[🌸] Di Akhir Perang

Sejak menerima pesan terakhir dari Rin yang menyetujui ajakannya, sejak saat itu pula jantung Isagi berdebar lebih kencang dari biasanya. Entah karena lonjakan semangat kepalang ingin mengalahkan Rin sesungguhnya, keresahan karena takut misinya akan gagal, atau perasaan lain yang masih tidak bisa Isagi mengerti keberadaannya.

Mengingat Otoya yang kemarin mengatakan bahwa ia seperti terlalu serius menanggapi permasalahan dengan Rin, hanya semakin membuat Isagi juga ikut bertanya-tanya.

Mengapa ia bisa seserius ini menanggapi Itoshi Rin? Apa karena si culun itu yang pertama kali kurang ajar dan bisa melawannya balik terus-menerus?

Lagi pula sejak awal memang Isagi yang selalu jadi pihak memulai perseteruan di antara mereka. Dari teman-teman Isagi yang selalu mengusik teman-teman polosnya, Isagi yang sengaja tidak mengerjakan tugas kelompok, Isagi yang juga merundung Rin waktu di pesta ulang tahun Karasu, bahkan sampai Isagi berencana mengeroyok Rin di rumah kosong.

Adalah hal yang wajar jika Rin ingin membalas semua itu untuk perlindungan dirinya sendiri. Semua yang pernah bermasalah dengan Isagi juga akan melakukan itu, walau memang tidak pernah ada yang berakhir sampai selama ini.

Mereka semua biasa menyelesaikan masalah dengan pertarungan dan kekerasan, jadi untuk membalas Rin kali ini akan sangat berbeda karena si culun itu sudah memegang kelemahan mereka, mulai dari ancaman bahkan hiburan pribadi Isagi sendiri.

Mungkin karena itu Isagi jadi ingin menanggapinya seserius seperti sekarang ini. Wajar juga jika semakin Rin melawan, semakin pula Isagi ingin membalas perbuatannya, kan?

Namun anehnya persepsi-persepsi tersebut belum juga menjadi jawaban atas perasaan janggal yang masih belum bisa dimengerti Isagi saat ini.

Yang jelas Isagi hanya punya satu tujuan.

Pokoknya gue gak akan kalah apa lagi dari gay culun sok berani kayak dia.

Ya, Isagi hanya tidak ingin kalah. Cukup dengan tujuan itu saja.

Karena itu terlepas dari segala hal yang membuat jantungnya berdebar kencang tak teratur, Isagi berharap pembalasan dendam atau hukuman yang ia berikan pada Rin kali ini akan menjadi yang terakhir.

Sebab Isagi sendiri sangat ingin Rin menyerah dan ia pun jadi tidak perlu lagi berurusan dengan orang sepertinya, kalau bisa juga untuk selamanya.

“Hai, Rin!”

Maka untuk mencapai tujuannya, di sinilah Isagi berada, di depan halte bis tempat ia menjemput Rin yang sudah siap untuk ia jebak malam ini juga.

“Selamat malam.”

Isagi langsung tersenyum lebar sebagai bentuk reflek untuk menutupi rasa ingin tertawa kencang ketika melihat setelan yang Rin kenakan saat ini. Walau tidak jauh berbeda dengan waktu di pesta ulang tahun Karasu, tapi kali ini benar-benar lebih buruk mengingat bahwa Isagi akan membawanya ke sebuah kelab mahal milik ayahnya Otoya.

Mulai dari celana jeans kebesaran berwarna biru tua, kemeja kotak-kotak dengan warna hijau norak yang dikancingi penuh sampai ke atas, sepatu merah yang entah apa itu mereknya, dan jangan lupakan kacamata tebal yang makin menyempurnakan penampilan bodohnya yang semakin bodoh itu.

Mungkin sebelum sampai ke ruangan yang sudah ia pesan ini Rin lebih dulu mendapat hujatan dan makian dari orang lain di kelab. Haha, membayanginya saja sudah lucu sekali bagi Isagi.

“Sini masuk, jangan diem aja.”

Rin masuk ke dalam mobilnya, mereka duduk bersebelahan pada jok depan seperti yang Isagi minta. Bukan hanya karena Isagi sedang berpura-pura baik, tapi kalau boleh jujur ada satu hal yang mengejutkan dari Rin di balik penampilan culun bodohnya itu.

Wangi Rin.

Minyak wangi yang dikenakan Rin sangat harum dan cocok sekali dengan selera Isagi. Jadi Isagi benar-benar tidak masalah untuk berada di dekatnya selama ini, bahkan termasuk pada saat kejadian kejatuhan buku yang sudah-sudah itu.

Duh, sialan, malah kepikiran itu lagi!”

“Kenapa, Isagi Yoichi?”

Ah, gapapa! Gue mulai nyetirnya, ya?”

Rin pun mengangguk, sementara Isagi tertawa canggung guna menutupi tingkah memalukan yang tidak disengaja itu.

“Tempatnya agak jauh, lo bisa tidur dulu kok.”

“Gapapa, saya gak ngantuk.”

Duh, gue yang canggung dan bingung mau ngomong apaan sama lo!

“Kalo gitu gue setel lagu, ya? Biar gak sepi.”

“Terserah, ini mobil kamu juga.”

Haha, oke.”

Beruntung apa yang membuat Isagi segan benar-benar tidak terjadi. Sebab selama perjalanan ini Rin memang banyak diamnya, jadi Isagi tidak perlu repot-repot mencari topik untuk bicara.

Pemuda bertinggi besar itu lebih memilih untuk menatap jalanan di balik kaca jendela mobil dengan tenang, menikmati pemandangan luar sambil membiarkan wajahnya ikut terkena pancaran cahaya dari lampu di pinggir jalan.

Sesekali juga diam-diam Isagi melirik ke arahnya kala itu, memperhatikan garis wajah Rin dengan seksama, hingga perasaan janggal tersebut kembali muncul ke permukaan dan membuatnya kian gelisah.

Sebab itu pula ia mempercepat laju mobilnya untuk sampai ke tujuan, yang tadinya bisa memakan waktu setengah jam jadi hanya 20 menit.

Lalu karena tak ingin berlama-lama lagi, begitu mereka keluar dari parkiran mobil pun Isagi tanpa banyak bicara langsung merangkul lengan Rin, berupaya menahannya secara tidak langsung selagi ia memimpin jalan masuk ke dalam kelab.

“Tempatnya ada di atas, udah gue pesan jadi lo bisa tenang.” begitu ujarnya yang hanya dijawab Rin dengan anggukan singkat.

Isagi tersenyum tipis karena rencananya hampir berhasil semudah ini. Tadinya ia pikir sebelum mereka melangkahkan kaki pun Rin akan menolak masuk mengetahui Greenscar adalah salah satu kelab malam terkenal di kota mereka, tapi sepertinya si culun ini belum mengetahuinya jadi Isagi bisa aman.

Terlebih lagi ia memiliki akses orang dalam yaitu Otoya sang anak pemilik kelab, Isagi jadi bisa masuk lewat lantai yang berbeda dan mempermudah dirinya untuk membawa Rin secara diam-diam.

Begitu mereka tiba di lantai sesuai, beberapa pelayan di sana langsung membimbing mereka ke ruangan yang dituju. Ruangan-ruangan khusus tamu VIP tentunya.

“Silakan, Tuan.”

Mereka berdua masuk pada salah satu ruangan yang cukup luas untuk dua orang. Ruangan itu dihiasi oleh lampu remang-remang tapi bernuansa elegan yang juga dikelilingi benda dan pajangan mewah. Tetapi fokus Isagi hanya tertuju pada tempat berlangsung rencananya, yaitu pada dua sofa memanjang dengan meja kaca transparan di bagian tengah, bersamaan dengan beberapa gelas kaca kecil dan juga botol minuman yang sudah dipesan di atasnya.

“Apa ada lagi yang diperlukan, Tuan?”

“Gak ada, thanks. Kalian boleh pergi sebelum gue panggil lagi.”

Begitu para pelayan keluar dan pintu sukses ditutup, saat itu pula senyuman Isagi kembali muncul.

“Ayo duduk, Rin. Gue udah pesan ruangan ini emang untuk kita berdua aja.”

“Ini mewah sekali, Isagi Yoichi. Kamu mau pesan makan apa di tempat kayak gini?” tanya Rin yang masih memandang ke sekeliling dengan takjub.

Siapa juga yang mau makan? batin Isagi licik.

“Udah duduk aja, kita bisa pesan nanti.”

Akhirnya Rin dan Isagi kini duduk berhadapan, yang mengartikan bahwa rencana Isagi juga sudah bisa dimulai sekarang.

Seperti yang ia duga, Itoshi Rin pasti belum tahu tempat seperti apa ini. Mungkin si culun ini akan langsung tahu jika mereka berada di ruangan bebas dengan musik berisik tempat orang biasa menari sambil minum-minum. Jadi ruangan lebih pribadi seperti ini adalah pilihan terbaik.

“Lo lihat menunya dulu aja, nanti kita bisa langsung panggil pelayannya kalau udah selesai milih.”

“Oke.”

Lalu selagi Rin sibuk melihat-lihat menu, Isagi segera menuangkan wine pilihannya itu ke dalam gelas kecil milik mereka berdua.

Betul, rencana Isagi yang berupa hukuman untuk Rin kali ini adalah membuat si ketua kelas culun itu mabuk, lalu tak lama setelah itu Isagi akan menyuruh wanita-wanita pilihan Otoya untuk datang ke ruangan mereka dan membantunya.

Membantu untuk apa? Tentu saja untuk membuat berita rekayasa bahwa ‘Rin si ketua kelas yang teladan dan tidak pernah salah, ternyata pernah punya rekam jejak digital sedang mabuk-mabukan bersama banyak wanita’. Inilah balasan blackmail untuk Rin dari Isagi.

Pasti dengan begitu situasi mereka jadi setara, kan? Rin tidak dapat lagi mengancamnya karena Isagi juga sudah mempunyai ancaman untuk si ketua kelas.

Memang terdengar jahat dan licik, tapi ini sudah menjadi hukuman untuk Rin agar jangan bermain-main lagi dengan orang sepertinya.

Isagi kini kembali melihat Rin yang masih berkutik dengan menu, “Gimana? Udah tau mau pesan apa?”

“Boleh saya ikut seperti pesanan kamu aja? Saya cukup bingung.”

Isagi mengangguk setuju, “Kalo gitu gue yang milih nanti. Tapi sebelum itu ... lo mau main game kecil-kecilan sama gue gak, Rin?”

Game seperti apa?”

Hmm, cuma balapan minum ini 7 gelas dengan cepat, terus yang kalah bakal ngabulin satu permintaan untuk yang menang, bebas apa aja!”

Rin terlihat berpikir sejenak sambil menatap botol wine itu dengan bingung, “Beneran cuma balapan minum aja?”

“Iya! Kenapa? Lo takut sama minuman ini? Tenang aja ini bukan alkohol kok, cuma minuman perisa anggur khas tempat ini! Gue udah sering coba!”

Tentu aja gue bohong, tolol.

Wine pilihan Isagi memang bukan yang termahal, tapi Isagi yakin hanya dalam 5 gelas saja pasti sudah cukup untuk membuat orang culun seperti Rin ini mabuk dengan cepat.

Isagi juga sengaja menentukan permainan seperti ini yang hanya akan merugikan Rin di dua sisi, sebab ia tahu bahwa Rin itu adalah orang ambisius dan juga teliti. Jika di sini Isagi yang menang, Isagi akan meminta dirinya untuk menghapus video dan foto ancaman tersebut. Tetapi jika Isagi yang kalah, berarti si culun itu sudah berhasil menelan habis 7 gelas wine tersebut dan berakhir mabuk di sini.

Bukankah rencana Isagi kali ini benar-benar cerdik?

“Oke, kalau gitu ayo.” ucap Rin setuju yang mengundang senyuman Isagi detik itu juga.

Nice, Itoshi Rin. Sekarang bener-bener kena lo, sialan.

“Kalau gitu kita mulai dari hitungan ketiga, ya?”

“Oke.”

“Satu ... dua ... tiga!”

Kemudian mereka berdua pun saling berlomba meminum wine tersebut secara lebih cepat.

Satu gelas.

Dua gelas.

Isagi kini memperlambat tegukannya begitu ia sampai pada gelas ketiga, dan dari sudut matanya ia bisa melihat Rin masih semangat menenggak wine tersebut pada gelas keempat.

Bodoh, apa haus banget si tolol ini? herannya.

Tapi justru dengan melihat itu, Isagi tak lagi dapat menyembunyikan senyumannya karena merasa sudah menang telak di sini. Apa lagi ketika Rin benar-benar terlihat sudah menghabiskan 7 gelas wine sesuai dengan aturan permainan mereka.

Ahhk!” desah Rin pada tegukan terakhirnya.

Sorakan langsung keluar dari mulut Isagi, “Wow! Lo yang menang! Cepet banget lo minumnya, Rin?! Gue bahkan belum sampai gelas keempat.” ia juga bertepuk tangan senang, sementara Rin mengangguk singkat menerima pujian itu.

Setelah ini tinggal tunggu lo pusing, lalu gue bisa segera manggil cewek-cewek temennya Otoya abis ini! Rasain lo, Culun!

“Karena saya mau menang, jadi boleh saya langsung meminta hadiah saya?”

Namun ucapan Rin barusan lebih dulu membuat mata Isagi langsung mengerjap heran berkali-kali upaya memeroses keadaan.

“Sekarang?” ulangnya, “Ini cuma boleh satu aja, lho?”

Rin mengangguk, “Iya, sekarang. Boleh, kan? Ini mudah kok.”

Isagi terdiam sejenak untuk berpikir, karena kalau boleh jujur, hal ini di luar perkiraannya.

Pertama, harusnya Rin sudah mulai merasa pusing bahkan mual jika ia belum pernah mencicipi alkohol sama sekali. Kedua, Isagi tidak menyangka jika Rin langsung mengajukan permintaannya sekarang karena Isagi sendiri sama sekali tidak terpikirkan bahwa ia harus menuruti hal tersebut.

“Isagi Yoichi?”

Namun bisa berbahaya jika Isagi menolak, apa lagi permainan ini adalah buatannya sendiri. Akan semakin mencurigakan saja jika Isagi menolak, mau tidak mau ia harus tetap berakting terlihat baik di depan Rin sebelum si ketua kelas tak sadarkan diri di depannya.

Ditambah lagi tadi Rin berkata bahwa permintaannya juga mudah, kan?

Haha, boleh kok, boleh. Ayo, lo mau minta apa sekarang?”

“Kamu minum ini 10 gelas lagi.”

Ha?

Rin kini menuangkan wine tersebut pada gelas kosong Isagi hingga penuh, sementara sang empu gelas hanya diam membeku dengan rahang mengeras.

Minum wine 10 gelas lagi katanya? Apa Isagi tidak salah dengar?

“Minum lagi? Serius cuma ini permintaan lo?”

Pemuda bersurai hijau gelap itu mengangguk, “Saya merasa lumayan pusing karena minum ini terlalu banyak, jadi saya ingin memastikannya juga sama kamu, apa kamu bakal pusing juga kalau minum sama banyaknya?”

Isagi meneguk salivanya gugup, “Buat apa?”

“Buat tau kalau minuman ini ada alkoholnya atau engga.”

Pupil biru Isagi langsung mengecil begitu mendengarnya. Ketakutan yang tadi sempat menghilang kini kembali muncul dan membuatnya gelisah. Keringat bahkan mulai turun di pelipisnya kala ia sedang dilanda kegugupan.

“Muka kamu kayak kaget gitu? Kamu takut karena ternyata udah sering coba minum ini tapi ternyata gak tau kalau ada alkohol di dalamnya, ya?”

Eh?”

“Saya cuma mau buktiin aja kok, lagi pula ini juga minuman yang biasa kamu minum dan kamu suka. Jadi permintaan saya gak sulit, kan? Isagi?”

Isagi kembali terdiam seribu bahasa.

Ini orang tolol atau gimana?

Tapi lagi-lagi ia tidak menyangka bahwa Rin adalah orang yang memang selalu punya kejutan. Bisa-bisanya si ketua kelas masih mengkhawatirkan orang lain seperti itu di kala kesialan sebentar lagi akan menghampirinya. Apakah Rin secara tidak langsung sedang berupaya meminta simpati untuk dibebaskan oleh Isagi?

Ah, Isagi bahkan tak lagi dapat menahan tawanya. Ia benar-benar tertawa puas yang membuat pemuda tinggi itu melihatnya dengan tatapan bingung.

“Padahal lo bisa minta lebih dari ini tapi taunya lo milih buat engga, lo lucu banget, Rin. Hahaha!” Isagi pun menerima gelas yang disodorkan Rin dengan senang hati, “Permintaan lo gue terima, gue akan minum 10 gelas ini. Perhatiin baik-baik, ya?!”

Sebagai bentuk solidaritas terhadap permainannya sendiri, Isagi pun menyetujui saja permintaan Rin. Apa lagi dalam beberapa menit ke depan si culun ini akan pingsan di depannya, jadi Isagi hanya akan menurutinya sampai saat itu tiba.

Tetapi begitu Rin menjawabnya dengan anggukan dan senyuman tipis untuk pertama kalinya sejak hari ini mereka bertemu, pada detik kemudian pula membuat Isagi langsung merasakan perasaan tidak enak merembet ke seluruh tubuhnya.

Tiga gelas.

Lima gelas.

Menenggak banyak wine dalam keadaan pikiran baik-baik saja memang cukup menyakitkan. Isagi dengan jelas mulai merasakan panas dalam tubuhnya menyerang, sesekali ia menatap ke arah Rin berharap laki-laki itu segera tumbang, tapi ternyata ia masih juga menatapnya lekat layaknya memastikan Isagi benar-benar menghabiskan winenya tanpa tersisa sedikitpun.

Total gue udah minum kalau digabungin sama yang tadi itu udah jadi 7 sama kayak dia, tapi kenapa dia belum tepar juga? Katanya tadi pusing?

Sembilan gelas.

Sial, kalau sudah begini justru Isagi yang mulai tidak kuat. Kepalanya sudah pusing dan kini pandangannya kian ikut mengabur.

“Kenapa, Isagi Yoichi? Kamu pusing?”

Rasanya seperti tubuh Isagi diputar secara pelahan dan suara-suara bising mulai masuk ke indra pendengarannya tanpa diminta sama sekali. Oleh karena itu, ia kini menatap Rin yang baru saja bertanya dengan nada khawatir, tetapi wajahnya malah menunjukkan sebaliknya.

Bangsat ...

Isagi bisa melihat laki-laki itu tersenyum, senyuman yang kali ini terlihat lebih jelas dan merupakan senyuman yang sama seperti yang ia berikan ketika di pesta ulang tahun Karasu waktu itu.

“Satu gelas lagi, Isagi Yoichi.”

Tangan kiri Rin kini terulur untuk menarik tengkuk Isagi, membantu kepalanya untuk tetap terangkat di kala tubuhnya yang sudah mulai lunglai. Sementara tangan kanannya ikut menyodorkan kembali gelas yang tak lagi bisa laki-laki bersurai biru tua itu raih, lalu perlahan memaksa dirinya untuk kembali meminum apa yang masih tersisa di sana.

Isagi biasanya cukup waspada terhadap batas kemampuan ia dapat menerima alkohol untuk tubuhnya, tapi kali ini ia lupa karena terlalu sibuk pada pikirannya yang menunggu Rin untuk tumbang lebih dulu dibanding dirinya.

Isagi sadar bahwa lagi-lagi ia kembali dipermainkan.

Dengan dirinya yang sudah mulai tidak berdaya dan di sela-sela kesadarannya yang hampir hilang, entah mengapa justru kalimat-kalimat peringatan dari Yukimiya waktu itu kembali muncul dalam ingatannya.

“Tapi kayaknya Itoshi Rin ini emang bukan orang biasa kayak yang lain?”

“Jadi lebih baik kita yang nyerah aja dan berhenti cari masalah sama dia.”

Harusnya Isagi mungkin mendengarkan peringatan itu, harusnya juga Isagi bisa sedikit lebih bersabar terhadap emosi dan egonya.

Karena ia sendiri tahu, mana mungkin jika Rin adalah si orang culun yang tidak pernah menyentuh alkohol ia bisa setahan ini setelah menengguk 7 gelas sekaligus?

“Gua udah bilang dia orang yang berbahaya, kan?”

Itoshi Rin memang berbahaya, dan Isagi Yoichi ternyata telah menerima bahayanya.

Kini semua sudah terlambat, bahkan kata ‘andaikan’ saja sudah tak lagi pantas untuk digunakan pada situasinya sejak awal.

Sebab di sini Isagi sadar bahwa bukan Rin yang meremehkan Isagi, tapi Isagi yang jusrtu sudah meremehkan orang seperti Itoshi Rin.

Balas dendam?

Harga diri Isagi diinjak-injak?

Isagi tidak ingin kalah?

Heh, persetan dengan itu semua karena Isagi kini sudah jatuh ke dalam neraka yang dibuat oleh Itoshi Rin untuknya.

Lalu pada tegukan terakhir yang tak lagi dapat ia terima, Isagi akhirnya tak sadarkan diri di depan Rin yang juga langsung menghilangkan senyumannya.


Pemilik netra seindah permata pirus itu menatap sosok di depannya yang kini sedang merebahkan kepala di atas meja, tak sadarkan diri akibat sudah mencapai batasnya.

Disentuhnya poni rambut sebiru lautan dalam itu perlahan guna tak ingin membangunkan sang empu. Ada wajah tenang di balik helaian itu yang selama ini tak pernah dilihat oleh Rin, wajah yang juga sama sekali tidak menunjukkan bahwa dialah penyebab semua perseteruan mereka terjadi sampai saat ini.

“Sebenernya apa lagi yang lo mau rencanain kali ini, Isagi Yoichi?”

Rin melirik ke arah botol wine yang masih berdiri kokoh di sebelah kepala Isagi, lalu mendengus remeh karena tidak menyangka bahwa laki-laki yang lebih pendek darinya ini ternyata masih sama bodohnya seperti biasa.

Apa dia pikir Rin terlalu bodoh untuk tidak mengetahui bahwa Isagi membawanya ke kelab dan memaksanya minum wine? Jujur saja Rin tahu dan tahan seperti sekarang ini bukannya karena ia pemabuk, tapi Rin pernah terpaksa harus mencobanya untuk mencaritahu batas ketahanannya juga demi perlindungan diri sendiri akan kejadian seperti ini.

Sebab seringkali ketika ia masih duduk di bangku SMP banyak orang yang berusaha mendekatinya dengan motif buruk setelah mengetahui bahwa ia adiknya Sae si pemain bola terkenal.

Beberapa cara ada yang dengan pendekatan normal seperti menghampirinya langsung di sekolah dan memberikan banyak hadiah atau surat di lokernya, ada juga yang menguntit sampai harus membuat keluarganya pindah rumah, bahkan sampai dengan memberikan minuman beralkohol agar bisa menjebaknya.

Benar-benar masa lalu kelam yang membuat dirinya harus menyembunyikan identitas asli sekaligus berperilaku seperti bukan dirinya sendiri.

Namun, entah mengapa di saat Rin yakin bahwa dengan dirinya yang sekarang ini bisa membuat kehadirannya merasa aman dan nyaman, tetap saja ada seonggok manusia lain yang ingin masuk ke dalam hidupnya dan berurusan sampai seserius ini dengannya.

Ah, tapi tidak juga. Mungkin memang benar bahwa Isagi yang mulai duluan dengan cari masalah dengannya, tetapi Rin juga yang memilih untuk ikut terus membalasnya.

Padahal seperti yang dikatakan Abang waktu itu, Rin bisa saja langsung melaporkan Isagi, menuntutnya bahkan satu sekolah sekalipun agar laki-laki nakal itu bahkan siapapun tak lagi dapat mengganggunya. Tapi lagi-lagi Rin yang memilih untuk membalas Isagi dengan caranya sendiri.

Apa karena Rin memang membenci Isagi? Tidak juga. Apa karena Rin ingin memberikan sanksi terhadap perbuatan Isagi selama ini? Bisa jadi. Apa karena Rin bosan dan butuh hiburan semata? Mungkin saja.

Atau ... apa Rin hanya ingin melihat reaksi Isagi yang marah-marah karena itu terlihat lucu di matanya?

Sepertinya itu jawaban yang paling benar.

Rin yang sejak tadi tenggelam dalam pikirannya seketika tersadar bahwa ia bahkan masih juga mengusap helai rambut Isagi seraya terus menatap wajah tenang yang lebih tua.

Kedua matanya seperti sudah terjebak oleh bagaimana paras wajah Isagi saat ini. Jemarinya bahkan tanpa sadar ikut bergerak untuk menyentuh apa yang kini ia lihat. Mulai dari alis Isagi yang kini terlihat normal padahal biasanya menekuk karena marah, kelopak mata yang menutupi bola mata seindah permata safir milik Isagi yang biasa menatap nyalang ke arahnya, hidung kecil Isagi yang tengah bernapas normal padahal biasanya mendengus remeh, pipi gembul Isagi yang sama sekali mengurangi kesan garang yang sudah dibuat olehnya selama ini, dan juga bibir tipis Isagi yang biasa mengeluarkan kata-kata kasar paling pedas satu sekolah.

Bibir tipis yang kini menjadi pusat perhatian Rin sepenuhnya, bibir tipis yang terlihat lebih lembab akibat wine yang masih menempel di atasnya, bibir tipis ... yang juga membuat Rin penasaran dan ingin sekali menciumnya.

Fuck. Mikir apa gua tadi?”

Buru-buru si Itoshi bungsu itu menjauh dari tubuh Isagi dengan menyandarkan punggungnya pada sofa di belakang. Mengistirahatkan kepalanya sambil menghela napas gusar, tak percaya dengan apa yang ia pikirkan barusan.

“Kenapa gua jadi terbawa peran gay gini?”

Apa ini termasuk pengaruh alkohol juga? Karena kalau benar begitu, tandanya Rin harus cepat-cepat mengangkat kaki sebelum kejadian yang tidak diinginkan terjadi.

Padahal Isagi yang seperti ini adalah sasaran empuk untuk kembali dijadikan ancaman baru. Tapi mengingat bahwa Rin merasa sudah lumayan terhibur dengan main-mainnya yang telah membuat Isagi seserius ini, Rin juga akan membiarkan kejadian yang satu ini berakhir cukup di sini saja.

“Semoga lo gak perlu berurusan sama gua lagi, Isagi Yoichi.” ujar Rin seraya menepuk pucuk kepala Isagi untuk yang terakhir kalinya sebelum ia beranjak keluar.

Tetapi melihat Isagi yang masih juga terlelap damai sendirian, terbesit perasaan bersalah dalam hatinya dan sontak membuat Rin mengurungkan niatnya untuk berdiri sesaat. Ia pikir ia perlu untuk setidaknya menitipkan Isagi kepada orang yang terpercaya.

Heh, kalau gitu biar gua telfon dulu temennya. Otoya Eita itu anak pemilik GreenScar, kan? Pasti si bodoh ini minta bantuan dari dia juga untuk ngejalanin rencananya kali ini.” monolog Rin seraya mengeluarkan ponselnya untuk bersiap melakukan panggilan.

Lalu selagi Rin sibuk mencari kontak nama Otoya di dalam ponselnya, tiba-tiba suara lenguhan cukup keras datang dari arah Isagi yang reflek membuat Rin memusatkan perhatian penuh padanya saat ini.

Ah, Isagi sudah terbangun.

Laki-laki itu bangun perlahan untuk duduk sambil mengedipkan matanya berkali-kali selama beberapa saat, sebelum akhirnya menyadari ada Rin di depannya dan langsung melayangkan tatapan tidak suka dalam sekejap.

“Bangsat, ada lo lagi ... Gay culun!”

Rin mendengus remeh, “Kalimat pertama yang keluar setelah bangun sekasar ini? Memang ketua geng anak nakal sejati.”

Kemudian tanpa peringatan apapun, ditariknya kerah kemeja Rin dengan kedua tangan Isagi hingga kini membuat kedua wajah mereka berhadapan dengan jarak kurang dari sejengkal. Entah tenaga dari mana yang merasuki pemuda itu saat ini, yang jelas Rin berhasil dibuat terkejut hingga tidak sempat mengantisipasi hal tersebut.

“Lo tuh kenapa nyebelin banget, sih?! Gue sebel dan benci banget lihat lo! Gue muak! Lo kenapa bukannya takut sama gue tapi lo malah ngelawan?! Heh, Gay bangsat! Jawab!”

Isagi langsung menyerbu Rin dengan kumpulan makian yang hanya membuat telinga Rin sakit akibat ledakan suara kerasnya.

Shit. Dia bener-bener mabuk sekarang.

“Lo sendiri yang juga cari masalah sama gua, kalau emang sebel dan benci gua, lo aja yang jauh-jauh dari awal.”

Tapi anehnya Rin juga ikut menimpali ucapan dari Isagi yang mabuk dan bahkan sukses membuat pemuda yang lebih tua itu tertegun selama beberapa saat.

“Lo bener ...” Isagi memelankan suaranya dengan intonasi lebih tenang.

“Yaudah, jadi lepas-”

“Tapi karena ini pertama kalinya kita bisa ngomong gini secara langsung berdua, gue juga jadi pengen nyampein beberapa hal sama lo sejak lama ...”

Rin lagi-lagi menghela napasnya gusar. Sepertinya memang tidak ada gunanya berdebat bersama dengan orang yang kesadarannya nol dan tidak mau kalah ini.

Hmm, gue juga gak tau kenapa bisa sebenci ini sama lo padahal gue mulu yang mulai cari masalah, apa karena lo yang nyebelin aja? Lo yang ngelawan? Lo yang gay? Atau ... ya, karena itu diri lo aja?”

Mendengar ocehan Isagi hanya membuat Rin jadi tak niat membalas dan memilih untuk diam. Tetapi justru karena ia diam dan pertahanan dirinya jadi berkurang, ia sampai tidak bisa mencegah gerakan di luar prediksi dari Isagi yang kini sudah bangkit dari sofa—dengan leluasanya menyebrangi meja hanya untuk duduk di atas pangkuan Rin dalam hitungan detik saja.

“Isagi?!”

“Diem. Lo harusnya gue kasih hukuman hari ini, tapi gatau kenapa malah jadi gue yang kena batunya!”

Rin berniat untuk protes, tapi dirinya lebih dulu dibuat terbelalak kala Isagi membuat wajah cemberut lucu yang lagi-lagi sama sekali belum pernah ia lihat. Akibatnya tangan yang tadi hendak menjauhkan tubuh Isagi dari atasnya ikut mendadak terhenti.

“Gue benci lo ... mulai dari benci badan lo yang lebih besar dan tinggi daripada gue ...”

Kemudian pula telapak tangan Isagi yang tadi bertengger pada kerah bajunya kini mulai merembet ke area pundak yang kian membuat tubuh Rin merinding di setiap sentuhannya.

“Badan lo yang juga sebenernya lebih kekar dari gue tapi ketutupan sama kemeja kotak-kotak bangsat lo ini ...”

Isagi menjeda sejenak ucapannya hanya untuk menatap jijik ke arah kemeja Rin, seakan-akan ia ingin membakar kemeja tersebut sekarang juga tapi akhirnya ia memilih untuk hanya membuka dua kancing paling atas tanpa persetujuan sang pemilik.

“Lalu suara rendah lo yang sekalinya keluar bisa bikin orang yang dengar merinding ...”

Rin menahan napas ketika Isagi menyentuh bibirnya dengan jari telunjuk tanpa segan sedikitpun.

“Dan juga mata ini ... mata yang selalu bikin gue gak nyaman hanya dengan tatapan sama lo.”

Lalu gerakan tidak terduga Isagi selanjutnya ialah melepaskan paksa kacamata tebal palsu milik Rin, lalu melemparnya ke sembarang arah guna tak lagi dapat diraih oleh sang pemilik.

“Nah, udah gue duga. Lo beneran jadi ganteng banget tanpa kacamata tolol tadi.”

Setelah mengucapkan itu Isagi memberikan senyuman manis yang lagi-lagi juga baru pertama kali Rin lihat, membuatnya ikut tertegun heran akibat merasakan detak jantungnya yang tiba-tiba ikut berdebar lebih kencang dari biasanya.

Fuck, minggir.” perintah Rin.

“Kenapa? Lo malu?”

Kekehan lucu terdengar dari Isagi kala melihat Rin yang menolehkan kepalanya ke samping. Membuat Isagi justru terpancing untuk langsung mengacak-acak rambut hingga poni panjang Rin, ia tata sesuka hatinya, hingga kedua netra biru si lucu itu berbinar senang setelah melihat hasil dari perbuatannya.

Wow ... Itoshi Rin. Gue bahkan tambah benci sama lo karena lo dengan tololnya nyembunyiin lo yang seganteng ini!”

Jemari Isagi kini bahkan tak kussa untuk meraba pipi dan garis rahang Rin dengan hati-hati, dengan kekaguman penuh, layaknya mahakarya pahatan terindah yang baru pernah ia lihat selama ini dan tidak akan habis untuk ia puja-puja.

“Lo padahal bisa dapetin cewek manapun cuma dengan modal wajah lo ini! Mereka pasti bakal rela mohon-mohon buat jadi pacar lo, tapi kenapa lo malah jadi gay?”

Rin mendecak sebal kala pujian yang tak pernah ia sukai kembali terdengar. Justru karena hal itulah ia berpura-pura menjadi gay!

“Sialan, Isagi. Lo mabuk banget, minggir dari gua.”

Isagi menggeleng dan memilih meneruskan ucapannya, “Lo malah menyia-nyiakan lo yang kayak gini dan milih sama yang berbatang juga?” lalu pemuda kecil itu tertawa sebentar, sebelum tersentak seakan teringat akan suatu hal, “Ah, gue baru sadar, mungkin perasaan janggal yang selama ini gue rasain adalah karena gue iri sama lo, gue iri karena lo punya semua yang gue inginkan tapi lo malah menyia-nyiakan itu dengan menjadi sosok yang paling gue gak suka.”

Rin terdiam cukup lama begitu mendengar ucapan Isagi yang baru saja. Lalu menyadari bahwa tadi nada bicara pemuda di pangkuannya ini terdengar sedih dengan raut wajahnya yang mendadak murung, Rin menyimpulkan bahwa mungkin saja ucapan tersebut memang kejujuran yang pemuda itu pendam selama ini.

“Terus dari rasa iri lo ini, lo malah jadi bully gua?” bahkan Rin sampai tidak tahan untuk ikut bertanya dan ingin tahu lebih banyak.

“Gak tau? Kalau soal ke anak-anak lain gue merasa seru karena mereka lemah, bangsat banget ya, gue?” Isagi tersenyum miris sesaat, “tapi kalau ke elo ... gue justru jadi semakin pengen nunjukin kalau posisi gue ini ada di atas lo, apa lagi lo cuma gay culun, walau ternyata ujungnya semua usaha gue sampai detik ini percuma juga.”

Isagi perlahan menurunkan kedua tangannya pada wajah Rin dan beralih untuk ia letakkan pada kedua pundak lelaki yang lebih besar itu sebagai tumpuan untuknya selagi terus berbicara.

“Sementara gue bahkan kayaknya sama orang dari kalangan cewek maupun cowok sekalipun tetap dipandang biasa aja.”

Isagi juga kini menundukkan kepalanya, tak ingin Rin melihat wajahnya yang menunjukkan kesedihan.

“Kalau gue gak kuat dan jago berantem, kayaknya anak geng juga gak takut sama gue. Jadi ketika gue ngelihat lo yang padahal kelihatan lemah ini ternyata malah berhasil bikin gue gak berkutik, rasa gak percaya diri gue naik, dan gue makin benci sama lo, bahkan benci sama diri gue sendiri kenapa gue bisa sesampah ini.”

Hening.

Keheningan yang cukup lama akhirnya menyelimuti mereka setelah Isagi mengungkapkan keluh kesahnya. Membuat kesan juga mendadak lebih serius dan Rin sungguh tak suka berada di dalamnya.

Rin harus kembali mencairkan suasana yang ada.

“Udah itu aja? Karena semua itu makanya lo ngeidolain Abang-ehm, Sae? Pengen sekeren dia, terus lewat fanfic-fanfic itu justru lo berkhayal baca ceritanya seolah-olah lo itu Sae?”

Mendengar itu lantas Isagi kembali mengangkat kepalanya sambil menatap Rin terkejut. “Itu gak semuanya bener, tapi jangan terlalu jelaslah, anjing.” kemudian si manis tertawa sebagai jeda untuk ucapannya, “Gue juga emang beneran ngefans sama Sae, jadi sekalian aja, haha!”

Berhasil, Isagi sudah kembali tertawa dan kini Rin dapat bernapas lega. Pasalnya tadi ia sempat panik ketika hampir saja keceplosan mengungkap jati diri sebenarnya bahwa ia adalah adiknya Sae. Syukurlah, kondisi Isagi yang mabuk ini ternyata cukup menguntungkannya.

“Menyedihkan banget ya, gue? Makanya gue gak terlalu suka hobi gue ini dinotis banyak orang. Karena itu juga gue marah banget sama lo, kenapa lo malah ngancurin kesenangan gue dengan bikin dia jadi gay bahkan boti!?” protes Isagi selanjutnya.

“Karena lo jadi ikut ngebayangin kalau lo ternyata cocok jadi gay juga, kan?”

Isagi menggeleng, “Bukan, tapi malah bikin gue sadar kalau gue adalah si pengecut rendahan yang jahat. Sampai bisa bikin orang culun nan teladan kayak lo seniat itu untuk ngebales gue, padahal semua alasan gue benci sama lo bener-bener gak jelas, semua salah juga ada di gue tapi gue masih sombong dan gak mau ngakuin itu.”

Lalu Isagi kembali terdiam, sementara Rin di depannya cukup terkejut dengan pengakuan Isagi barusan.

Sebab dengan itu pula semakin meyakinkan Rin bahwa selain alkohol memang sangat berbahaya untuk tubuh, ternyata di bawah pengaruhnya juga bisa menyebabkan banyak masalah di berbagai hal. Salah satunya suka berbicara sembarangan tanpa kontrol untuk berhenti sama sekali.

Tetapi ungkapan itu bukan hanya merujuk pada Isagi saja, melainkan pada dirinya sendiri dengan apa yang akan ia katakan setelah ini.

“Omongan lo semuanya jelas benar, lo memang sampah, bangsat, menyedihkan, pengecut, bahkan jahat. Tapi ada satu yang perlu gua koreksi.”

“Apa?” tanya Isagi penasaran.

“Lo gak biasa aja, lo cantik.”

Ya, itulah contoh pengaruh alkohol yang membahayakan itu.

Di sisi lain Isagi sedang mengerjap lucu berkali-kali mendengar pujian Rin barusan yang terdengar sangat tidak meyakinkan baginya.

Ah, lo bilang ini karena lo gay.”

No? Gua straight.

Tapi Rin tetap membela diri, “Gay juga punya selera.”

“Iyakah? Gue pikir lo mau-mau aja asal sesama cowok?”

“Pantes bodoh.” Rin pun menyentil dahi Isagi pelan sebagai hadiah.

Aw! Gue gak bodoh!”

“Gua jujur, Isagi Yoichi. Lo benar cantik, ganteng, rambut lo bagus, warna mata lo indah, bulat lucu, hidung lo mancung, pipi lo gembul, dan bibir lo ...”

Isagi menaikkan sebelah alisnya penasaran, apa lagi ketika melihat tatapan mata Rin yang mengarah ke bibirnya saat ini.

“Kenapa bibir gue?”

I want to kiss him.

Lalu keinginan kurang ajar itu kembali muncul, membuat Rin langsung berusaha kembali menggapai kesadarannya yang hampir ikut tenggelam bersama dengan bayangan liarnya.

Shit, gua ngomong apa sama orang mabuk?” Rin kembali mengusap wajahnya kasar, tak percaya dengan dirinya sendiri.

“Gue gak mabuk! Gue dengerin!” ucap Isagi yang semakin memperjelas bahwa ia mabuk. Karena jika Isagi yang sadar tidak mungkin masih berada di atas pangkuan Rin dengan mata membulat lucu penuh akan rasa penasaran.

“Intinya you look fine. Lo bisa dapet cewek atau cowok mana aja kalau mereka melihat lo.” Rin bahkan ikut mengacak rambutnya frustasi karena malu setelah mengucapkan hal tersebut.

Lain halnya dengan Isagi yang kini berseri-seri, “Dan lo orang yang pertama kali bisa ngelihat dan ngomong ini ke gue, Rin.” ia juga kembali menunjukkan senyuman manis yang hanya membuat si ketua kelas itu kembali salah tingkah, “Lo sendiri gimana? Udah berapa orang yang lo pacarin dengan tampang lo yang seganteng ini?”

No one.”

“Masa? Tapi pasti ada yang ngedeketin lo, kan? Cewek maupun cowok?”

“Jelas.”

Haha, sombong lo!”

Lalu entah dimulainya sejak kapan, tapi kini Rin merasa suasana di sekeliling mereka benar-benar sudah terasa lebih hangat dan juga lebih menyenangkan.

“Emangnya kayak gimana tipe untuk orang sombong macam lo ini?”

Walau terkadang ada saja tingkah dan ucapan Isagi yang selalu membuatnya tertegun seperti sekarang ini. Pertanyaan barusan yang membuat Rin bingung karena jujur saja ia tidak pernah benar-benar memikirkan soal hal itu.

“Yang gua suka aja.”

Oleh karena itu Rin juga akan menjawab seadanya.

“Terus lo suka gue gak?”

Deg.

Haha, bercanda, Rin! Gue juga tau lo pasti punya tipe dan gak mungkin suka sama orang kayak gue, hahaha!” Isagi menjeda ucapannya sejenak sebelum kemudian menatap lekat ke arah Rin yang masih belum memeroses pertanyaan Isagi barusan. “Tapi kalau lo mau, lo boleh cium gue kok, Rin.”

Lagi. Jantung Rin kembali berdebar lebih kencang lagi.

Sebentar, sebentar.

Apa maksudnya ini?

Apa yang Isagi barusan katakan?

Apa yang sedang terjadi di sini?!

“Isagi,”

“Karena gue juga penasaran, kata lo gue di mata orang gay kayak lo aja terlihat cukup menarik, kan?”

Gawat.

“Isagi, tunggu,”

Tak menurut, justru Isagi sengaja mendekatkan tubuhnya pada Rin walau bahunya lebih dulu pemuda itu tahan dengan kedua tangan agar jarak tetap ada sebagai pembatas mereka.

Akibat penolakan itu pula wajah Isagi kembali terlihat sedih dan ia tersenyum miris sebagai gantinya.

“Tuh, kan, lo bohong.”

Bukan gitu, Isagi.

“Emang ternyata gue ini gak menarik,”

Dibilang bukan gitu!

“mana ada orang yang suka sama gue,”

Argh, gua gak tau lagi.

“yaudahlah gue-mmh?!”

Rengekan Isagi pun berhenti begitu Rin akhirnya membungkam bibir Isagi dengan miliknya sendiri.

Rin akhirnya benar-benar mencium Isagi.

Meskipun hanya kecupan singkat, tapi ia rasa itu sudah cukup untuk membuktikan. Ia pun menyudahi kecupan itu dengan dehaman singkat upaya mengurangi rasa malunya.

“Gua gak bohong.”

Dengan takut-takut Rin kembali menatap wajah Isagi, mencaritahu apakah laki-laki itu sudah pucat pasi, atau bahkan sudah ingin melarikan diri.

Ciuman itu memang kemauan liar Rin sejak tadi, tapi juga permintaan Isagi barusan, kan? Jadi jangan salahkan Rin bila ia kali ini menurutinya.

Tetapi tetap saja kalau setelah ini Isagi ingin meninju atau menamparnya, mungkin akan Rin terima dengan sukarela.

“Lagi.”

Namun sepertinya kenyataan tidak selalu seburuk yang selama ini Rin pikirkan.

Ditatapnya Isagi dengan tidak percaya, sementara si manis itu justru memberikan sorotan mata sayu seakan menggodanya dengan sengaja.

“Cium lagi.”

Karena ketika permintaan itu kembali keluar, maka tidak ada alasan lagi untuk Rin menolaknya.

Holy shit.

Bibir mereka pun kembali bertemu, tapi kali ini bukan hanya kecupan singkat melainkan ciuman yang lebih panas dan juga penuh akan gairah. Kedua mata sudah saling terpejam, membiarkan panca indra lain untuk lebih merasakan.

Mereka bercumbu mesra layaknya sepasang kekasih yang sedang dimabuk cinta, membasahi bibir satu sama lain seakan hanya itu satu-satunya cara.

Kedua tangan Isagi bahkan sudah berpindah jadi melingkar di atas bahu Rin untuk memperdalam pagutan mereka, sementara milik Rin merengkuh pinggul Isagi erat untuk menghilangkan jarak di antara keduanya.

Ciuman itu akan terhenti sesaat kala Isagi hampir kehabisan napas, membuat Rin dengan perlahan ikut mengusap lembut punggung yang lebih tua seraya mengingatkan untuk bernapas lewat hidungnya, sebelum ia kembali memagut bibir tersebut dengan penuh suka cita.

Entah karena wine ataupun bukan, tapi bagi Rin bibir Isagi sungguh memabukkan.

Tak ingin rasanya ia berhenti untuk menyesap bibir tipis yang sejak tadi ia dambakan, sesekali pula gigitan ia berikan hanya untuk mendengar lenguhan erotis Isagi yang begitu memanjakan indra pendengaran.

Rin mau gila saja rasanya. Oh, tidak, mungkin ia memang sudah gila. Sebab jika biasanya berhadapan dengan Isagi akan membuat darahnya naik, kini berciuman dengan Isagi di atas pangkuannya hanya membuat darahnya turun ke ‘bawah’.

Ah!”

Bersamaan dengan itu pula ciuman mesra mereka terpaksa terlepas dengan Isagi yang kini membelalakkan matanya tak percaya dengan apa yang ia sedang rasakan.

“Rin? Lo ciuman aja langsung ‘keras’?”

Rin mendengus dengan pipi yang memerah, “Gua belum pernah ciuman.” begitu jujurnya.

Isagi lantas tak kuasa lagi menahan tawanya, apa lagi melihat wajah Rin yang menjadi merah lucu, semakin membuat Isagi ingin melakukan hal lain yang akan membuat lelaki culun itu terkejut.

Lalu detik kemudian pemuda yang lebih tua itu menekan kejantanan Rin yang sudah mengeras dengan bokongnya dan ikut sukses membuat Rin terperangah dengan mata melebar.

“Isagi!”

Yang dipanggil justru tersenyum menantang, “Kenapa? Bukannya enak?”

Melihat reaksi Rin yang sesuai harapan hanya memancing Isagi untuk semakin bersemangat menggoda pemuda itu. Bukan hanya tekanan, tapi kini Isagi bahkan menggerakkan pinggulnya maju-mundur secara perlahan upaya menggesek milik Rin yang terasa semakin membesar dan juga mengeras di bawahnya.

Sensasi yang diberikan Isagi langsung berpengaruh pada perubahan diri Rin saat ini. Tubuhnya kian memanas dan berkeringat, area sekitar perut mulai menggelitik, bahkan ia sampai menggigit bibir bawahnya demi mati-matian menahan gairah yang semakin melonjak untuk meminta lebih.

“Lo mau ngelakuin ‘itu’ sama gue, Rin? Gue gak masalah walau gue juga belum pernah.” tawar Isagi dalam bisikan yang hanya membuat tubuh Rin ikut merinding.

“Lo bahkan bukan gay, Isagi. Lo juga ... mabuk.”

Tangan Rin yang hendak mendorong Isagi menjauh lebih dulu diambil alih pemuda di atas pangkuannya ini untuk diletakkan pada kedua pipinya, upaya membuat Rin yang sudah mulai tidak fokus untuk kembali menatap wajah si manis.

“Lo takut ya, Culun?”

Lalu ketika mata mereka kembali bertemu, Rin sungguh menyesal telah melakukan itu. Bukannya menjadi turun, gairahnya justru tambah memuncak hanya dengan melihat wajah Isagi yang kini tersenyum dengan sorot mata bulat lucu penuh penantian.

Wah, bukan gawat lagi kalau sudah begini.

Bodohnya Rin larut dalam nafsu dan ikut terbawa perasaan dengan orang yang mabuk hingga ikut melakukan hal-hal yang di luar batas. Ciuman saja sudah membuatnya hampir kehilangan akal, apa lagi lebih dari itu? Rin takut mungkin ia tidak bisa berhenti jika mereka sudah memulainya.

“Rin~?”

Dengan keadaan seperti ini Isagi akan terus memaksanya dengan cara apapun. Jadi satu-satunya jalan adalah dengan mengajaknya berbicara lalu membuat pemuda mabuk ini menyerah.

“Isagi ... gua gak akan ngelakuin ‘itu’ kalau kita gak saling suka dan saling cinta, gua gak mau kita menyesal karena udah melakukan hal bodoh dengan maksud yang sia-sia.” Rin menjeda ucapannya sebentar untuk menghela napas, menenangkan pikirannya sesaat, “Benar ... anggap aja gua takut, takut kehilangan kewarasan gua sepenuhnya dan berakhir nyakitin lo, Isagi. Gua gak mau.”

Rin terdengar begitu suci kali ini. Walau ia rasa setidaknya pemikiran itu cukup sesuai dengan bagaimana Rin biasa berpenampilan hingga dapat meyakinkan Isagi untuk segera berhenti.

Nyatanya pun ia benar, kini Isagi kembali terdiam selama beberapa saat setelah mendengar ucapannya. Tercengang dengan jawaban tak terduga yang perlahan kembali mengundang senyuman lebar terbit di wajahnya.

“Lo ternyata manis juga masih mikirin tentang cinta. Dasar anak culun yang polos~”

“Ma-manis dan polos?!”

Isagi pun mengusap-usap kepala Rin dengan bangga, sementara yang diusap menekuk wajahnya tidak suka bersamaan dengan semburat merah kembali muncul di pipinya.

“Untuk pertama kalinya dalam hidup gue, gue akhirnya mengaku nyerah.” ucap Isagi lagi diselingi kekehan gemasnya, “Ternyata gue emang gak akan bisa menang dari orang kayak lo, Rin.”

Sekarang giliran Rin yang tercengang dengan pengakuan lain dari Isagi barusan. Ditatapnya wajah pemuda di depannya itu yang justru tengah menunjukkan senyuman manis paling hangat sedunia—tak lupa dengan sorotan mata melembut yang juga seakan jadi lambang perdamaian bagi semesta.

“Gimana kalau nantinya gue malah jadi jatuh cinta sama lo, Rin?”

Eh?

Jantung Rin seakan berhenti berdetak sesaat begitu mendengarnya.

“Maksud lo ...?”

Namun belum sempat kedua pertanyaan itu saling mendapat jawabannya, tubuh Isagi lebih dulu ambruk jatuh ke dalam pelukan Rin yang dengan sigap menerimanya.

Senyuman manis yang terlihat pada wajah Isagi kian memudar bersamaan dengan kelopak mata yang kembali menutup kedua binar indah miliknya itu.

Kali ini bukan pingsan karena mabuk, tapi Isagi benar-benar tertidur lelap ditandai oleh dengkuran halus dari mulut kecilnya yang sedikit terbuka.

Hening lagi.

Suasana akhirnya kembali hening, menyisakan Rin yang masih terdiam cukup lama untuk memeroses apa yang baru saja terjadi sejak tadi, sekaligus mengumpulkan kesadaran dan akal sehat yang juga hampir ia buang sejak tadi.

Haha?”

Lalu hal yang pertama kali ia lakukan ialah tertawa.

Menertawakan dirinya sendiri karena tidak percaya terhadap kondisinya saat ini. Masih berwajah merah matang, jantung berdebar kencang, dan juga celana yang masih terasa sesak tak kunjung hilang.

Tapi ia lebih tidak percaya lagi bahwa ini semua disebabkan oleh orang yang kini tertidur lelap di atas pangkuannya. Orang yang selama ini membencinya. Orang yang beberapa jam lalu ini ingin menjebaknya. Orang yang juga beberapa saat lalu berciuman dengannya hingga meninggalkan pertanyaan paling menggantung dalam hidupnya.

“Isagi Yoichi sialan ...”

Kacau sudah. Rin harus bagaimana setelah ini?

Mungkin sepertinya bukan hanya Isagi yang bodoh di sini, tetapi Rin pun juga.

Jika Rin tidak salah ingat, tadi Isagi mengatakan bahwa ia membawanya ke sini untuk tujuan menghukumnya, kan? Maka selamat, hukuman yang diberikan oleh ketua geng anak nakal itu benar-benar berhasil mengenai segala sisinya.

Rin sungguh benar-benar habis dibuat ‘tersiksa’ karenanya. []

© 2025, roketmu.