[🌸] Serotonin

Rin mengerjapkan matanya berkali-kali untuk memastikan bahwa ia tidak sedang bermimpi atau ini efek dari demamnya yang sangat tinggi.

Di depannya kini berdiri sosok mungil yang selalu ia rindukan, menatapnya penuh kekhawatiran terpancar dari bola mata sebiru lautan yang juga ia dambakan.

“Ah, syukur deh, lo gak mati.”

Ya, tidak salah lagi, suara dan rupa itu memanglah milik Isagi Yoichi.

“Isagi?”

Rin berusaha bangkit dari posisi tidurnya tetapi langsung ditahan oleh Isagi, menciptakan jarak yang begitu dekat di antara mereka setelah sekian lamanya.

Entah Isagi sadar atau tidak, tapi sentuhan tangannya di kedua pundak Rin hanya membuat wajah merah demam sang bos semakin jelas.

“Reo harus di kantor, sementara gue ini sekretaris lo, jadi jangan geer.” ujar Isagi lebih dulu sebelum Rin berpikir aneh-aneh.

“Engga, tapi aku boleh seneng, kan, karena kamu yang justru dateng untuk aku?”

“Lagi sakit tetep aja gak jelas.”

Isagi langsung terlihat gugup atas kejujuran Rin, bahkan ia segera memalingkan wajah agar semburat merah di pipinya juga tidak terlihat.

Lucunya, kalo gak lagi sakit udah gua terkam nih anak, batin Rin liar.

“Cepet banget juga kamu ke sini, kamu lari, ya?”

Tetapi tentu saja Rin harus menepis pikiran buruk itu dan mencoba mengajak Isagi berbicara lagi sebelum dia benar-benar kabur dari hadapannya.

“Apa sih, karena apartemen lo ini yang gak berubah makanya gue tau, tempatnya, bahkan passwordnya,”

Rin mengangguk, “Tanggal lahir kamu.”

“Ganti.”

“Iya, sama tanggal pernikahan kita nanti.”

“Gue pulang, nih?” ancam Isagi.

“Jangan. Aku masih sakit.”

Isagi hanya mendecih, sementara Rin tentu saja tidak bisa menahan senyumnya begitu Isagi dengan malas-malasan meletakkan barang bawaan yang ia bawa sejak tadi. Lelaki mungil itu terlihat menahan untuk berbicara lebih, tetapi melalui tindakannya Rin bisa tahu bahwa ia peduli.

“Itu berkas yang dikasih Reo,”

“Iya, makasih,”

“Lo udah makan belom?”

“Belum.”

“Gue bakal bikinin bubur, enak gak enak lo harus makan biar bisa minum obat.”

Lagi, nadanya memang terkesan dingin tetapi Rin sangat tahu bahwa ia melakukannya karena ingin. Tak memerlukan waktu lama bagi Rin menunggu Isagi membuat bubur, si manis kembali datang dengan raut wajah yang dibuat jengkel sedemikian rupa tetapi tetap paling menggemaskan tiada dua.

“Makan.” perintahnya.

“Lemes, suapin.”

“Ish! Manja banget!”

Dan lagi, Isagi pun tidak menolak untuk hal itu. Isagi duduk di samping Rin yang kini bersandar pada kepala ranjang. Suap demi suap masuk ke dalam mulut Rin yang penuh akan rasa pahit, terlihat dari ekspresi terpaksa Rin di sela-sela menelan semua bubur buatan Isagi.

“Udah,” rengek Rin sesekali sambil menggeleng pelan.

“Gak, abisin.” tapi Isagi juga tetap memaksanya untuk menelan habis semua.

Selama menyuapi Rin dalam hening, Isagi diam-diam tersenyum tipis melihat Rin yang sekarang jadi lebih penurut, padahal biasanya Isagi yang lebih banyak mengalah ketika mereka menjalin kasih waktu itu.

Apakah pemuda ini benar-benar seserius itu ingin hubungan mereka kembali seperti dulu?

Sementara Rin meski dengan keadaan kepala yang masih berdenyut nyeri dan indra perasa dipenuhi pahit, tidak dapat menutupi rasa bahagianya melihat Isagi benar-benar ada di depan mata. Berada di dalam kamarnya. Hanya berdua dengannya.

Kalau begini, Rin rela untuk jatuh sakit lagi jika memang Isagi adalah penyembuhnya.

“Rin,”

Isagi kembali membuka suara untuk memecah keheningan yang tercipta ketika mereka asyik tenggelam dalam pikiran masing-masing.

“Lo... sakit gara-gara nungguin gue keluar, kan?”

Rin menggeleng, “Engga-”

“Engga apanya? Lo ujan-ujanan nungguin gue! Tolol banget,” potong Isagi yang mulai mengomel, “gue bahkan gak baca chat lo dari terakhir gue bilang gak mau bales kalo bukan urusan kerja.”

Rin yang mendengar itu tidak bisa mengelak lagi, “Maaf, aku lagi berusaha minta maaf sama kamu,” ia kini menatap Isagi dengan raut wajah bersalahnya, “kamu masih marah banget sama aku, Sa?”

Setelah suapan terakhir, Isagi meletakkan mangkok bubur di atas meja dan kini ia meraih gelas berisikan air putih, tak lupa dengan obatnya juga.

“Dikit. Udah nih, minum obatnya, lo harus sembuh cepet, karyawan lo kalo izin sakit juga gak boleh lama-lama, kan?”

“Maaf, aku lagi-lagi ceroboh.” ujar Rin dan menuruti perintah Isagi untuk segera meminum obatnya saat itu juga.

Selagi Rin meminum obatnya, Isagi kini mulai berpikir bagaimana caranya agar pemuda ini cepat sembuh. Karena semakin lama Rin sakit, semakin Isagi juga yang akan repot. Entah karena urusan pekerjaan, atau urusan hati Rin yang pasti akan melakukan hal nekat lain demi dirinya.

Oleh karena itu, imunitas tubuh Rin harus ditingkatkan, dan satu-satunya cara cepat yang terpikirkan oleh Isagi adalah dengan memberitahu Rin soal keputusan yang membuat mantan kekasihnya yang bodoh ini sudah pasti akan bahagia.

Isagi menghela napasnya pasrah, nyatanya Rin memang menjadi lebih penurut, tetapi sayangnya Isagi juga tetap jadi pihak yang masih mengalah.

“Iya, engga lagi.” ucap Isagi akhirnya.

Rin yang baru selesai meminum obatnya terpaku bingung dengan ucapan tiba-tiba sang mantan kekasih.

“Engga lagi, apa?”

“Gak pulang bareng Nagi lagi.”

Kini Isagi dengan berani menatap wajah Rin, tetapi laki-laki itu justru menatapnya dengan panik, membuat Isagi buru-buru menghapus pikiran buruk itu dengan penjelasan setelahnya.

“Iya, engga lo paksa, ini keputusan gue sendiri, lagian kasihan supir lo nanyain gue mulu tiap hari,”

Rin mengerjap tidak percaya, “Isagi... beneran?”

Isagi mengangguk mantap, “Iya, jadi jangan lo pikirin lagi, apalagi sampe bikin sakit kayak gini, awas lo.”

Dan benar saja, ketika mendengar itu mata indah Rin yang sayu karena sakit seperti langsung kembali menemukan cahaya hidupnya.

“Bener bukan dipaksa aku, kan?”

“Iya,”

“Kamu pulang bareng supirku lagi selamanya?”

“Iyaa,”

“Dan gak akan nebengin siapa pun lagi?”

“Iyaaa,”

“Akhirnya... Makasih Isa...”

Plukk!

Belum sempat ucapan itu selesai, tubuh Rin tiba-tiba jatuh ke depan dengan kepala yang tepat bersandar pada paha Isagi. Membuat sang empu paha sontak panik dengan wajah merah bukan kepalang.

“HEH! GUE CUMA BILANG GA PULANG BARENG NAGI! BUKAN GUE JADI PACAR LO LAGI! JADI JANGAN NGELUN- Rin?!”

Isagi menatap heran Rin yang tidak berkutik sama sekali ketika ia memukul-mukul tubuhnya. Hingga akhirnya ketika suara dengkuran pelan itu terdengar, tangan Isagi ikut terhenti untuk bergerak dan menatap Rin yang kini sudah kembali terpejam.

Isagi mendengus kasar, “Malah tidur,”

Isagi tidak menyangka efek obatnya akan secepat itu, atau mungkin memang demamnya saja yang terlalu tinggi. Untuk mengecek hal itu, Isagi menggunakan satu punggung tangannya untuk ia letakkan di kening Rin.

“Panas.”

Kemudian tangan tersebut ia gunakan juga untuk menangkup kedua pipinya sendiri.

“Di sini... juga.”

Ya, wajah Isagi ikut memerah dan itu bukan karena demam. Lagi pula jujur saja, siapa yang tidak akan berdebar jika berada di posisi Isagi saat ini?

GUE HARUS GIMANA, ANJING!!! batin Isagi frustasi.

Ia berpikir untuk melarikan diri dengan segera tetapi sepertinya itu tidak mungkin. Lagi pula memang ia sendiri yang menyarankan untuk bertemu Rin dari awal, tidak perlu mengkhawatirkan soal tugasnya dalam bekerja, bosnya saja sedang sakit seperti ini.

Jadi, mungkin Isagi tidak punya pilihan lain. Ia putuskan dirinya untuk menetap dan membiarkan posisi mereka tetap seperti ini sebelum ia beranjak pergi.

Isagi mendecih begitu melihat Rin dalam tidurnya bergerak untuk menyamankan posisi dengan paha Isagi tetap jadi bantalannya.

“Ini, kan, yang lo mau? Dasar.”

Tetapi kemudian Isagi juga terkekeh pelan melihat kelakuan Rin sekarang yang mengingatkannya bahwa kini tepat dua minggu lebih ia bekerja di perusahaan yang sama dengan Rin, dan tidak menyangka sudah begitu banyak kejadian beragam penuh drama yang hadir sejauh ini.

Membuat Isagi mau tak mau tersenyum geli akibat semua kebodohan yang telah mereka lalui, hingga tanpa sadar juga tangannya sudah terangkat untuk mengusap-usap kepala Rin yang masih juga terlelap dengan wajah paling damai yang hanya bisa dilihat oleh dirinya seorang.

“Ya, lupain bentar deh kita emang mantanan, anggep aja ini balas budi gue sama orang yang dulu pernah bikin gue merasa paling bahagia di bumi ini, Rin,”

Isagi tersenyum tipis, kemudian membungkuk sedikit untuk membisikkan kalimat singkat dengan suara paling manis tepat pada telinga Rin—yang sebenarnya hanya pura-pura terlelap dan menikmati semua perlakuan tak kalah manis Isagi untuknya sejak tadi.

“Cepet sembuh, Pak bosku.” []

© 2023, roketmu.