[🌸] 10 Pengakuan

Rin dan Isagi masih saling membeku dengan wajah yang tak kalah kaku ketika kembali mengingat ucapan yang dikatakan Mikoto beberapa saat lalu, tepatnya setelah mereka menyudahi diskusi bersama Shou dan Ciel tentang “cara” yang katanya akan membantu Minato untuk cepat sembuh.

“Namanya cara ‘10 pengakuan’, cara yang ada di keluarga kita untuk mengatasi pertengkaran. Kalau ada dari kami yang sedang bertengkar, Papa dan Yayah selalu suruh kita untuk saling duduk berhadapan sambil berpegangan tangan, lalu saling menyebutkan 10 hal yang disukai dari diri masing-masing lawan bicara secara bergantian.”

Ya, dengan cara seperti itu.

MANA ADA YANG KAYAK GITU BERHASIL? batin Isagi kini berteriak frustasi.

Pasalnya ia dan Rin sedang dalam hubungan yang buruk, Isagi saja sungguh enggan hanya untuk menatap matanya. Lantas bagaimana bisa ia kini harus berpegangan tangan lalu mengakui 10 hal yang ia sukai pada diri laki-laki itu?!

“Sial, bisa gila gue.” gumamnya, lalu ia pun menoleh ke arah Mikoto dan Gakuto yang tengah duduk bersama di sofa, “Kalian yakin cara ini bakal berhasil? Kalian gak lagi bohongin kita, kan?”

“Engga, Yayah. Iya, kan, Dek?”

Huum!” timpal Gakuto menyetujui jawaban sang abang.

Kemudian pandangan Isagi kini beralih pada Reo dan Sae yang masih berdiri di dekat pintu sengan senyuman lebar—terlihat sangat menanti apa yang akan dirinya dan Rin lakukan, yang justru membuat Isagi ingin melarikan diri sekarang juga karena malu.

Tetapi begitu sepasang bola matanya kembali fokus pada Minato yang berada di samping mereka, rasa bersalah sontak semakin menggerogoti hati dan pikiran Isagi detik itu juga.

“Minato beneran bakal mau makan dan sembuh setelah kami ngelakuin hal ini?” tanya Isagi dengan lembut sekali lagi.

Minato hanya menjawabnya dengan anggukan lemas tapi dengan senyuman penuh keantusiasan. Anak yang biasanya terlihat paling ceria dan aktif, kini terkulai lemas di atas ranjang dengan wajah pucatnya. Apa bisa Isagi tega dan tak mau menuruti kemauannya?

Akhirnya Isagi pun memberanikan diri untuk kembali menatap Rin yang nyatanya sejak tadi selalu memperhatikannya. Mereka berdua juga sudah duduk di kursi masing-masing, saling berhadapan, dengan ranjang Minato yang tepat berada di tengah-tengah mereka agar sang anak dapat melihat jelas ke arah keduanya.

“Ayo, kita lakuin. Demi Minato.”

Rin tidak menjawab, bahkan ia tetap diam saja ketika kedua tangan Isagi juga meraih miliknya—membuat mereka saling berpegangan tangan yang juga untuk pertama kalinya.

Rasanya hangat, sampai ikut membuat wajah Isagi memanas hingga si manis pun reflek melepaskan genggaman tersebut, “Gi-gimana kalau kita suit dulu aja siapa yang duluan?” usulnya untuk menutup kegugupan.

Bukannya mengiyakan, tapi sang bungsu Itoshi justru kembali meraih tangan Isagi di saat yang lebih tua belum juga selesai memeroses keadaan, “Biar gua aja yang mulai duluan.” dan ucapan tanpa keraguan itu hanya semakin membuat Isagi tak berkutik hingga memilih untuk menundukkan kepalanya.

Selagi Isagi masih bergelut dengan kegugupannya, Rin yang melihat itu diam-diam tersenyum dalam hati. Karena dengan begini Rin jadi semakin ingin mengutarakan semua yang ingin ia sampaikan dengan jelas.

Memang saat inilah waktu dan kesempatan yang tepat baginya untuk jujur pada Isagi sekaligus perlahan meluruskan masalah yang ada pada hubungan mereka saat ini.

Rin juga ikut melirik ke tiga anaknya yang kini masih menunggu sambil menatap mereka penuh rasa penasaran. Haha, betapa lucunya. Tenang saja, Rin akan dengan senang hati mengakui dan mengutarakan pengakuan-pengakuan soal hal yang ia sukai pada diri Isagi. Di depan mereka, di depan Isagi, bahkan di depan seluruh dunia jika memang perlu.

“Papa ...” Rin menggantung ucapannya sejenak hanya untuk tersenyum tipis pada Isagi yang bahkan tak bisa melihat itu, “suka sama mata milik Yayah.”

Mendengar pengakuan pertama milik Rin, satu ruangan langsung memberikan reaksi yang berbeda-beda—Reo reflek menutup mulutnya sambil menoleh ke arah Sae yang juga sama ikut terkejut di tempat, wajah ketiga anaknya langsung berseri, sementara Isagi yang tadi menunduk kini kembali menunjukkan wajahnya dan menatap Rin bingung.

Ah, ketika mereka bertatapan lagi, Rin bahkan semakin sadar betapa sukanya ia melihat kedua bola mata Isagi yang begitu bulat dan bersinar lucu.

“Yayah …”

“Ya?”

Merasa dirinya dipanggil, Isagi menoleh pada Minato yang tengah tersenyum manis.

“Sekarang giliran Yayah.” lanjutnya.

Isagi kini menelan salivanya gugup, pengakuan pertama Rin bagai menghancurkan tembok pertahanan yang sudah ia bangun sejak tadi untuk menghalau rasa malu. Diam-diam ia berharap Rin akan gagal pada percobaan pertama, tapi nyatanya laki-laki itu melakukannya seperti tidak ada masalah. Bahkan anak-anaknya juga tidak protes, menandakan bahwa Rin memang telah mengutarakan pengakuannya dengan jujur.

Sial, baru mulai tapi jantung gue udah berdebar gak normal!

Jika Isagi berbohong setelah ini pasti mereka akan segera mengetahuinya. Jadi sepertinya memang sudah tidak ada lagi celah untuk dirinya melarikan diri dari tempat ini dan juga kenyataan yang berada di depannya.

Selamat tinggal, rasa malu. Mohon bantuannya, keberanian.

Isagi pun mengembuskan napas panjangnya pasrah, “Yayah … Yayah suka Papa tiap lagi main bola.”

Dapat dipastikan wajah Isagi sudah semerah kepiting rebus saat ini. Ia bahkan tak dapat melihat langsung ke arah Rin setelah mengucapkannya, ia lebih memilih untuk melihat ke arah Mikoto dan Gakuto yang justru saling melempar senyum senang, menandakan bahwa tidak ada kebohongan pada jawaban Isagi juga kali ini.

Sementara Reo bahkan sudah menahan teriakannya beserta hasrat ingin merekam untuk memberi kabar kepada teman-temannya sekalian. Tapi tentu semua hal itu tidak akan ia lakukan upaya tidak ingin membuat Isagi melarikan diri.

Sorry, guys. Kali ini eksklusif yang di sini aja yang bisa tau!

Mendapati pengakuan seperti itu awalnya Rin juga hampir saja ikut kehilangan pertahanannya. Tetapi jika ia terus diam dan justru menunjukkan salah tingkah, ia hanya akan menambah kecanggungan pada mereka berdua. Oleh karena itu jalan satu-satunya adalah dengan menjahili Isagi seperti biasanya.

Ah, jadi lu pas gua lagi main bola suka terpesona, ya?” Isagi akhirnya kembali menatap wajah Rin yang kini tersenyum usil, “pantes aja gawang anak kelas lu kebobolan terus.”

Mendapati reaksi seperti itu hanya membuat wajah Isagi kembali memerah dan semakin terlihat menggemaskan di mata Rin, “Berisik! Itu bukan salah gue aja, ya! U-udah lanjut lo ke pengakuan kedua!”

Rin mendengus remeh, “Pede banget ada banyak hal yang bisa disukai dari diri lu?”

Ketika kalimat pertanyaan itu terdengar, langsung saja Isagi menoleh kembali pada Mikoto dan Gakuto, “Tuh, liat Papamu, gimana juga Yayah bisa ngaku kalau dianya aja senyebelin ini?” dan mengadu seperti anak kecil pada anaknya sendiri.

Mikoto ingin membuka mulutnya untuk segera menanggapi, tapi mendengar suara tawa Rin yang tertahan, ia mengurungkan niatnya dan justru jadi ikut tersenyum.

“Bercanda. Pengakuan kedua itu, Papa suka jahilin Yayah.”

Ih! Itu juga bukan sukaaaa!!!” protes Isagi kemudian.

Lalu seisi ruangan yang tadinya hanya diselimuti oleh kecanggungan dan keheningan yang cukup menyesakkan, kini perlahan mulai dipenuhi oleh kehangatan yang berasal dari tawa lepas mereka semua yang ikut melegakan. Bahkan Minato yang tadi berbaring saja sekarang sudah duduk tegap untuk ikut menyaksikan mereka berdua secara lebih jelas.

“Oke, oke, sekarang serius,” Rin kembali bersuara untuk mengambil perhatian Isagi, “kalau gitu Papa suka Yayah yang lagi bersemangat.”

Isagi yang tadinya berwajah malas, langsung menunjukkan seringainya dalam secepat kilat, “Semangat buat gebukin lo suka juga, gak?” karena ia juga ingin membalas keusilan si bungsu Itoshi sialan ini barusan.

“Gebukan semut maksudnya?”

Tapi lagi-lagi Isagi yang justru dibuat kesal. Detik kemudian terdengar rintihan kecil Rin ketika yang lebih pendek mencubit tangannya yang masih saling bergenggaman itu.

“Kalau di pengakuan kedua, Yayah … suka bulu mata bawah Papa yang lentik.”

“Kakak juga punya, Sa. Gimana? Suka juga dong?”

Sontak Rin menatap sinis abangnya yang baru saja ikut menimpali untuk meledek dirinya. Tetapi Isagi yang mendapati pertanyaan seperti itu justru terlihat panik dan tidak peka terhadap sinyal yang diberikan Sae.

“Bedaaa, Kak Sae lebih banyak dan jadi agak lebat, sementara punya Rin itu pas.” jelas si manis yang hanya membuat hati Rin jadi girang tak tertahankan.

“Bilang aja lebih ganteng gua ketimbang Abang.”

“Males!!!”

Reo yang ada di sudut ruangan ikut kembali tertawa lebar tiap mendengar ucapan-ucapan yang keluar dari mulut pasangan bodoh itu, seperti sedang menonton sitkom saja rasanya, “Ahahaha! Lanjut, lanjut, pengakuan ketiga!!!”

Pada pengakuan ketiga kali ini giliran Rin yang terlihat berpikir, lebih tepatnya berpura-pura berpikir untuk mengundang rasa penasaran Isagi yang diam-diam pasti sudah menantikannya. Hingga ketika pemuda bermata sebiru laut itu lengah, Rin menggunakan celah itu untuk mengelus punggung tangan Isagi dengan ibu jarinya perlahan.

“Papa suka Yayah yang sering peduli sama Papa.”

Isagi tertegun, entah karena sentuhan Rin atau ucapan pemuda itu barusan.

Cieee … botol minum, tuh!” sementara Reo asyik berseru penuh semangat seperti penonton bayaran yang disuruh menggoda selebriti-selebriti yang tengah tampil di panggung acara televisi.

Di sisi lain, Gakuto yang mendengar ucapan Reo justru langsung teringat akan sesuatu hal, lalu berbisik pada Mikoto di sebelahnya. “Abang! Botol minum yang Papa paling sering pakai itu, ya?”

Ssssttt! Iya, Adek. Itu pasti botol yang masih Papa simpan sampai sekarang!” balas Mikoto dengan kekehan singkatnya.

Isagi yang tertegun cukup lama akhirnya tersadar dan buru-buru mengalihkan pikiran dan perasaannya yang mulai terbawa suasana ini.

“Kasihan juga gak ada yang peduliin.” begitu ucapnya disusul dengan senyum meremehkan.

Rin hanya mengangkat bahunya cuek seraya berkata, “Gapapa, yang penting lu jadi peduli sama gua.”

Lagi-lagi ucapan yang keluar dari mulut Rin sangat telak untuk membalas serangan Isagi padanya. Si manis yang tidak mau semakin terlihat salah tingkah karena malu itu pun dengan cepat melanjutkan pengakuannya lagi.

“Ya-yayah juga suka kalau Papa caper sama Yayah, kelihatan beloonnya.”

Giliran Sae yang kini tertegun sejenak, “Rin pernah cari perhatian gimana ke Isagi?”

Wah, ditanya begitu tentu Reo akan dengan senang hati menjawab, “Sering, Bang! Kalau Isagi lagi cuekin Rin, adek lo ini suka caper cari masalah kayak gangguin dia, atau kalau caper yang gak mendasar itu, kayak tiba-tiba gak ada angin gak ada hujan, Rin pernah minjem anduk ke Isagi juga pas-oops!” tapi dengan secepat kilat juga ia menghentikan ucapannya ketika Rin sudah memberinya lirikan sinis mematikan.

Oh, begitu …”

Sae tersenyum lega ketika mengetahuinya. Karena dengan begini artinya Rin benar-benar sudah menemukan sosok yang membuatnya nyaman. Jadi, tidak salah jika memang nanti mereka akan berakhir menikah di masa depan, ia percaya Isagi adalah orang yang paling pantas dan cocok untuk mendampingi adik semata wayangnya itu.

Abang sangat merestui hubungan kalian berdua, Rin.


Lambat laun suasana yang dipenuhi kecanggungan tadi sudah berhasil hilang sepenuhnya di antara mereka berdua. Dengan begini semakin memudahkan juga untuk keduanya terus berterus terang tentang pengakuan-pengakuan selanjutnya yang masih harus diungkapkan.

“Pengakuan keempat, Papa suka muka kesel Yayah, kayak kucing.”

Isagi mendecih sebal, “Karena itu lo jadi nyari ribut terus sama gue?!”

Yup. Makin kesel, makin suka.”

Stop.” dengan wajah yang terus saja memerah, Isagi juga tak mau kalah dari Rin yang tak ada habis menggodanya, “Kalau Yayah suka wanginya Papa!”

Oh? Pantes juga jaket gua masih sama lu, ya?”

“Besok gue bakaaarrr!!!”

Gakuto hanya bisa tersenyum senang dalam diam mengetahui fakta bahwa jaket tersebut masih berada di atas kasur Isagi selama sang Yayah tidur. Namun Rin yang ternyata menyadari hal itu segera menatap ke arah Gakuto dan Isagi secara bergantian, lalu tanpa pikir panjang lagi ia justru kembali menemukan satu hal serupa yang ia sukai pada diri pemuda manis itu.

“Terus Papa suka senyuman Yayah juga, mirip kayak punya Adek.”

“Kenapa? Manis, ya?” Ledek Isagi.

“Iya, karena Papa orang yang jarang senyum, tiap ngeliat senyuman Yayah tanpa sadar Papa jadi bisa ikut ngerasa damai.”

Reo dan Sae kali ini benar-benar kehabisan reaksi dan hanya bisa menutup mulutnya untuk menahan teriakan gemas. Sungguh mereka berdua sangat bersyukur karena berada di sini dan bisa menyaksikan kelucuan mereka secara gratis.

“Mulut lo ikutan sok manis juga sekarang!” Isagi mengembungkan pipinya kesal, lagi-lagi ia kalah telak dalam berusaha membuat Rin salah tingkah, apa laki-laki ini sesusah itu untuk dibuat malu?

“Lanjut, Yayah.”

Hah, kalau begitu biarlah Isagi mengalah kali ini dan ikut memalukan dirinya sendiri.

“Yayah suka … uh, suka ketika Papa panggil yang lain dengan nama hinaan, Papa justru panggil Yayah dengan nama.”

Rin tertegun, tidak menyangka pengakuan itu bisa keluar dari mulut Isagi, “Yoichi?”

“ISAGI!!!”

“Tapi nanti juga jadi Itoshi Yoichi, kan?”

IH! GAK SUKA KALAU NGELEDEKKK!!!”

Kalau tidak sedang berada di depan anak-anaknya, Isagi benar-benar ingin menjambak rambut Rin saat ini juga untuk melampiaskan rasa malunya yang sudah di ujung tanduk. Ditambah lagi ketika melihat Rin selalu berwajah datar seolah tidak peduli terhadap ucapannya yang didasari keisengan belaka.

“Imutnya Yayah …”

Namun begitu mendengar suara lembut dari Gakuto yang juga sedari tadi tersenyum tak henti-henti, wajah Isagi kini tak lagi memerah malu melainkan merona karena terharu. Jika sudah seperti ini, Isagi mulai berpikir bahwa tidak buruk juga kalau ia melakukan hal konyol asal bisa membuat anak-anaknya tersenyum bahagia.

“Lanjut, ya, pengakuan keenam?” tanya Rin kepada anak-anaknya yang langsung bersorak menyetujui dengan penuh semangat, “Hm … Papa suka pipi gembil Yayah.”

“Gue tau gue gemes,” kemudian giliran Isagi yang kini tersenyum miring, pengakuannya setelah ini pasti setidaknya bisa membuat Rin malu atau sedikit terkejut, “kalau Yayah suka sama muka Papa yang ganteng.”

Tapi bukannya terlihat malu, Rin justru kembali mendengus, “Tau juga kok, makanya gak salah kalau anak kita lima.”

Sialan.

“NYEBELIN BANGET!!!”

Rin sangat tahu bahwa tadi Isagi pasti ingin membuatnya malu bahkan salah tingkah seperti di group chat waktu itu. Walau sebenarnya cara tadi memang hampir kembali berhasil menggoyahkan pertahanannya, tapi Rin cukup pintar untuk menyembunyikan hal itu dengan jawaban spontan barusan.

Oleh karena itu, ini dia balasan Rin untuk Isagi terhadap percobaan membuat dirinya lengah.

“Pengakuan ketujuh, Papa suka pinggang ramping Yayah.”

Bingo! Wajah Isagi sudah kembali semerah tomat lagi.

“Fo-foto yang dikirim Adek waktu itu berarti gak lo hapus?”

Rin mengangguk, “Gua jadiin wallpaper laptop soalnya.”

“KAK SAE ADEKNYA MESUM, NIH!”

“Bercanda, bodoh. Lanjut.”

Isagi mengembungkan pipinya tak terima. Namun jika berbicara soal fisik, sebenarnya Isagi juga bisa jujur untuk satu hal yang selalu ia idamkan selama ini dari diri Rin.

“Yayah juga suka, sih … sama badan atletisnya Papa.”

“Karena itu lu sering ngintilin gua kalau lagi yoga?” selidik si bungsu Itoshi.

“Ya, iyalah! Kan gue juga pengen punya badan bagus kayak lo. Tinggi, terus berotot, bisa one arm handstand kuat gitu padahal lo ini lebih muda dari gue … dunia gak adil banget.”

Isagi bukan hanya jujur, tapi ia juga sekaligus mengutarakan ketidakpercayaan dirinya tentang bentuk tubuh yang ia miliki, yang sontak membuat Rin sangat tidak suka mendengarnya.

“Gak usah, pinggang ramping dan pantat semok lu justru yang paling gua suka.”

Karena bagi Rin, Isagi sudah sesempurna itu di matanya.

“Sembarangan, lanjut!” Lagi-lagi cubitan kecil dihadiahi Isagi untuk Rin karena malu omongan mesum itu sudah didengar anak-anaknya bahkan Sae dan Reo di sudut ruangan.

“Papa suka Yayah yang baik ke semua orang walau kadang lihatnya juga bikin iritasi.”

“Bilang aja cemburu.”

“Emang cemburu.”

Skakmat.

Uh … Yayah suka Papa tiap lagi ngomong pakai bahasa Inggris walau Yayah gak ngerti kayak- hey, what do you mean? AM GANE KRASH YU!”

Rin membalasnya dengan dengusan geli tiap kali melihat usaha Isagi yang berusaha membuatnya kesal, “Nice try, Papa juga suka tingkah Yayah yang kadang bodoh tapi lucu kayak sekarang.” karena itu justru menjadi celah baru yang memancing Rin untuk menemukan pengakuan hal yang ia sukai pada diri Isagi dengan mudah.

“Gue gak pernah bodoh!” bantah si manis walau detik kemudian tetap melanjutkan pengakuannya, “Yayah suka kalau Papa cuek sama yang lain tapi ke Yayah engga.”

“Berarti suka kalau dispesialin, kan?”

“Yang bilang gak suka siapa emang?” balas Isagi sama tengilnya.

Walau memang awalnya dimulai dengan kecanggungan yang cukup lama, tapi kini tanpa sadar pengakuan-pengakuan tersebut sudah mau mencapai akhirnya yaitu pada pengakuan ke-10. Reo sendiri bahkan sampai heran, karena ia pun hampir lupa jika saja jarinya sejak tadi tidak menghitung pengakuan tersebut.

Laki-laki bersurai ungu itu lalu menoleh kepada tiga anak yang masih asyik melihat aksi lucu kedua orang tuanya beradu mulut, “Gimana? Mikoto, Minato, Gakuto? Papa sama Yayah kalian belum ada yang bohong sama sekali sampai sekarang?”

Minato menggeleng, “Belum. Tapi kalau yang terakhir ini bohong, maka Papa Yayah akan gagal dan harus mengulangnya dari pertama lagi dengan pengakuan yang berbeda.” jelas si kecil sambil menatap kedua orang tuanya secara bergantian.

“Tenang, Papa gak akan bohong.” ucap Rin percaya diri.

Sementara Isagi kini tiba-tiba kembali tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Pengakuan terakhir, ya?

Ya, Isagi sebenarnya cukup panik terhadap hal ini, entah karena bisa saja Rin akan berbohong dan mengharuskan mereka mengulangi itu semua demi menggodanya, atau karena Isagi yang takut jika pengakuan-pengakuan ia selanjutnya membuat Rin mengambil satu kesimpulan yang sejujurnya masih belum bisa Isagi akui—kesimpulan bahwa ia menyukai hal-hal yang ada pada diri Rin karena ia memang menyukai Rin.

Eh– tunggu, menyukai Rin?

Netra biru laut Isagi sontak terpaku pada sosok di depannya yang kini juga ikut menatapnya serius, menimbulkan perasaan menggelitik dalam dirinya, dan membuat pertanyaan-pertanyaan yang selama ini terpendam di kepalanya mulai muncul ke permukaan meminta ditemukan jawabannya.

Mungkin karena Isagi bodoh, mungkin juga karena jawaban tersebut masih belum bisa ia terima.

Isagi tidak tahu apakah perasaannya selama ini pada Rin sudah cukup valid untuk diartikan suka?

Isagi tidak tahu apakah dengan dirinya yang memang sering lebih peduli dan memikirkan Rin pertanda bahwa ia suka?

Isagi tidak tahu apakah dengan kehadiran anak-anaknya yang datang ke masa lalu ini memang sengaja membuat Isagi tidak memiliki pilihan lain untuk berakhir menjadi suka?

Isagi tidak tahu apakah dengan fakta bahwa ia tidak ingin Rin mencari pengganti yang lain kecuali dirinya bisa dikatakan suka?

Isagi tidak tahu apakah dengan dirinya yang kemarin kecewa ketika mendengar Rin mengatakan bahwa mereka berpacaran saja tidak mungkin itu karena Isagi memang sudah suka?

Isagi bahkan tidak tahu apakah sebenarnya ia memang tidak suka pada Rin, atau hanya tidak ingin mengakui bahwa ia menyukai Rin karena takut jika hanya dirinya seorang saja yang suka?

Namun begitu merasakan genggaman tangan pada miliknya mengerat yang disusul dengan ucapan lembut yang keluar dari mulut Rin, segala pikiran soal pertanyaan-pertanyaan bodoh yang menguasai Isagi langsung hilang dalam sekejap,

“Papa suka Yayah, karena udah jadi Yayah untuk 5 anak kita berdua.”

-digantikan dengan dirinya yang kini terjerat sepenuhnya oleh diri Itoshi Rin seorang.

Hening.

Satu ruangan menjadi hening setelah mendengar pengakuan terakhir dari Rin. Entah mereka ikut terkejut atau apapun itu, Rin sendiri tidak begitu memedulikannya, karena ia hanya menunggu reaksi Isagi di depannya saat ini.

Kini Isagi di depannya terdiam dengan mata yang masih menatapnya tak kunjung berkedip, membuat Rin mau tak mau menunduk untuk pertama kalinya demi mengurangi puncak kegugupannya.

Dalam hati, Rin berpikir bahwa Isagi mungkin terlalu terkejut dengan pengakuan kali ini, Rin juga berpikir mungkin Isagi terlalu bingung untuk membalasnya. Bahkan ia seperti sudah bisa membayangkan balasan Isagi untuknya setelah ini adalah sebuah ledekan belaka untuk mengatasi kecanggungan yang kembali tercipta di antara mereka.

“Yayah pun suka Papa, karena udah jadi suami Yayah dan Papa untuk 5 anak kita berdua juga.”

Tetapi begitu ucapan itu terdengar, sontak Rin mengangkat kepalanya dengan kedua mata yang melebar tak percaya.

Sebentar, apa ia tidak salah dengar? Atau ini hanya khayalan dalam bayangannya belaka?

Selagi Rin sibuk tidak percaya dengan apa yang baru saja ia lihat dan dengar, Isagi justru terkekeh dengan wajah yang kembali merona menggemaskan.

Ucapan Isagi beberapa detik lalu mungkin memang membuat Rin terkejut, tapi ucapan Rin lebih dulu tadi membuat Isagi menemukan jawaban yang selama ini ia cari.

Karena ketika Isagi mulai mempertanyakan semua hal itu pada dirinya sendiri, menandakan bahwa Isagi memang telah menyukai Rin sejak pertanyaan itu muncul sedari awal.

Ya, meski taruhan itu sudah dibatalkan, tetapi seorang Isagi Yoichi tetap mengaku kalah karena selama ini ialah yang memang sudah dan selalu menyukai Itoshi Rin.

Itoshi Rin yang berada di depannya saat ini. Itoshi Rin sang rival sekaligus musuhnya. Itoshi Rin yang membuatnya kagum ketika sedang bermain bola. Itoshi Rin yang sering cari perhatian kepadanya. Itoshi Rin yang menyebalkan. Itoshi Rin yang selalu mengajaknya bertengkar. Itoshi Rin yang sialnya sangat tampan. Itoshi Rin yang akan menjadi suaminya. Itoshi Rin yang nanti di masa depan menjadi Papa dari anak-anaknya.

Itoshi Rin.

Ah, sial. Bahkan sepertinya ini bukan rasa suka lagi, melainkan Isagi benar-benar jatuh cinta pada Rin.

Isagi menahan kekehannya begitu mengingat perkataan Ciel waktu itu saat memberitahu bahwa dirinya di masa depan begitu posesif dan sering cemburu, kini Isagi mulai percaya karena memang bisa saja ia seperti itu.

Oh, Isagi jadi tidak sabar menantikan saat itu. Namun sebelum semuanya bisa terjadi, mereka berdua tetap harus membereskan masalah di masa kini dengan mengembalikan ketiga anaknya lebih dulu ke masa depan, sekaligus agar takdir cinta dan jalan hidupnya bersama Rin tidak akan terubah.

Menyadari bahwa sejak ucapan itu keluar dari mulutnya telah membuat keheningan tercipta cukup lama. Isagi akhirnya benar-benar tertawa ketika melihat Rin yang akhirnya untuk pertama kali ini tak bisa berkutik atas pengakuannya.

Ahahaha, gimana? Papamu sampai bengong beloon gini, 10 pengakuan Papa Yayah tadi bisa diterima, gak?”

Lalu Isagi bertanya pada Minato sebagai juri penentu atas 10 pengakuan yang mereka utarakan. Sejujurnya ia sendiri tidak lagi peduli kalau memang harus mengulang dari awal. Toh, Isagi kini bisa dengan berani mengutarakan 100 pengakuan sekalipun karena ia sudah sadar akan perasaannya.

Namun belum sempat jawaban itu Isagi dengar, tiba-tiba tubuhnya dan Rin langsung ditubruk oleh Minato yang kini memeluk mereka berdua dengan begitu erat.

“Minato ... hiks, Minato juga suka Papa dan Yayah yang udah jadi Papa Yayah untuk kami berlima …” meski suaranya bergetar akibat isakannya, tetapi senyum haru yang Minato tunjukkan saat ini sudah menjelaskan perasaan sesungguhnya, “Minato saaaayang Papa dan Yayah!”

“Mikoto juga!”

“Adek jugaaa!”

Kedua anaknya yang lain pun bahkan langsung berlari mendekat demi bergabung untuk memeluk mereka berdua dan ikut menangis bahagia.

Oh, tidak. Isagi juga ingin menangis saja rasanya.

Tapi ternyata sudah ada yang lebih dulu melakukan itu sebelum mereka bertiga, yaitu Reo yang kini tengah menangis tersedu-sedu akibat terlalu terharu menyaksikan pemandangan keluarga lucu di depannya. Bahkan Sae juga ikut memberikan tepuk tangan sambil tersenyum bangga dengan mata yang berkaca-kaca.

BRAVO! ITOSHI FAMILY FOREVER!!!”

“Abang bangga dengan kalian berdua.”

Berlebihan sekali memang, tapi jusru karena tingkah konyol mereka berdua inilah yang membuat Rin dan Isagi akhirnya kembali saling tatap lalu tertawa bersamaan.

Mikoto yang menyadari bahwa suasana sudah kembali mencair di antara mereka pun tersenyum seraya berkata, “Mikoto pikir Papa Yayah bakal kehabisan ide, tapi ternyata jawabannya sama aja kayak di masa depan, walau yang di masa depan itu lebih …”

“Lebih apa?” tanya Isagi penasaran pada ucapan menggantung Mikoto.

“Beneran mau tau?”

“Gak jadi! Ah– Minato gimana? Apa bener sekarang kamu udah mendingan dan jadi mau makan?” dengan cepat Isagi mengalihkan pembicaraan tersebut dengan bertanya pada Minato, yang juga langsung mengundang tatapan gemas dari Mikoto untuk Yayah lucunya ini.

Minato yang ditanya begitu tentu langsung mengangguk semangat, “Mau! Minato rasanya udah bisa makan apa aja bahkan sayur brokoli sekalipun!”

“Kalau gitu biar Abang bantu suapin Minato, ya?” tawar Mikoto dengan mata yang berbinar penuh harapan.

“Gaakk! Minato udah gedeee!!!”

Rengekan Minato pun kembali mengundang tawa dari mereka berlima. Lalu di sela-sela anaknya yang kini asyik bercanda tawa, Rin diam-diam ikut mencuri tatapan pada Isagi walau berakhir tersipu malu ketika kedua mata itu bertemu.

Ada banyak hal yang sebenarnya ingin Rin sampaikan padanya, tapi sebelum itu ia teringat akan suatu hal penting yang perlu diluruskan saat ini juga bersama mereka.

“Mikoto, Minato, Gakuto.”

“Ya, Papa?”

Dipanggil begitu sontak ketiga anaknya menoleh untuk memberikan perhatian penuh padanya.

“Papa minta ma-”

“Yayah minta maaf soal omongan kasar Yayah sore itu.”

Tapi nyatanya ucapan itu telah dipotong Isagi lebih dulu yang membuat Rin dengan cepat menoleh bingung ke arah si manis.

“Isagi, tunggu,”

Bukannya berhenti, Isagi justru semakin melanjutkannya, “Yayah sangat salah dan pasti Yayah udah bikin kalian kaget bahkan sedih sampai sekarang ini, kan? Maaf … Yayah emang bodoh dan udah keterlaluan sama kalian. Yayah janji hal itu gak akan terulang, karena Yayah juga akan berusaha lebih baik lagi untuk kalian setelah ini, bahkan setelah Yayah udah kembali bersama kalian berlima di masa depan dan seterusnya.”

Rin tertegun selama beberapa saat, “Kembali bersama kalian berlima di masa depan ...?” ulang si bungsu Itoshi yang lagi-lagi merasa ada sesuatu yang salah pada pendengarannya.

Ah! Sama Papa juga! Kembali bersama Papa dan kalian berlima di masa depan. Jadi kalian gak perlu khawatir, Yayah pasti akan menikah sama Papa, dan cuma Papa Itoshi Rin aja.”

“Beneran, Yah?” tanya Minato memastikan.

“Isagi ...?” bahkan Rin sampai sudah tidak tahu harus bereaksi seperti apa lagi.

Isagi mengangguk dengan wajah yang sudah kembali merona hebat, “Bener dong, karena kalau Yayah gak menikah sama Papa, nanti Yayah gak bisa ketemu kalian lagi, gimana?”

Wajah ketiga anaknya seketika langsung berseri bahagia.

“Yayaaahhh!!!”

Woah!!!”

Isagi hampir saja terjatuh akibat pelukan ketiga anaknya yang kini semakin bersemangat. Sungguh ucapan Isagi barusan sangat amat berarti bagi mereka bertiga, karena dengan begini ketiganya bisa tenang dan selalu percaya bahwa kedua orang tuanya tidak akan berpisah dan mereka bisa kembali hidup bersama-sama di masa depan selamanya.

Sementara Rin yang tadi sempat terkejut selama beberapa saat, kini akhirnya kembali sadar dan ikut memperhatikan mereka sambil tersenyum lega. Namun ketika ia berusaha menatap Isagi untuk mencuri perhatiannya lagi, Isagi justru menghindari tatapannya dengan wajah memerah yang tak kunjung mereda.

Lucunya.

Sudah pasti setelah mengatakan itu semua membuat Isagi sangat malu sekarang. Tetapi Rin justru jadi tambah lega, dengan begini Isagi sudah memberikan sinyal lampu hijau untuk Rin agar segera menyatakan cintanya, sekaligus memberi pertanda bahwa kelanjutan hubungan mereka dan misi mengembalikan ketiga anaknya ke masa depan akan semakin berjalan lancar setelah ini.

Ternyata cara 10 pengakuan itu memang benar-benar berhasil. Entah apa yang dipikirkan Rin dan Isagi di masa depan ketika memutuskan untuk membuat cara ini, yang jelas Rin dan Isagi di masa kini sungguh berterima kasih kepada keduanya karena telah membantu mereka menyelesaikan masalah yang ada dengan cara yang tenang dan cukup mengasyikan.

Terima kasih, Rin dan Isagi yang ada di masa depan. Kami berdua berjanji akan tetap menghadirkan kelima anak kita di masa depan sehingga kalian semua dapat kembali berkumpul bersama seutuhnya, selama-lamanya. []

© 2024, roketmu.