[🌸] Papa Mencari Yayah
Begitu lokasinya telah dikirimkan oleh Bachira, tanpa pikir panjang lagi Rin segera mempercepat laju motornya dua kali lipat dari biasanya. Beruntung lokasinya tidak begitu jauh, lagi pula Rin juga bisa melacak lokasi Isagi melalui GPS ponsel si manis yang untungnya masih menyala.
Tetapi di sepanjang perjalanan, rahang Rin tak berhenti mengeras begitu pikiran-pikiran buruk selalu terlintas di otaknya. Apakah Isagi akan benar-benar menemukan pengganti dirinya? Apakah Isagi seingin itu untuk mengubah takdir masa depan mereka? Walau tetap yang paling mengkhawatirkan adalah ... apakah Isagi masih baik-baik saja di sana?
Rin tahu ia bertingkah bodoh. Ia terlambat menyadari bahwa ucapannya sudah keterlaluan dan telah membuat Isagi kecewa. Walau sebenarnya ia sendiri tidak mengerti harus menanggapi persoalan jatuh cinta itu dengan bagaimana, dan ia juga akan semakin tidak mengerti jika tanggapan Isagi justru berbeda dengan yang seharusnya.
Wajar, kan? Bila Rin belum mengerti oleh hal-hal yang sama sekali tidak pernah terpikirkan dalam hidupnya?
Rin menghela napas gusar, tak ingin tenggelam dalam lamunan terlalu lama, pemilik netra toska itu kembali melihat ke peta menuju Club yang Isagi datangi, tetapi dahinya langsung berkerut seketika mendapati posisi asli Isagi justru berada di luar Club tersebut.
“Ini Cebol ke mana lagi, sih? Atau dia udah mau pulang?”
Tiba-tiba perasaan Rin menjadi tidak enak karena begitu ia sampai, peta tersebut ternyata mengarahkannya pada gang sempit nan sepi akibat sudah memasuki waktu menuju tengah malam. Akhirnya tanpa perlu berlama lagi Rin turun dari motornya dan bergegas ke tempat di mana Isagi berada saat ini.
“Isa-”
Namun panggilan Rin langsung menggantung begitu ia hanya mampu melihat kepala Isagi yang terhalang oleh beberapa orang yang menghimpitnya.
“Lo sendirian, kan? Ayo, ikut kita kalau gitu,” ucap salah satu pria berambut cepak.
“Gue pengen sendiri, minggir sebelum gue pelintir biji lo satu-satu!”
Mereka tertawa mendengar Isagi yang lebih mungil dari mereka ini nyatanya berani untuk melawan juga. Hingga satu pria yang lain meraih dagu Isagi seraya berkata, “Kita cuma seneng-seneng, Manis. Lo mau kita ajak baik-baik atau langsung kita pak-”
“Singkirin tangan lu semua dari dia.”
Lantas mereka yang ada di sana berjengit kaget begitu suara rendah Rin lebih dulu memotong ucapan tersebut. Terlebih lagi Isagi yang kini langsung dapat melihat wujud Rin dengan tangan mengepal kuat, bahkan raut wajah dingin yang sungguh membuatnya ingin cepat-cepat melarikan diri dari tempat ini sekarang juga.
“Rin ...”
Salah satu dari mereka pun langsung menghadap Rin dan bersuara, “Siapa lo? Jangan ikut campur dan ganggu urusan kita di sini.”
“Urusan kalian?” Rin mendengus remeh, “urusan kalian itu udah ada yang punya.”
“Hah? Siapa?”
“Gua,” kemudian Rin melirik Isagi yang masih terdiam kikuk di sana sebelum melanjutkan ucapannya, “suaminya.”
Orang-orang itu serempak terkejut, tetapi tidak lebih terkejut dari Isagi saat ini. Beruntung sekarang sudah malam dan area sekitar menjadi gelap, jika tidak, Rin akan dapat langsung melihat semburat merah di pipi Isagi akibat ucapannya barusan.
“Lah, udah nikah ternyata?” tanya pria berambut cepak itu sebelum mendesah kecewa, “Maleslah. Cabut aja, Coy!”
Kemudian orang-orang itu berlalu pergi begitu saja tanpa mengucapkan sepatah kata lagi, meninggalkan ruang dan waktu kepada Rin yang kini masih menatap Isagi dalam sunyi.
Diamnya Rin dengan aura gelap yang memancar kuat saat ini membuat Isagi rasanya ingin ikut melarikan diri bersama orang-orang tadi walau ia tahu keinginan konyol tersebut tak akan pernah terwujud.
Akhirnya dengan segenap keberanian pun ia memilih untuk bersuara, “Kalau mau marah, marah aja sekarang.”
Lalu Isagi menolehkan kepalanya ke samping untuk menghindari tatapan dan amukan Rin setelah ini, entah mau dimaki-maki tolol atau apapun itu, Isagi pasrah.
Tetapi alih-alih mendapati itu semua, justru Isagi dikejutkan dengan Rin yang tiba-tiba bergerak mendekat dan langsung menarik ia masuk ke dalam dekapannya.
“Gua ... gak telat, kan?”
Isagi tidak menjawab pertanyaan itu karena sungguh ia belum bisa memeroses keadaan saat ini sepenuhnya. Bagaimana suara Rin yang begitu rendah terdengar di telinganya, usapan tangan Rin pada helai rambutnya, juga rengkuhan lembut tangan Rin yang lain pada pinggangnya.
Tuhan, Isagi rasanya seperti ingin meledak.
“Mereka udah ngapain lu aja tadi? Kalau lu mau gua bisa patahin tangan yang udah nyentuh lu.”
“Gu-gue gapapa, jangan lupa gue juga cowok.” tapi akhirnya Isagi berhasil bersuara meski sedikit gugup.
Lelaki bersurai hijau gelap itu tersenyum lega, kemudian melonggarkan sedikit pelukannya agar bisa melihat wajah si manis saat ini.
“Terus tadi jadi ke Club?”
Si manis langsung menoleh ke arah lain sambil mengerucutkan bibirnya malu, “Gak berani.”
Mendengar itu tentu saja Rin tak bisa untuk tidak terkekeh sekaligus membuat Isagi makin malu dan jengkel akibat tindakan gegabahnya sendiri.
“Kalau masih minum antimo pas naik mobil gak usah sok makanya.”
“Berisik.”
Tetapi mengingat bahwa tindakan Isagi yang nekat seperti ini akibat ucapan keterlaluannya, Rin kembali diselimuti perasaan bersalah dan ia rasa Isagi juga perlu mengetahui penjelasannya.
“Maaf ... Isagi.”
“Maaf?” ulang Isagi yang kini terlihat bingung.
“Soal tadi, gua sadar omongan gua itu keterlaluan walau maksud gua sebenernya bukan begitu. Gua ... hanya gak tahu mau menanggapinya kayak gimana dan malah berakhir bikin lu marah. Maaf, Sa.”
Selesai Rin mengutarakan isi hati dan juga permintaan maafnya, suasana kembali tenang dan sunyi. Isagi masih tertegun selama beberapa saat sambil mengerjapkan matanya berkali-kali. Karena jujur ini adalah kali pertama ia mendengar rentetan kalimat terpanjang yang keluar dari mulut Rin selama ia kenal dengan adik dari Itoshi Sae itu.
Apalagi kini Rin membuat ekspresi wajah bersalah yang juga terlihat lucu di matanya. Memberikan efek embun-embun putih seakan ikut muncul di sekeliling mereka yang membuat hati Isagi menghangat dalam seketika.
“Gue ... juga salah karena udah bikin lo dan mungkin yang lain khawatir, jadi maaf juga ... Rin.”
Akhirnya Isagi menundukkan kepalanya lagi, entah karena malu atas perbuatannya, atau entah karena ia tidak sanggup untuk bertatapan dengan wajah Rin yang hanya membuat debar di jantungnya semakin menggila.
“Kalau gitu jangan, ya?”
Tetapi suara rendah Rin yang kini terdengar seperti bisikan itu kembali membuatnya penasaran, “Jangan apa?”
“Jangan cari yang lain.”
Kali ini Rin juga menatapnya serius yang membuat rona merah di pipi Isagi kembali muncul tanpa bisa dicegah lagi.
“Ta-tapi lo, kan, gak mau suka sama gue,”
“Lu juga,” bela Rin.
“Gue gak bilang gitu! Gue cuma ... cuma gak mau mulai aja.”
Rin mendengus pelan, “Gengsi? Padahal gua ganteng.”
Isagi mendecih sebal dan reflek mencubit perut Rin saat itu juga yang justru membuat si Itoshi bungsu malah terkekeh lepas dan berakhir kembali mengeratkan pelukan mereka berdua.
“Jangan bikin anak-anak khawatir lagi.”
Isagi mengangguk dan membalas pelukan Rin dengan sama hangatnya, “Iya, engga.”
Kemudian keduanya tersenyum secara bersamaan tanpa bisa dilihat oleh masing-masing insan. Pikiran-pikiran buruk yang sejak tadi berada dalam otak Rin pun akhirnya sirna berkat ucapan Isagi dan kehadiran si manis yang baik-baik saja.
Kini yang bisa Rin pikirkan hanya ingin memberi kabar kepada anak-anak mereka bahwa Isagi selamat dan mereka bisa segera pulang.
“Mau pulang, Sa?” tanya Rin akhirnya.
“Mau, tapi lepas dulu pelukannya,”
“Lima menit lagi. Anget.”
Karena berada dalam pelukan Isagi saat ini rasanya sudah seperti berada di rumah itu sendiri.
Rin makin mengeratkan pelukannya pada Isagi sementara yang lebih tua terkekeh mendapati Rin bisa juga terlihat semanja ini di hadapannya, yang akhirnya mengundang satu pertanyaan konyol muncul dalam benak Isagi kala itu juga.
Apakah Rin yang seperti ini hanya bisa dilihat oleh Isagi saja?
“Rin,”
“Hm?”
Oleh karena itu, satu permintaan egois yang sama pun ikut terlintas sebagai jawaban atas pertanyaan itu sendiri.
“Lo ... juga jangan cari yang lain, ya?”
Pupil mata Rin membesar begitu kalimat itu keluar dari mulut yang lebih tua. Meski terdengar samar seperti bisikan, tetapi sudah cukup untuk membuat hati Rin girang tak tertahankan.
“Iya. Gak akan.”
Lalu tak lupa setelah itu ia juga langsung mengeluarkan ponselnya dengan cepat untuk segera memberikan kabar kepada anak-anak mereka di rumah yang pasti masih menunggu dengan setia.
Papa
Yayah udah sama Papa, sebentar lagi kita pulang.
Berdua. []
© 2024, roketmu.