[🌸] Kenapa?

Tolong jangan katakan bahwa Isagi datang ke ruangan Rin karena ia peduli dan khawatir terhadap bosnya yang kurang ajar itu. Isagi datang semata-mata hanya untuk memberitahu kabar terkait jadwal si bos untuk sore ini.

Ya, lagi pula ini juga salah Rin karena tidak membalas pesannya. Jadi, sekali lagi, ini bukan kemauan Isagi melainkan hanya keterpaksaan dari bagian pekerjaan.

Atau itu lah yang ada di pikiran laki-laki penyuka lobster itu sebelum ia masuk ke dalam ruangan dengan pintu yang sejak tadi sudah terbuka, menampilkan sosok pria dewasa yang tengah terbaring di sofa dengan satu lengan menutupi mata.

“Rin?”

Isagi mengutuk mulutnya sendiri yang tidak sengaja mengeluarkan suara dan memanggil nama Rin. Karena hal itu telah membuat sang bos langsung tersadar hingga dengan cepat mengubah posisi baringnya menjadi duduk hanya agar terlihat normal di depan sang sekretaris.

“Isagi? Kenapa? Tumben kamu mau dateng ke ruangan aku tanpa dipanggil?”

Rin menyerbunya dengan banyak pertanyaan, membuat Isagi langsung mencari-cari ponsel milik Rin yang ternyata terletak di meja kantor yang cukup jauh dari sofa di mana si bos berbaring.

“Handphone lo mati?”

“Engga? Oh, kamu ada butuh sesuatu? Maaf aku lagi pasang mode don’t disturb sementara, maaf ya, Isagi,”

Isagi menatap tidak suka setelah mendengar nada kecanggungan dalam ucapan Rin, “Banyak jadwal hari ini yang diubah, jadi lo bisa pulang sekarang dan istirahat di tempat yang lebih nyaman, bukan tiduran di sofa kayak tadi.”

“Oke, oke, kalo gitu kamu juga udah bisa pulang. Makasih banyak ya, Isagi. Pulang sama supirku lagi, ya? Jangan sama yang lain,”

Rin menunjukkan senyum tipisnya, walau Isagi tahu bahwa itu bukan senyuman yang seperti biasanya.

“Terus lo pulang kapan?”

Yang lebih muda sedikit tersentak, “Aku? Oh, aku masih mau ada di kantor, mungkin nanti pulang, atau kamu mau pulang bareng aku, Sa?” kemudian ia terkekeh singkat sebelum kembali melanjutkan ucapannya, “bercanda.”

Isagi kembali menunjukkan tatapan tidak sukanya kepada Rin yang kini terdiam.

Karena dengan melihat Rin yang berbaring di sofa dengan penuh beban, senyumnya yang tak memancarkan ketulusan, hingga gurauannya yang juga tak mencairkan kecanggungan—hanya membuat Isagi bertemu pada satu kesimpulan bahwa pria di depannya ini terlihat menyedihkan.

Dan pemandangan Itoshi Rin yang menyedihkan hanya sukses membuat Isagi kembali teringat pada awal di saat hubungan mereka mencapai pada tahap keputusasaan.

Isagi yang selalu tidak tahu apa-apa dan Rin yang selalu bertindak seolah tidak apa-apa.

Beda dengan Isagi, Rin sendiri selalu tidak ingin terlihat begitu lemah di hadapan Isagi. Dulu, bahkan sampai sekarang. Tapi lebih dari itu, Rin tidak ingin Isagi tahu masalah apa yang sedang ia hadapi.

Rin ingin Isagi tidak lagi terlibat dalam masalahnya yang tak kunjung usai. Masalah yang dulu pernah membuat mereka berpisah. Masalah yang juga membuat Rin bersumpah untuk tak lagi membawanya ke pilihan yang salah.

Rin hanya mampu menundukkan wajahnya, menunggu Isagi untuk pamit pulang lebih dulu dan meninggalkannya yang masih penuh dilema. Tetapi suara lembut yang tercipta dari sofa di sebelahnya membuat ia mau tak mau menoleh dengan pandangan bertanya-tanya.

“Lo gapapa?”

Dan belum sempat ia mengeluarkan suara, nyatanya suara yang lebih lembut sudah lebih cepat mendahuluinya.

Rin yang masih terkesiap pun berusaha menyusun jawaban klisenya, “Aku gapapa. Kenapa, Sa? Kamu gak jadi pulang?”

Rin menahan napas untuk menunggu jawaban dari Isagi yang entah mengapa memberinya secercah harapan bahwa ia tidak jadi pergi.

“Siapa bilang gue mau pulang?” Isagi menoleh dan membuat pandangan mereka kembali bertemu, “gue mau nemenin lo.”

Lalu bak cangkang yang baru terbuka untuk menunjukkan mutiara indahnya, netra toska Rin berbinar tak kalah indah ketika mendengar jawaban yang diberikan Isagi untuknya.

“Lo bisa cerita ke gue kalo emang ada masalah, apa lagi kalo ada hubungannya soal kerjaan, gue mau bantu ngeringanin karena gue ini sekretaris lo.”

Isagi sekuat tenaga terlihat tenang walau akhirnya sia-sia karena semburat merah sudah terpampang jelas di pipi gembilnya.

“Ngeringanin?” ulang Rin memastikan jika mungkin Isagi di depannya hanyalah khayalan.

“Iya, apa pun bebannya, kali aja ada yang bisa gue bantu,”

“Kalo gitu boleh aku tidur dengan paha kamu jadi bantalnya lagi?”

“Gue langsung siram lo pake kopi yang mendidih.”

Isagi mencibir sementara Rin terkekeh pelan. Ah, itu benar-benar Isaginya yang asli.

“Bercanda,”

Sejujurnya Rin hanya ingin mencairkan suasana agar Isagi tidak terlalu memikirkan masalahnya, padahal Isagi tahu setiap gerak-gerik Rin saat ini sangat menandakan bahwa ia memang terlibat masalah yang kembali tidak ingin diketahui olehnya.

“Kenapa? Ini masalah kerja?”

Rin menggeleng, “Bukan, aku gapapa, Sa,”

“Apa karena ada masalah lagi sama kak Sae?”

Begitu nama sang kakak disebut, Rin mematung. Ia tidak menjawab dan memilih untuk kembali menundukkan kepalanya, mengundang tatapan pasrah dari Isagi yang sejak tadi memperhatikan.

“Lo tuh kebiasaan, selalu aja ga pernah mau cerita kalo lagi ada masalah.”

“Maaf, Isagi.”

“Kalo emang bukan masalah kerjaan, jangan sampe itu ngeganggu kerjaan lo,”

“Iya, Isagi.”

Helaan napas kecewa keluar dari yang lebih tua begitu mendengarnya, “Ya, udah, kalo gitu.”

Isagi kembali melirik Rin yang tetap bergeming di tempat. Rin tidak lagi bisa dikatakan angkuh jika sekarang Isagi hanya bisa melihat dirinya yang rapuh.

Membuat Isagi lagi-lagi teringat akan kebiasaan pada masa ketika mereka ada dalam hubungan yang sangat dekat.

Rin yang lebih muda dan manja kepada dirinya akan selalu datang pada Isagi. Tanpa sepatah kata pun, ia hanya memeluk Isagi, membenamkan wajahnya pada dada yang lebih tua, meminta diberikan kasih sayang untuk mengobati hatinya yang terluka.

Isagi juga tidak akan bertanya dua kali jika memang Rin tidak memberinya jawaban atas masalah yang ia alami, tetapi Isagi akan selalu memberinya pelukan hangat berkali-kali upaya untuk memberinya rasa nyaman dan ketenangan yang tulus dari hati.

Isagi selalu ingin menjadi kekuatan Rin di kala ia merasa lemah, Isagi selalu ingin menjadi sandaran Rin di kala ia merasa lelah, dan Isagi selalu ingin menjadi rumah untuk Rin di kala ia merasa tak lagi punya tempat untuk singgah.

Benci mengakuinya, tetapi bolehkah Isagi jujur untuk sekali saja dan menuruti kata hatinya dengan kembali menjadi sosok yang ada ketika Rin memang membutuhkannya?

Karena sepertinya bukan hanya Rin di sini yang mempunyai kebiasaan yang sulit untuk diubah, tetapi Isagi juga punya—yaitu tidak suka melihat Rin yang diselimuti gundah gulana.

Isagi tersenyum tipis, ia tidak menyangka kata ini akan keluar dari mulutnya sendiri hanya untuk ditujukan kepada orang yang telah melukai hatinya, tetapi sialnya juga orang yang selalu disayangi olehnya.

“Mau peluk?”

Jantung Rin seakan berhenti berdetak untuk sesaat. Ia langsung mengangkat kepalanya dan dengan cepat menatap ke arah sumber suara di mana Isagi kini telah merentangkan kedua tangan untuk menyambut dirinya.

“Sa, ka-, kamu gak bercanda? Kamu gak lagi mabuk lagi, kan?”

Rin masih membeku di tempat. Begitu banyak pertanyaan terlintas di benak Rin mulai dari apakah Rin memiliki gejala skizofrenia? Apakah sekarang adalah hari kiamat? Atau apakah ini kilas balik sebelum kematiannya?

Sementara Isagi yang menanggapi hal itu langsung merotasikan bola matanya malas, pasti sudah banyak pikiran mendramatisir yang ada di kepala bos tololnya itu.

“Mau apa ngga? Sebelum gue berubah pikiran dalam hitungan satu, dua, ti-”

Tetapi belum sempat ucapannya selesai, Isagi menggantinya dengan senyuman lega ketika Rin membalas rentangan tangannya dengan langsung berhambur pada pelukan hangat yang Isagi hanya berikan untuknya.

Rin bahkan tak segan untuk membenamkan wajahnya pada bahu kecil Isagi sebagai tempat sandaran yang sangat ia butuhkan, sekaligus menghirup aroma khas menenangkan yang selalu ia rindukan. Rasanya hangat dan nyaman seperti rumah sesungguhnya tempat ia pulang

“Capek banget, ya, Rin?” tanya Isagi lembut sambil sesekali mengusap rambut dan juga punggungnya, “Semoga capek lo cepet hilang,”

Rin mengangguk di sela-sela menyamankan posisi untuk memeluk Isagi lebih erat seakan esok adalah hari terakhir mereka hidup di dunia ini.

“Gue gak tau masalah lo apa, tapi gue... seperti dulu, tetep selalu jadi orang yang paling gak suka ngeliat lo sedih,”

“Dan kamu juga selalu jadi orang yang paling bisa nenangin aku di saat sedih,”

Isagi mendecih, “Tapi lo jangan mikir aneh-aneh, gue ngelakuin ini demi diri gue yang gak pengen ngeliat hal yang gak gue suka, bukan karena gue peduli lo ngerasa sedih atau ngga. Paham, kan?”

“Iya...”

Rin terkekeh diam-diam untuk menanggapi hal itu. Bagaimana pun alasan Isagi barusan hanya semakin memperkuat fakta bahwa Isagi hanya tidak suka ketika melihat Rin sedih.

“Kamu masih kecil aja, Sa,” usil Rin ketika ia merasakan pinggang ramping Isagi masih persis seperti dalam ingatannya.

“Gue lepas, nih?”

“Jangan, aku mau isi baterai aku dulu sampai penuh.”

“Gak jelas.”

Akhirnya Rin memilih untuk memejamkan matanya, begitu pula Isagi yang juga ikut bersandar pada bahu lebarnya. Tidak ada lagi kata atau kalimat yang keluar dari bibir, hanya indra peraba saja yang bekerja untuk saling menyalurkan rasa kasih sayang terhadap satu sama lain.

Walau Isagi tahu ia lagi-lagi tak mendapatkan jawaban, walau Rin juga tahu Isagi tidak akan mempermasalahkan—keduanya tetap saling berpelukan dan menjadi kekuatan untuk jiwa yang membutuhkan.

Sementara di balik pintu yang sejak tadi terbuka, sosok pria bersurai ungu sudah ikut memperhatikan keduanya dari pertama Isagi duduk di sofa untuk menanyakan keadaan Rin.

Beruntung Reo belum sempat masuk. Karena kalau tidak, ia akan menyesal dan mengutuk dirinya seumur hidup akibat telah mengganggu waktu berharga yang tercipta di antara dua insan yang tengah menjalin cinta.

Reo sendiri tidak tahu bagaimana takdir membawa hubungan Rin dan Isagi pergi, tetapi dengan hanya melihat ini, siapa pun ia rasa juga langsung bisa menyadari.

Kalo kalian itu masih saling menginginkan, tapi kenapa sesulit itu untuk balikan? []

© 2023, roketmu.