para omega tersebut harusnya memang memiliki pendamping yang berupa guardian untuk bertanggung jawab terhadap mereka, seperti yang mengurus omega tersebut sejak lama dan tahu betul data pribadinya, bahkan yang juga melakukan proses penyerahan resmi hak milik kepada sang alpha yang memilihnya.

“Omega nomor 11, sekarang giliranmu.”

Isagi mengangguk begitu kru yang di belakang layar sudah memberinya aba-aba untuk masuk ke kolong panggung. Ia segera berjalan dengan santai menuju ke sangkar besar yang kini terbuka untuk siap mengurung dirinya.

Hanya dalam hitungan menit, sangkar tersebut muncul perlahan ke atas panggung dan membuat Isagi benar-benar sudah ada di hadapan mereka semua seperti omega-omega yang terdahulu.

Kini Isagi juga bisa melihat pandangan bingung yang ditujukan kepada dirinya sekarang dan tentu saja ia sendiri tahu apa itu alasannya.

Pertama, Isagi tidak memiliki guardian. Kedua, Isagi tidak memakai collar yang melindungi lehernya. Padahal sebenarnya Hiori sudah memberikannya tadi sebelum Isagi berangkat pergi, tapi Isagi tidak ingin memakainya. Toh, dia alpha jadi itu percuma saja, bukan?

Guardian dan collarmu?” Pemandu acara pelelangan itu sendiri ikut panik melihat dirinya saat ini.

“Gak perlu. Saya bisa atur semuanya sendiri.”

Terasa seperti pick me boy karena Isagi ingin berbeda dari yang sudah-sudah, tapi memang tujuan Isagi itu ingin dpilih oleh Itoshi Rin sang Beast itu, kan? Jadi ini sudah termasuk rencananya juga.

Omong-omong, sebenarnya Isagi dan Hiori sudah berusaha menyelidiki lebih banyak soal Itoshi Rin ini, tapi mereka juga takut ketahuan bila sistemnya dilacak, bukan hanya oleh para anggota PXG melainkan juga BM.

Ingat, ini misi rahasia lebih dari rahasia negara.

Jadi, sampai detik ini Isagi hanya tahu nama asli dari Beast tersebut. Isagi tidak tahu bagaimana rupanya bahkan hidupnya, oleh karena itu biar Isagi cari tahu semuanya di sini. Pada pertemuan pertama mereka.

“Baik, kalau begitu kamu boleh mulai.”

Isagi mengangguk lalu mulai memperkenalkan diri kepada para peserta di hadapannya, “Saya Omega nomor 11. Laki-laki, umur 18 tahun, saya masih bersekolah, saya suka bermain bola dan makanan manis.”

Ia mengatakan yang sejujurnya kecuali nama asli, tentu saja karena identitas asli para omega dan peserta di sini ikut dirahasiakan.

“Dan ya … tentu saja saya juga masih perjaka dan tidak berpengalaman. Tidak ada yang spesial pada diri saya. Itu saja.”

Suasana yang menanggapi mendadak hening dikarenakan perkenalan Isagi terhadap dirinya sendiri begitu singkat dan tidak menarik. Tidak juga ada sesi Isagi menunjukkan pesona lewat wajah atau suaranya seperti para omega lain, Isagi benar-benar hanya berdiri cuek menatap mereka semua.

Tentu saja Isagi sendiri sadar akan hal itu, ditambah lagi pakaian yang ia kenakan pun hanya celana jeans biru dengan kemeja lengan panjang putih yang tidak mengekspos apapun pada tubuhnya.

“Hanya itu aja? Apa kamu gak punya kelebihan atau apapun untuk menarik para peserta?” bahkan sang pemandu acara kembali ikut berbisik untuk membantu dirinya.

“Kelebihan?”

Benar juga, Isagi tidak ada persiapan sama sekali untuk ini. Ujungnya, kalau ingin mendapatkan perhatian dari Itoshi Rin itu, setidaknya Isagi harus berpikir untuk menjadi sesuatu yang sangat menarik dan tidak ada pada omega biasanya.

Ya, yang tidak ada pada omega biasanya.

Tunggu, tapi gue ini alpha, jadi gimana bisa ... Ah!

Isagi tahu!

“Untuk kelebihan yang saya punya. Saya tidak pernah memakai collar seperti sekarang ini, karena saya tidak selemah itu dengan feromon alpha. Jadi, jika ada yang ingin mengeluarkan feromonnya, saya boleh persilakan untuk uji coba. Karena saya bisa jamin tidak akan ada yang ampuh.”

“Omega nomor 11, kamu serius?” tanya pemandu acara yang kini mulai panik.

“Seratus persen serius.”

Ya, iyalah, karena gue ini alpha. Isagi tersenyum miring setelah mengucapkannya dalam hati.

“Kalau dia gak bisa lemah terhadap feromon alpha, lalu gimana caranya bikin dia bisa tunduk dengan kita?” salah satu peserta kini baru menyahuti ucapannya.

Exactly, karena saya juga justru mencari alpha yang bisa membuat saya bertekuk lutut oleh feromonnya.”

Dan itu gak akan ada, dasar alpha-alpha tolol.

“Wah, menarik sekali! Omega nomor 11 ini mungkin bisa menjadi tantangan baru untuk para kaum alpha yang mau mendominasi!”

Setelah mendengar itu, para peserta mulai riuh dan berbicara terhadap satu sama lain. Kekuasaan dan kekuatan adalah hal yang sangat diagung-agungkan oleh para alpha, sudah pasti mendengar omega sebagai kaum minoritas terbawah mengatakan sesuatu yang meremehkan diri mereka, mereka tidak akan terima dan langsung berpikir untuk mempertahankan martabatnya.

Tetapi Isagi Yoichi tentu saja juga tidak akan membiarkan hal itu terjadi.

“Lalu kelebihan saya yang lain, justru feromon saya inilah yang bisa membuat kalian tunduk dalam seketika.”

“Feromonmu?”

Isagi menyeringai tipis.

Detik kemudian Isagi menekan alat ramuan X yang sejak tadi sudah tertutup perban pada bagian pinggangnya. Ramuan X yang telah berhasil dicuri oleh Hiori pada dua bulan lalu, ramuan X yang juga menjadi kartu AS untuk misi rahasia mereka ini.

Begitu alat ramuan X tersebut bekerja, saat itu juga Isagi mulai melihat semua alpha di ruangan ini mendadak pusing bahkan ada yang sudah bangkit dari kursinya, reflek berjalan mendekati panggung di mana Isagi berada.

Satu per satu dari mereka mulai kehilangan akal sehatnya dan ingin menyerang Isagi yang kini untungnya selalu terlindungi oleh sangkar besar. Siapa saja yang berusaha menyentuh sangkar akan langsung tersengat listrik dan itu terlihat sangat bodoh di mata Isagi, membuat ia sendiri tak lagi dapat untuk menahan tawa puasnya.

“Cukup, Omega nomor 11. Kamu sudah membuktikannya, sekarang kamu bisa meredakan feromonmu!” perintah sang pemandu acara beta itu yang mulai panik akan suasana heboh barusan.

“Oke.”

Isagi kembali menekan alat tersebut secara sembunyi-sembunyi seperti tadi, lalu dalam hitungan detik pula feromon yang dikeluarkan berhasil lenyap. Sungguh ramuan alat yang benar-benar canggih, ia bisa mengatur seberapa kuat feromon itu bisa keluar, bahkan Isagi sebagai pemakainya saja benar-benar tidak terpengaruh akibat ramuan X berbentuk obat yang ia minum sebagai penawarnya.

Lantas tak lama setelah aksi yang ternyata sangat menarik perhatian ini, para peserta di sana langsung mulai untuk berlomba-lomba menawarkan harga yang begitu tinggi untuk Isagi.

“10 miliar!”

“20 miliar!”

Wah, wah, bahkan sebelum dipersilakan sudah lebih dulu menawarkan harga! Kalau begitu langsung saja pelelangan terhadap Omega nomor 11 ini kita mulai dengan harga sebesar 20 miliar!”

“50 miliar!”

“70 miliar!”

“100 miliar!”

Wah! Menyentuh 100 miliar dalam waktu 5 menit! Nomor 11, kamu benar-benar omega yang spesial!”

Pelelangan terus berlanjut dengan harga jual yang semakin meningkat, sudah dipastikan mereka semua benar-benar para miliarder bahkan triliuner yang sepertinya hidupnya bukan di negera ini lagi.

“300 miliar!”

“500 miliar!”

“1 triliun!”

“Sungguh menakjubkan! Kini sudah menyentuh 1 triliun! Ini benar-benar suatu kehormatan, Omega nomor 11!”

Isagi mendecih, 1 triliun itu dikit, sialan. Gue gak mau dilelang seharga rumah yang lagi ayah gue dan Kaiser bangsat itu tinggali.

Tetapi tentu saja penawaran harga tidak sampai di situ, harga jual terus menaik dan kini bahkan sudah mencapai puluhan triliun.

“50 triliun!”

“70 triliun!”

Ah, Sial. 80 triliun! Ini sudah yang paling tertinggi sepanjang sejarah pelelangan omega, bukan?”

Isagi menoleh ke arah pemandu acara yang kini juga ikut kewalahan. Pasalnya dari harga tawar tersebut, penyelenggara pelelangan ini akan mendapatkan 30% keuntungan dari uang tersebut sebelum semuanya diberikan pada omega yang terpilih.

Namun bagi Isagi, ia tidak merasa senang sama sekali. Setiap nyawa dan hidup manusia itu tidak bisa ternilai dengan harga berapapun. Jadi Isagi tidak akan merasa spesial walau ia dibeli dengan harga paling tinggi sekalipun.

“Ya … 80 triliun! Hebat! Apakah masih ada yang ingin menawar harga yang lebih tinggi?”

Di saat semuanya mulai kembali riuh untuk berbicara satu sama lain karena tak lagi bisa mengikuti lelang tersebut, peserta yang menawar terakhir tadi sudah tersenyum bangga karena yakin bahwa pasti di sini tidak ada yang berani dan memiliki kekayaan sebanyak dirinya.

“Baik, kalau begitu Omega nomor 11 jatuh kepada peserta nomor 44 dengan-”

“111 triliun.”

Tiba-tiba interupsi dari suara peserta lain terdengar, membuat semua pandangan langsung tertuju pada di mana suara tesebut berasal, yaitu pada sosok dengan topeng berwarna hijau tosca yang kini berdiri di ujung paling belakang dengan satu tangan yang ikut terangkat menunjukkan papan bernomor 9.

Mereka semua lantas terkesiap oleh penawaran harga yang begitu tinggi, menandakan bahwa orang itulah yang paling terkaya di sini dengan kelas yang sungguh jauh di atas mereka.

Tetapi bukannya ikut terkejut, Isagi sendiri justru langsung memejamkan matanya seraya menghela napas lega.

Ah, akhirnya.

Isagi bukannya tidak tahu, tapi ia sudah merasakan ada sepasang mata yang begitu menusuk ke arahnya sejak ia memulai aksi tadi seakan ingin mengulitinya hidup-hidup. Bahkan kini tubuhnya ikut merinding hanya dengan suara yang baru saja ia dengar.

Siapa lagi kalau bukan Itoshi Rin sang Beast? Isagi berani bertaruh bahwa sudah pasti hanya dirinyalah yang mampu membuat seorang alpha seperti Isagi merasakan kewaspadaan yang begitu tinggi juga.

Wow! 111 triliun dari peserta nomor 9, apakah masih ada yang bisa menandinginya?” pertanyaan pemandu acara kini hanya dibalas keheningan oleh massa yang justru sudah menjawab semuanya, “Kalau begitu Omega nomor 11 jatuh kepada Tuan peserta nomor 9 dengan harga setinggi 111 triliun! Pelelangan selesai!”

Dengan begitu suara ketukan palu langsung terdengar menggema di satu aula, memberitahukan bahwa pelelangan terhadap dirinya benar-benar berakhir sekaligus menandakan bahwa dimulai dari detik itu juga Isagi Yoichi resmi sepenuhnya menjadi milik Itoshi Rin.

Kedua mata mereka kini saling bertatapan sebagai bentuk pengenalan awal meski dengan jarak yang cukup jauh di antara keduanya.

Sementara sosok pemuda berambut ungu yang tak jauh dari sana kini ikut terlihat lega tapi juga panik akan yang terjadi di depannya saat ini.

Bagaimana tidak? Di satu sisi, Reo bersyukur akhirnya Rin bisa juga menemukan omega pilihannya setelah sekian kali mereka ikut pelelangan bodoh ini. Lalu sisi yang lain ia juga panik dengan kelebihan yang omega itu miliki, pasalnya kini Rin tengah mengeluarkan feromon yang bisa membuat omega manapun pasti akan merasakan heat dalam hitungan detik.

Tetapi omega nomor 11 itu sungguh berbeda, dia hanya diam berdiri dan menatap Rin tanpa takut sedikitpun. Membuat Reo bertanya-tanya sebenarnya apa yang dipikirkan Rin ketika memilihnya?

Lo alpha yang gak bisa cium feromon siapapun dan dia omega yang gak mempan terhadap feromon apapun. Lantas lo pilih dia karena apa, Rin?

“Omega nomor 11, silakan kembali turun ke bawah lalu dibimbing oleh kru kami untuk membahas hal terkait selanjutnya.” ucap sang pemandu acara yang kini tak bisa melepaskan senyum dari wajahnya itu.

Isagi mengangguk menyetujui, membuat ia akhirnya berjalan menjauh dari panggung sekaligus memutuskan pandangan terhadap Itoshi Rin yang kini masih berdiri di tempat yang sama dengan lirikan mata yang masih mengikutinya.

Sepanjang berjalan bersama kru yang menuntunnya pergi ke tempat lain, Isagi kini mulai bertanya-tanya dalam benaknya.

Apakah ia akan baik-baik saja setelah ini? Bagaimanakah orangnya si Itoshi Rin itu? Apakah misi rahasia ini bisa berjalan lancar seperti yang dipikirkannya? Apakah Isagi benar-benar melakukan hal yang tepat?

Heh, jujur saja Isagi tidak tahu ke mana hidup akan membawanya pergi setelah ini. Tetapi demi mendapatkan pengakuan yang sesungguhnya dari sang ayah angkat, dirinya yang seorang alpha tulen pun rela menjalankan misi rahasia sebagai umpan yang berpura-pura menjadi omega dengan feromon paling memikat agar bisa menaklukan seorang alpha Beast yang bahkan tidak bisa mencium feromon siapapun.

Apakah Isagi benar-benar bisa menaklukkannya? Atau seperti kabar yang beredar ia hanya akan dikorbankan untuk menjadi samsak sang Beast dalam melewati masa rutnya?

Ketakutan pasti ada, tapi tekad pun tetap tidak pudar pada dirinya. Walau masih ada begitu banyak pertanyaan soal kemungkinan tidak jelas yang bisa terjadi pada dirinya setelah ini.

Namun, Isagi masih memiliki satu hal jelas yang selalu ia pertahankan sampai akhir nanti—yaitu dengan tetap menjadi si Isagi-tidak akan pernah menyerah-Yoichi.

Salam kenal dan mohon bantuannya, Itoshi Rin sang Beast. []

© 2024, roketmu.

Rin dan Isagi masih saling membeku dengan wajah yang tak kalah kaku ketika kembali mengingat ucapan yang dikatakan Mikoto beberapa saat lalu, tepatnya setelah mereka menyudahi diskusi bersama Shou dan Ciel tentang “cara” yang katanya akan membantu Minato untuk cepat sembuh.

“Namanya cara ‘10 pengakuan’, cara yang ada di keluarga kita untuk mengatasi pertengkaran. Kalau ada dari kami yang sedang bertengkar, Papa dan Yayah selalu suruh kita untuk saling duduk berhadapan sambil berpegangan tangan, lalu saling menyebutkan 10 hal yang disukai dari diri masing-masing lawan bicara secara bergantian.”

Ya, dengan cara seperti itu.

MANA ADA YANG KAYAK GITU BERHASIL? batin Isagi kini berteriak frustasi.

Pasalnya ia dan Rin sedang dalam hubungan yang buruk, Isagi saja sungguh enggan hanya untuk menatap matanya. Lantas bagaimana bisa ia kini harus berpegangan tangan lalu mengakui 10 hal yang ia sukai pada diri laki-laki itu?!

“Sial, bisa gila gue.” gumamnya, lalu ia pun menoleh ke arah Mikoto dan Gakuto yang tengah duduk bersama di sofa, “Kalian yakin cara ini bakal berhasil? Kalian gak lagi bohongin kita, kan?”

“Engga, Yayah. Iya, kan, Dek?”

Huum!” timpal Gakuto menyetujui jawaban sang abang.

Kemudian pandangan Isagi kini beralih pada Reo dan Sae yang masih berdiri di dekat pintu sengan senyuman lebar—terlihat sangat menanti apa yang akan dirinya dan Rin lakukan, yang justru membuat Isagi ingin melarikan diri sekarang juga karena malu.

Tetapi begitu sepasang bola matanya kembali fokus pada Minato yang berada di samping mereka, rasa bersalah sontak semakin menggerogoti hati dan pikiran Isagi detik itu juga.

“Minato beneran bakal mau makan dan sembuh setelah kami ngelakuin hal ini?” tanya Isagi dengan lembut sekali lagi.

Minato hanya menjawabnya dengan anggukan lemas tapi dengan senyuman penuh keantusiasan. Anak yang biasanya terlihat paling ceria dan aktif, kini terkulai lemas di atas ranjang dengan wajah pucatnya. Apa bisa Isagi tega dan tak mau menuruti kemauannya?

Akhirnya Isagi pun memberanikan diri untuk kembali menatap Rin yang nyatanya sejak tadi selalu memperhatikannya. Mereka berdua juga sudah duduk di kursi masing-masing, saling berhadapan, dengan ranjang Minato yang tepat berada di tengah-tengah mereka agar sang anak dapat melihat jelas ke arah keduanya.

“Ayo, kita lakuin. Demi Minato.”

Rin tidak menjawab, bahkan ia tetap diam saja ketika kedua tangan Isagi juga meraih miliknya—membuat mereka saling berpegangan tangan yang juga untuk pertama kalinya.

Rasanya hangat, sampai ikut membuat wajah Isagi memanas hingga si manis pun reflek melepaskan genggaman tersebut, “Gi-gimana kalau kita suit dulu aja siapa yang duluan?” usulnya untuk menutup kegugupan.

Bukannya mengiyakan, tapi sang bungsu Itoshi justru kembali meraih tangan Isagi di saat yang lebih tua belum juga selesai memeroses keadaan, “Biar gua aja yang mulai duluan.” dan ucapan tanpa keraguan itu hanya semakin membuat Isagi tak berkutik hingga memilih untuk menundukkan kepalanya.

Selagi Isagi masih bergelut dengan kegugupannya, Rin yang melihat itu diam-diam tersenyum dalam hati. Karena dengan begini Rin jadi semakin ingin mengutarakan semua yang ingin ia sampaikan dengan jelas.

Memang saat inilah waktu dan kesempatan yang tepat baginya untuk jujur pada Isagi sekaligus perlahan meluruskan masalah yang ada pada hubungan mereka saat ini.

Rin juga ikut melirik ke tiga anaknya yang kini masih menunggu sambil menatap mereka penuh rasa penasaran. Haha, betapa lucunya. Tenang saja, Rin akan dengan senang hati mengakui dan mengutarakan pengakuan-pengakuan soal hal yang ia sukai pada diri Isagi. Di depan mereka, di depan Isagi, bahkan di depan seluruh dunia jika memang perlu.

“Papa ...” Rin menggantung ucapannya sejenak hanya untuk tersenyum tipis pada Isagi yang bahkan tak bisa melihat itu, “suka sama mata milik Yayah.”

Mendengar pengakuan pertama milik Rin, satu ruangan langsung memberikan reaksi yang berbeda-beda—Reo reflek menutup mulutnya sambil menoleh ke arah Sae yang juga sama ikut terkejut di tempat, wajah ketiga anaknya langsung berseri, sementara Isagi yang tadi menunduk kini kembali menunjukkan wajahnya dan menatap Rin bingung.

Ah, ketika mereka bertatapan lagi, Rin bahkan semakin sadar betapa sukanya ia melihat kedua bola mata Isagi yang begitu bulat dan bersinar lucu.

“Yayah …”

“Ya?”

Merasa dirinya dipanggil, Isagi menoleh pada Minato yang tengah tersenyum manis.

“Sekarang giliran Yayah.” lanjutnya.

Isagi kini menelan salivanya gugup, pengakuan pertama Rin bagai menghancurkan tembok pertahanan yang sudah ia bangun sejak tadi untuk menghalau rasa malu. Diam-diam ia berharap Rin akan gagal pada percobaan pertama, tapi nyatanya laki-laki itu melakukannya seperti tidak ada masalah. Bahkan anak-anaknya juga tidak protes, menandakan bahwa Rin memang telah mengutarakan pengakuannya dengan jujur.

Sial, baru mulai tapi jantung gue udah berdebar gak normal!

Jika Isagi berbohong setelah ini pasti mereka akan segera mengetahuinya. Jadi sepertinya memang sudah tidak ada lagi celah untuk dirinya melarikan diri dari tempat ini dan juga kenyataan yang berada di depannya.

Selamat tinggal, rasa malu. Mohon bantuannya, keberanian.

Isagi pun mengembuskan napas panjangnya pasrah, “Yayah … Yayah suka Papa tiap lagi main bola.”

Dapat dipastikan wajah Isagi sudah semerah kepiting rebus saat ini. Ia bahkan tak dapat melihat langsung ke arah Rin setelah mengucapkannya, ia lebih memilih untuk melihat ke arah Mikoto dan Gakuto yang justru saling melempar senyum senang, menandakan bahwa tidak ada kebohongan pada jawaban Isagi juga kali ini.

Sementara Reo bahkan sudah menahan teriakannya beserta hasrat ingin merekam untuk memberi kabar kepada teman-temannya sekalian. Tapi tentu semua hal itu tidak akan ia lakukan upaya tidak ingin membuat Isagi melarikan diri.

Sorry, guys. Kali ini eksklusif yang di sini aja yang bisa tau!

Mendapati pengakuan seperti itu awalnya Rin juga hampir saja ikut kehilangan pertahanannya. Tetapi jika ia terus diam dan justru menunjukkan salah tingkah, ia hanya akan menambah kecanggungan pada mereka berdua. Oleh karena itu jalan satu-satunya adalah dengan menjahili Isagi seperti biasanya.

Ah, jadi lu pas gua lagi main bola suka terpesona, ya?” Isagi akhirnya kembali menatap wajah Rin yang kini tersenyum usil, “pantes aja gawang anak kelas lu kebobolan terus.”

Mendapati reaksi seperti itu hanya membuat wajah Isagi kembali memerah dan semakin terlihat menggemaskan di mata Rin, “Berisik! Itu bukan salah gue aja, ya! U-udah lanjut lo ke pengakuan kedua!”

Rin mendengus remeh, “Pede banget ada banyak hal yang bisa disukai dari diri lu?”

Ketika kalimat pertanyaan itu terdengar, langsung saja Isagi menoleh kembali pada Mikoto dan Gakuto, “Tuh, liat Papamu, gimana juga Yayah bisa ngaku kalau dianya aja senyebelin ini?” dan mengadu seperti anak kecil pada anaknya sendiri.

Mikoto ingin membuka mulutnya untuk segera menanggapi, tapi mendengar suara tawa Rin yang tertahan, ia mengurungkan niatnya dan justru jadi ikut tersenyum.

“Bercanda. Pengakuan kedua itu, Papa suka jahilin Yayah.”

Ih! Itu juga bukan sukaaaa!!!” protes Isagi kemudian.

Lalu seisi ruangan yang tadinya hanya diselimuti oleh kecanggungan dan keheningan yang cukup menyesakkan, kini perlahan mulai dipenuhi oleh kehangatan yang berasal dari tawa lepas mereka semua yang ikut melegakan. Bahkan Minato yang tadi berbaring saja sekarang sudah duduk tegap untuk ikut menyaksikan mereka berdua secara lebih jelas.

“Oke, oke, sekarang serius,” Rin kembali bersuara untuk mengambil perhatian Isagi, “kalau gitu Papa suka Yayah yang lagi bersemangat.”

Isagi yang tadinya berwajah malas, langsung menunjukkan seringainya dalam secepat kilat, “Semangat buat gebukin lo suka juga, gak?” karena ia juga ingin membalas keusilan si bungsu Itoshi sialan ini barusan.

“Gebukan semut maksudnya?”

Tapi lagi-lagi Isagi yang justru dibuat kesal. Detik kemudian terdengar rintihan kecil Rin ketika yang lebih pendek mencubit tangannya yang masih saling bergenggaman itu.

“Kalau di pengakuan kedua, Yayah … suka bulu mata bawah Papa yang lentik.”

“Kakak juga punya, Sa. Gimana? Suka juga dong?”

Sontak Rin menatap sinis abangnya yang baru saja ikut menimpali untuk meledek dirinya. Tetapi Isagi yang mendapati pertanyaan seperti itu justru terlihat panik dan tidak peka terhadap sinyal yang diberikan Sae.

“Bedaaa, Kak Sae lebih banyak dan jadi agak lebat, sementara punya Rin itu pas.” jelas si manis yang hanya membuat hati Rin jadi girang tak tertahankan.

“Bilang aja lebih ganteng gua ketimbang Abang.”

“Males!!!”

Reo yang ada di sudut ruangan ikut kembali tertawa lebar tiap mendengar ucapan-ucapan yang keluar dari mulut pasangan bodoh itu, seperti sedang menonton sitkom saja rasanya, “Ahahaha! Lanjut, lanjut, pengakuan ketiga!!!”

Pada pengakuan ketiga kali ini giliran Rin yang terlihat berpikir, lebih tepatnya berpura-pura berpikir untuk mengundang rasa penasaran Isagi yang diam-diam pasti sudah menantikannya. Hingga ketika pemuda bermata sebiru laut itu lengah, Rin menggunakan celah itu untuk mengelus punggung tangan Isagi dengan ibu jarinya perlahan.

“Papa suka Yayah yang sering peduli sama Papa.”

Isagi tertegun, entah karena sentuhan Rin atau ucapan pemuda itu barusan.

Cieee … botol minum, tuh!” sementara Reo asyik berseru penuh semangat seperti penonton bayaran yang disuruh menggoda selebriti-selebriti yang tengah tampil di panggung acara televisi.

Di sisi lain, Gakuto yang mendengar ucapan Reo justru langsung teringat akan sesuatu hal, lalu berbisik pada Mikoto di sebelahnya. “Abang! Botol minum yang Papa paling sering pakai itu, ya?”

Ssssttt! Iya, Adek. Itu pasti botol yang masih Papa simpan sampai sekarang!” balas Mikoto dengan kekehan singkatnya.

Isagi yang tertegun cukup lama akhirnya tersadar dan buru-buru mengalihkan pikiran dan perasaannya yang mulai terbawa suasana ini.

“Kasihan juga gak ada yang peduliin.” begitu ucapnya disusul dengan senyum meremehkan.

Rin hanya mengangkat bahunya cuek seraya berkata, “Gapapa, yang penting lu jadi peduli sama gua.”

Lagi-lagi ucapan yang keluar dari mulut Rin sangat telak untuk membalas serangan Isagi padanya. Si manis yang tidak mau semakin terlihat salah tingkah karena malu itu pun dengan cepat melanjutkan pengakuannya lagi.

“Ya-yayah juga suka kalau Papa caper sama Yayah, kelihatan beloonnya.”

Giliran Sae yang kini tertegun sejenak, “Rin pernah cari perhatian gimana ke Isagi?”

Wah, ditanya begitu tentu Reo akan dengan senang hati menjawab, “Sering, Bang! Kalau Isagi lagi cuekin Rin, adek lo ini suka caper cari masalah kayak gangguin dia, atau kalau caper yang gak mendasar itu, kayak tiba-tiba gak ada angin gak ada hujan, Rin pernah minjem anduk ke Isagi juga pas-oops!” tapi dengan secepat kilat juga ia menghentikan ucapannya ketika Rin sudah memberinya lirikan sinis mematikan.

Oh, begitu …”

Sae tersenyum lega ketika mengetahuinya. Karena dengan begini artinya Rin benar-benar sudah menemukan sosok yang membuatnya nyaman. Jadi, tidak salah jika memang nanti mereka akan berakhir menikah di masa depan, ia percaya Isagi adalah orang yang paling pantas dan cocok untuk mendampingi adik semata wayangnya itu.

Abang sangat merestui hubungan kalian berdua, Rin.


Lambat laun suasana yang dipenuhi kecanggungan tadi sudah berhasil hilang sepenuhnya di antara mereka berdua. Dengan begini semakin memudahkan juga untuk keduanya terus berterus terang tentang pengakuan-pengakuan selanjutnya yang masih harus diungkapkan.

“Pengakuan keempat, Papa suka muka kesel Yayah, kayak kucing.”

Isagi mendecih sebal, “Karena itu lo jadi nyari ribut terus sama gue?!”

Yup. Makin kesel, makin suka.”

Stop.” dengan wajah yang terus saja memerah, Isagi juga tak mau kalah dari Rin yang tak ada habis menggodanya, “Kalau Yayah suka wanginya Papa!”

Oh? Pantes juga jaket gua masih sama lu, ya?”

“Besok gue bakaaarrr!!!”

Gakuto hanya bisa tersenyum senang dalam diam mengetahui fakta bahwa jaket tersebut masih berada di atas kasur Isagi selama sang Yayah tidur. Namun Rin yang ternyata menyadari hal itu segera menatap ke arah Gakuto dan Isagi secara bergantian, lalu tanpa pikir panjang lagi ia justru kembali menemukan satu hal serupa yang ia sukai pada diri pemuda manis itu.

“Terus Papa suka senyuman Yayah juga, mirip kayak punya Adek.”

“Kenapa? Manis, ya?” Ledek Isagi.

“Iya, karena Papa orang yang jarang senyum, tiap ngeliat senyuman Yayah tanpa sadar Papa jadi bisa ikut ngerasa damai.”

Reo dan Sae kali ini benar-benar kehabisan reaksi dan hanya bisa menutup mulutnya untuk menahan teriakan gemas. Sungguh mereka berdua sangat bersyukur karena berada di sini dan bisa menyaksikan kelucuan mereka secara gratis.

“Mulut lo ikutan sok manis juga sekarang!” Isagi mengembungkan pipinya kesal, lagi-lagi ia kalah telak dalam berusaha membuat Rin salah tingkah, apa laki-laki ini sesusah itu untuk dibuat malu?

“Lanjut, Yayah.”

Hah, kalau begitu biarlah Isagi mengalah kali ini dan ikut memalukan dirinya sendiri.

“Yayah suka … uh, suka ketika Papa panggil yang lain dengan nama hinaan, Papa justru panggil Yayah dengan nama.”

Rin tertegun, tidak menyangka pengakuan itu bisa keluar dari mulut Isagi, “Yoichi?”

“ISAGI!!!”

“Tapi nanti juga jadi Itoshi Yoichi, kan?”

IH! GAK SUKA KALAU NGELEDEKKK!!!”

Kalau tidak sedang berada di depan anak-anaknya, Isagi benar-benar ingin menjambak rambut Rin saat ini juga untuk melampiaskan rasa malunya yang sudah di ujung tanduk. Ditambah lagi ketika melihat Rin selalu berwajah datar seolah tidak peduli terhadap ucapannya yang didasari keisengan belaka.

“Imutnya Yayah …”

Namun begitu mendengar suara lembut dari Gakuto yang juga sedari tadi tersenyum tak henti-henti, wajah Isagi kini tak lagi memerah malu melainkan merona karena terharu. Jika sudah seperti ini, Isagi mulai berpikir bahwa tidak buruk juga kalau ia melakukan hal konyol asal bisa membuat anak-anaknya tersenyum bahagia.

“Lanjut, ya, pengakuan keenam?” tanya Rin kepada anak-anaknya yang langsung bersorak menyetujui dengan penuh semangat, “Hm … Papa suka pipi gembil Yayah.”

“Gue tau gue gemes,” kemudian giliran Isagi yang kini tersenyum miring, pengakuannya setelah ini pasti setidaknya bisa membuat Rin malu atau sedikit terkejut, “kalau Yayah suka sama muka Papa yang ganteng.”

Tapi bukannya terlihat malu, Rin justru kembali mendengus, “Tau juga kok, makanya gak salah kalau anak kita lima.”

Sialan.

“NYEBELIN BANGET!!!”

Rin sangat tahu bahwa tadi Isagi pasti ingin membuatnya malu bahkan salah tingkah seperti di group chat waktu itu. Walau sebenarnya cara tadi memang hampir kembali berhasil menggoyahkan pertahanannya, tapi Rin cukup pintar untuk menyembunyikan hal itu dengan jawaban spontan barusan.

Oleh karena itu, ini dia balasan Rin untuk Isagi terhadap percobaan membuat dirinya lengah.

“Pengakuan ketujuh, Papa suka pinggang ramping Yayah.”

Bingo! Wajah Isagi sudah kembali semerah tomat lagi.

“Fo-foto yang dikirim Adek waktu itu berarti gak lo hapus?”

Rin mengangguk, “Gua jadiin wallpaper laptop soalnya.”

“KAK SAE ADEKNYA MESUM, NIH!”

“Bercanda, bodoh. Lanjut.”

Isagi mengembungkan pipinya tak terima. Namun jika berbicara soal fisik, sebenarnya Isagi juga bisa jujur untuk satu hal yang selalu ia idamkan selama ini dari diri Rin.

“Yayah juga suka, sih … sama badan atletisnya Papa.”

“Karena itu lu sering ngintilin gua kalau lagi yoga?” selidik si bungsu Itoshi.

“Ya, iyalah! Kan gue juga pengen punya badan bagus kayak lo. Tinggi, terus berotot, bisa one arm handstand kuat gitu padahal lo ini lebih muda dari gue … dunia gak adil banget.”

Isagi bukan hanya jujur, tapi ia juga sekaligus mengutarakan ketidakpercayaan dirinya tentang bentuk tubuh yang ia miliki, yang sontak membuat Rin sangat tidak suka mendengarnya.

“Gak usah, pinggang ramping dan pantat semok lu justru yang paling gua suka.”

Karena bagi Rin, Isagi sudah sesempurna itu di matanya.

“Sembarangan, lanjut!” Lagi-lagi cubitan kecil dihadiahi Isagi untuk Rin karena malu omongan mesum itu sudah didengar anak-anaknya bahkan Sae dan Reo di sudut ruangan.

“Papa suka Yayah yang baik ke semua orang walau kadang lihatnya juga bikin iritasi.”

“Bilang aja cemburu.”

“Emang cemburu.”

Skakmat.

Uh … Yayah suka Papa tiap lagi ngomong pakai bahasa Inggris walau Yayah gak ngerti kayak- hey, what do you mean? AM GANE KRASH YU!”

Rin membalasnya dengan dengusan geli tiap kali melihat usaha Isagi yang berusaha membuatnya kesal, “Nice try, Papa juga suka tingkah Yayah yang kadang bodoh tapi lucu kayak sekarang.” karena itu justru menjadi celah baru yang memancing Rin untuk menemukan pengakuan hal yang ia sukai pada diri Isagi dengan mudah.

“Gue gak pernah bodoh!” bantah si manis walau detik kemudian tetap melanjutkan pengakuannya, “Yayah suka kalau Papa cuek sama yang lain tapi ke Yayah engga.”

“Berarti suka kalau dispesialin, kan?”

“Yang bilang gak suka siapa emang?” balas Isagi sama tengilnya.

Walau memang awalnya dimulai dengan kecanggungan yang cukup lama, tapi kini tanpa sadar pengakuan-pengakuan tersebut sudah mau mencapai akhirnya yaitu pada pengakuan ke-10. Reo sendiri bahkan sampai heran, karena ia pun hampir lupa jika saja jarinya sejak tadi tidak menghitung pengakuan tersebut.

Laki-laki bersurai ungu itu lalu menoleh kepada tiga anak yang masih asyik melihat aksi lucu kedua orang tuanya beradu mulut, “Gimana? Mikoto, Minato, Gakuto? Papa sama Yayah kalian belum ada yang bohong sama sekali sampai sekarang?”

Minato menggeleng, “Belum. Tapi kalau yang terakhir ini bohong, maka Papa Yayah akan gagal dan harus mengulangnya dari pertama lagi dengan pengakuan yang berbeda.” jelas si kecil sambil menatap kedua orang tuanya secara bergantian.

“Tenang, Papa gak akan bohong.” ucap Rin percaya diri.

Sementara Isagi kini tiba-tiba kembali tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Pengakuan terakhir, ya?

Ya, Isagi sebenarnya cukup panik terhadap hal ini, entah karena bisa saja Rin akan berbohong dan mengharuskan mereka mengulangi itu semua demi menggodanya, atau karena Isagi yang takut jika pengakuan-pengakuan ia selanjutnya membuat Rin mengambil satu kesimpulan yang sejujurnya masih belum bisa Isagi akui—kesimpulan bahwa ia menyukai hal-hal yang ada pada diri Rin karena ia memang menyukai Rin.

Eh– tunggu, menyukai Rin?

Netra biru laut Isagi sontak terpaku pada sosok di depannya yang kini juga ikut menatapnya serius, menimbulkan perasaan menggelitik dalam dirinya, dan membuat pertanyaan-pertanyaan yang selama ini terpendam di kepalanya mulai muncul ke permukaan meminta ditemukan jawabannya.

Mungkin karena Isagi bodoh, mungkin juga karena jawaban tersebut masih belum bisa ia terima.

Isagi tidak tahu apakah perasaannya selama ini pada Rin sudah cukup valid untuk diartikan suka?

Isagi tidak tahu apakah dengan dirinya yang memang sering lebih peduli dan memikirkan Rin pertanda bahwa ia suka?

Isagi tidak tahu apakah dengan kehadiran anak-anaknya yang datang ke masa lalu ini memang sengaja membuat Isagi tidak memiliki pilihan lain untuk berakhir menjadi suka?

Isagi tidak tahu apakah dengan fakta bahwa ia tidak ingin Rin mencari pengganti yang lain kecuali dirinya bisa dikatakan suka?

Isagi tidak tahu apakah dengan dirinya yang kemarin kecewa ketika mendengar Rin mengatakan bahwa mereka berpacaran saja tidak mungkin itu karena Isagi memang sudah suka?

Isagi bahkan tidak tahu apakah sebenarnya ia memang tidak suka pada Rin, atau hanya tidak ingin mengakui bahwa ia menyukai Rin karena takut jika hanya dirinya seorang saja yang suka?

Namun begitu merasakan genggaman tangan pada miliknya mengerat yang disusul dengan ucapan lembut yang keluar dari mulut Rin, segala pikiran soal pertanyaan-pertanyaan bodoh yang menguasai Isagi langsung hilang dalam sekejap,

“Papa suka Yayah, karena udah jadi Yayah untuk 5 anak kita berdua.”

-digantikan dengan dirinya yang kini terjerat sepenuhnya oleh diri Itoshi Rin seorang.

Hening.

Satu ruangan menjadi hening setelah mendengar pengakuan terakhir dari Rin. Entah mereka ikut terkejut atau apapun itu, Rin sendiri tidak begitu memedulikannya, karena ia hanya menunggu reaksi Isagi di depannya saat ini.

Kini Isagi di depannya terdiam dengan mata yang masih menatapnya tak kunjung berkedip, membuat Rin mau tak mau menunduk untuk pertama kalinya demi mengurangi puncak kegugupannya.

Dalam hati, Rin berpikir bahwa Isagi mungkin terlalu terkejut dengan pengakuan kali ini, Rin juga berpikir mungkin Isagi terlalu bingung untuk membalasnya. Bahkan ia seperti sudah bisa membayangkan balasan Isagi untuknya setelah ini adalah sebuah ledekan belaka untuk mengatasi kecanggungan yang kembali tercipta di antara mereka.

“Yayah pun suka Papa, karena udah jadi suami Yayah dan Papa untuk 5 anak kita berdua juga.”

Tetapi begitu ucapan itu terdengar, sontak Rin mengangkat kepalanya dengan kedua mata yang melebar tak percaya.

Sebentar, apa ia tidak salah dengar? Atau ini hanya khayalan dalam bayangannya belaka?

Selagi Rin sibuk tidak percaya dengan apa yang baru saja ia lihat dan dengar, Isagi justru terkekeh dengan wajah yang kembali merona menggemaskan.

Ucapan Isagi beberapa detik lalu mungkin memang membuat Rin terkejut, tapi ucapan Rin lebih dulu tadi membuat Isagi menemukan jawaban yang selama ini ia cari.

Karena ketika Isagi mulai mempertanyakan semua hal itu pada dirinya sendiri, menandakan bahwa Isagi memang telah menyukai Rin sejak pertanyaan itu muncul sedari awal.

Ya, meski taruhan itu sudah dibatalkan, tetapi seorang Isagi Yoichi tetap mengaku kalah karena selama ini ialah yang memang sudah dan selalu menyukai Itoshi Rin.

Itoshi Rin yang berada di depannya saat ini. Itoshi Rin sang rival sekaligus musuhnya. Itoshi Rin yang membuatnya kagum ketika sedang bermain bola. Itoshi Rin yang sering cari perhatian kepadanya. Itoshi Rin yang menyebalkan. Itoshi Rin yang selalu mengajaknya bertengkar. Itoshi Rin yang sialnya sangat tampan. Itoshi Rin yang akan menjadi suaminya. Itoshi Rin yang nanti di masa depan menjadi Papa dari anak-anaknya.

Itoshi Rin.

Ah, sial. Bahkan sepertinya ini bukan rasa suka lagi, melainkan Isagi benar-benar jatuh cinta pada Rin.

Isagi menahan kekehannya begitu mengingat perkataan Ciel waktu itu saat memberitahu bahwa dirinya di masa depan begitu posesif dan sering cemburu, kini Isagi mulai percaya karena memang bisa saja ia seperti itu.

Oh, Isagi jadi tidak sabar menantikan saat itu. Namun sebelum semuanya bisa terjadi, mereka berdua tetap harus membereskan masalah di masa kini dengan mengembalikan ketiga anaknya lebih dulu ke masa depan, sekaligus agar takdir cinta dan jalan hidupnya bersama Rin tidak akan terubah.

Menyadari bahwa sejak ucapan itu keluar dari mulutnya telah membuat keheningan tercipta cukup lama. Isagi akhirnya benar-benar tertawa ketika melihat Rin yang akhirnya untuk pertama kali ini tak bisa berkutik atas pengakuannya.

Ahahaha, gimana? Papamu sampai bengong beloon gini, 10 pengakuan Papa Yayah tadi bisa diterima, gak?”

Lalu Isagi bertanya pada Minato sebagai juri penentu atas 10 pengakuan yang mereka utarakan. Sejujurnya ia sendiri tidak lagi peduli kalau memang harus mengulang dari awal. Toh, Isagi kini bisa dengan berani mengutarakan 100 pengakuan sekalipun karena ia sudah sadar akan perasaannya.

Namun belum sempat jawaban itu Isagi dengar, tiba-tiba tubuhnya dan Rin langsung ditubruk oleh Minato yang kini memeluk mereka berdua dengan begitu erat.

“Minato ... hiks, Minato juga suka Papa dan Yayah yang udah jadi Papa Yayah untuk kami berlima …” meski suaranya bergetar akibat isakannya, tetapi senyum haru yang Minato tunjukkan saat ini sudah menjelaskan perasaan sesungguhnya, “Minato saaaayang Papa dan Yayah!”

“Mikoto juga!”

“Adek jugaaa!”

Kedua anaknya yang lain pun bahkan langsung berlari mendekat demi bergabung untuk memeluk mereka berdua dan ikut menangis bahagia.

Oh, tidak. Isagi juga ingin menangis saja rasanya.

Tapi ternyata sudah ada yang lebih dulu melakukan itu sebelum mereka bertiga, yaitu Reo yang kini tengah menangis tersedu-sedu akibat terlalu terharu menyaksikan pemandangan keluarga lucu di depannya. Bahkan Sae juga ikut memberikan tepuk tangan sambil tersenyum bangga dengan mata yang berkaca-kaca.

BRAVO! ITOSHI FAMILY FOREVER!!!”

“Abang bangga dengan kalian berdua.”

Berlebihan sekali memang, tapi jusru karena tingkah konyol mereka berdua inilah yang membuat Rin dan Isagi akhirnya kembali saling tatap lalu tertawa bersamaan.

Mikoto yang menyadari bahwa suasana sudah kembali mencair di antara mereka pun tersenyum seraya berkata, “Mikoto pikir Papa Yayah bakal kehabisan ide, tapi ternyata jawabannya sama aja kayak di masa depan, walau yang di masa depan itu lebih …”

“Lebih apa?” tanya Isagi penasaran pada ucapan menggantung Mikoto.

“Beneran mau tau?”

“Gak jadi! Ah– Minato gimana? Apa bener sekarang kamu udah mendingan dan jadi mau makan?” dengan cepat Isagi mengalihkan pembicaraan tersebut dengan bertanya pada Minato, yang juga langsung mengundang tatapan gemas dari Mikoto untuk Yayah lucunya ini.

Minato yang ditanya begitu tentu langsung mengangguk semangat, “Mau! Minato rasanya udah bisa makan apa aja bahkan sayur brokoli sekalipun!”

“Kalau gitu biar Abang bantu suapin Minato, ya?” tawar Mikoto dengan mata yang berbinar penuh harapan.

“Gaakk! Minato udah gedeee!!!”

Rengekan Minato pun kembali mengundang tawa dari mereka berlima. Lalu di sela-sela anaknya yang kini asyik bercanda tawa, Rin diam-diam ikut mencuri tatapan pada Isagi walau berakhir tersipu malu ketika kedua mata itu bertemu.

Ada banyak hal yang sebenarnya ingin Rin sampaikan padanya, tapi sebelum itu ia teringat akan suatu hal penting yang perlu diluruskan saat ini juga bersama mereka.

“Mikoto, Minato, Gakuto.”

“Ya, Papa?”

Dipanggil begitu sontak ketiga anaknya menoleh untuk memberikan perhatian penuh padanya.

“Papa minta ma-”

“Yayah minta maaf soal omongan kasar Yayah sore itu.”

Tapi nyatanya ucapan itu telah dipotong Isagi lebih dulu yang membuat Rin dengan cepat menoleh bingung ke arah si manis.

“Isagi, tunggu,”

Bukannya berhenti, Isagi justru semakin melanjutkannya, “Yayah sangat salah dan pasti Yayah udah bikin kalian kaget bahkan sedih sampai sekarang ini, kan? Maaf … Yayah emang bodoh dan udah keterlaluan sama kalian. Yayah janji hal itu gak akan terulang, karena Yayah juga akan berusaha lebih baik lagi untuk kalian setelah ini, bahkan setelah Yayah udah kembali bersama kalian berlima di masa depan dan seterusnya.”

Rin tertegun selama beberapa saat, “Kembali bersama kalian berlima di masa depan ...?” ulang si bungsu Itoshi yang lagi-lagi merasa ada sesuatu yang salah pada pendengarannya.

Ah! Sama Papa juga! Kembali bersama Papa dan kalian berlima di masa depan. Jadi kalian gak perlu khawatir, Yayah pasti akan menikah sama Papa, dan cuma Papa Itoshi Rin aja.”

“Beneran, Yah?” tanya Minato memastikan.

“Isagi ...?” bahkan Rin sampai sudah tidak tahu harus bereaksi seperti apa lagi.

Isagi mengangguk dengan wajah yang sudah kembali merona hebat, “Bener dong, karena kalau Yayah gak menikah sama Papa, nanti Yayah gak bisa ketemu kalian lagi, gimana?”

Wajah ketiga anaknya seketika langsung berseri bahagia.

“Yayaaahhh!!!”

Woah!!!”

Isagi hampir saja terjatuh akibat pelukan ketiga anaknya yang kini semakin bersemangat. Sungguh ucapan Isagi barusan sangat amat berarti bagi mereka bertiga, karena dengan begini ketiganya bisa tenang dan selalu percaya bahwa kedua orang tuanya tidak akan berpisah dan mereka bisa kembali hidup bersama-sama di masa depan selamanya.

Sementara Rin yang tadi sempat terkejut selama beberapa saat, kini akhirnya kembali sadar dan ikut memperhatikan mereka sambil tersenyum lega. Namun ketika ia berusaha menatap Isagi untuk mencuri perhatiannya lagi, Isagi justru menghindari tatapannya dengan wajah memerah yang tak kunjung mereda.

Lucunya.

Sudah pasti setelah mengatakan itu semua membuat Isagi sangat malu sekarang. Tetapi Rin justru jadi tambah lega, dengan begini Isagi sudah memberikan sinyal lampu hijau untuk Rin agar segera menyatakan cintanya, sekaligus memberi pertanda bahwa kelanjutan hubungan mereka dan misi mengembalikan ketiga anaknya ke masa depan akan semakin berjalan lancar setelah ini.

Ternyata cara 10 pengakuan itu memang benar-benar berhasil. Entah apa yang dipikirkan Rin dan Isagi di masa depan ketika memutuskan untuk membuat cara ini, yang jelas Rin dan Isagi di masa kini sungguh berterima kasih kepada keduanya karena telah membantu mereka menyelesaikan masalah yang ada dengan cara yang tenang dan cukup mengasyikan.

Terima kasih, Rin dan Isagi yang ada di masa depan. Kami berdua berjanji akan tetap menghadirkan kelima anak kita di masa depan sehingga kalian semua dapat kembali berkumpul bersama seutuhnya, selama-lamanya. []

© 2024, roketmu.

Yeay!!! Akhirnya kita sampai!!!”

Yeay! Sampai!!!”

Bachira bersorak gembira begitu mereka sampai di parkiran. Isagi bahkan ikut tersenyum ketika melihat tiga anaknya turun dari mobil untuk ikut bersorak riang.

“Adek!!! Adek tadi mabok gak di jalan?” tanya Chigiri yang baru saja berlari demi menghampiri si kecil sambil ikut berjongkok di sebelahnya.

Gakuto menggeleng semangat, “Engga, Uncle! Adek seneng soalnya kita mau jalan-jalan!”

“Bener, apa lagi jalan-jalannya sama Uncle Meguru!” timpal Bachira yang langsung memeluk gemas Gakuto.

Isagi akhirnya ikut mendekat kepada tiga anaknya, terutama Minato untuk merapikan pucuk rambutnya yang terlihat berantakan akibat tadi tertidur lelap di mobil. Diam-diam ia mendengus geli sambil menatap kepala sang anak. Dari sekian banyaknya hal yang bisa menurun dari dirinya, hanya pucuk rambut Minato saja yang identik dengannya, itu pun hanya satu jambul yang berhasil muncul.

Tch, Gen Itoshi sialan yang mendominasi.

“Yayah, Yayah, pasti wahana di zaman Papa Yayah lebih sedikit dibanding di masa depan, ya?”

Haha, mungkin? Tapi di zaman Yayah udah seru, kok! Minato mau naik apa aja nanti Yayah bolehin!”

Guratan merah tipis langsung muncul di kedua pipi gembil Minato, “Bener, Yah?”

“Bener! Tapi apa, Bang?” Isagi menatap Mikoto agar sang anak melanjutkan ucapannya, “Tingginya harus mencukupi dulu, dan pastinya selalu diawasi sama Abang.” jawab Mikoto dengan senyuman tulus.

Ih!!! Dibilang Minato bukan anak kecil lagi!”

Rengekan Minato membuat Mikoto dan Isagi saling melempar tawa. Dalam hati pun Isagi bersyukur dengan suasana seperti saat ini, senyum seakan tidak bisa hilang dari wajahnya jika melihat anak-anaknya sudah akrab bahkan dengan para temannya.

Tapi kini senyuman yang tadinya terlihat manis itu seketika berubah menjadi senyuman sombong saat Isagi mulai membayangkan bahwa hari ini dialah yang akan memenangkan taruhan bodohnya bersama Rin itu.

Kenapa ia bisa berpikir seperti itu? Oh, tentu saja karena Isagi sudah sangat percaya diri dengan persiapannya yang mengikuti saran Chigiri waktu itu.

Benar, merayu.

Bagaimanapun juga ia percaya pasti Rin akan jatuh pada pesonanya, apa lagi persiapan matang tersebut dimulai dari pakaian yang ia kenakan saat ini, alias dengan memakai celana paling pendek yang ia punya.

Isagi percaya 100% kalau Rin itu mesum, makanya anak mereka bisa sampai 5 dengan jarak umur yang sangat dekat. Sebab tidak mungkin jika di masa depan adalah dirinya yang meminta untuk melakukan ‘itu’ lebih sering, jadi sudah pasti Rin saja yang tidak tahan dengan keseksiannya! Iya, kan?

Oleh karena itu, rencana Isagi kali ini adalah merayu Rin dengan selalu duduk berhimpitan dengannya, membuat Rin mau tidak mau melihat paha mulusnya, membuat pemuda itu salah tingkah, dan berakhir akan jatuh ke dalam pesona Isagi sepenuhnya.

Anjing, tapi kalau dipikir-pikir lagi gue malah jadi kelihatan kayak orang tolol yang genit banget?

Ah, tapi tidak apa kalau sekali-kali, ini semua demi memenangkan taruhan dari Rin yang kurang ajar itu. Isagi akhirnya mengangguk dan semakin tersenyum penuh percaya diri.

“Puas-puasin senyum sekarang karena tau nanti bakal kalah?”

Lalu suara Rin tiba-tiba terdengar bersamaan dengan dirinya yang juga ikut berdiri di samping Isagi.

Si pendek pun mendecih remeh menanggapi itu, “Gak terima kata-kata dari orang yang justru bakal kalah.”

Sebelum mereka kembali beradu mulut, suara tepukan tangan dari Reo segera mencuri perhatian mereka semua.

“Udah, yuk? Udah kumpul semua, kan? Gue mau langsung scan tiketnya biar kita bisa lebih dulu main.”

“Oke, Re!!!”

Satu per satu dari mereka mulai mengekori ke mana Reo berjalan karena ia sebagai pemimpin kali ini. Mendengar hal tersebut pula Isagi kembali menaruh penuh perhatian kepada anak-anaknya di sana.

Ah, Abang Mikoto sama Abang Minato selalu jalan di depan Yayah atau Papa, ya? Jangan jauh-jauh, kalau Adek digendong sama Papa aja biar gak capek.”

“Oke, Yayah!!!”

Mereka bertiga mengangguk serempak dengan senyum antusias tak sabar untuk segera masuk ke dalam.

“Sip! Ayo, kita ikut yang lain biar gak ketinggalan!”

“Tunggu.”

Isagi yang sudah bersiap untuk melangkah maju tiba-tiba harus berhenti akibat perintah Rin barusan. Belum sempat Isagi menoleh, pemuda itu lebih dulu tertegun dengan Rin yang tiba-tiba mendekat, merendahkan tubuhnya, lalu melilitkan pinggang Isagi dengan jaket miliknya.

“Terlalu pendek. Hati-hati di sini banyak yang bisa berniat buruk sama lu.”

Setelah mengatakan hal itu, Rin langsung menggendong Gakuto dan berjalan mendahului Mikoto, Minato, bahkan Isagi yang masih mematung di tempatnya selama beberapa saat.

“Yayah? Yayah kenapa mukanya merah?”

Ditanya begitu Isagi seakan kembali ditarik pada kenyataan saat ini dan reflek gelengan cepat ia berikan pada Minato yang penasaran.

“Engga merah! Yayah ... Yayah cuma lagi kepanasan! Iya! Kepanasan! Hahaha!”

Tentu saja berbohong adalah pilihan yang tepat untuk saat ini, karena tidak mungkin Isagi mau mengakui bahwa wajahnya memerah akibat apa yang baru saja Rin lakukan padanya! Bahkan bukan hanya wajahnya saja yang memerah, melainkan jantungnya ikut berdebar kencang dua kali lebih tepat!

ITOSHI RIN SIALAN!!!

Di dalam hatinya Isagi mengumpati banyak cacian untuk Rin karena ternyata laki-laki itu sudah mengambil start lebih dulu untuk memenangkan taruhan kali ini.

Padahal kalau saja Isagi tahu, kini Rin yang tengah berjalan bersama Gakuto dalam gendongannya pun tengah bergelut dengan pikirannya sendiri untuk memastikan bahwa tingkahnya barusan tidak bermaksud apapun.

“Iya, itu cuma jaga-jaga aja, jaket pun panas kalau dipakai sekarang sama gua. Itu pasti namanya bukan peduli dan gak mau paha dia diliatin banyak orang dan bahkan digodain, bukan pula karena posesif. Iya, kan, Dek?”

Huum!” timpal Gakuto yang sebenarnya tidak paham apa yang Papanya ini gumamkan.

Sementara Chigiri dan Hiori yang berada di barisan belakang ternyata ikut memperhatikan adegan roman picisan yang terjadi di depan mata mereka berdua sejak tadi.

“Lo yakin mereka bakal gapapa, kan?”

“Kayak orang tolol,” jawab Chigiri menanggapi pertanyaan Hiori, “tapi yang itu lebih tolol lagi.” lanjutnya sambil menunjuk ke arah samping,

“LEPASIN GU-HMPPHH!!!”

lebih tepatnya ke arah Kaiser yang tengah meronta-ronta tapi sedang ditahan oleh Karasu dan Otoya agar si keturunan bule Jerman ini tidak lepas untuk mengganggu kemesraan Rin dan Isagi.

Hiori pun terkekeh pelan, “Sekumpulan orang-orang tolol.” lalu diam-diam mengabadikan kedua momen tersebut dengan ponsel pribadinya.


Begitu sudah masuk ke dalam, mereka semua segera menghabiskan waktu yang ada untuk bersenang-senang seperti semestinya. Diutamakan mereka akan menaiki wahana aman yang memperbolehkan anak-anak untuk ikut, terutama Gakuto.

“Kalo gitu gua sama Bito dan Otoy mau naik kora-kora lagi, siapa yang mau ikut?”

“Minato!!!”

Reo menatap Shidou kaget, “Gila?! Gue bahkan mikir kayak mau mati tadi, Minato kamu serius mau naik lagi?” ia juga menatap Minato yang masih kepalang semangat.

“Belum puas, Re.” Karasu terkekeh, “Lu juga sini, Ser. Jangan lu ngintilin itu Isagi mulu, tai.”

“Bacot.” balas Kaiser karena memang ucapan Karasu benar bahwa ia selalu menatap sinis Rin dan Isagi dari jauh.

“Yaudah, gapapa, nanti kita tunggu di pohon yang di depannya gak jauh dari Halilintar, jangan sampai nyasar.”

Isagi mengangguk setuju atas peringatan Chigiri, “Bener, gue paling duduk-duduk dulu sama Adek di sini, kalian yang mau main di wahana lain, main aja.”

Minato mengangguk senang, “Siap, Yayah!”

“Hati-hati, Minato! Jangan lari nanti jatuh!” seru Isagi begitu melihat anak keempatnya itu berlari dengan semangat bersama Shidou dan Otoya yang menggandeng kedua tangannya.

Ah, omong-omong, sebenarnya rencana awalnya tidak begini.

Niat mereka semua itu ingin membuat Itoshi Family bersatu memiliki ruang dan waktu bersama, sementara yang lainnya menyingkir untuk bermain wahana lain. Tetapi sayangnya para SaShiMi ini juga tidak bisa menahan hasrat untuk bersenang-senang bersama anak-anak lucu itu.

Kadang Mikoto bermain dan bergabung bersama grup Reo, Yukimiya, Nagi, dan Hiori. Minato asyik bersama grup Shidou, Karasu, Otoya, dan Kaiser. Lalu Gakuto bersama Chigiri dan Bachira. Sementara Rin dan Isagi selalu bersama dan bergabung di ketiga grup itu secara bergantian.

Namun, bukan berarti dengan bermain bersama anak-anak tersebut membuat para SaShiMi ini juga lupa untuk ikut memperhatikan pergerakan Rin dan Isagi, sebagai tujuan mereka yang membuat keduanya sadar bahwa keduanya sudah saling jatuh cinta.

“Anjing, gak pernah gua kebayang sama sekali si bangsat Rin beneran tebar pesona demi bikin Isagi naksir dia.” begitu celetuk Otoya ketika berada tak jauh dengan Rin dan Isagi, menatap keduanya dengan pandangan jijik.

Karena memang benar bahwa selagi mereka sibuk berpindah dari satu wahana ke wahana lain, Rin selalu tebar pesona pada Isagi dengan cara seperti menggendong Gakuto sambil membawa tas milik Isagi sekaligus, mempersilakan Isagi untuk mendapatkan tempat duluan, membantu Isagi naik-turun wahana, apa saja ia lakukan karena ia tengah berusaha semaksimal mungkin agar Isagi tidak kelelahan.

“Gua juga gak kebayang Isagi bakal begitu. Tuh, liat kelakuannya udah kayak malewife sejati, buset.” timpal Bachira di sampingnya yang ikut memperhatikan mereka dengan senyum usil.

Yup, Isagi tak kalah tebar pesona, bahkan mencuri perhatian sebisa mungkin agar Rin setidaknya terbawa suasana dengan perlakuannya. Seperti tiba-tiba membantu Rin untuk minum ketika tangan si bungsu Itoshi itu penuh, bergelayut manja saat menaiki wahana menyeramkan, bahkan sampai mengelapkan keringat di wajah Rin dengan tisu.

Eh, eh, mumpung udah mau sore naik Bianglala, yuk?”

Reo tiba-tiba memberi usul karena saat ini mereka sudah mau kembali berkumpul semua untuk menaiki wahana yang sama lagi.

“Boleh! Adek gak takut ketinggian, kan?”

Menanggapi pertanyaan Isagi, Gakuto menggeleng pelan, “Engga, Yayah. Adek suka naik ini!”

“Oke! Kalau gitu Yayah panggil abang-abangmu dulu di sana, Adek sama Papa dulu.”

Begitu Gakuto mengangguk mengiyakan, Isagi langsung berjalan menghampiri Minato dan Mikoto yang sedang membeli minum bersama temannya yang lain.

Tetapi belum juga ada di setengah perjalanan, matanya kini sudah menangkap beberapa gadis yang tiba-tiba berjalan ke arah belakang di mana Isagi baru saja di sana, atau lebih tepatnya di tempat Gakuto dan Rin berada.

“Hai? Gue boleh minta nomor handphone lo, gak?”

“Gue juga!”

Bachira dan Otoya yang masih ikut memperhatikan pun saling lirik seakan mereka tahu apa yang ada di pikiran masing-masing. Iya, tentang Rin yang memang terlihat tampan, jadi tentu saja akan ada banyak yang berusaha mendekatinya.

“Bangsat, emang kalo normalnya pun tanpa tebar pesona kayak tadi, ini orang napas aja udah bikin siapa aja yang baru liat naksir, sih.” ujar Otoya memaklumi.

“Berarti elu naksir Rin juga dong pas pertama kali liat?”

“Engga, lah, gua naksir orang gak mandang fisik soalnya.”

“Tai.” Bachira terkekeh sebentar kemudian kembali melihat Rin, “Dia pasti gak nyaman, gua kasih tau dulu, dah.” ia pun menghela napasnya gusar, mau tidak mau akhirnya ia mendekat untuk membantu menyingkirkan orang-orang tersebut dari Rin.

Sorry, guys, dia-”

“Dia gak punya nomor handphone.”

Namun belum juga Bachira menyelesaikan kata-katanya, ucapan Isagi yang baru saja kembali lebih dulu memotong dan membuat keheningan sejenak di antara mereka.

Hah? Maksudnya?” tanya gadis yang tadi pertama kali bertanya.

“Iya. Karena handphone yang kita pake ini sama.”

“Kalo gitu akun medsosnya aja gima-”

“Gapunya juga soalnya dia sibuk.”

Gadis satu lagi kini menatap Isagi sinis karena pemuda itu selalu menyela mereka, “Gapunya? Haha, emang sesibuk apa, sih, anak muda zaman sekarang sampai gak punya sosmed bahkan nomor pribadi?”

“Sibuk urus keluarga. Gak lihat ini dia lagi gendong anaknya?”

Ow, shit.

Mendapati jawaban yang berupa pertanyaan sarkastik sekaligus senyuman dipaksakan, gadis-gadis tersebut pun langsung tersenyum kikuk tak mampu berkutik lagi.

“Sialan, ternyata udah nikah.” bisik gadis tadi.

“Yuk, sayang. Kita samper anak-anak lain yang masih jajan.”

Akhirnya Isagi pun melingkarkan tangannya di lengan Rin untuk mengajaknya pergi, tapi tak lupa juga sebelum itu ia memberikan pelototan maut pada gadis-gadis tersebut yang tanpa pikir panjang ikut melarikan diri karena ngeri.

Reflek Bachira dan Otoya saling pandang, lalu keduanya langsung menahan tawa usil seakan kembali tahu isi pikiran masing-masing.

Tahan. Tahan. Jangan digodain, jangan digodain.

Tapi ternyata tak hanya mereka berdua yang berpikir untuk menggoda usil, nyatanya kini Rin tengah menahan senyum atas tindakan Isagi barusan untuknya.

“Terpaksa bohong karena posesif suaminya terlalu ganteng?”

Isagi yang wajahnya kembali memerah langsung menggurutu sebal, “Berisik. Gue cuma gak mau Adek tadi kayak kebingungan dan gak nyaman.”

Oh? Kalau gitu harusnya tadi Adek aja yang lu bawa pergi,”

IH! RESE LO!!! Gue bareng Mikoto dan Minato aja kalau gitu!”

Untuk menutupi rasa malunya, Isagi dengan cepat berlari ke arah Mikoto dan Minato yang baru saja selesai membeli jajanan bersama Shidou dan Kaiser.

“Ayo! Kita antri duluan aja gak usah nungguin si Jelek!”

“Adek gimana, Yah?” Mikoto menatap Yayahnya bingung.

Sial, Isagi lupa Gakuto masih ada dalam gendongan Rin. Tapi karena sudah telanjur kesal, akhirnya ia tidak menjawab pertanyaan Mikoto dan memilih untuk menarik kedua tangan anaknya itu untuk langsung mengantri barisan.

Tapi ternyata Isagi beruntung, mereka hanya mengantri sebentar dan langsung bisa masuk untuk mendapatkan giliran duduk. Lalu akibat terlalu fokus untuk mengajak Mikoto dan Minato duduk lebih dulu, Isagi tidak menyadari bahwa ada orang lain yang ingin ikut masuk ke dalam bangku kincir giliran mereka.

“Boleh gabung? Cuma bertiga aja sama adek-adek kamu, kan?” tanya pemuda tidak dikenal itu.

Eh, itu ...” tentu saja Isagi terkejut, netra biru lautnya melihat ke sekeliling berharap Shidou dan Kaiser tadi berada tak jauh dari mereka, tapi dua orang bodoh itu sepertinya tertinggal di belakang.

“Itu apa?”

Isagi pasrah, orang ini sudah masuk jadi tidak enak untuk menolaknya, “Ah, itu maksudnya bo-”

“Gak boleh.”

Tapi kini giliran ucapannya yang tiba-tiba dipotong langsung oleh orang yang paling tidak ingin ia lihat kali ini.

“Gak lihat dia udah sama anak-anaknya?” lanjut Rin tanpa menyembunyikan wajah tidak sukanya.

Oh? Tadi kirain adeknya. Masih muda tapi udah punya anak.” Pemuda asing itu tersenyum ramah, tapi detik kemudian menatap bingung ke arah Rin yang tiba-tiba duduk di samping Isagi. “Lah, lo juga ngapain duduk di situ?”

Tanpa aba-aba Rin langsung meraih pinggang Isagi untuk makin mempersempit jarak di antara mereka, “Anak-anak gua juga. Ada masalah?” lalu tersenyum miring setelah puas mengatakannya.

Damn, pasusu muda.”

Melihat reaksi Rin yang semakin menyebalkan dan seperti ingin mengajak ribut, lebih baik pemuda itu juga segera melarikan diri secepat mungkin agar tak lagi terlibat.

Ketika pemuda itu benar-benar pergi meninggalkan mereka, tangan Isagi pun bergerak untuk menyentuh tangan Rin yang masih berada di pinggangnya, “Sekarang lo yang posesif karena suaminya terlalu lucu?” lalu tersenyum menggoda kepada Rin yang langsung membuang wajah ke arah lain.

“Gua juga lihat Mikoto dan Minato yang tadi kelihatan gak nyaman.”

Sementara teman-temannya yang ternyata kembali ikut memperhatikan adegan tersebut hanya kembali saling tatap dan seakan mengerti arti tatapan masing-masing.

Bahwa sejak awal datang ke sini, Rin dan Isagi memang terlihat berusaha melakukan segala hal untuk membuat satu sama lain kalah akan taruhan mereka untuk jatuh cinta lebih dulu.

Padahal asal dua orang itu tahu saja bahwasanya mereka tidak perlu berusaha sama sekali. Karena justru tindakan-tindakan natural seperti beberapa saat yang lalu itulah yang sudah membuat satu sama lain luluh tanpa mereka sadari.

Ck. ck. ck. Dasar pasangan suami-suami bodoh.


Tak terasa waktu akan berjalan lebih cepat jika kita menikmati kegiatan yang dilakukan di setiap detiknya. Setelah mereka menaiki berbagai wahana, istirahat, makan, banyak mengabadikan momen lewat foto dan video yang langsung dibagikan ke Shou dan Ciel melalui Whatsapp, akhirnya mereka sampai juga pada wahana terakhir yang akan dimainkan sebelum pulang yaitu carousel atau komidi putar.

Untuk itu Isagi kembali melihat ke arah anak-anaknya yang kini tengah bercanda tawa di bawah pancaran sinar lampu yang begitu memukau indah.

“Adek duduknya mau sama Papa atau Yayah?” Isagi bertanya seraya mendekati Gakuto yang masih berada dalam gendongan Rin.

“Sama Uncle Meguru, pleaseeee~” mohon Bachira dengan mata berbinar yang penuh harapan.

Gakuto terlihat berpikir sebentar sambil melihat ke arah mereka bertiga secara bergantian, lalu satu kesimpulan yang ia dapatkan membuat senyum di wajahnya semakin merekah.

“Adek sama Uncle Meguru aja supaya Papa duduk sama Yayah berdua! Hehe~”

Mendengar jawaban itu mereka semua lantas tak dapat menahan tawanya, apa lagi ketika melihat wajah Isagi yang kembali memerah matang.

“Gak bisa, Adek. Kalau kita naik berdua itu berat, nanti kasian patung kudanya, iya, kan, Pa?”

Isagi tersenyum tapi matanya melotot kepada Rin upaya untuk mengancam yang lebih muda itu untuk menyetujui ucapannya.

“Yayah betul, Adek.” Hati Isagi hampir bersorak gembira karena persetujuan itu, sebelum akhirnya kembali diredamkan oleh ucapan Rin selanjutnya. “Tapi kalau Adek mau Papa tetep sama Yayah, nanti Yayah naiknya jangan di kuda tapi Papa gendong aja di punggung, gimana?”

Gakuto yang justru mendengar jawaban tersebut lantas mengangguk dan semakin antusias.

“Mau! Adek mau lihat!”

HAHA! Papa bisa aja bercandanya!” Isagi kembali tertawa palsu dan detik kemudian terdengar rintihan kecil dari Rin karena Isagi menabok lengannya cukup kencang, “Saking lucunya sampai ada nyamuk! Sakit, ya? Sayangku?”

Para SaShiMi yang ada di sana ikut terkikik geli menyaksikan tingkah-tingkah lucu dari pasangan yang katanya sudah menikah di masa depan itu.

“Udah kayak pasusu beneran aja lu berdua,” Bachira bahkan tak dapat lagi menahan diri untuk tidak bersiul usil menggoda keduanya. “Lu, nih, pada lagi akting buat bikin salah satu dari lu berdua naksir duluan, kan? Tapi malah kayak PDKT beneran, jir! Hahaha!”

Merasa dianggap seperti itu, Isagi memilih untuk diam saja karena sejujurnya ia sendiri pun tidak mengerti dengan situasi yang terjadi sejak tadi. Ia bahkan hampir melupakan sejenak bahwa taruhan itu ada sebab ia terlalu fokus untuk bersenang-senang bersama Rin dan anak-anak mereka.

“Ini semua demi mereka bertiga.” dan karena diamnya Isagi, maka Rin memilih untuk menjawabnya dengan singkat.

Bachira menaikkan sebelah alisnya, “Demi mereka bertiga berarti demi masa depan lu berdua juga, kan?”

Isagi kini benar-benar membeku begitu mendengar pertanyaan itu muncul kembali. Pertanyaan yang sebenarnya juga selalu Isagi tanyakan pada dirinya sendiri, yang tentunya akan menentukan hubungan apa yang sebenarnya Rin dan Isagi ini tengah jalani.

“Untuk sekarang, gua pacaran sama Isagi aja gak mungkin, apa lagi nikah di masa depan? Bahkan sampai sekarang dia belum suka juga sama gua.”

Tapi nyatanya begitu jawaban yang ia dengar dan keluar langsung dari mulut Rin. Jawaban yang sebenarnya wajar, tapi entah mengapa bukan jawaban yang ingin ia dengar.

Isagi tersenyum getir, dadanya bahkan ikut sesak karena ia tidak mengerti mengapa mendengar hal tersebut membuatnya bisa sekecewa ini?

“Betul, haha. Tugas kita di sini cuma ngembaliin mereka. Jadi setelah mereka kembali ke masa depan, kita yang di masa kini akan hidup seperti biasanya dan gue pun yakin kita gak akan berakhir nikah,”

Lalu atas dasar kekecewaan yang tak dimengerti itu Isagi melepaskan semuanya lewat kata-kata yang entah mengapa tak bisa berhenti untuk ia utarakan, membuat suasana mendadak canggung hingga para teman dan anaknya terdiam.

Tak lagi ada gelak tawa bahkan raut wajah gembira.

“Karena gue kayaknya juga tahu kalau pasti kedatangan mereka bertiga ke masa lalu ini semata-mata mau mencegah gue dan Rin untuk gak saling jatuh cinta dari sekarang sebelum kita akhirnya mutusin buat nikah. Oleh karena itu, gue bakal ubah takdir di masa depan, dengan gue cari orang lain kecuali Rin, seperti yang gue bilang waktu itu.”

Mereka semua tersentak secara bersamaan begitu mendengarnya, apa lagi Mikoto dan Minato yang langsung terdiam kaku di tempat. Chigiri yang menyadari itu ingin segera menghentikan Isagi untuk berbicara aneh-aneh, menganggap semua ini bercanda dan ingin segera suasana kembali dicairkan oleh tawa mereka.

“Setelah mereka kembali ke masa depan? Logika apaan kayak gitu?”

Tetapi pertanyaan Karasu sudah terucap lebih dulu yang justru kembali memperkeruh suasana. Kini bahkan benar-benar tak ada lagi nada canda atau santai yang keluar dari mulutnya, melainkan nada serius yang menahan amarah.

“Gimana bisa mereka ada di masa depan kalau lu berdua aja gak nikah?” Karasu terkekeh miris, “Itu sama aja dengan secara gak langsung lu berniat untuk menghilangkan keberadaan mereka juga di masa depan.”

Begitu kalimat tersebut Isagi dengar, pandangannya sontak langsung tertuju kepada tiga anaknya yang kini menatap Isagi dengan bingung, sedih, dan juga takut. Oh, tidak. Kini ia merasa seperti tenggorokannya tercekat bahkan matanya mulai memanas tanpa bisa ia tahan lagi.

Haha? Isagi pasti bercanda gak, sih? Gak mungkin lu mikir gitu, kan, Sa?” Bachira langsung mencoba mencuri perhatian kala kecanggungan menyelimuti mereka semua.

Ya. Harusnya Isagi tidak berkata seperti itu, harusnya Isagi bahkan juga tidak berpikir seperti itu. Tapi semua itu sudah terlambat karena ia telah mengutarakannya, pada teman-temannya, anaknya, bahkan Rin yang kini ikut menatapnya penuh tanda tanya.

Ah. Isagi ingin pergi dari sini.

“Gu-gue mau beli jajan lagi.”

“Mau beli apa? Biar gua aja-”

“Gak perlu.” Isagi menolak tawaran Rin dengan cepat, “Ayo, Gakuto.”

Lalu untuk mengakhiri pembicaraan dan juga lari menghindari situasi kali ini, Isagi menarik Gakuto pergi tiba-tiba. Meninggalkan mereka semua yang juga masih dalam keadaan bingung apa yang sebaiknya mereka lakukan.

Untuk mempercepat jalannya Isagi bahkan menggendong Gakuto seperti yang tadi Rin lakukan, seberusaha mungkin ia berjalan, atau berlari, diharapkan segera menjauh dan tak dapat lagi dihampiri.

“Yayah ... Yayah nangis?”

Isagi menatap Gakuto yang kini ikut menatapnya khawatir, tapi ia tetap membalasnya dengan senyuman terbaik yang ia mampu kali ini.

“Engga, sayang. Yayah kelilipan.”

Sebab karena raganya yang sejak tadi sibuk berlari, Isagi sampai tidak menyadari bahwa air matanya sudah ikut jatuh sedari tadi. []

© 2024, roketmu.

Begitu lokasinya telah dikirimkan oleh Bachira, tanpa pikir panjang lagi Rin segera mempercepat laju motornya dua kali lipat dari biasanya. Beruntung lokasinya tidak begitu jauh, lagi pula Rin juga bisa melacak lokasi Isagi melalui GPS ponsel si manis yang untungnya masih menyala.

Tetapi di sepanjang perjalanan, rahang Rin tak berhenti mengeras begitu pikiran-pikiran buruk selalu terlintas di otaknya. Apakah Isagi akan benar-benar menemukan pengganti dirinya? Apakah Isagi seingin itu untuk mengubah takdir masa depan mereka? Walau tetap yang paling mengkhawatirkan adalah ... apakah Isagi masih baik-baik saja di sana?

Rin tahu ia bertingkah bodoh. Ia terlambat menyadari bahwa ucapannya sudah keterlaluan dan telah membuat Isagi kecewa. Walau sebenarnya ia sendiri tidak mengerti harus menanggapi persoalan jatuh cinta itu dengan bagaimana, dan ia juga akan semakin tidak mengerti jika tanggapan Isagi justru berbeda dengan yang seharusnya.

Wajar, kan? Bila Rin belum mengerti oleh hal-hal yang sama sekali tidak pernah terpikirkan dalam hidupnya?

Rin menghela napas gusar, tak ingin tenggelam dalam lamunan terlalu lama, pemilik netra toska itu kembali melihat ke peta menuju Club yang Isagi datangi, tetapi dahinya langsung berkerut seketika mendapati posisi asli Isagi justru berada di luar Club tersebut.

“Ini Cebol ke mana lagi, sih? Atau dia udah mau pulang?”

Tiba-tiba perasaan Rin menjadi tidak enak karena begitu ia sampai, peta tersebut ternyata mengarahkannya pada gang sempit nan sepi akibat sudah memasuki waktu menuju tengah malam. Akhirnya tanpa perlu berlama lagi Rin turun dari motornya dan bergegas ke tempat di mana Isagi berada saat ini.

“Isa-”

Namun panggilan Rin langsung menggantung begitu ia hanya mampu melihat kepala Isagi yang terhalang oleh beberapa orang yang menghimpitnya.

“Lo sendirian, kan? Ayo, ikut kita kalau gitu,” ucap salah satu pria berambut cepak.

“Gue pengen sendiri, minggir sebelum gue pelintir biji lo satu-satu!”

Mereka tertawa mendengar Isagi yang lebih mungil dari mereka ini nyatanya berani untuk melawan juga. Hingga satu pria yang lain meraih dagu Isagi seraya berkata, “Kita cuma seneng-seneng, Manis. Lo mau kita ajak baik-baik atau langsung kita pak-”

“Singkirin tangan lu semua dari dia.”

Lantas mereka yang ada di sana berjengit kaget begitu suara rendah Rin lebih dulu memotong ucapan tersebut. Terlebih lagi Isagi yang kini langsung dapat melihat wujud Rin dengan tangan mengepal kuat, bahkan raut wajah dingin yang sungguh membuatnya ingin cepat-cepat melarikan diri dari tempat ini sekarang juga.

“Rin ...”

Salah satu dari mereka pun langsung menghadap Rin dan bersuara, “Siapa lo? Jangan ikut campur dan ganggu urusan kita di sini.”

“Urusan kalian?” Rin mendengus remeh, “urusan kalian itu udah ada yang punya.”

“Hah? Siapa?”

“Gua,” kemudian Rin melirik Isagi yang masih terdiam kikuk di sana sebelum melanjutkan ucapannya, “suaminya.”

Orang-orang itu serempak terkejut, tetapi tidak lebih terkejut dari Isagi saat ini. Beruntung sekarang sudah malam dan area sekitar menjadi gelap, jika tidak, Rin akan dapat langsung melihat semburat merah di pipi Isagi akibat ucapannya barusan.

“Lah, udah nikah ternyata?” tanya pria berambut cepak itu sebelum mendesah kecewa, “Maleslah. Cabut aja, Coy!”

Kemudian orang-orang itu berlalu pergi begitu saja tanpa mengucapkan sepatah kata lagi, meninggalkan ruang dan waktu kepada Rin yang kini masih menatap Isagi dalam sunyi.

Diamnya Rin dengan aura gelap yang memancar kuat saat ini membuat Isagi rasanya ingin ikut melarikan diri bersama orang-orang tadi walau ia tahu keinginan konyol tersebut tak akan pernah terwujud.

Akhirnya dengan segenap keberanian pun ia memilih untuk bersuara, “Kalau mau marah, marah aja sekarang.”

Lalu Isagi menolehkan kepalanya ke samping untuk menghindari tatapan dan amukan Rin setelah ini, entah mau dimaki-maki tolol atau apapun itu, Isagi pasrah.

Tetapi alih-alih mendapati itu semua, justru Isagi dikejutkan dengan Rin yang tiba-tiba bergerak mendekat dan langsung menarik ia masuk ke dalam dekapannya.

“Gua ... gak telat, kan?”

Isagi tidak menjawab pertanyaan itu karena sungguh ia belum bisa memeroses keadaan saat ini sepenuhnya. Bagaimana suara Rin yang begitu rendah terdengar di telinganya, usapan tangan Rin pada helai rambutnya, juga rengkuhan lembut tangan Rin yang lain pada pinggangnya.

Tuhan, Isagi rasanya seperti ingin meledak.

“Mereka udah ngapain lu aja tadi? Kalau lu mau gua bisa patahin tangan yang udah nyentuh lu.”

“Gu-gue gapapa, jangan lupa gue juga cowok.” tapi akhirnya Isagi berhasil bersuara meski sedikit gugup.

Lelaki bersurai hijau gelap itu tersenyum lega, kemudian melonggarkan sedikit pelukannya agar bisa melihat wajah si manis saat ini.

“Terus tadi jadi ke Club?”

Si manis langsung menoleh ke arah lain sambil mengerucutkan bibirnya malu, “Gak berani.”

Mendengar itu tentu saja Rin tak bisa untuk tidak terkekeh sekaligus membuat Isagi makin malu dan jengkel akibat tindakan gegabahnya sendiri.

“Kalau masih minum antimo pas naik mobil gak usah sok makanya.”

“Berisik.”

Tetapi mengingat bahwa tindakan Isagi yang nekat seperti ini akibat ucapan keterlaluannya, Rin kembali diselimuti perasaan bersalah dan ia rasa Isagi juga perlu mengetahui penjelasannya.

“Maaf ... Isagi.”

“Maaf?” ulang Isagi yang kini terlihat bingung.

“Soal tadi, gua sadar omongan gua itu keterlaluan walau maksud gua sebenernya bukan begitu. Gua ... hanya gak tahu mau menanggapinya kayak gimana dan malah berakhir bikin lu marah. Maaf, Sa.”

Selesai Rin mengutarakan isi hati dan juga permintaan maafnya, suasana kembali tenang dan sunyi. Isagi masih tertegun selama beberapa saat sambil mengerjapkan matanya berkali-kali. Karena jujur ini adalah kali pertama ia mendengar rentetan kalimat terpanjang yang keluar dari mulut Rin selama ia kenal dengan adik dari Itoshi Sae itu.

Apalagi kini Rin membuat ekspresi wajah bersalah yang juga terlihat lucu di matanya. Memberikan efek embun-embun putih seakan ikut muncul di sekeliling mereka yang membuat hati Isagi menghangat dalam seketika.

“Gue ... juga salah karena udah bikin lo dan mungkin yang lain khawatir, jadi maaf juga ... Rin.”

Akhirnya Isagi menundukkan kepalanya lagi, entah karena malu atas perbuatannya, atau entah karena ia tidak sanggup untuk bertatapan dengan wajah Rin yang hanya membuat debar di jantungnya semakin menggila.

“Kalau gitu jangan, ya?”

Tetapi suara rendah Rin yang kini terdengar seperti bisikan itu kembali membuatnya penasaran, “Jangan apa?”

“Jangan cari yang lain.”

Kali ini Rin juga menatapnya serius yang membuat rona merah di pipi Isagi kembali muncul tanpa bisa dicegah lagi.

“Ta-tapi lo, kan, gak mau suka sama gue,”

“Lu juga,” bela Rin.

“Gue gak bilang gitu! Gue cuma ... cuma gak mau mulai aja.”

Rin mendengus pelan, “Gengsi? Padahal gua ganteng.”

Isagi mendecih sebal dan reflek mencubit perut Rin saat itu juga yang justru membuat si Itoshi bungsu malah terkekeh lepas dan berakhir kembali mengeratkan pelukan mereka berdua.

“Jangan bikin anak-anak khawatir lagi.”

Isagi mengangguk dan membalas pelukan Rin dengan sama hangatnya, “Iya, engga.”

Kemudian keduanya tersenyum secara bersamaan tanpa bisa dilihat oleh masing-masing insan. Pikiran-pikiran buruk yang sejak tadi berada dalam otak Rin pun akhirnya sirna berkat ucapan Isagi dan kehadiran si manis yang baik-baik saja.

Kini yang bisa Rin pikirkan hanya ingin memberi kabar kepada anak-anak mereka bahwa Isagi selamat dan mereka bisa segera pulang.

“Mau pulang, Sa?” tanya Rin akhirnya.

“Mau, tapi lepas dulu pelukannya,”

“Lima menit lagi. Anget.”

Karena berada dalam pelukan Isagi saat ini rasanya sudah seperti berada di rumah itu sendiri.

Rin makin mengeratkan pelukannya pada Isagi sementara yang lebih tua terkekeh mendapati Rin bisa juga terlihat semanja ini di hadapannya, yang akhirnya mengundang satu pertanyaan konyol muncul dalam benak Isagi kala itu juga.

Apakah Rin yang seperti ini hanya bisa dilihat oleh Isagi saja?

“Rin,”

“Hm?”

Oleh karena itu, satu permintaan egois yang sama pun ikut terlintas sebagai jawaban atas pertanyaan itu sendiri.

“Lo ... juga jangan cari yang lain, ya?”

Pupil mata Rin membesar begitu kalimat itu keluar dari mulut yang lebih tua. Meski terdengar samar seperti bisikan, tetapi sudah cukup untuk membuat hati Rin girang tak tertahankan.

“Iya. Gak akan.”

Lalu tak lupa setelah itu ia juga langsung mengeluarkan ponselnya dengan cepat untuk segera memberikan kabar kepada anak-anak mereka di rumah yang pasti masih menunggu dengan setia.

Papa

Yayah udah sama Papa, sebentar lagi kita pulang.

Berdua. []

© 2024, roketmu.

Rin mengambil satu tarikan napas panjang terakhir sebelum dengan berat hati membuka pintu ruangannya, sekaligus menyerah terhadap rencana keputusannya.

Harusnya Rin tidak perlu terkejut lagi dengan hasil yang seperti ini, kan?

Tetapi begitu bungsu Itoshi itu membuka pintu, ia tak sengaja berpapasan dengan Isagi yang berada tak jauh dari tempat ia berdiri. Kedua mata mereka pun bertemu untuk kali pertamanya pada hari ini.

Mata dengan warna sebiru laut dalam yang selalu ia dambakan. Mata dengan pancaran penuh ketulusan dan kasih sayang yang juga selalu ia rindukan. Juga mata dengan sejuta memori sebagai saksi kisah mereka yang ia harap tak akan dilupakan.

Isagi terlihat terkejut seperti tertangkap basah, menimbulkan senyum getir terulas di bibir Rin. Nyatanya pemilik mata seindah permata safir itu mungkin hanya tak sengaja berpapasan dengannya dan terpaksa membungkuk untuk memberi sapaan seperti sekarang, bukan berniat menunggunya apalagi memang ingin bertemu dengannya.

“Benar kata kamu, Isagi. Di luar sudah mendung,” tapi Rin juga akan bertindak seolah memang tidak akan terjadi apa-apa di antara mereka, “kalau begitu saya duluan, ya.” agar sang terkasih pun juga bisa berpikir demikian.

Isagi justru tidak membalas ucapannya dan memilih untuk diam. Mungkin lelaki itu tahu jika mengucapkan sepatah katapun walau hanya berbunyi “hati-hati” untuknya, Rin akan menganggap hal itu sebagai secercah harapan yang kembali.

Ah, karena itu Rin harus kembali mengingat bahwa kisahnya dengan Isagi sudah berada di akhir sejak pertama kali kata putus itu diucapkan, persis seperti cetusan Bachira.

Namun, begitu Rin berjalan melangkah pergi untuk meninggalkan Isagi, tarikan kecil pada ujung jas yang ia kenakan membuat gerakannya terhenti seketika.

“Pak Bos,”

Disusul oleh suara lembut yang akhirnya keluar untuk memanggilnya.

“Ya?”

Mungkin bagi orang-orang yang ikut menyaksikan kisah cinta mereka, pertemuan Rin dan Isagi setelah putus adalah bagian dari sekuel singkat atau bahkan cerita sisipan yang tidak menjawab apa-apa.

Tetapi bagi Rin, pertemuan kembali dirinya dengan Isagi tetaplah bagian dari inti kisah cinta mereka berdua yang memang belum berakhir bahagia.

“Kenapa, Isagi?”

Rin memandang sosok di depannya dengan penuh harap, sementara yang ditanya tetap membisu tetapi dengan genggaman pada ujung jas yang kian dipererat.

Karena jika kisahnya diibaratkan sebuah buku dan Rin adalah penulisnya, maka sebelum kisah tersebut mencapai bagian akhir, Rin akan meninggalkan satu halaman kosong terakhir.

“Jangan pergi.”

Halaman yang tidak bisa ia isi sendiri karena ia butuh Isagi untuk menyelesaikannya.

Rin pun tersenyum haru mendengarnya.

Apa kamu masih bersedia untuk mengisi halaman itu, Sa? []

© 2024, roketmu.