[🌸] Jawaban
Kalau tahu ia akan merasa sejengkel ini, Isagi lebih baik menolak ikut sedari awal.
Tetapi semua sudah terlambat, di sini ia hadir bersama yang lain untuk ikut traktiran besar makan dan minum oleh Reo sang manajer perusahaan.
Di restauran yang cukup mewah ini disediakan banyak makanan berbagai macam mulai dari steak sampai ke makanan pencuci mulut yang sebenarnya tidak bisa Isagi tolak, tak lupa dengan minuman dari soda hingga bir untuk melengkapinya.
“Sa, bengong aja, ayo makan.” bisik Chigiri di sampingnya.
Isagi merespon si cantik dengan anggukan singkat. Sejujurnya lsagi juga tidak mengerti mengapa ia merasa sejengkel ini. Mungkin karena tadi lebih baik ia langsung pulang saja ke rumahnya, mungkin karena ia sedang tidak ingin berada di tengah keramaian, mungkin karena ia tiba-tiba merasa tidak nafsu, atau mungkin karena sang bos belum mengiriminya pesan sama sekali sampai detik ini juga.
Oh, sial, yang terakhir adalah yang paling menjengkelkan karena mengapa juga ia bisa jengkel dengan hal yang tidak berguna seperti itu?
“Pak Rin jarang deh ikut makan besar gini, sering-sering lah Pak kumpul sama kita,” ujar Kira yang sepertinya sudah mulai sedikit mabuk.
Rin mengangkat bahunya, “Kalau saya tidak malas, saya pasti ikut,”
“Gak males dia kalo gua yang ajak,” Reo di samping Rin langsung merangkul akrab si bos, “dia maunya makan sama gua doang, nanti gua paksa lagi dah biar sering-sering kita kumpul,”
“Gapapa gak sering kumpul, yang penting sering-sering traktir aja, Pak~” celetuk Bachira di samping Isagi yang disusul oleh gelak tawa dari semuanya.
“Gampang, hahaha!”
Semua orang terlihat menikmati waktunya sementara Isagi tetap diam. Benci mengakuinya tapi Isagi berharap setidaknya Rin menoleh atau sekadar berbicara dengannya. Tetapi sepertinya laki-laki sialan itu asyik menyantap makanannya dan seolah tidak memedulikan Isagi sama sekali.
BANGSAT!
Isagi menancapkan pisaunya pada daging dengan cukup kuat ketika ia kembali membayangkan hal yang menjadi penyebab utama dari kemungkinan perasaan jengkelnya ini—yaitu tweetan terakhir Reo beberapa saat yang lalu.
Jujur saja sekarang Isagi bingung, sebenarnya apa hubungan Rin dan Reo? Benarkah hanya sebatas teman dan rekan kerja? Tetapi mengapa mereka terlihat sangat dekat dan mesra?
Mengapa juga Rin tidak menjelaskan sama sekali maksud dari pesan yang ia kirim untuk Reo? Mengapa ia membiarkan karyawan lain mulai berpikiran mereka ada hubungan rahasia? Mengapa juga keduanya terlihat biasa-biasa saja sementara ia kesal seorang diri?
Terlalu banyak pertanyaan di benaknya saat ini, tetapi yang paling ingin Isagi tanyakan adalah—jika Rin memang punya hubungan spesial dengan Reo, lantas mengapa ia masih berusaha agar mereka bisa kembali bersama?
Sebenarnya Rin menganggap Isagi ini siapa?
Bachira yang asyik menyantap daging dengan senyuman lebar di wajah, tiba-tiba mengerutkan dahinya begitu melihat gelas berisikan bir yang cukup besar diambil begitu saja oleh Isagi yang langsung meminumnya dengan cepat sampai habis.
“Sa! Lo gila? Lo kan gampang mabok!” Bachira berbisik dengan panik, ia bahkan memberikan isyarat pada Chigiri untuk menyingkirkan gelas bir yang dipegang Isagi.
“Gapapa, pengen aja, hehe,”
Chigiri meringis begitu melihat wajah Isagi langsung berubah merah padam secepat kilat.
“Sa, lo masih oke?”
“Masih... mungkin? Chi... haus, mau bir lagi,”
Isagi mulai meraih-raih sesuatu tapi yang ia ambil justru botol kecap. Kalau sudah begini tidak ada yang bisa diharapkan.
Isagi sudah mabuk total.
“Duh, mulai dah, mana dia kalo mabok suka ngomong yang aneh-aneh pula,” Bachira akhirnya melahap daging terakhir sebelum ia menjadikan bahunya untuk Isagi bersandar, “Chi, kita pulang duluan aja.”
Chigiri kini menatap Isagi yang matanya sudah setengah terpejam, mau tak mau mereka memang harus membawa temannya ini pergi sebelum benar-benar hilang kesadaran.
“Iya deh, lo temenin dia di mobil, gue ngikutin dari belakang.”
“Sip, sip.” Bachira mengalungkan lengan Isagi ke bahunya, dan karena hal itu pula langsung menarik perhatian para karyawan lain terutama Reo.
“Lho, ada apa?” tanya sang manajer.
“Ah, anu, kita bertiga izin pulang duluan, Pak Reo, Bos, dan yang lain,”
Ucapan kikuk Bachira akhirnya terdengar oleh Rin yang mau tak mau menoleh ke arahnya. Begitu ia melihat Isagi hampir tidak sadarkan diri, saat itu juga Rin tahu apa yang harus ia lakukan.
“Isagi mabok?” tanya Kunigami, “pantes dia diem aja dari tadi,”
Chigiri tertawa canggung, “Iya, kita izin pulang duluan, ya, makasih banget Pak Reo traktiran-”
“Biar saya aja yang antar.”
Tiba-tiba Rin sudah berdiri dari tempatnya ketika ia memotong ucapan Chigiri barusan. Semua mata tertuju pada Rin yang tanpa aba-aba juga langsung mendekat ke arah Isagi yang sudah tidak bisa merespon ucapan siapapun.
“Gak usah, Bos, kita-”
“Biar saya aja yang antar.” ulang Rin kali ini penuh penekanan yang membuat Bachira dan Chigiri takut untuk berkutik.
Reo yang mengerti situasi segera menepuk kedua tangan agar perhatian tertuju padanya lagi, “Ah, betul! Udah sini, Bachira, Chigiri, lanjut makan aja, Rin gak minum dari tadi jadi Isagi bakal aman kok, tenang!”
“Yakin aman?”
“Stop mikir cabul.” bisik Chigiri yang langsung mencubit Bachira karena tadi si setan kuning ini tersenyum mencurigakan.
“Isagi ini sekretaris saya, dia saya antar pakai mobil pribadi saya seperti biasa, gak perlu khawatir, lagi pula kalian berdua juga jadi gak harus bolak-balik, kan?”
Rin sudah mode memaksa, tidak mungkin Bachira dan Chigiri bisa membantah.
“Ah, oke, Pak Bos. Kalo gitu saya titip temen saya sama Pak Bos, ya?”
“Ya.”
Bachira akhirnya mengalah, kini ia menyerahkan Isagi pada Rin yang langsung sigap meraih pinggang Isagi dan membuat pemuda yang hampir tidak sadar itu bersandar pada dadanya yang bidang.
“Kalau begitu kami yang pamit duluan, selamat malam semuanya.”
Rin pun pergi dengan membawa Isagi dalam gendongannya, meninggalkan cemas pada wajah Bachira dan Chigiri, sekaligus memberikan harapan pada wajah Reo yang sedari tadi telah menunggu momen ini terjadi.
Semangat, Rin!
Selama di perjalanan menuju rumah Isagi, lelaki mungil itu terlelap di samping Rin yang ikut duduk di jok belakang mobil. Tidak ada yang aneh, Isagi hanya terlelap dengan lengan atas Rin sebagai sandarannya, sementara Rin sendiri hanya diam sambil sesekali memperhatikan wajah damai Isagi lewat kaca mobil yang kadang tersorot cahaya lampu jalanan.
Begitu sampai di rumahnya pun ia tetap diam, kembali menggendong Isagi dengan hati-hati dengan kedua tangannya, Rin disambut oleh kedua orang tua Isagi yang juga langsung memberikan mereka tatapan khawatir dan bertanya-tanya.
“Rin?”
Rin menundukkan kepalanya untuk memberi salam, “Ma, Isa-, Yoichi tadi mabuk, jadi nanti kalo Yoichi bangun, tolong jangan bilang Rin yang antar, ya?”
Hubungan Rin dengan kedua orang tua Isagi tentu saja tidak menjadi buruk walau ia pernah mengecewakan sang anak. Mungkin karena Isagi tidak mengatakan keburukan Rin dan mengaku bahwa mereka putus secara baik-baik. Terbukti dengan orang tuanya yang sudah tahu bahwa Rin adalah bos di kantornya.
Mama Isagi lantas mengangguk mengerti, “Terima kasih, Rin, langsung bawa Yoichi ke kamar aja, Mama gak akan bilang.”
Setelah diberikan izin oleh sang ibunda, Rin membawa Isagi ke lantai atas dengan lebih hati-hati karena kamar Isagi ada di lantai dua.
Begitu masuk ke kamar, Rin langsung meletakkan Isagi di atas kasur sepelan mungkin agar tidak menghasilkan suara yang akan mengganggunya. Tak lupa juga ia segera melepas sepatu yang dikenakan Isagi dan menyelimuti tubuh sang terkasih agar tidak kedinginan.
“Tidur yang nyenyak, Sa.”
Rin memilih duduk di tepi ranjang dan terpaku cukup lama hanya untuk melihat wajah Isagi yang begitu tenang, rasanya sudah lama sekali ia tidak melihat pemandangan seperti ini, dan fakta bahwa kini ia sudah berada di kamar Isagi lagi malah hanya membuat perasaan bersalah Rin semakin menguat.
Kamar yang dulu pernah jadi tempat mereka sering menghabiskan waktu bersama. Mulai dari bermain, belajar, bahkan bermesraan kecil. Betapa Rin merindukan hal itu semua yang mungkin tidak akan pernah terjadi lagi di masa depan.
Melihat wajah Isagi yang masih memerah karena mabuk juga menambah satu rasa bersalah Rin yang baru. Karena semua kejadian pada malam ini sebenarnya sudah masuk rencana miliknya dan Reo.
Ya, mengadakan traktir kecil-kecilan lalu membiarkan Isagi minum sampai mabuk karena itu adalah kelemahannya. Ketika Isagi mabuk, ia akan berkata jujur soal apa pun termasuk perasaannya terhadap Rin.
Rin dari awal sengaja memanfaatkan momen ini. Tetapi melihat Isagi yang benar-benar tertidur pulas, datang ke rumahnya dan teringat akan masa bahagia mereka waktu itu, Rin langsung mengurungkan semua niatnya.
Rin tersenyun miris, “Maaf, ya, Isagi. Aku pulang dulu kalo gitu.”
Ya, mungkin Rin memang tidak akan pernah mendapat jawaban sama sekali sampai kapan pun. Rin beranjak dari tepi ranjang Isagi untuk segera keluar kamar, sebelum akhirnya kembali berhenti begitu ujung mantel panjang yang ia kenakan ditarik oleh sosok yang baru saja ingin ia tinggalkan.
“Mau ke mana?”
Rin panik, ternyata si mungil sudah bangun. Ia menoleh dengan takut-takut karena Isagi mungkin akan segera mengamuk ketika melihat dirinya yang membawa laki-laki itu ke kamar.
“Aku-”
“Lo juga siapa, deh?”
Tetapi begitu mendengar pertanyaan tersebut, Rin memberanikan diri untuk menatap wajah Isagi yang kini memandangnya sayu dengan wajah makin memerah.
Apa dia masih mabuk dan ingatannya jadi buram?
“Kamu nanya aku?” tanya Rin memastikan.
Isagi mengangguk lemah, “Iya, ganteng.”
Mendengar itu kaki Rin rasanya langsung melemas. Rin tahu Isagi sedang mabuk, tapi bukankah sudah ia katakan juga bahwa ketika Isagi mabuk itu adalah momen ia akan berkata jujur?
Isagi bangun dari baringnya untuk duduk, tatapannya mulai mengarah ke sekeliling, bertanya-tanya.
“Ini kita juga di mana?”
“Ka- kamar kamu,”
Isagi menatap Rin terkejut, “Kamar gue? Terus lo ngapain di sini?!”
“Tadi kamu mabuk, jadi aku antar sampai sini.” Rin berkata jujur.
“Oh... makasih kalo gitu, ya, Mas ganteng.”
Isagi mengakhiri ucapannya dengan senyuman manis—yang saat itu juga membuat Rin mencapai batasnya hingga tak sengaja jatuh bersimpuh ke lantai begitu saja, menahan teriakan frustasi akan rasa gemas dan bahagia tiada tara.
“Kenapa? Kenapa? Lo sakit? Sini duduk,”
Isagi justru langsung beranjak untuk membantu Rin duduk di tepi ranjang kembali—yang padahal perbuatannya itu hanya semakin membuat Rin ingin meledak hingga menembus langit ke-7.
Rin benar-benar dibuat tidak berkutik oleh tingkah manis Isagi, nyatanya ia belum punya persiapan sama sekali untuk menghadapi hal ini. Oh, ayolah, Rin ini bukan manusia terkuat di bumi. Jika kelemahan Isagi adalah mabuk, maka kelemahan Rin adalah Isagi yang mabuk.
Jadi, sejak detik ini pula Rin sadar bahwa yang dikatakan Reo kepadanya selama ini adalah benar—Rin memang tolol.
“Lo pasti udah punya pacar, ya? Makanya malu ada di kamar orang lain kayak gue?”
Isagi membuka suaranya lagi yang mau tak mau harus Rin jawab meski ia masih dilanda kegugupan, atau mungkin rencana awal Rin untuk mendapatkan jawaban Isagi masih belum sepenuhnya gagal?
“Ngga punya.”
Isagi mengerutkan dahinya tidak suka, “Ih, masa ganteng gini gak punya?”
“Kamu sendiri punya?”
“Nggaaa,”
“Kenapa?”
Wajah Isagi yang tadi bingung langsung berubah lesu, “Jangan diketawain, ya? Hehe, gue... belum move on.”
Napas Rin reflek tertahan begitu mendengarnya. Tetapi jawaban seperti ini belum bisa ia terima bulat-bulat, bagaimana jika Isagi selama ini mempunyai mantan pacar selain dirinya?
“Punya mantan?”
Isagi terkekeh lagi, “Iya,”
“Mantan yang mana?”
Karena sejak dulu Rin selalu bertanya-tanya, apakah dirinya yang kelewat penyendiri dan tidak menyenangkan ini akan mendapatkan seseorang yang benar-benar bisa menerimanya? Yang hanya akan menyukainya? Tidak berpaling sama sekali darinya? Bahkan bertahan setia demi dirinya?
“Cuma satu dan dia aja.”
Dan ternyata seseorang itu adalah Isagi, dan akan selalu seorang Isagi Yoichi.
Meski Rin pernah menyakiti Isagi, meski Rin pernah membuat Isagi menangis, meski Rin pernah meninggalkan Isagi dan membuatnya kecewa. Tapi kini Isagi tetap mengungkapkan perasaan tulusnya tentang Rin dengan senyuman paling hangat sedunia.
“Namanya Itoshi Rin.”
Walau memang itu hanyalah satu kalimat singkat, tapi sudah mampu membuat seluruh beban Rin serasa terangkat.
Oh, tolong jangan sembuhkan Rin jika ini hanya khayalan ketika ia sakit. Tolong jangan sadarkan Rin jika ini hanya tipuan hipnotis. Tolong jangan bangunkan Rin jika ini hanya sekadar mimpi.
“Kayaknya dia mirip lo juga, cuma kalo dulu pas pacaran lebih kurusan dikit,” Isagi menusuk pelan pipi Rin dengan telunjuk kecilnya, “tapi sama-sama ganteng kok, hehe.”
Tuhan, jika Rin meninggal, tolong mainkan rekaman suara lembut Isagi ketika mengatakan hal ini di pemakamannya nanti.
“Gantengan siapa?”
Tetapi entah pergi ke mana juga rasa gugup Rin setelah dipuji habis-habisan oleh Isagi, bahkan ia kini dengan berani meraih pergelangan tangan si manis agar membuat kedua netra sayu itu fokus pada miliknya seorang.
“Hmm, gantengan gue aja! Hehehe!”
Isagi yang malu memalingkan wajahnya, tapi begitu mendengar suara Rin lagi, ia kembali menoleh dengan wajah penasaran yang lucu.
“Aku juga dulu punya pacar,”
“Mantan juga berarti?”
“Iya, lucu, mirip kamu juga.”
Isagi terperangah, “Ehhh? Terus kenapa putus? Sayang banget!”
Rin tersenyum miris, “Diputusin.”
“TOLOL BANGET YANG MUTUSIN!”
Wajah Isagi kembali memerah lucu ketika ia tiba-tiba emosi. Senyum Rin tertahan begitu melihatnya, karena mungkin ucapan ia selanjutnya akan membuat reaksi si manis berubah.
“Aku yang minta diputusin.”
Benar saja, wajah yang tadinya dipenuhi emosi kini berubah drastis menjadi penuh kekecewaan.
“Oh, sama kayak mantan gue itu, dia juga minta diputusin abis itu ilang deh, poof!” Isagi menundukkan kepalanya, tersenyum kecut, “Padahal gue masih sayang banget sama dia...”
Lalu tanpa bisa Rin duga, air mata sudah mengalir di kedua pipi Isagi yang memerah. Isagi menangis dan itu karena Rin. Lagi.
Lantas Rin langsung meraih tubuh yang lebih kecil itu untuk masuk ke dalam pelukannya, menyalurkan kehangatan, sekaligus permintaan maaf atas rasa bersalahnya hingga membuat Isagi sampai jadi seperti ini.
“Maaf, Isagi, maaf,”
Isagi yang bingung hanya bisa bergumam kecil, “Kok malah lo yang minta maaf...”
Rin terus mendekap Isagi di dadanya, sesekali juga ia menghujaninya dengan kecupan ringan di kepala sambil tetap mengucapkan seribu kata maaf yang sama sekali belum bisa menghapus kesalahannya pada sang terkasih.
“Maaf udah bikin kamu sedih, maaf, Sa... maaf Rin udah jahat sama kamu,”
Diperlakukan seperti itu ketika ia sedang mabuk, tentu saja akan sangat membuatnya luluh. Akhirnya detik itu juga tangisan Isagi pecah, pelukan Rin ia balas sama eratnya.
“Huaaa!!! Rin jahat! Dia jahat banget, anjing! Gue benci diaaa~”
Isagi juga menguburkan wajahnya di dada bidang Rin sambil sesekali memukulinya.
“Maaf, Isagi, maaf...”
“Setelah dia hilang lama, sekarang dia muncul lagi dan tiba-tiba malah ditakdirin jadi bos gue? Huuaa~ Rin nyebelin banget!”
“Maafin aku, maafin Rin, Isagi,”
Isagi menggeleng lemah, “Dia bilang dia mau kita balikan, katanya masih suka sama gue, tapi apa? Ternyata dia punya hubungan juga sama manajernya! HUAA!!! RIN BERENGSEK!!!”
Tunggu.
Rin menghentikan ucapan maafnya begitu mendengar ucapan Isagi barusan. Apa tadi katanya? Manajer?
Maksudnya Reo? Isagi cemburu sama Reo? batin Rin tidak percaya.
“Kamu cemburu, Sa?”
Dengan kejujuran penuh, Isagi mengangguk di sela-sela tangisnya, “Iyalah! Gue ini cemburuan! Ih! Kesel~”
Kini Rin tidak dapat lagi menahan senyumannya. Mungkin juga sekarang wajahnya sudah tersenyum layaknya orang idiot. Ini bukan langit ke-7 lagi, Rin bisa terbang dan meledak bebas hingga langit ke-100 walau seluruh dunia mengatakan itu tidak mungkin.
“Pake muji Reo ganteng segala, apa sih maksudnya? Terus dia juga gak jelasin kalo itu cuma bercanda ke siapa pun! HUAAAA!!! RIN JELEKKKK!!!”
Isagi memukuli dada Rin karena kesal, sementara Rin berusaha sekuat mungkin untuk tidak tertawa, “Maaf, Isagi, maaf Rin udah buat kamu cemburu, Rin janji gak akan ngulangin, ya?”
Isagi tidak menjawab, tapi ia tetap menangis di pelukan Rin sambil sesekali memainkan kancing mantel yang dikenakan olehnya.
Isaginya yang mabuk. Isaginya yang lucu. Isaginya yang paling ia sayangi.
Kejujurannya selama mabuk ini juga memberanikan Rin untuk bertanya lebih, mungkin dengan pertanyaan terakhir ini, semua jawaban yang ingin Rin ketahui akan segera ia dapatkan.
“Isagi... kalau misal Rin minta kesempatan buat hadir di kehidupan kamu lagi, apa kamu mau?”
“Untuk nyakitin lagi?” tanya Isagi dengan suaranya yang melemah.
Rin menggeleng meski Isagi tidak dapat melihatnya, “Untuk bahagiain kamu dan gak akan ngulangin kesalahan yang sama, apa kamu bakal kasih kesempatan terakhir itu buat aku, Sa?”
Setelah menanyakan hal itu, tangisan Isagi berhenti dan ruangan kembali sunyi. Mungkin yang bisa ia dengar hanyalah debaran kencang jantungnya selagi menunggu jawaban apa yang akan diberikan Isagi.
Siap tidak siap ia harus mengetahuinya, bagaimana pun jawaban ini adalah yang paling Rin tunggu.
Tetapi bukannya suara lemah itu yang keluar, melainkan dengkuran teratur yang justru terdengar. Rin melirik ke bawah dan menemukan Isagi sudah kembali terlelap dalam pelukannya.
“Sekarang gantian kamu yang tidur, tapi kayaknya kalo kamu tidur beneran.” Rin mendengus menahan tawa mengingat lucunya Isagi yang semudah itu ditipu.
Mengalah, dengan hati-hati tubuh kecil yang ringan itu kembali ia baringkan di atas kasur. Wajah manisnya yang masih basah juga Rin usap perlahan dengan ibu jarinya.
Nyatanya biarlah jawaban itu menjadi misteri untuknya. Rin tidak akan pernah tahu apakah Isagi masih ingin memberinya kesempatan terakhir atau tidak. Harusnya Rin sadar diri, bahwa mungkin jawaban seperti itu pun tidak akan keluar dari mulut Isagi mau ia dalam keadaan mabuk atau tidak sekalipun.
Jadi, aku nyerah aja gitu, Sa?
“Rin...”
Tetapi gerakan tangan itu lantas terhenti seketika begitu Isagi menyebut nama Rin dalam tidurnya. Rin terpaku selama beberapa saat dengan perasaan yang tidak lagi bisa dimengerti orang lain kecuali dirinya.
Bodoh.
Bagaimana bisa Rin mengatakan pada dunia bahwa ia akan menyerah begitu saja untuk mendapatkan Isagi kembali ke hidupnya?
Kini Rin tahu, ia sudah tidak perlu mencari jawaban lagi atas setiap pertanyaan tentang Isagi dalam benaknya, jika sedari awal jawaban itu sendiri adalah cukup dengan seorang Isagi.
Kehadiran Isagi dalam hidupnya sudah cukup untuk membuat Rin bertahan untuk tetap mencintai dan memperjuangkannya.
Oleh karena itu, Rin bersumpah ia tidak akan menyerah. Rin akan terus mengejar Isagi meski harus berlari ribuan kilometer lagi. Rin akan terus berenang menemui Isagi meski harus menyelam sampai ke dasar terdalam. Rin akan terus terbang meski Isagi adalah sosok yang sangat sulit digapai.
Rin akan terus berusaha melakukan apa pun demi Isagi.
Isaginya yang kecil. Isaginya yang ia sayangi. Isaginya yang tidak akan pernah lagi akan ia sakiti. Isaginya yang hanya akan ia cintai.
Isaginya Rin. []
© 2023, roketmu.