[🌸] Di Tengah Perang

Setelah menunggu dengan sabar tanpa melakukan apapun yang memancing kecurigaan, bel pulang sekolah pun akhirnya berbunyi yang menandakan bahwa Isagi baru bisa menjalankan misinya kali ini.

Ketika mereka serempak bangkit keluar dari kelas, Isagi sudah saling lirik kepada para temannya, memberikan sinyal bahwa aksi mereka sudah boleh dimulai yaitu dengan tinggal menunggu saja di rumah kosong yang sudah ditetapkan, sementara Isagi akan mengurus Rin sendirian di sini.

Kena lo, Gay bangsat.

Laki-laki culun bertubuh tinggi besar itu kini dalam pantauannya. Dengan hati-hati tapi pasti, Isagi kini mengikuti Rin yang tengah berjalan di lorong kelas dan baru saja berpisah dengan teman-temannya yang lugu itu.

Dalam hati dan pikiran Isagi sudah dipenuhi emosi dan juga imajinasi liar bagaimana ia akan memukuli wajah Rin sepuasnya setelah ia berhasil menipu si culun itu untuk menemaninya ke sesuatu tempat.

Gue bakal bilang ke dia untuk nemenin cari buku yang disuruh Pak Chris karena gue gak tau, tapi sebenernya gue malah bawa dia yang naik motor gue ke rumah kosong kita itu.

Isagi tersenyum licik selagi terus mengekori Rin untuk menuju ke tempat yang lebih sepi. Itulah rencana simpel Isagi yang ia yakin akan membuat Rin mau saja untuk menurutinya. Karena Isagi memang mengakui bahwa Rin adalah ketua kelas yang cukup peduli pada anak kelasnya.

Tapi ia juga harus memperhatikan bahwa tidak ada orang di sekitar agar tidak ada saksi mata bahwa Rin pernah bersamanya sebelum ia benar-benar akan babak belur nanti.

Namun seiring mereka terus berjalan, perlahan senyuman itu digantikan oleh bibirnya yang mengerucut bingung. Sebab bukannya datang ke tempat sepi, Rin justru tiba ke tempat paling ramai yang dihuni oleh orang-orang berbahaya, alias guru-guru mereka ini.

Shit, kenapa dia malah ke ruang guru?

Terpaksa Isagi kini harus bersembunyi dulu di balik pilar dinding yang tak jauh dari pintu masuk. Lalu sebelum Isagi sempat berpikir akan rencana cadangan yang lain, tiba-tiba saja Rin sudah keluar bersama dengan Pak Chris dan buku-buku di kedua tangan mereka.

“Siapa tadi yang bersedia membantu katamu?” tanya Pak Chris pada sang ketua kelas.

“Isagi Yoichi, Pak. Ini dia sudah menunggu dari tadi.”

Eh?

Kedua pasang mata itu akhirnya tertuju pada Isagi di tempat persembunyiannya yang kini tengah berdiri mematung dengan wajah bingung, persis layaknya maling yang baru saja tertangkap basah.

“Oke, terima kasih, Isagi. Kalau begitu ayo kita ke perpustakaan sekarang, kamu bawa sebagian yang ini, ya.” lanjut Pak Chris yang kemudian memberikan Isagi setumpuk buku untuk ia bawa.

Bentar, bentar, apa maksudnya ini?!

Dengan pikiran yang masih belum bisa memeroses keadaan, Isagi menerima buku tersebut di tangannya dengan pasrah. Kemudian diliriknya Itoshi Rin dengan tatapan menusuk meminta penjelasan, tapi sayang lelaki berkacamata tebal itu seperti enggan sekadar untuk menatapnya balik.

Namun meskipun ia berperilaku begitu, Rin nyatanya masih berbelas kasih. Sebab sebelum bungsu Itoshi itu memilih untuk berjalan mengikuti Pak Chris di depannya, ia sempat berbisik sepatah dua patah kalimat untuk memberitahu Isagi suatu hal yang detik itu juga membuat si pendek terbelalak.

“Saya dengar kamu mau cari buku yang disuruh oleh Pak Chris sama saya, jadi sekalian aja kita ke perpustakaan dulu bareng beliaunya langsung, ya?”

Setelah itu baru Rin benar-benar melewati Isagi yang kini wajahnya sudah mengeras bukan hanya karena amarah—tetapi juga malu yang sudah kepalang bukan mainnya.


Tolol. Tolol. Tolol.

Dalam hati Isagi menggerutu berkali-kali akibat ketololannya yang minta ampun ini. Bagaimana bisa ia justru terjebak dalam kondisi yang sangat memalukan seperti sekarang?!

Di perpustakaan, diawasi oleh Pak Chris, menyusun berbagai buku sesuai dengan kategorinya, dan yang lebih parahnya lagi bersama dengan si gay culun yang harusnya akan ia pukuli detik ini juga.

Isagi bertanya-tanya di mana letak kesalahannya kali ini. Apa Rin memang tidak sengaja mendengar soal rencana mereka? Namun Isagi tidak merasa telah mengungkapkannya kepada siapapun untuk hari ini? Tapi kenapa si gay culun Itoshi Rin itu bisa tahu?

Goblok!

Penuh amarah, Isagi dengan sadar meletakkan buku tersebut dengan menyalurkan tenaga yang lebih kuat lalu tanpa sengaja justru membuat rak tersebut bergetar, kemudian mau tak mau menimbulkan buku-buku kini mulai dalam kondisi goyah dan dalam hitungan detik akan jatuh ke bawah.

Isagi yang tidak ada persiapan sama sekali hanya bisa memejamkan mata dan reflek berlindung memakai kedua lengan untuk menutupi kepalanya, walau akhirnya satu tarikan cepat pada pinggangnya lebih dulu menarik Isagi mundur hingga dirinya kini sukses tak terluka sama sekali.

“Kamu gapapa?”

Suara rendah itu terdengar tepat di telinganya, membuat Isagi perlahan membuka mata untuk kembali melihat ke tempat ia berpijak, memastikan bagaimana situasi yang ada agar bisa segera menjawab pertanyaan tersebut.

“Ya, gue gapapa. Makasih.” Isagi tersenyum tipis usai mengucapkannya.

Eh, tapi tunggu.

Isagi lantas langsung menoleh ke arah suara yang seketika membuat matanya kian melebar kala melihat Itoshi Rin tepat berada di belakangnya—yang ternyata adalah sang pemilik suara dan juga tangan yang masih asyik merangkul pinggangnya saat ini.

“Bangs-mmph!”

Mulut Isagi lebih dulu Rin bekap dengan tangannya yang lain, sementara tubuhnya yang memberontak kembali ditarik ke belakang yang menyebabkan hilangnya jarak di antara punggung Isagi dan dada bidang Rin seakan pemuda itu kini tengah mendekapnya.

Sst ... nanti ketahuan.” bisik si ketua kelas.

Jantung Isagi berdebar kencang dengan napas yang kian memburu akibat situasi tegang saat ini. “Kalo gitu lepasin gue, sialan.” Isagi memilih mengalah dan ikut mengecilkan suara demi tak adanya keributan sesaat ini.

“Tapi janji jangan berontak lagi?”

“Iya, bangsat.”

Rin akhirnya melonggarkan kedua tangannya pada tubuh Isagi yang setelah itu buru-buru ditepis dengan kasar oleh si surai biru laut dalam. Kini permata safir itu menyalang tak suka melihat Rin yang masih bergeming di tempatnya.

Mengetahui bahwa Isagi pasti bertanya-tanya dengan situasi kali ini, membuat Rin tidak memiliki pilihan kecuali menghilangkan penasaran pemuda yang berukuran lebih kecil dibanding dirinya ini.

“Kenapa? Kaget karena saya tau rencana kamu yang mau jebak saya di rumah kosong itu untuk kalian hajar ramai-ramai?”

Tetapi melihat dari reaksi Isagi yang justru tambah terkejut, sepertinya pertanyaan Rin barusan hanya semakin membuat si pendek penasaran, dan Rin mati-matian berusaha menyembunyikan senyuman gelinya karena itu.

“Maaf, ya? Saya gagalin. Kekerasan udah gak bisa saya toleransi lagi soalnya.”

Isagi terdiam sejenak. Ia menyadari bahwa ucapan Rin barusan terdengar jujur dan serius, jadi ia rasa tidak perlu lagi menyembunyikan rencana mereka kali ini dan lebih baik menghadapinya saja secara sendirian.

Isagi pun mendecih remeh, “Culun cupu banyak bacot! Bilang aja lo takut karena lo gak bisa berantem, kan?”

“Saya gak takut?”

Oh? Atau lo gak suka karena itu keroyokan? Yaudah, sini lawan gue sendirian, berani gak?!”

Pemuda yang lebih tinggi menggeleng pelan tak kuasa melihat kebodohan Isagi lagi, “Sudah saya bilang ini perkara kekerasan. Lagi pula tujuan kalian setelah berhasil bikin saya babak belur ini memangnya apa?”

“Peringatan buat lo supaya gak macem-macem lagi sama gue dan temen-temen gue, berengsek.”

Rin akhirnya mengangguk-angguk paham, tapi justru responnya yang seperti itu hanya makin membuat Isagi kesal. “Padahal kalian ini yang sebenarnya harus diberi peringatan.” ujar Rin dengan nada sok polos.

“Maksud lo?”

Ditanya begitu, dengan senang hati Rin menunjukkan apa yang sejak tadi memang ia ingin perlihatkan pada Isagi yang kini sedang menunggu—yaitu sebuah ponsel kecil dengan banyak hal menarik di dalamnya.

“Gimana? Ini kayaknya lumayan oke juga untuk dikirim ke kepala sekolah, kan?”

Isagi kini menatap layar ponsel milik Rin layaknya baru saja melihat hal paling mengerikan sedunia, sedangkan sang pemilik ponsel hanya kembali menahan tawa gelinya akibat reaksi Isagi yang sungguh sesuai harapan.

“Lo ...”

“Padahal poin nilai buruk kalian udah terlalu banyak, kalau yang ini sampai ketahuan kira-kira bakal gimana, ya?”

Hap!

Buru-buru Isagi langsung merampas ponsel tersebut dari tangan Rin yang sejak tadi menampilkan foto dan video Isagi bersama teman-temannya yang sedang bolos sekolah, merokok, bahkan aktivitas kenakalan lainnya di markas rahasia mereka.

Anjing! Anjing! Anjingggg!

Tangannya yang sudah agak gemetar dengan tergesa-gesa menghapus semua bukti-bukti tersebut tanpa perlu pikir panjang lagi.

Rin yang sejak tadi masih ikut memperhatikan hanya mendengus remeh, Bully kayak lo bisa ketakutan juga ternyata? lalu begitu pikirnya dalam hati.

“Sebenarnya sengaja selama ini saya simpan karena kali aja kalian bisa berubah,” jelas Rin di tengah kesibukan Isagi yang dengan frustasi masih mengotak-atik ponselnya, “ah, tapi walau semua itu kamu hapus dari handphone saya, saya masih punya file cadangan lainnya di mana-mana, jadi percuma aja, Isagi Yoichi.”

Jari Isagi yang tadinya bergerak liar mendadak terhenti begitu mendengarnya. Pikirannya kacau, begitu pula kondisi wajahnya saat ini yang tak lagi dapat ditutupi dengan kesombongannya.

Ditatapnya si ketua kelas tanpa berkedip sekalipun, ”Hapus ... Itoshi Rin, sialan. Kalau gak gue-”

Rin menaikkan sebelah alisnya bingung karena kalimat Isagi yang menggantung, “Kalau gak?” berikut ulangnya meminta penjelasan.

Lagi-lagi Isagi terdiam tak berkutik. Lalu Rin yang menanggapi reaksi seperti itu hanya kembali berjalan mendekat, sengaja menghimpitnya hingga berbenturan dengan rak buku di belakang mereka karena sepertinya Isagi sudah tidak berniat lagi untuk membalas walau hanya sekadar tatapan sekalipun.

Isagi kalah telak.

Rin pun kini merendahkan tubuhnya sejajar dengan Isagi upaya bisa menyampaikan beberapa hal langsung tepat di telinga sang lawan bicara.

“Ini baru peringatan pertama, kalau kamu dan teman-temanmu masih mau sekolah di sini dengan nyaman, jangan usik saya atau siapapun lagi. Sekolah yang benar saja, Isagi Yoichi.”

Setelah mengucapkan itu, Rin pun berniat untuk segera meninggalkan Isagi karena tugasnya untuk menyusun buku memang sudah selesai sejak tadi.

Tapi ketika melihat sosok Isagi yang kini makin terlihat kecil dan takut, hanya membuat Rin ingin kembali menggodanya sedikit lebih lama.

Anyway, hati-hati kejatuhan buku lagi, udah dua kali kamu saya lihat ceroboh begitu, Isagi.”

Rin pun menepuk pelan pucuk kepala Isagi yang sontak membuat sang empu memerah bukan hanya karena sentuhan kecil tersebut, tapi juga teringat akan kejadian memalukan yang ternyata kembali terulang.

Oh, dan satu pujian terakhir,” Rin kini menatap ke arah perut Isagi dengan sudut matanya sambil tersenyum tipis, “pinggang kamu ramping juga untuk ‘si ketua geng’ dari ‘anak-anak nakal’.”

Lalu sebelum ada kemungkinan Isagi mengamuk lagi kepadanya, Rin lebih dulu mengangkat kaki dari sana dan berpamitan kepada Pak Chris yang sedari tadi tidak tahu menahu apa yang telah terjadi pada kedua murid di belakangnya sejak tadi.

Padahal kalau saja ia tahu, ia mungkin bisa ikut tertawa bersama Itoshi Rin yang kini terlihat sungguh puas setelah berhasil menghajar Isagi Yoichi habis-habisan dengan segala ‘serangan’ yang ia berikan untuk anak nakal tersebut.

ITOSHI RIN BANGSAAAATTTTT!!! []

© 2025, roketmu.