[🍂] Hilang

Tidak semua rahasia akan selalu menjadi rahasia. Sepandai-pandainya kau merahasiakan suatu kebohongan, pada akhirnya suatu saat akan terbongkar. Seperti pepatah yang mengatakan, meskipun bangkai sudah susah payah ditutupi, tetapi baunya tetap masih tercium juga.

Hubungan yang dijalani Kageyama dan Hinata sejak duduk di bangku SMA nyatanya dirahasiakan hingga mereka sudah menjadi atlet voli hebat kelas internasional.

Mereka merahasiakannya juga bukan tanpa alasan, melainkan karena hubungan cinta yang terjalin di antara keduanya ialah hubungan yang masih tabu dalam masyarakat.


“Kau melamun?”

Suara nyaring itu membuat Kageyama menoleh lalu menurunkan maskernya, “Tidak, kau saja yang terlalu lama membeli bakpau ini.”

“Hehe, maaf. Mengantri seperti biasa.”

Kageyama hanya langsung menggenggam tangan Hinata. Laki-laki berambut jingga itu juga tidak keberatan, mereka lanjut berjalan beriringan sambil melahap bakpau masing-masing.

“Kau ingin aku mengajakmu ke mana lagi?” tanya Hinata di sela-sela makannya.

“Ke mana saja asal bersamamu, Boke.”

Benar. Kali ini Hinata yang tiba-tiba mengajak Kageyama untuk jalan-jalan keluar. Hinata beralasan karena merindukannya saja, padahal Kageyama tahu jalan-jalan ini untuk menghilangkan sedikit stress yang ada pada mereka berdua sejak dua hari yang lalu, ketika hubungan keduanya mulai diketahui publik.

Video dan foto tentang mereka yang berciuman di jalan pulang rumah Hinata tersebar. Televisi dan sosial media ikut meramaikan, menjadikan skandal mereka berdua sebagai skandal terparah di kalangan atlet voli.

Walau skandal tersebut sudah dikonfirmasi sebagai kesalahpahaman, nyatanya warga tetap tidak percaya. Kageyama dan Hinata pun terpaksa cuti selama sebulan untuk menghindari media, walau yang dilakukan mereka justru kebalikannya seperti saat ini.

“Aku masih tidak percaya ternyata ikan pari memiliki wajah yang seperti itu, tapi aku suka ikan badut, karena membayangkan film Nemo, kau tahu itu?”

Kageyama mengangguk, “Dia berwarna oren sepertimu.”

“Dan kau berwarna biru seperti Dory. Sebuah kebetulan yang menarik.”

Kageyama tersenyum tipis dibuatnya. Seharian ini mereka mengunjungi berbagai tempat, sudah saatnya untuk pulang karena waktu mulai mendekati pukul 9 malam. Hanya tersisa beberapa jam lagi mereka boleh menetap di stasiun. Oleh karena itu Kageyama harus bergegas mengatakan sesuatu pada Hinata sebelum pergi dari sini. 

“Nyawa, nyawa, nyawa.”

Tetapi suara parau dari seorang Kakek yang duduk di bangku dekat rel kereta api membuat Kageyama dan Hinata menoleh. Pasalnya sang Kakek juga asal menyeletuk sambil menunjuk ke arah Hinata, membuat keduanya memasang wajah bingung.

Kageyama pun menegurnya, “Maaf?”

“Kucing, kucing, kucing.”

Tapi ia tidak dipedulikan karena kali ini Kakek menunjuk ke arah gadis kecil yang sedang dituntun oleh ibunya. Ketika Kageyama kembali melihat mata sang Kakek, ada pancaran yang berbeda di sana, ia pun langsung mengerti.

“Dompet, dompet, dompet.”

Kini Kakek juga menunjuk pria lain, ia sedang duduk di samping seseorang yang tertidur dengan topi menutupi wajahnya. Kageyama menghela napas lelah, ia pun mengajak Hinata beranjak dari sana dan menganggap sang Kakek sebagai angin lalu saja.

“Kageyama, kau ingin minum sesuatu dulu?”

Mengingat tujuan utamanya, Kageyama menggeleng dan menepi bersama Hinata pada bangku kosong. Ia meraih tangan pemuda itu, mengusapnya perlahan yang membuat pemiliknya bertanya-tanya.

“Sebenarnya ada yang ingin kau bicarakan padaku, kan?”

Hinata tidak terlihat terkejut, Kageyama tahu bahwa dia juga menunggunya untuk bertanya. Atmosfer yang mengelilingi mereka dari awal sudah berbeda dari biasanya. Ada yang aneh dan janggal, sebab itu Kageyama harus segera meluruskan masalah tersebut.

Pemuda beraroma jeruk itu sekarang membawa tangan Kageyama ke pipinya, “Aku hanya ingin menghabiskan waktu bersamamu agar kau tidak terlalu memikirkan skandal itu,”

“Aku tidak memikirkannya, jangan khawatir.”

“Tapi kau khawatir denganku dan aku tidak suka itu.” Hinata mencium pelan punggung tangan Kageyama, “aku minta maaf karena tidak hati-hati, ini semua salahku.”

Kageyama menarik tangannya, “Jangan bercanda. Ini bukan salah siapa-siapa. Tenanglah, warga akan melupakannya sebentar lagi.”

“Tapi tidak dengan dampak yang menimpa kita berdua, Kageyama. Kita berdua bisa kehilangan pekerjaan, karir kita akan hancur. Apa kau masih belum sadar, hm?”

Hinata mulai terdengar serius, Kageyama pun meraih kedua tangan yang dulu mungil itu dengan lembut, “Lalu? Bagaimana jika kita mengasingkan diri mulai sekarang?”

Tubuh Hinata merinding seketika, matanya bahkan mulai berair, “Kage-”

Kageyama tahu masa ini akan datang, ia sudah memikirkannya sejak lama walau waktunya tidak tepat dan terkesan mendesak, “Kita bisa ke luar negeri, memulai kehidupan baru di sana.”

“Aku-”

Kageyama tersenyum, semakin menggenggam tangan kekasihnya itu, “Kau mau kan, Hinata?” kini Hinata benar-benar menangis, “karena aku tidak bisa memikirkan voli dan kau sebagai hal yang harus dipisahkan. Aku mencintaimu, sangat.”

Hinata menundukkan kepalanya seraya menyembunyikan isakan. Tetapi perlahan setelah itu ia melepaskan genggaman mereka, membuat senyuman Kageyama meluntur, begitu pula dengan ucapan gemetar yang keluar dari mulutnya.

“Tidak bisa …”

“Kenapa?”

Hinata terisak, semakin membuat Kageyama lemas, “Karena semenjak kejadian itu, sebentar lagi aku akan dijodohkan oleh gadis pilihan orang tuaku.”

Wajah Kageyama memucat, napasnya seakan tercekik. Apa yang didengarnya barusan mendadak membuatnya pusing dan mual secara bersamaan. Sementara Hinata sedang berusaha mati-matian untuk menahan air matanya yang turun semakin deras.

“Tapi aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi.” Hinata tersenyum tipis, “Maafkan aku juga bila aku mengatakannya tiba-tiba, karena sebenarnya hari ini … adalah hari terakhir aku menghabiskan waktu bersamamu.”

Kageyama menggeleng lemas, “Tidak, Hinata …”

“Karena jalan keluar yang bisa kupilih untuk menyelamatkan karirmu adalah dengan perpisahan.”

“Tidak bisa! Aku juga membutuhkanmu, Boke!”

Kageyama meraih kedua bahu Hinata dengan tangannya yang gemetar, “Atau kau sekarang tidak mau bersamaku lagi? Kau ... kau tidak mencintaiku lagi?”

Hinata menggeleng, ia meraih wajah Kageyama dan mencium bibirnya lembut, “Aku sangat mencintaimu dan kau tahu itu.”

“Hinata …”

“Aku harap kau selalu bahagia. Ayolah, ke mana perginya Kageyama yang selalu menyebutku lemah?”   Kageyama menggeleng, “Kebahagiaanku adalah dirimu dan kau masih bisa berharap aku bahagia setelah kau pergi?”

Tidak mempedulikan Kageyama, Hinata terus mengusap dan merapikan helaian rambut kekasihnya, walau keduanya sadar bahwa tangannya gemetar tertahan.   “Setelah ini, aku harap kau juga selalu mendapat cinta dari banyak orang di sekelilingmu. Jangan sering melakukan kebiasaan burukmu, aku tahu kau sudah banyak berubah. Aku bangga menjadi partner sekaligus kekasihmu. Aku … aku sangat bersyukur Tuhan menghadirkanmu dalam hidupku,” Hinata tertawa pelan, “terima kasih telah menjadi orang yang kucintai dan mencintaiku.”

“Hinata, cukup, kau-” Ucapan Kageyama terpotong ketika Hinata mengecup keningnya cukup lama.

“Kita akhiri di sini. Jaga dirimu baik-baik, Kageyama Tobio.” Hinata bangkit berdiri tanpa menoleh lagi.

Ia berjalan meninggalkan Kageyama yang tidak bisa menerima keputusan sepihak kekasihnya itu. Kageyama harus kembali membujuk Hinata, laki-laki jeruk itu memang bodoh dan hanya selalu memikirkan keadaannya, ini semua tidak bisa dibiarkan.

Sedetik kemudian Kageyama ikut bangkit untuk mengejar Hinata, tetapi seseorang yang baru saja berlari berhasil menabraknya hingga tersungkur tiba-tiba.

Seorang pria dewasa pun segera membantu Kageyama untuk bangkit, “Kau baik-baik saja?”

“Pencuri! Siapa pun tangkap pencuri itu!” teriak pria di belakangnya yang juga sedang berlari tergesa-gesa.

Kageyama tertegun sesaat, pria tersebut adalah pria yang beberapa saat lalu sedang duduk di samping pria yang tidur dengan topi di wajahnya. Lantas Kageyama tiba-tiba teringat dengan apa yang dikatakan Kakek buta di sebelah sana.

“Apa pria itu baru saja kehilangan dompetnya?”

Pria yang menolong Kageyama mengangguk, “Bagaimana kau tahu?”

“Aku mendengar ucapan yang dilontarkan Kakek tua itu saat menunjuknya. Apa Kakek itu peramal?” Mendadak Kageyama penasaran, sepertinya pria dewasa ini terlihat bisa menghilangkan penasarannya.

“Ah, Kakek itu. Daripada dikatakan peramal, ia bisa dikatakan memiliki keahlian unik yang orang tidak dapat percaya,” pria itu menatap Kageyama intens, “walau ia buta, ia bisa mengetahui apa yang akan hilang dari orang yang ia tunjuk secara acak.”

“Jadi benar, dompet adalah kata yang dilontarkan Kakek itu- tunggu,”

Jantung Kageyama berdetak lebih cepat saat itu juga. Tanpa mengatakan apa pun pada pria tadi, Kageyama kembali bangkit untuk berlari mengejar Hinata di kerumunan, sebelum teriakan histeris tiba-tiba terdengar di sekelilingnya.

“Seseorang berambut jingga baru saja melompat ke rel kereta!”

Semua bagaikan mimpi buruk di mana Kageyama ingin segera bangun dan mengakhirinya. Teriakan-teriakan histeris masih mengelilinginya sementara Kageyama masih mematung.

Orang-orang juga mulai berlarian tidak teratur, menggiring Kageyama yang sudah lemas kembali ambruk tak berdaya di pinggir rel kereta.

“Hina ... Hinata-”

Nyatanya perpisahan yang dimaksud adalah ini. Hinata, dengan senyum bodoh yang selalu secerah matahari itu, memilih untuk mengakhiri hidupnya demi Kageyama.

Ia memilih menghilangkan matahari untuk melindungi bayangan yang sudah jelas tidak bisa muncul di bumi tanpa kehadirannya. 

Kageyama tak kuasa menahan tangis. Ia ingin bangkit dan berteriak pada orang yang mengelilingi Hinata untuk segera menjauh, tapi langkahnya tiba-tiba terhenti ketika melihat sang Kakek duduk tak jauh darinya.

Dengan perasaan yang sudah hampa, Kageyama berjalan mendekat, berusaha mengeluarkan suaranya yang menyedihkan.

“Kakek … se- sejak tadi aku bersamanya, kau pasti juga tahu apa yang akan hilang dariku, kan?”

Sang Kakek mengangguk seraya menunjuk Kageyama yang langsung berteriak histeris ketika mendengar jawabannya.

“Kekasih, kekasih, kekasih.” []

© haikyuusou, 2020.